The One That Got Away

By SymphonyRita

435 36 59

Ini reposting dengan judul yang sama. Pernah diterbitkan di www.catatanharianrita.wordpress.com. Isi cerita m... More

Prolog

Part 1

251 20 49
By SymphonyRita

Estelle menatap angkuh kedua lelaki berbeda generasi dan seorang wanita paruh baya yang tengah berjalan menuju ruang tamu. Tatapannya seketika berubah sinis saat ketiga orang itu berhenti tepat di hadapannya.

Casey, lelaki itu menyunggingkan senyum bahagia, kemudian maju memeluk tubuh mungil anak gadisnya. Estelle tersenyum getir melihat senyum yang tercetak di wajah ayahnya. Raut bahagia Casey benar-benar tak dapat disembunyikan.

"Apa kabar, Sayang? Kau pasti sangat kangen dengan Dad, kan?" ujar Casey setelah melepas pelukannya.

Estelle tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.

"Hei, kau kenapa? Wajahmu terlihat lesu sekali. Seharusnya kau senang karena Bibi Roser sekarang sudah menjadi ibumu. Dan ini putranya, Marc Marquez, kau bisa memanggilnya Marc," kata Casey menggebu-gebu sembari tersenyum, membuat wajahnya tampak 10 tahun lebih muda.

Estelle menatap nanar kedua orang yang diperkenalkan Casey. Ada rasa tidak rela saat kedua orang yang dibawa ayahnya entah dari mana itu masuk ke rumah ini. Mereka siapa? Estelle tidak mengenal mereka. Dan ketika Casey menghubunginya tadi siang dan mengatakan jika Estelle 'sudah' memiliki ibu baru, bukan lagi 'akan' memiliki ibu baru. Parahnya, Casey bahkan tidak meminta persetujuan darinya untuk menikah lagi. Ia benar-benar kecewa.
Estelle kesal sekaligus marah pada Casey. Ayahnya yang gila kerja dan memiliki kesibukan di mana-mana, bahkan kesibukannya mengalahkan kesibukan Perdana Menteri Australia. Biasanya Casey akan pulang 1 atau 2 bulan sekali ke rumah, tapi kali ini pria itu pulang dan membawa kejutan yang tak diharapkan Estelle.

Estelle tidak butuh ibu baru. Ia lebih baik hidup sendiri di rumah ini dan tidak mendapat perhatian Casey daripada ada orang asing masuk ke zona privasinya. Ia benci kedua orang itu. Estelle bertekad ia tidak akan bersikap baik dengan mereka. Ia tidak akan mau peduli dengan kedua orang asing yang mulai sekarang menjadi penghuni tetap rumahnya.

"Well, selamat datang kalau begitu," ucap Estelle ketus, sontak saja membuat Casey kaget mendengar nada tidak bersahabat keluar dari mulut putrinya.

"Estelle!" tegur Casey. "Kau ini kenapa sih? Sikapmu itu benar-benar tidak sopan!"

"Oh ya?" sahut Estelle, menaikkan sebelah alisnya. "Aku tidak ingat Dad pernah mengajariku sopan santun untuk menyambut tamu tak diundang di rumah ini." Estelle mengarahkan tatapan bermusuhan pada Roser dan Marc.

"Estelle!"

"Kenapa, Dad? Memang benar kan Dad tidak pernah mengajariku sopan santun? Dad tidak pernah peduli padaku! Dad hanya peduli pada berkas-berkas kerja Dad. Apa Dad tidak sadar seberapa sering Dad meluangkan waktu untuk menemaniku di sini? Bahkan Dad tidak pernah sekali pun mengajakku keluar! Kalaupun Dad pulang ke rumah, tetap saja bisnis yang Dad prioritaskan dibadingkan aku. Dan sekarang, Dad pulang bawa mereka yang kau perkenalkan sebagai ibu dan saudara baruku. Apa Dad pikir aku senang, hm? Apa Dad pikir aku bahagia?! Kau tidak pernah memedulikan perasaanku!" seru Estelle berapi-api. Mukanya merah dan sorot matanya benar-benar terluka dengan apa yang telah dilakukan Casey.

Semuanya terdiam di tempat. Roser yang tahu dirinya tak diharapkan di sini memucat di samping Casey. Sedangkan anak laki-lakinya, Marc, menatap tak senang ke arah Estelle.

"Aku memang kesepian, Dad. Sangat kesepian, bahkan. Tapi yang kubutuhkan itu adalah Dad, supaya Dad bisa menemaniku di sini, bukannya mereka yang tidak pernah aku pinta. Jika kepulangan Dad kali ini hanya membawa orang asing ke rumah kita, lebih baik Dad tidak usah pulang saja sekalian!" tandas Estelle dan langsung berlari ke kamarnya.

Casey masih mematung di tempat, masih tidak menyangka putri kecilnya berkata seperti itu.

"Estelle tidak mengharapkan kehadiran kami, Casey. Maafkan aku," ucap Roser sedih dan turut menyesal atas apa yang telah terjadi.

Casey membalikkan tubuhnya menghadap ke Roser dan berkata, "Tidak. Jangan minta maaf. Kau tidak bersalah. Mungkin Estelle masih terkejut. Aku yakin dia akan menerima kalian. Jangan khawatir," hibur Casey pada istrinya dan matanya juga tertuju pada Marc.

"Tapi, tetap saja...."

"Jangan menyalahkan dirimu, Roser," sela Casey. "Aku akan bicara dengannya," lanjutnya kemudian.

***

"Estelle... Estelle... buka pintunya, Sayang," seru Casey sambil mengetuk pintu kamar berwarna pink yang dihiasi gantungan glitter berukir nama gadis itu.

Estelle tidak menyahut. Ia tidak mau dan tidak akan mau bertemu kedua asing yang dibawa ayahnya jika beliau mengetuk pintu hanya untuk menyuruhnya keluar lalu minta maaf pada mereka. Estelle bersumpah ia tidak akan sudi melakukannya.

"Estelle, Dad mohon buka pintunya sebentar. Dad hanya ingin bicara denganmu." Suara Casey terdengar melunak di luar sana.

"Aku tidak ingin bicara denganmu, Dad!" balas Estelle, suaranya teredam di balik bantal-bantal yang ia tiduri. Tapi Estelle yakin Casey bisa mendengarnya karena teriakannya cukup kuat.

"Estelle, Dad tahu kau marah. Dad minta maaf. Tapi izinkan Dad bicara denganmu sebentar. Buka pintunya, Sayang."

Estelle menimang-nimang sebentar, lalu bangkit dari tempat tidurnya dan membukakan pintu untuk Casey.

"Dad ingin bicara apa?" Estelle memandang kesal pada Casey.

"Estelle, Dad tahu kau sangat syok karena Dad membawa Bibi Roser kemari. Dad tidak bermaksud membuatmu kecewa ataupun marah. Tapi Dad pikir kau mungkin butuh seseorang yang bisa menemanimu di rumah karena kau tahu Dad begitu sibuk dengan perusahaan. Dad hanya ingin memberikanmu figur seorang ibu karena—"

"Memberiku figur seorang ibu?" potong Estelle langsung sambil memutar kedua bola matanya. "Alasan yang sangat bagus, Dad," ujarnya dengan nada sarkas. Hatinya perih, sungguh.

"Estelle...."

"Bahkan Dad tidak pernah bertanya padaku apakah aku perlu figur seorang ibu atau tidak.  Aku tidak membutuhkannya, Dad! Yang kuperlukan itu kau. Yang kuperlukan itu adalah waktumu. Tapi kau tidak pernah mengerti tentangku. Aku sungguh kecewa padamu. Sangat." Air mata bergulir di pipi Estelle. Namun, gadis itu buru-buru menghapus dengan kasar.

"Dad minta maaf, Estelle," kata Casey, hendak meraih tubuh Estelle, tapi secepat kilat segera ditepis.

"Kau tahu, Dad? Kata apa yang paling aku benci?" Estelle menatap nanar ke arah ayahnya. Keningnya mengernyit seolah menahan rasa sakit yang tak terelakkan. Ada ribuan luka bersarang di balik mata aquamarine miliknya. "Maaf." Estelle menelan ludah dengan susah payah sebelum melanjutkan, "Itu semacam kata terkutuk yang selalu diucapkan orang-orang yang membuat kesalahan yang sama. Berkali-kali. Dan kau kembali meminta maaf padaku. Tidakkah Dad berpikir kesalahan yang Dad lakukan dulu tidak cukup menyakitiku?!"

Estelle terisak keras. Jika tadinya ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Casey karena menangis, kali ini ia tidak mampu menahan lebih lama. Kekecewaan yang dirasakan Estelle pada ayahnya sungguh besar.

Casey tak mampu berkata-kata dibuatnya. Ia tahu ia bukan tipikal ayah yang baik untuk Estelle. Tapi ia sedang coba memperbaiki keadaan. Dan melihat putrinya kembali menangis seperti ini membuat hati Casey ikut tersayat.

"Butuh waktu, Dad," ucap Estelle di sela isakannya. "Tidak mudah untukku memaafkanmu. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa lupa dengan perlakuanmu yang dulu. Tapi dengan kesalahan yang kembali kau perbuat sekarang, tidak ada jaminan kali ini aku bisa memaafkanmu lagi."

Tubuh Casey bagai terhantam beton mendengar kalimat terakhir Estelle. Tulang belakang mendadak beku. Jantungnya mencelus.

"Estelle...."

Estelle mengusap wajahnya yang terasa sembap. Tangisnya sudah sepenuhnya berhenti. Tapi luka yang Casey sayat di dadanya menganga lebar.

Estelle mengangkat wajahnya. Ekspresinya berubah dingin.
Jantung Casey bertalu kencang. Ini tidak mungkin terjadi lagi, katanya pada dirinya sendiri. Tatapan itu... kembali lagi.

"Aku tidak mencoba memerangi siapa pun, Dad. Tapi kau telah menabuh¬ genderang perang di antara kita. Selamat malam. Semoga malam Dad menyenangkan."

Seusai berkata seperti itu, tubuh Estelle menghilang di balik pintu.
Casey masih terpekur. Benaknya kosong. Tubuhnya tidak sejenak pun beranjak di tempat.

***

Pagi itu merupakan pagi yang paling menyiksa untuk Estelle. Ia harus sarapan bersama Casey—hal yang sebenarnya sangat Estelle rindukan—dan kedua penghuni baru rumahnya.

Walaupun ada sedikit ketegangan di antara mereka, pagi itu semuanya berjalan apa adanya, seperti sarapan pada umumnya.

Estelle menghitung dalam hati berapa kali ia sarapan satu meja dengan Casey sejak kematian Adriana, mendiang ibu Estelle, akibat kecelakaan pesawat yang menimpa beliau saat kepulangannya dari Perth setelah mengunjungi nenek Estelle yang sakit.

Sejak kematian Adriana, semuanya berubah total. Tidak ada lagi kehangatan yang selalu Casey beri padanya setiap kali bangun tidur. Biasanya Casey akan menunggunya membuka mata dan menyapanya dengan kalimat, "Selamat pagi, Tuan Putri. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?", lalu memberinya ciuman selamat pagi di keningnya. Tak lupa juga Adriana berada di samping Casey, ikut menunggu Estelle bangun dari mimpinya.

Perubahan drastis itu sangat melukai Estelle. Casey begitu terpuruk, bahkan selama masa berkabung ia tidak memedulikan Estelle yang saat itu berumur 10 tahun dan membutuhkan kasih sayang.

Sebenarnya Casey tidak bermaksud berbuat seperti itu. Hanya saja wajah Estelle merupakan duplikat wajah Adriana dan tak mudah bagi Casey untuk tidak menangis setiap menatap wajah putri kecilnya.

Sejak itu Casey jadi gila kerja. Tidak mementingkan apa pun selain pekerjaannya. Ia rasa dengan bergelung pada berkas-berkas kerjanya bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari kehilangan yang begitu menyakitkan.

Estelle menjadi korban. Ia tidak mengerti kenapa Casey berubah. Namun, satu hal yang ia tahu ayahnya merasa sangat kehilangan dan beliau melampiaskan rasa kehilangannya dengan cara yang membuat Estelle terluka.

"Kenapa sarapannya tidak dihabiskan, Estelle?" tanya Roser dengan suara khas keibuan, karena dari tadi ia perhatikan Estelle hanya mencubit-cubit roti sandwich isi tunanya hingga menjadi bentuk-bentuk tak beraturan.

Sok baik banget sih, gerutu Estelle dalam hati.

Estelle sengaja tidak mengacuhkan pertanyaan Roser dan terus melakukan kegiatan cubit-mencubitnya.

"Estelle! Kalau Bibi Roser bertanya padamu, sangat tidak baik jika kau tidak menjawabnya," tegur Casey yang melihat situasi belum juga bisa diterima Estelle.

"Bela saja terus," balas Estelle tak terima.

"Estelle!" tegur Casey sekali lagi.

Marc yang duduk di sebelah Estelle tetap melanjutkan sarapan tanpa mau repot-repot menoleh ke adik tirinya yang menurutnya sangat keterlaluan itu. Ia masih ingat kejadian semalam saat Estelle terang-terangan menunjukan rasa tidak sukanya padanya dan juga ibunya. Memangnya Estelle pikir Marc juga akan suka padanya, apa?

"Aku sudah kenyang," tukas gadis itu malas, kemudian menyambar susu dan meminumnya hingga setengah. Gadis itu bangkit dari kursinya dan berpamitan. "Aku pergi ke sekolah," katanya dengan nada tak bersahabat.

"Ya, sudah. Biar Marc yang mengantarmu."

Perkataan Casey sontak membuat Estelle terdiam beberapa detik sebelum kemudian protes keras meluncur dari mulutnya. "Tunggu! Barusan Dad bilang apa? Marc? Laki-laki ini?!"

Casey menangkupkan kedua tangannya di atas meja. Wajahnya tak menunjukkan emosi saat menjelaskan kenapa ia menyuruh Marc mengantar Estelle ke sekolah.

"Well, kupikir aku terlalu memberimu kebebasan. Aku kurang setuju tentang menyetir mobil sendiri meski kau telah berusia 17 tahun. Jadi kenapa tidak Marc saja yang mengantarmu? Selain demi keselamatanmu, aku juga bisa tahu kau sampai atau tidak ke sekolah."

Estelle ingin mengajukan protes lagi saat Casey mengangkat jari telunjuknya ke atas dan berkata, "Kau pikir selama ini aku tidak tahu kau sering bolos sekolah. Wali kelasmu, bahkan kepala sekolahmu sudah bosan meneleponku. Kuharap kau bisa mengubah segala kebiasaan burukmu itu, Estelle. Demi dirimu juga," ucap Casey tegas.

Estelle mendengus tidak percaya sekaligus marah. Bahkan sekarang kebebasannya direnggut juga?

"Oh! Begitu? Sekarang Dad peduli pada pendidikanku? Ke mana saja Dad selama ini?!" seru Estelle tak terima. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. "Kau tidak pernah sekalipun menegurku seperti pagi ini. Apa mungkin karena dia?"

Casey menyipitkan matanya pada Estelle, seolah meminta penjelas apa maksud kalimat 'apa mungkin karena dia'.

Estelle kemudian beralih ke Roser yang menatapnya. Gadis itu tersenyum mengejek pada wanita itu. "Terima kasih, Bibi Roser. Karena kau, akhirnya Dad-ku berubah. Aku akan menunggu sejauh mana kau mengubah Dad-ku."

Ucapan Estelle yang penuh nada sarkas itu membuat Casey naik pitam.

"Estelle!" Casey bangkit dari kursinya dan hendak menghampiri Estelle, tetapi Roser buru-buru menahannya.
"Apa? Dad mau menyuruhku minta maaf padanya?  Dalam mimpimu pun itu tidak akan pernah terjadi!" tandasnya, mengakhiri perang pagi itu.

Dan... di sinilah Estelle sekarang, terjebak di mobil yang sama bersama lelaki menyebalkan yang bernama Marc Marquez. Estelle tidak menyukai lelaki itu karena beberapa alasan; dingin, angkuh, belagu, dan sok tua. Setiap perkataan yang dilontarkan oleh Estelle selalu dibalas pedas oleh lelaki itu. Seperti saat Estelle masuk ke dalam Audi putih—mobil pribadi miliknya—ia sempat melontarkan beberapa makian.

"Setiap perkataan yang terlontar mencerminkan siapa dirinya dan bagaimana status sosialnya di masyarakat. Jadi jaga mulutmu dan jangan membuat keributan di sini. Aku tidak suka harus mendengar makianmu itu, Gadis Barbar!"

Mulut Estelle ternganga mendengar panggilan itu. Gadis barbar? Cih! Dia pikir dia siapa? Macam cara bicaranya sudah yang paling benar saja. Dasar laki-laki tidak tahu diri!

"Apa? Kau bilang apa? Gadis barbar?" seru Estelle tidak terima. "Kau tidak ngaca ya? Kau pikir kau itu lelaki baik-baik, apa? Dasar bajingan sialan, sampah, tahunya cuma memanfaatkan orang lain saja!"

Kalimat terakhir Estelle membuatnya mendapat tatapan mematikan dari Marc. Mata lelaki itu berubah kelam. Maniknya seakan memancarkan pedang tajam yang siap dihunjamkan ke dada Estelle.

Tubuh Estelle merinding seketika. Alarm peringatan muncul di kepalanya. Tapi ia tidak peduli. Estelle tidak akan membuat laki-laki itu berpikir jika ia takut padanya. Ia tidak akan kalah hanya dengan sebuah tatapan.

Hening kemudian menyusup di antara mereka. Sadar Estelle tidak akan mendebatnya lagi, Marc melanjutkan perkataannya. "Kau itu seharusnya bersyukur karena mendapat ibu tiri yang baik seperti ibuku. Kau pikir gampang ya mencari ibu tiri yang baik? Untung saja ibuku mau menikah dengan ayahmu dan menerimamu sebagai anak tirinya. Dasar gadis tak tahu diuntung."

Lagi. Kata-kata menyebalkan dari lelaki menyebalkan itu membuat Estelle berang.

"Kau pikir aku mau jadi anak tirimu ibumu? Asal kau tahu saja, aku tidak akan pernah sudi menganggap kau dan ibumu itu ada! Dasar sampah busuk!"

Marc kembali menatap Estelle tajam. Gadis kurang ajar! geramnya dalam hati.

***

Estelle keluar dari mobil dengan perasaan kesal dan marah sesampainya ia di Sydney International High School. Ia membanting pintu mobil dan seketika raut wajahnya berubah menjadi sesal. Aduh...  itu kan mobil kesayangannya. Sial! makinya dalam hati. Lalu, terdengar suara tawa mengejek dari dalam mobil tersebut.

"Diam kau!" bentak Estelle seraya menunjukkan wajah murkanya di depan kaca.

"Makanya, pakai otak sebelum melakukan sesuatu. Jangan pakai dengkul! Cih!"

"Jadi kau bilang aku bodoh, begitu?" tanya Estelle tersinggung.

"Kenyataannya begitu, 'kan?" Marc mengangkat bahunya.

"Sialan kau!" maki Estelle, bertambah kesal.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, Estelle tidak henti-hentinya mengucapkan serentetan sumpah serapah. Kakinya mengentak-entak kesal. Estelle tidak peduli ia menjadi pusat perhatian di sepanjang koridor. Ia terlalu kesal untuk mengurusi tatapan siswa-siwsi itu padanya.
Saat masuk ke kelasnya, Estelle melempar tasnya begitu saja di atas mejanya dan kembali mengundang perhatian beberapa siswa di dalam sana. Namun, tak selang berapa lama, Frau Irene, guru Bahasa Jermannya masuk ke kelas tepat saat bel masuk berbunyi.

"Kau tampak cemberut hari ini," komentar Bradley, sahabat baiknya saat Estelle mengambil tempat di sebelahnya. "Ada apa?" tanya cowok itu penasaran.

"Ayahku sudah pulang." Estelle mengeluarkan buku Kontakte Deutsch 2 (buku bahasa Jerman untuk kelas 11)  dari tasnya dengan kasar.
"Wah, bagus dong. Itu kan berita baik," kata Bradley, ikut mengeluarkan buku Kontakte Deutsch 2 miliknya.

"Iya," Estelle membanting pelan buku itu di atas meja, "tapi, akan lebih baik lagi jika ayahku tidak pulang membawa serta 2 gelandangan masuk ke rumahku. Mereka benar-benar seperti sampah yang dipungut oleh ayahku, Brad," geram Estelle teringat kedua wajah menyebalkan itu.

"Memangnya siapa sih mereka? Pembantu baru?" tebak Bradley, semakin penasaran.

"Bukan!"

"Lalu?"

Estelle mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan.  "Begini, Brad. Apa yang akan kau lakukan jika tiba-tiba saja ayahmu memperkenalkan anggota keluarga baru tanpa memberitahumu terlebih dahulu?"

"Aku akan menyambut mereka dengan sukacita," jawab Bradley polos.

"What?!" Estelle memutar bola matanya dan mendelik tajam ke arah Bradley.

"Iya, aku akan menyambut mereka dengan sukacita. Memangnya kenapa? Ada yang salah?" Bradley bertanya balik.

"Apa kau akan bersukacita juga jika yang dibawa oleh ayahmu adalah ibu dan saudara baru untukmu?"

"Heh? Kau bicara apa sih, Es? Aku tidak mengerti." Bradley menggaruk-garuk kepalanya plontosnya yang tidak gatal.

Estelle mendekatkan kepalanya ke telinganya Bradley. "Ayahku menikah lagi dan... parahnya dia tidak meminta persetujuanku ataupun meminta izin dariku."

"Kau tidak serius, 'kan?" tanya Bradley. Ekspresi cowok itu berubah ngeri.

"Apa aku tampak seperti sedang bercanda sekarang?" Estelle melotot ke arahnya.

Bradley menggeleng.

"Aku turut sedih mendengarnya, Es. Apa saudara barumu itu lebih muda atau lebih tua darimu? Laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki, dan beberapa tahun lebih tua dariku," Estelle menjawab dengan lesu.

"Baguslah. Kupikir dia perempuan. Tenang sajalah. Kau masih satu-satunya tuan putri di rumahmu. Tidak ada yang bisa menyaingimu di rumah, ya, kecuali ibu tirimu. Tapi, tidak apa-apa. Setidaknya kau masih muda dan masih cantik dan kutebak pasti ibu tirimu itu sudah keriputan dan jelek." Bradley mengernyitkan hidungnya.

Estelle terkekeh pelan mendengar kata-kata Bradley. Ia tahu Bradley sedang menghiburnya sekarang.

"Aku jadi penasaran dengan wanita itu. Oh ya, omong-omong bagaimana sifatnya? Kau tidak disiksa kan sama dia? Kalau sampai itu terjadi, dia harus berhadapan denganku. Aku tidak akan membiarkan nenek sihir itu menyentuhmu sejengkal kuku pun." Ekspresi wajah Bradley yang culun itu tampak lucu dan lagi-lagi membuat Estelle tertawa geli.

"Aku belum tahu. Tapi, kupikir sifatnya pasti tidak akan jauh berbeda dengan ibu tirinya Cinderella, sama-sama jahat dan licik," ucap gadis itu dengan mata menerawang jauh.

"Kalau begitu, kau harus hati-hati dengan segala akal bulusnya. Pertama-tama dia akan mengambil hatimu terlebih dahulu, setelah itu dia akan merencanakan misi busuknya. Jangan sampai terperangkap," pesan Bradley dan disambut anggukan mantap Estelle.

"Frau Stoner und Herr Smith, bisakah kalian berdua berhenti bicara? Atau apa perlu kupersilakan kalian untuk menggantikan saya berbicara di depan?" tegur Frau Irene, dengan bahasa Jerman yang sangat kental.

"Tut mir Leid, Frau! (I am sorry, Ma'am!)" ucap Estelle dan Bradley serempak.

"Kau tahu, setidaknya aku sedikit bersyukur mengetahui bahwa saudara tiriku itu beberapa tahun lebih tua dariku," bisik Estelle di sela-sela mencatat materi Modal Verben yang dijelaskan oleh Frau Irene.

"Memangnya kenapa?" tanya Bradley.

"Aku akan bunuh diri kalau sampai ayahku membawakanku seorang adik. Apalagi yang masih kecil." Estelle bergidik saat mengatakannya.

"Heh? Kenapa bisa begitu?" Wajah Bradley tampak bodoh saat mendengarnya.

"Aku benci anak-anak, Brad! Mereka itu seperti tikus kotor dan juga sangat merepotkan. Menjijikan, tahu!" desis Estelle dan... sekali lagi mereka mendapat teguran keras Frau Irene.

***

Estelle dan Bradley berjalan menuju kafetaria setelah bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, sepanjang koridor mereka selalu menjadi pusat perhatian. Memangnya siapa yang tidak mengenal Clarita Estellina Stoner? Gadis cantik yang notabene anak pemilik yayasan sekolah sekaligus ratu kecantikan terpilih pada prom lalu.

Walaupun dibaluti kecantikan yang begitu memesona, sosok Estelle ditakuti oleh penghuni sekolah. Sekali saja mereka berurusan dengan Estelle, maka siap-siaplah angkat koper secara tidak hormat dari sekolah ini. Dan terhitung sudah ada 2 siswi yang sudah dibuang dari sekolah ini gara-gara berurusan dengan putri pemilik yayasan. Keduanya merupakan senior gadis itu.

Tidak hanya Estelle yang dikagumi sekaligus disegani di sekolah, bahkan Bradley Smith, cowok keturunan Inggris tulen ini juga dikagumi oleh beberapa siswa karena keberaniannya berteman dengan Estelle yang selama ini dikenal angkuh dan dingin.

Semua warga sekolah tahu bagaimana kisah pertemanan mereka, bahkan menganggapnya sebagai salah satu kejadian luar biasa dan pantas masuk dalam 7 keajaiban dunia.

Seperti biasa Estelle berjalan dengan dagu terangkat saat masuk ke pelataran sekolah. Orang-orang yang menyadari kehadiran sang penguasa nomor satu di sekolah langsung menyorot penuh perhatian. Mulai dari pandangan terpesona hingga iri.

Estelle cantik dan ayahnya, Casey juga pemilik yayasan sekolah ini. Ia rasa wajar saja jika ia bersikap angkuh. Bukankah itu sebuah keharusan?

Namun seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak. Orang-orang juga menyadari kekurangan Estelle. Gadis itu tidak memiliki teman. Orang-orang enggan berteman dengannya karena gadis itu menutup diri dari lingkungan sosialnya. Estelle tidak merasa harus berteman dengan siapa pun karena menurutnya berteman hanya soal saling memanfaatkan satu sama lain. Dan ia tidak suka merasa dimanfaatkan. Terlebih ia tidak bisa menaruh kepercayaan pada orang lain.

"Estelle!" panggil seorang laki-laki tepat di belakangnya. Estelle berhenti, lalu menoleh ke belakang, melihat siapa yang memanggilnya.

Bradley Smith, si aneh dengan perawakan tinggi seperti alien dengan kacamata supertebalnya, tidak lupa buku ensiklopedia yang selalu berada di dekapannya dan luar biasanya lagi, ia juga menggantungkan tumbler minuman bergambar Spongebob Squarepant di lehernya, sedang berlari menghampirinya. Tidak salah cowok alien itu memanggilnya? tanya Estelle dalam hati.

"H... hai, Estelle...," sapa Bradley sembari memamerkan senyum gigi kawatnya.

"Kau memanggilku?" tanya Estelle, memandang penampilan Bradley dari atas ke bawah berkali-kali. Cowok itu bertambah culun 2 kali lipat jika dilihat dari dekat.

"I... iya," Bradley menjawab malu-malu sambil menggaruk  kepala bagian belakangnya.

"Ada apa?" Estelle melipat kedua tangannya di depan dada.

Beberapa orang mulai intens memandang ke arah mereka. Bradley kemudian menarik sebuah kertas berwarna pink berbentuk amplop dari dalam bukunya dan memberikannya pada gadis itu.

"Untukmu," ujar Bradley tersipu.

"Apa ini?" tanya Estelle datar sembari menerima amplop itu dengan satu tangan.

"Buka saja." Wajah Bradley terlihat penuh harap.

Kumpulan orang-orang di sekitar mereka semakin ramai, terlebih lagi para cowok-cowok, mulai dari yang paling bodoh sampai paling pintar di sekolah, bahkan yang paling rajin dan sampai yang paling malas pun ikut bergabung.

Estelle membuka amplop tersebut dan mengeluarkan sebuah kertas berwarna senada yang berisikan tulisan cakar ayam Bradley. Dahi Estelle berkernyit dalam saat mulai membaca isi surat itu. Tidak sampai  di situ saja, matanya ikut menyipit, tampak sangat menghayati setiap kata yang tertulis. Tapi, pada akhirnya....

"Aku tidak bisa baca tulisanmu." Ucapan Estelle sontak membuat sekumpulan orang tersebut mengeluarkan ekspresi kaget, terlebih Bradley. "Apa ada yang bisa membantuku membacakan tulisan di kertas ini?" Estelle mengangkat kertas itu tinggi-tinggi. Tak sampai 2 detik hampir 30-an orang menawarkan diri untuk membacakan. Estelle lalu memberikan kertas itu secara acak pada seorang cowok.

"Dear, Estelle...," mulai cowok itu dengan suara lantang. Beberapa cowok di belakangnya ikut berebut melihat isi surat itu walaupun sudah akan dibacakan. Estelle melihat ekspresi Bradley mulai berubah. Cowok culun itu seperti ingin menangis.

"Kau tahu, aku sangat menyukaimu. Aku suka caramu berjalan, caramu berbicara dan caramu tersenyum. Kau adalah gadis tercantik dan termanis yang pernah kulihat seumur hidupku," lanjut cowok itu dan beberapa orang mulai tertawa.

"Estelle, sudah sejak lama aku memperhatikanmu. Aku ingin mengenalmu, tapi aku takut. Aku takut kau akan menolakku dan aku takut terluka karena penolakan itu. Tapi, sekarang aku benar-benar ingin mengenalmu dan kuharap kau mau menerimaku. Hahahaha.... Dia tidak bercanda, kan? Hahahaha...." Cowok yang membacakan tulisan itu tertawa terbahak-bahak bersama lainnya yang ikut mendengarkan.

"Ini benar-benar gila."

"Dia pikir dia siapa berani-beraninya mau mengenal Estelle?"

"Aku saja yang 100 kali lebih keren dari si culun itu masih berpikir 2 kali untuk mendekati Estelle. Kelasnya terlalu tinggi."

"Dasar orang gila."

"Dia sudah bosan hidup?"

"Semoga Tuhan memberkatinya setelah ini."

Komentar-komentar yang datang dari segerombolan itu membuat muka Bradley semakin memerah menahan malu. Estelle tidak bereaksi apa-apa dan menunggu surat itu dibacakan lagi.

"Ayo, ayo, dilanjutkan," seru sekumpulan cowok itu.

"Estelle, aku tidak memintamu menjadi pacarku. Tapi, aku ingin menjadi temanmu, teman dekatmu, teman tempatmu berbagi segala keluh kesah dan teman tempatmu bersandar. Aku ingin menjadi seseorang yang berarti bagimu. Dan kupikir dengan menjadi temanmu, aku sudah bisa menjadi bagian terpenting di hidupmu. Hanya teman saja. Bagaimana? Bisakah aku menjadi temanmu? Salam manis dari Bradley si Culun. Eh, dia benar-benar menuliskan kata Bradley si Culun di sini? Hahahaha...."

Kumpulan orang-orang itu lagi-lagi tertawa terbahak-bahak. Estelle mengulurkan tangannya lagi, meminta surat itu kembali. Gadis itu kemudian memasukkannya ke dalam amplop.

"Dasar bodoh."

"Idiot!"

"Sakit jiwa ya?"

Berbagai cemoohan diterima Bradley. Cowok itu pun menangis di tengah tawa mengejek dari teman-teman sekolahnya.

"Diamlah," ucap Estelle pada sekumpulan orang-orang itu. Tapi, mereka masih saja tertawa. "Aku bilang tutup mulut kalian!" Kali ini Estelle berteriak dan suasana langsung senyap mendadak.
Estelle mengeluarkan sapu tangan biru mudah dari sakunya, lalu dengan cekatan ia menghapus air mata Bradley.

Bradley terkejut dengan perlakuan manis Estelle dan memandang heran.

Estelle tersenyum lembut. Kemudian gadis itu mengulurkan tangan, mengajak Bradley bersalaman. "Ayo kita berteman," katanya manis dan lantas membuat beberapa kumpulan cowok-cowok itu jatuh pingsan di tempat karena syok.

Bradley ikut tersenyum senang dan menyambut uluran tangan halus itu. "Terima kasih, Estelle."

Kejadian itu sudah berlalu hampir setahun yang lalu, tapi benar-benar membekas di ingatan setiap cowok yang menyaksikannya. Alhasil, setelah kejadian itu banyak sekali cowok-cowok di sekolahnya melakukan hal serupa yang dilakukan Bradley. Bedanya, mereka tidak terang-terangan seperti cowok culun itu. Mereka lebih memilih memberi surat pada Estelle melalui loker gadis itu. Bahkan sehari setelah kejadian itu, tidak terhitung berapa puluh bahkan hingga ratusan amplop berwarna pink bersarang di lokernya.

Estelle yang dibanjiri oleh surat-surat itu lantas emosi. Semua surat itu kemudian dibuangnya ke tong sampah, tanpa dibacanya satu per saru.

Isi dari semua surat itu sebenarnya hampir sama semua, kecuali bagian salam manisnya. Ada yang menulis salam manis dari Pol si tampan, Karel si manis, Mack calon direktur, Rins calon pengusaha, bahkan ada yang menulis Aleix si penakluk hati perempuan. Benar-benar menjijikan.

***

"Apa kau sudah tahu tentang guru musik barus kita?" tanya Bradley sambil memotong steiknya.

"Tidak tahu dan tidak peduli," jawab Estelle acuh tak acuh sembari memasukkan potongan salad ke mulutnya.

"Ish, kau memang selalu begitu," cibir Bradley.

"Bukan kewajibanku untuk mengetahuinya. Lagian kan cuma guru baru. Apa istimewanya?"

"Setidaknya kau harus tahu trending topic yang sedang dibicarakan di sekolah ini. Aku sudah bertemu dengan orangnya di ruang guru tadi saat Frau Irene menyuruhku membawa makalah-makalahnya."

"Oh ya? Terus?" respons Estelle datar.

"Oh, ayolah, Es.... Jangan begitu dong. Peduli sedikit saja dengan kehidupan sekolahmu. Kau harus tahu tentang hal-hal yang berkaitan dengan sekolah."

"Aku tidak peduli, Mr. Smith!" tegas Estelle, kemudian menyambarkan es lemonnya dan menyeruputnya dengan cepat.

"Nah, nah, nah, itu dia orangnya...." Bradley menunjuk ke arah pintu masuk kafetaria dan Estelle otomatis menoleh ke sosok yang menjadi trending topic itu. Gadis itu membelalakkan matanya.

Astaga, ia tidak salah lihat, kan? Laki-laki itu....

Es lemon yang ia minum tadi mendadak tersangkut di tenggorokannya. Tak sampai setengah detik kemudian, air itu sudah berpindah ke wajah Bradley.

"ESTELLINA!!!"

To be continued...

Hola! Ini first debut-ku di dunia orange. Mohon bimbingannya ya. Kalo ada kesalahan, saran atau masukan, mohon dikoreksi ya. Soalnya masih newbie banget di dunia per-wattpad-an. Agak ngerti gak ngerti.

Anyway thanks for reading. See you in next chapter!!! Ciao!

Continue Reading

You'll Also Like

54.6K 5K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinship‼️ ❥Sequel Dream House ❥NOT BXB ⚠️ ❥Baca Dream House terlebih dahulu🐾 Satu atap yang mempe...
243K 3K 73
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
189K 18.9K 40
Seorang ibu yang kehilangan anak semata wayang nya dan sangat rindu dengan panggilan "bunda" untuk dirinya Selengkapnya bisa kalian baca aja ya luuvv...