SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

9

3K 364 7
By SophieAntoni


Erick Leitner

Aku memejamkan mata sekilas sekaligus mendengus di saat yang bersamaan. Memutuskan untuk menyetir sendiri di jalanan Jakarta di jam-jam macet seperti sekarang bukanlah ide bagus saat kamu sedang istirahat dan bersantai apalagi kamu hanya punya waktu libur sehari. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di atas setir mengikuti irama musik yang kusetel dengan volume di atas rata-rata, berusaha untuk menikmati saja situasinya. Entah kenapa Michelle tiba-tiba saja bersikap seperti seorang pacar hari ini, ia memintaku menjemputnya di Pondok Indah Mal dan rengekannya di seberang sana serta janji-janji manisnya untukku membuatku tak bisa menolak permintaannya.

"Aku sudah di parkiran. Kamu langsung keluar kan?"

"Masuk sebentar lah aku kenalin sama teman-temanku." Aku terdiam sesaat. "Aku sedang nggak mood bertemu banyak orang." Ini bukan kebohongan karena aku sedang tidak ingin menciptakan drama di depan teman-teman Michelle. Tentu saja mereka pasti akan mengira aku pacar perempuan itu sementara saat ini aku sedang tidak ingin menjadi pacar siapapun. Aku pernah menawarkan suatu hubungan pada Michelle namun saat itu ia hanya diam yang aku artikan sebagai peolakan dan saat ini aku pantang menawarkannya kembali.

"Kok gitu sih?"

"Aku di parkiran depan nggak jauh dari lobi. Kamu tau mobilku kan?" aku tidak menjawab rengekannya dan ia hanya menjawab 'iya' dengan nada kecewa. Aku keluar dari mobil sejenak mengingat cukup lama aku terjebak di dalam sana.

"Erick?"

Panggilan itu otomatis membuat leherku bergerak mencari si sumber suara. Senyumku langsung tercipta saat melihat perempuan itu tersenyum lebar padaku. Ia mendekatiku.

"Hei, kok ada di sini?" Tania terlihat jauh lebih segar dan ceria sore ini. Di sebelah tangannya aku melihat ia sedang mejinjing shopping bag kecil berlogo Omega.

"Emang aneh ya kalau gue di sini?" aku menjawab pertanyaannya dan langsung membuat ia tertawa.

"Kirain nggak ada waktu untuk mendarat." Sindirnya dan membuatku teringat dengan beberapa ajakannya untuk bertemu yang selalu kutolak dengan halus dengan bermacam-macam alasan.

"Belanja sendiri?"

"Ya. Abang gue ulang tahun dan Mama mewajibkan kami semua harus berkumpul di rumah malam ini. Gue cari kado untuknya." Ia menunjuk ke arah tas kecil di tangannya.

"Semua ngumpul?"

"Ya...ah...kecuali Ava tentunya." Dia tersenyum tipis dan aku hanya mengangguk paham. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Ava juga akan dilibatkan dalam pesta kecil mereka jika perempuan itu ada di Jakarta saat ini? Entah sejak kapan aku melankolis seperti ini, memikirkan hal-hal yang tidak perlu yang tak ada sangkut pautnya denganku.

"Lo ada janji?"

Aku mengangguk.

"Jemput seseorang." Dan baru sedetik aku menjawab pertanyaan Tania aku bisa menangkap bayangan Michelle mendekati kami.

"Hei, you." Tanpa ragu Michelle mengecup sekilas pipiku dan membuat kedua alisku bergerak naik heran dengan sikapnya. Namun aku langsung paham saat melihat lirikan tajam Michelle pada Tania yang memandang kami dengan senyum tipisnya.

"Tan, kenalin ini Michelle."

"Hi, Tania." Michelle menyambut tangan Tania dengan senyum yang sedikit dipaksakan. "Kalau gitu gue cabut dulu ya sebelum diomelin nyokap karena telat." Tania mengangkat tangannya melambai ke arahku dan sedikit mengangguk pada Michelle.

"Oke, salam aja buat nyokap."

Setelah Tania menghilang dari pandangan kami, aku bisa mendengar Michelle berdesis kesal saat membuka pintu mobil. Aku tidak meresponnya.

"Jadi kamu nggak mau masuk karena ada dia?" Aku sudah menduga kata-kata itu keluar dari mulut Michelle, namun aku sama sekali tidak bereaksi karena lebih fokus mengeluarkan mobilku dari lahan parkir yang cukup ramai sore ini.

"Kamu kenapa sih?" nada suara Michelle meninggi saat aku lebih memilih mencari saluran radio dibanding menjawab pertanyaannya.

"Kamu yang kenapa?" aku membalas kata-katanya dengan nada yang tenang.

"Kamu nggak jawab pertanyaanku."

"Aku ketemu Tania nggak sengaja waktu nungguin kamu." Aku meliriknya sekilas. "Sejak kapan kamu bertingkat seperti istri yang cemburuan gini?" kembali aku meliriknya dan perempuan itu hanya diam. Dan kami pun terdiam selama beberapa menit.

"Aku ingin hubungan kita lebih dari ini." Ucapnya tiba-tiba setelah diam yang cukup lama menurutku. "Karena itu aku meminta kamu masuk agar aku bisa mengenalkan kamu sama teman-temanku."

"Sejak kapan kamu memutuskan sendiri hendak kemana hubungan ini?"

"Sejak..." dia terdiam.

"Aku pernah menawarkannya dulu tapi kamu nggak menganggapnya serius dan sekarang aku uda nggak punya keinginan itu."

"Kamu menawarkannya saat itu karena mencintaiku atau hanya karena kamu ingin mempunyai sebuah hubungan?" perempuan itu terdengar sangat emosi dan membuatku sendiri merasa heran.

"Kamu tahu aku bukan seseorang yang mudah berada dalam sebuah hubungan, kalau misalnya aku menawarkan sebuah hubungan itu artinya aku serius. Cinta?" aku tertawa kecil. "Cinta tentu saja akan ada dalam sebuah hubungan yang serius."

"Akan?"

"Hei, Michelle dengar..." aku melihat keadaan diluar untuk memastikan aku bisa menghentikan mobil sebentar. Setelah mobil benar-benar berhenti aku melihat ke arahnya.

"Kamu jelas tahu kan bagaimana status kita? We're just having fun. Meski begitu aku selalu menganggap kamu istimewa dan saat itu aku rasa aku bisa dengan mudah jatuh cinta sama kamu."

Bibir Michelle bergerak hendak mengatakan sesuatu namun ia tetap terdiam. Aku mendesah keras dan menyenderkan tubuhku.

"Kalau sekarang aku yang menawarkannya?" suaranya terdengar serak dan cukup berhati-hati.

"Aku sedang nggak ingin saat ini." Aku menjawab dengan pandangan yang masih lurus memandang keluar melalui kaca depan mobil.

"Kenapa?"

Aku diam.

"Karena ada seseorang yang spesial saat ini?" sambungnya lagi.

Pertanyaan Michelle tiba-tiba membuatku berpikir dan aku memastikan tidak ada yang spesial. Tania tentu saja tidak masuk dalam kategori ini. Tapi....ah...aku menggeleng keras menghalau pemikiran absurdku. Bagaimana mungkin nama Ava tiba-tiba muncul. Kalau Tania saja tidak masuk dalam kategori, apalagi Ava. Kalau bisa dibilang perempuan itu justru berada di titik terjauh di luar liga ini. Segala pemikiranku tentangnya dan hal-hal yang menghubungkan kami akhir-akhir ini hanyalah sebuah kebetulan yang membuatku tertarik seperti para ahli fisika atau matematika yang begitu tertarik untuk memecahkan sebuah misteri. Lalu Ava hanya sebuah misteri? Ah...pemikiranku ini bisa-bisa membuatku gila.

"Nggak ada." aku menggeleng.

Dia terdengar menarik napas lega.

"Kamu mencintaiku?" Aku menoleh memandangnya berusaha mencari matanya. "Atau kamu hanya ingin memilikiku?"

"Nggak ada bedanyakan dengan pemikiranmu dulu saat kamu menawarkan hubungan itu?"jawab Tania.

Aku tertawa kecil mencoba paham dengan jawabannya yang seharusnya tidak butuh waktu lama untuk dikeluarkan karena pertanyaan ini aku kira akan mudah ia jawab. Seandainya dia mengatakan dia mencintaiku aku pasti tidak akan ragu untuk memikirkan ulang tawarannya. Aku egois? Whatever!

"Berarti kita sama." Aku kembali memandangnya. "Aku rasa ini sudah nggak menarik lagi. Kita nggak perlu ketemu lagi."

"Maksudku nggak seperti itu, Rick! Aku sayang sama kamu. Aku mulai cemburu kalau kamu pergi dengan perempuan lain. Aku..." Dia sedikit menjerit dan isaknya mulai terdengar.

"Aku antar kamu pulang." Aku kembali menghidupkan mobil dan berusaha tidak peduli dengan tangis Michelle. Aku memutar bola mata mencoba bertahan untuk tidak kalah dengan tangisan itu. Dan lima belas menit kemudian, Michelle turun dari mobil tanpa berkata apapun namun bantingan kerasnya pada pintu mobil menunjukkan kemarahaannya yang besar. Aku menarik napas lega dan berpikir hendak kembali saja ke hotel namun sebuah pesan dari Tania mengurungkan niatku.

Senang banget ketemu lo tadi. That Michelle girl is pretty dan gw rasa kita nggak akan bisa sering ketemu lagi ya hehehe but have a fun nite. Gue nih yang lg pengen kabur cuz this bday party sucks! Sorry curhat :)

Siapa bilang kita nggak bisa ketemu? Mau temenin gw makan? Di KilaKila ya sekarang

Dan balasan Tania muncul tidak lama.

Oke Capt!!

Aku rasa mendengar drama keluarga Tania jauh lebih menarik ketimbang bengong sendirian di kamar hotel dan mengenang Michelle dengan segala keindahannya. Aku segera memutar mobilku ke arah Sudirman. Sebenarnya aku sudah reservasi meja untuk aku dan Michelle dan sekarang tidak ada salahnya aku menggunakannya bersama Tania.

Aku tiba terlebih dahulu dan Tania menyusul sepuluh menit kemudian. Aku bisa melihat senyum cerahnya saat mata kami bertemu. Perempuan ini sangat cantik aku akui itu.

"Hi Capt!"

"Please stop calling me that." Dia tertawa renyah mersepons kata-kataku sambil mengambil tempat di hadapanku.

"Wow nice place. Baru kali ini nih gue kesini, pernah sih beberapa bulan lalu di ajak Devi teman gue buat lunch tapi saat itu penuh banget dan kita nggak tau kalau perlu reservasi." Tania berkata dengan mata yang berbinar dan aku suka melihatnya. Seperti tidak pernah ada jejak Tania yang babak belur atau Tania yang sedang mabuk.

"Pakai alasan apa lo ninggalin pesta abang lo?" tanyaku di sela-sela keseriusan kami membaca menu.

"Alasan kerjaan. Gue bilang aja mau ketemu client." Dia tersenyum kemudian menyebutkan pesanannya pada pelayan. Aku pun ikut memutuskan menu yang ingin kumakan. "Apa gue udah pernah bilang kalau sekarang gue gabung di perusahaan Mama? Bisa dibilang gue sebagai asisten Mama dan gue juga manfaain ilmu waktu kuliah dulu untuk jadi akunting juga disana."

"Perusahaan apa?"

"Perusahaan Kontraktor dan Design Interior. Papa yang dulu mendirikannya dan Mama meneruskannya."

"Kenapa nggak sejak dulu lo gabung disitu?"

"Gue selalu malas berada di bawah pengawasan Mama. Beberapa kali gue bisnis sama teman dan hasilnya? Nggak jalan lah. Ditipu lah. Pokoknya macam-macam lah. Dan sejak saat itu gue berpikir mending gue nyari laki kaya. Gue hanya mau realistis. Please jangan nge-judge!" dia mengacungkan telunjuknya ke arahku.

"I am not." jawabku sambil tertawa kecil. Namun ini yang kusuka dari Tania. Dia begitu jujur dan apa adanya. Dia tidak pernah menutupi 'keburukannya' di depanku bahkan pemikirannya sekalipun. Atau mungkin karena aku sudah pernah terlanjur melihat buruknya perempuan itu. Entahlah.

"Tapi lo tahu kan laki kaya ternyata nggak menjamin kebahagian." Dia tertawa miris. Seorang pelayan datang membawa minuman pesanan kami. "Lo saksi mata gimana hasil pencarian gue sama laki-laki kaya." Dia menyipitkan matanya memandangku dan membuatku teringat kejadian di pesawat awal perkenalan kami.

"Dulu saat Ava masih di Jakarta gue selalu berakhir di kos-kosannya. Sekadar curhat atau menangis. Dan ketika dia pergi gue nggak tahu harus kemana. Gue bahkan nggak punya sahabat." Dia kembali tersenyum miris, sedangkan aku sedikit menegakkan tubuhku saat Tania mulai menyebut nama Ava.

"Dia sayang banget sama lo sepertinya."

"Ya." Tania mengangguk.

"Gue...." Kata-kataku terpotong saat pelayan menghidangkan pesanan kami, iga bakar sereh untukku dan ayam bakar kalio untuk Tania ditambah dua macam sayuran.

"Lo percaya nggak kalau gue udah ketemu adek lo itu." Tania mengangkat mukanya dan memandangku. Kelopak matanya melebar menandakan keterkejutannya.

"Serius? Dimana?"

Aku kemudian menceritakan pertemuan tidak sengajaku dengan Ava di Bali beberapa waktu lalu. Raut ketidakpercayaan masih tidak lepas dari wajah Tania.

"Hal pertama yang dia bilang sama gue adalah kamu 'Erick the angel'?" Tania langsung tertawa mendengar itu.

"Ah...she's so sweet. Gue pernah meneleponnya dan menceritakan tentang lo dan saat itu gue bilang lo udah kayak malaikat buat gue."

Kini ganti aku yang tertawa mengingat aku juga menyimpan nomor Ava dengan nama 'Ava the angel'. Namun aku tidak berniat menceritakan hal remeh ini kepada Tania. Aku juga mengurungkan niatku untuk menceritakan sebuah kebetulan lain yang terjadi antara aku dan Ava. Tentang pertemuan kami jauh sebelum ini.

"Entah siapa yang berjodoh dengan siapa. Lo sama gue atau lo sama Ava?" Tania menertawai kata-katanya tapi justru sedikit  membuatku tersentak. "Lo nggak perlu pasang wajah serius gitu. Gue cuma becanda." tangannya bergerak menghalau pandanganku. Akhirnya aku hanya bisa tersenyum.

"Ava ke Jakarta karena dengar Mama sakit dan seperti biasa Mama menolak kehadirannya karena itulah Ava pulang lebih cepat dan dia pasti singgah ke Bali karena di sana ada sahabatnya si Desi." Tania menjelaskan namun tentu saja aku masih penasaran dengan misteri lainnya kenapa Ava begitu tidak disukai, oke aku tahu Ava adik tiri Tania namun apa cerita di balik itu semua.

"Lo tahu kan Ava adik tiri gue. Namun yang bikin Mama nggak bisa menerima Ava hingga sekarang karena Ava anak selingkuhan Papa. Perempuan itu adalah cinta pertama lah kalau bisa dibilang..entahlah gue nggak pernah percaya sama namanya cinta pertama. Bisa jadi itu hanya berlaku di generasi para orang tua kita." Tania menyesap minumannya. "Perempuan itu meninggal saat Ava baru setahun dan Papa membawanya ke rumah. Lo bisa bayangkan kan perasaannya Mama?" Tania sekilas menatapku. Aku mengangguk.

"Wow..." aku hanya bisa berujar pendek mendengar kisah ini.

"Drama banget ya keluarga gue."

"Semua keluarga punya dramanya sendiri."

"Thats right."

Setelah itu kami mencoba fokus menghabiskan makan malam kami. Beberapa kali Tania mengungkapkan kelezatan menu ayam yang ia pilih itu. Cerita-cerita ringan mulai mengalir lagi di antara kami. Tania banyak bertanya tentang pilihanku untuk menjadi pilot dan kali ini aku yang menceritakan tentang drama keluargaku khususnya dramaku bersama Papa.

"Oh ya...gue sampai lupa nanya." Tania menggeser piring kosongnya sedikit ke samping. "Kenapa lo jadi makan malamnya sama gue? Lo kan tadi sama cewek lo."

"Michelle?"

Tania mengangguk.

"Gue sama Michelle nggak pacaran dan tadi dia minta pulang cepat aja."

"Kalian sahabatan kayak lo sama gue?"

"Bisa dibilang begitu."

"Hanya saja sebagai cewek gue bisa ngerasa kalau Michelle nggak suka sama kehadiran gue jadi gue pikir kalian punya hubungan istimewa."

"Nggak. Kita sahabatan." Aku memastikan sekali lagi dan langsung membuat kedua ujung bibir Tania tertarik ke samping. Dia tersenyum cukup lebar.

"What's your ideal type?"

"In women?"

Tania mengangguk.

"Gue nggak punya kriteria semacam itu. Seperti orang bilang you fall in love so just fall. Bahkan cinta bisa saja datang di saat lo sedang nggak terlalu mengharapkannya, seringkali, justru lo jatuh cinta dengan orang yang nggak pernah lo bayangkan." Aku mencoba tersenyum saat menyelesaikan kata-kata itu. Kata-kata yang tanpa sadar muncul begitu saja di otakku.

"Lo sudah ketemu orang itu? Orang yang nggak pernah lo bayangkan?" Tania menatapku tajam.

Aku terdiam dan entah kenapa jantungku berdetak pelan tanpa sebab.

"Mungkin."

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 122 20
Hidup Raka sempurna. Mahasiswa S2, wartawan surat kabar lokal, serta memiliki pacar cantik dan pengertian. Hingga suatu hari, pacarnya menyebut seder...
1.7M 83K 42
Seanno Hydar Smith. Pria tampan berhati iblis. Setiap ingin berhasil mendapatkan tujuan, ia akan memanfaatkan semua keadaan. Katrina Azella. Gadis ca...
3.9K 349 55
Ketika kebohongan yang kembali mencuat, ia seperti sebuah heroin.. mengikat dan membunuh. Namun cinta, ia memberi segalanya baik canda atau tangis. ...
83.9K 10K 19
Cinta. Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata cinta? Mungkin hal-hal yang membuat kita bahagia. Namun, tidak bagi Aretha. Baginya...