The Ex [Completed]

By rafixp

770K 64.9K 2.1K

"Masih doyan flashback? Norak. Kenangan itu adanya di belakang. Kalau kangen, lirik aja lewat spion. Nggak us... More

It's Over
Luna is....
Double Ex
Move On
Ask.fm
(Ir)replaceable
Once Upon A Day
Chemistry
Fall For Somebody Else
Holiday
Artara's 41th (1)
Artara's 41st (2)
Artara's 41st (3)
Sticky Notes
Love Will Find Its Way
There He Goes
One Step Closer
With You
Behind the Camera
Bike
Disaster
Flashlight
Here We Are
Is it too late now to say sorry?
Firework
The More I Try to Stay, The More My Heart Bleed
Strange
A Piece of Cake
Rollercoaster
The End?
How Are You?
It's not The End, It's The Ex
Extra Part
From The Very First
Fuschia
Can't Help Falling in Love
Between Us

Against All Odds

13.3K 1.1K 32
By rafixp

Adrian memarkirkan motornya tepat di depan pagar sebuah rumah. Ia sudah turun dan melepas helmnya sambil menenteng sebungkus plastik putih, tetapi belum juga memantapkan diri untuk masuk ke dalam. Sesekali ia menatap rumah di depannya, lalu melirik plastik di tangannya. Begitu terus sambil melangkah mondar-mandir di depan pintu gerbang rumah itu.

Pembicaraan terakhir dengan Luna tentang ikatan persaudaraan itu menyisakan ketegangan karena berakhir dengan ia yang mengungkit masalah kondisi Luna yang belum bisa move on dari Juna.

"Lo daritadi gue tanyain jawab enggak mulu," ujar Adrian memotong kalimat Luna. "berarti lo belum move on, nih?"

Luna mengernyitkan dahi. "Apaan, sih?! Kok, jadi nyambung ke Juna?"

"Mungkin sebenernya, kalo lo nggak terbuka sama Juna kaya gini, mereka nggak bakal putus, Lun," sambung Adrian tanpa menanggapi pertanyaan Luna barusan.

Kernyitan di dahi Luna mengendur, diikuti kekehan singkat. "Jadi lo setuju sama pendapat orang-orang tentang gue?"

Adrian berdecak dan rasanya ingin menggigit lidah sampai putus karena kalimat yang dengan kurang ajarnya keluar tanpa ia pikirkan. "Bukan, bukan git-"

Luna menutup piano di depannya, lalu membenarkan kaus kaki yang agak melorot. "Kalo lo mau ngajakin gue ribut masalah sepele kaya gini, gue nggak ada waktu. Gue nggak mau mikirin hal-hal kaya gini."

Bodohnya, Adrian diam saja ketika Luna melewatinya. Tangannya terangkat untuk menahan lengan cewek itu, namun di urungkannya ketika Luna bergerak menjauh.

"Kalo lo mau minta maaf, gue sama sekali nggak marah," ujar Luna sambil berbalik sebelum menutup pintu.

"Tapi satu hal yang gue nggak ngerti apa memang cuman gue yang ngerasa," Luna menimbang-nimbang kalimat untuk melanjutkan kalimatnya yang menggantung. "atau memang lo yang udah berubah."

******
******

Kertas-kertas berisi coretan-coretan berserakan di karpet dan setoples camilan yang tutupnya entah ke mana tergeletak begitu saja. Luna meletakkan kepalanya miring di atas meja di antara tumpukan buku-buku bertuliskan Kimia besar-besar. Sesekali ia mencoba menyelesaikan perhitungan kadar. Sedihnya, ia mengulang-ulang menjawab soal-soal tentang perhitungan kadar itu karena otaknya sudah tidak sanggup memproses persoalan yang lebih sulit.

Luna mengangkat kepalanya bersamaan dengan kedua sikunya yang bertumpu pada meja, lalu ia bertopang dagu. Matanya memandang kosong pada soal-soal yang terhampar di hadapannya.

Andai aja ia masih punya rasa percaya diri untuk meminta Diandra mengajarinya malam ini....

Diandra apa kabar, ya?

Tapi, bukannya melanjutkan belajar, ia jadi ingat Juna gara-gara memikirkan Diandra. Pertemuan dengan Juna setelah pertandingan waktu itu, menimbulkan tanya. Juga dilemma.

Hubungan Juna dan Diandra dulu...seperti apa, sih?

Luna akhirnya menyerah dan memilih untuk mengambil ponselnya, lalu merebahkan diri di sofa. Mencari akun Arjuna Redianata.

Nihil.

Tidak ada apa-apa yang muncul pasca putusnya mereka. Pun juga kabar tentang patah hati Diandra. Semuanya nihil.

atau...Diandra yang minta putus?

Berarti Juna belum tentu udah lupain Diandra dong....

Mau tak mau Luna memikirkan kemungkinan itu juga.

Tapi kan, katanya Diandra nangis....

Atau nangis merasa bersalah?

Luna menghembuskan napas kasar. kekepoannya sudah benar-benar melewati batas. Bahkan di hari-hari menjelang Ujian Nasional begini. Kenapa juga, sih, Juna harus keceplosan begitu? Pasti di sekolah akan lebih canggung dari sebelum hubungan mereka membaik.

Juna juga nggak kelihatan baik...bahkan kemarin kalah....

"Mikir apa, sih, gue."

"Mikir apa hayo." Sebuah suara yang muncul membuat Luna menoleh demi melihat Raka yang duduk di ujung sofa sambil memamerkan senyum menyebalkan.

"Balik, sana, lo. Pulang-pulang ngacauin hari gue aja," tanggap Luna sambil memalingkan tubuhnya menghadap ke senderan sofa.

"Heh, lo tuh emang udah kacau dari kemaren-kemaren. Mikir cowok terus, sih," Raka mendekat dan menyentil dahinya. "Nih, isinya cowok doang. Sampe pelajarannya nggak bisa masuk."

"Berisik lo-"

Ting, Tong

Kalimat Luna terpotong, kemudian ia dan Raka saling tatap. Mengisyaratkan perintah untuk membukakan pintu ke pada satu sama lain.

"Iya, iya." Raka mengalah. Ia beranjak membukakan pintu. Baru saja ia melihat siapa yang malam-malam begini datang, kepalanya langsung menoleh arah Luna.

"Sini, ada temen lo."

Setelah itu, Raka tidak mempersilakan teman Luna masuk. Cowok itu justru masuk ke dalam rumah tanpa menutup pintu, membuat Luna bertanya-tanya siapa gerangan yang ada di luar.

Napasnya tercekat ketika dilihatnya Adrian berdiri menenteng plastik putih.

"Hai," sapanya canggung. Bukan Adrian banget.

"Hai," sahut Luna. Ia diam beberapa saat hingga akhirnya deheman Adrian membuatnya melebarkan pintu dan mengisyaratkan cowok itu untuk masuk.

Adrian menggeleng.

"Ngobrol di luar, mau nggak?"

*****
*****

Luna menyuapkan lagi es krim ke mulutnya. Sesekali terkekeh mendengar cerita Adrian tentang teman-teman SMP mereka yang rasanya sudah lama tidak Luna dengar kabarnya. Diam-diam ia mengernyit heran. Seberapa menyebalkannya Adrian, ia tetap saja mencair ketika cowok itu hanya mengatakan kata maaf tanpa basa-basi untuk menjelaskan apa pun.

"Murah banget, ya, gue," ujar Luna sambil meletakkan sendok es krim ke kotaknya. "harga diri gue cuma sekotak es krim."

Adrian juga ikut meletakkan sendoknya sendiri. Mereka berdua duduk di teras rumah Luna sambil memandangi bintang-bintang yang begitu langka di langit Jakarta. Ia jadi ingat raut wajah Raka tadi tidak lagi penuh dengan amarah, tapi cowok itu masih enggan menyapa Adrian.

Sejujurnya, Adrian ragu untuk datang bukan hanya karena rasa bersalah pada Luna. Tetapi juga mamanya yang mewanti-wanti untuk tidak mendekati Luna karena itu adalah amanah dari mama Luna sendiri.

"Raka lagi di rumah, ya?"

Luna mengangguk mengiyakan. "Seperti yang lo liat tadi."

"Nyokap bokap lo?"

"Mama lagi di rumah. Nonton tv tadi," sambil mikirin Papa, tambahnya dalam hati.

"Oh...bokap lo?" tanya Adrian hati-hati.

Bukannya menjawab, Luna malah mengalihkan pandangannya ke langit, lalu tersenyum tipis dan menoleh. "Jangan di bahas lagi, ya," ujarnya.

Adrian mengangguk-angguk pelan. Kalau sedang begini, Luna bisa manis juga.

"Pantesan gue nyari-nyari Sirius, nggak ada."

Luna mengernyitkan dahi dan menatap Adrian aneh. Tak urung ia mengikuti arah pandang cowok di sebelahnya itu, kemudian balik menatapnya lagi. "Sirius gue?"

"Sirius gue," ralat Adrian.

"Lo beneran tau Sirius yang mana? Kalo gue, sih, asal yang paling terang gue namain aja Sirius," tanggap Luna diikuti kekehannya sendiri.

"Sirius cuman satu, gue tau yang mana."

Mata Luna berbinar meskipun masih meragukan kalimat Adrian. Namun, tetap saja ia percaya dan penasaran. "Mana-mana?"

Adrian menyunggingkan senyum. Sudut bibirnya terangkat seiring antusias cewek di sebelahnya itu bertambah. "Gue bilang, kan, nggak ada di langit."

Luna berdecak sambil menyipitkan mata. "Ngaco, lo, ya? Masa sih, diantara bintang-bintang yang gede itu nggak ada Sirius?"

"Gue nggak bisa liatnya, terlalu silau," tanggap Adrian. Belum sempat Luna menimpali, ia melanjutkan

"Soalnya gue lagi deket banget sama Sirius gue."

Luna menoleh dengan alis terangkat. Berusaha cuek sambil menahan sudut bibirnya untik tidak membentuk lengkungan senyum.

"Jayus lo," tanggapnya.

"Tapi senyum, kan?"

Lebih dari itu, Luna justru terkekeh ketika Adrian menaik-turunkan alisnya. Alih-alih melanjutkan makan es krim, Luna justru mendorong kotaknya ke belakang, lalu mendekatkan dirinya pada Adrian. Untuk bersandar di bahu cowok itu.

"Ngapain?" tanya Adrian sambil membenarkan posisi duduknya.

"Gue...mau mastiin sesuatu," sahut Luna sambil memejamkan mata.

Entah kenapa...Adrian punya aura itu. Aura yang tidak membuat Luna canggung dan sungkan untuk dekat-dekat dengannya. Adrian ini...mirip Raka. Luna mengernyit menyadari sesuatu. Ada yang sama antara Raka dan Adrian, sayangnya, Luna belum menemukan apa itu.

Bersama Raka atau Adrian sama-sama membuat Luna nyaman dan tidak merasa khawatir akan apa pun. Selera humor mereka mirip, meskipun receh. Pembawaan mereka sama-sama bisa membuat Luna lupa dan fokus hanya pada mereka. Bedanya, ya, Adrian, selain membuatnya nyaman juga membuat jantungnya berdebar. Debaran yang sama seperti saat berinteraksi dengan Juna.

Kalau hubungannya tidak jelas dan begini terus... mungkin tidak, ya Luna kehilangan Adrian?

"Lo, tuh, susah dibaca, ya." Luna menggumam. Tidak hanya ditujukan pada Adrian, tetapi juga pada hatinya sendiri. Hatinya yang justru malah bingung, mau jatuh ke lubang yang sama atau membuka lembar baru dengan Adrian?

Lembar baru....

Mikir apa sih gue, makinya pada diri sendiri. Adrian saja belum jelas mau membawa hubungan mereka ke mana. Belum lagi Raka yang begitu sensi pada Adrian.

"Emangnya nggak ke baca, ya?"

Tanggapan Adrian hanya menjadi angin lalu. Luna ingin tenang sebentar, tidak memikirkan masalah di rumahnya, pun juga masalah yang timbul karena percakapannya dengan Juna tempo hari usai turnamen. Yang membuatnya memikirkan cowok itu hingga tadi, sebelum Adrian datang dan menghilangkan kerutan-kerutan di dahinya.

"Kita, tuh, gimana, sih?" tanya Luna akhirnya. Berharap malam ini menjawab kebingungannya selama ini. Setidaknya, ujian nanti, Luna tidak akan memikirkan apapun tentang hal-hal ini.

Adrian mengerutkan dahi. Ada yang berubah dari Luna...atau memang dia sendiri yang sudah lama tidak berinteraksi langsung dengan cewek itu?

"Maunya gimana?"

Belum sempat Luna menanggapi, ponsel Adrian berdering. Luna dapat melihat nama Caca di layar sehingga spontan Luna mengangkat kepalanya dari bahu Adrian, memberi ruang untuk cowok itu mengangkat telepon.

Caca?

Setelah Adrian menutup teleponnya, Luna menaikkan kedua alisnya, bertanya.

"Sasha ngabarin gue kalo nyokapnya udah balik dari rumah sakit," sahutnya. "biasanya gue yang nemenin, jadi gue minta dikabarin aja. Kan, gue ke sini," dan Sasha juga nggak mau gue anterin, sambungnya dalam hati.

Oh, Caca itu Sasha...

Caca

"Terus, maunya gimana?" timpal Adrian sambil menyiku lengan Luna membuat cewek itu membuang pikirannya jauh-jauh.

"Maunya... maunya lo pulang sekarang, udah ngantuk gue." Luna menjulurkan lidahnya sambil mendorong-dorong Adrian. Cowok itu hanya terkekeh, seolah tidak paham bahwa sebelumnya, Luna berniat untuk serius. Sebelum Sasha atau Caca yang tiba-tiba menelepon Adrian dan menurunkan mood Luna.

Tanpa Luna sadari juga, sebenarnya Adrian ingin cerita. Tentang hubungannya dengan Sasha yang sudah tidak seperti biasanya. Namun diurungkannya, bukan karena tiba-tiba Luna mengusirnya. Toh, ia tahu kalau Adrian mau bercerita, Luna pasti dengan senang hati mendengarkan.

Tapi, masa cerita ke gebetan tentang cewek lain?

Dan... juga karena Luna, yang bahkan tidak ia bayangkan untuk punya kesempatan bersamanya, tiba-tiba meminta kejelasan secara eksplisit. Maka ketika Sasha menelepon tadi, diam-diam Adrian mensyukurinya karena ia sadari hal itu membuat Luna mengalihkan pembicaraan.

"Semangat ujiannya, ya."

Begitu saja, lalu Adrian pamit. Mudah-mudahan, hanya pamit dari rumah Luna. Bukan dari sisinya.

How can you just walk away from me
When all I can do is watch you leave?
Cause we've shared the laughter and the pain
And even shared the tears
You're the only one who really knew me at all

Against All Odds - Phill Collins

*****
*****

Jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat 30 menit ketika Juna menyelesaikan tumpukan soal di sampingnya. Kini ia justru sulit untuk terlelap setelah meneguk dua gelas kopi untuk membuatnya tetap terjaga. Ingatannya kembali ke tempo hari, obrolan terakhirnya dengan Luna. Yang membuatnya ingin sekali membenturkan kepalanya ke tembok berkali-kali hingga amnesia.

"Yaudah, lah, hikmahnya lo jadi nggak perlu keringetan sambil nyemangatin anak basket, kan?" hibur Juna. Cowok itu melemparkan handuk kecilnya ke arah Luna, yang diterimanya dengan terpaksa sambil menatapnya jijik.

"Sok, jijik, lo. Dulu aja ngelap-ngelapin, sampe mau di bawa pulang tuh lap bekas keringet gue," cibir Juna sambil menarik kembali handuk kecilnya yang Luna sodorkan.

"Gue dulu, kan, munafik aja. Sebenernya, ya...ew," Luna menunjukkan wajah jijiknya.

Mau tak mau Juna jadi flaskback ke masa-masa lucu itu. Masa-masa yang mereka jalani untuk main-main sekadar mengisi kekosongan. Yang tahu-tahu ternyata Luna menjadi bawa perasaan. Sedihnya, Juna baru sadar sekarang bahwa masa main-main itu membawanya untuk jatuh hati ke Luna. Yang ia sadari setelah ia memutuskan cewek itu, dan ada banyak yang hilang setelahnya.

"Menurut lo, kita bisa kaya dulu lagi, nggak?"

Juna masih menatap Luna sambil senyum tersungging di bibirnya. Hingga akhirnya senyumnya luntur seiring dengan Luna yang mengalihkan pandangan, lalu berpura-pura menjawab telepon dari Sheila dan bilang bahwa temannya sudah menunggu di luar. Baru Juna sadari bahwa kalimatnya salah. Kalimat yang harusnya hanya ada di otaknya, tahu-tahu meluncur begitu saja tanpa bisa direm.

Yang bisa ia lihat hanya punggung Luna yang melangkah menjauh, dan tangan yang tadinya menempelkan ponselnya ke telinga tiba-tiba terkulai di samping cewek itu. Langkahnya semakin cepat dan besar-besar.

Juna menghembuskan napas keras sambil melempar handuk kecilnya. Apa, sih, yang ada dipikirannya? Padahal hubungan mereka sudah baik-baik saja. Bagaimana kalau Luna jadi menjauh dan mendingin lagi?

Bagaimana kalau Luna sudah... selesai?

So take a look at me now
Well there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me
Just the memory of your face

******

Senengnya bisa fastupdate:))))

makasih buat yang baca, vote, dan nyemangatin. mohon maaf kalo ada kesalahan eyd/pilihan kata yg bikin ngga enak dibaca yaa

thankyouu xoxo

Continue Reading

You'll Also Like

63.4K 4.9K 27
"Lo kenapa sih, selalu marah kalau gue deket sama cowok?" tanya Novi dengan marah kepada cowok di depannya. "Masih nanya?" "Lo itu sebenarnya siapa...
997K 59.2K 46
"Hei." Sapaku, entah aku merasa aneh menyapa wanita kali ini, aku tidak terbiasa memulainya. Scarla terdiam berbalik dan menoleh menunjuk dirinya. "I...
158K 8.6K 42
Berawal dari ketidaksengajaan Dara yang melihat akun kakak kelas ganteng bernama Alzeno, dia menjadi terfokus pada misinya yang tiba-tiba melintas da...
2.2M 191K 37
"Kok belum punya pacar kak?" "Kak, kriteria pacarnya yang kaya gimana?" "Spill tipe idealnya dong kak ..." Aku sudah terlalu lelah untuk menjawab pe...