Bunga Iris dan Takdir

By hanyapisang

77.4K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... More

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Bendera Perang?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Kesan Pertama?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Tawaran Perdamaian?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Sialan?
Berbicara?
Bagaimana?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Power Bank?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Hangat?
Pulanglah?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Choi Seungcheol: Hah!

1K 191 52
By hanyapisang

"Aku tidak pernah keberatan menunggu siapa pun berapa lama pun selama aku mencintainya."

-Seno Gumira Ajidarma- (dalam cerpennya Linguae)

----------------------------------------

Demi Tuhan! Udaranya semakin dingin dan bodohnya aku hanya memakai selembar t-shirt tipis berlengan pendek dan sebuah celana jeans panjang yang warna birunya sudah lumayan usang. Kalau tahu begini aku akan membawa jaket tebal.

Tetapi siapa yang bakal menduga kalau akan seperti ini jadinya. Dari jam sembilan pagi aku sudah menunggu di sini dengan harapan Jeonghan akan mau menemuiku dan sampai dengan saat ini, pukul sembilan malam, dia tidak juga menampakkan diri. Itu berarti sudah dua belas jam aku telah menunggunya.

Bukan berarti aku tidak mencoba dengan sekuat tenaga memberitahukan padanya keberadaanku. Aku sudah mencoba untuk meneleponnya yang semua panggilanku kalau tidak diabaikannya akan langsung diputusnya. Aku juga sudah mengirimkan rentetan pesan yang hanya dibacanya saja tanpa ada balasan apapun.

Sial!

Aku juga benar-benar lapar.

Dua belas jam menunggu aku hanya sekali menyempatkan diriku memakan sebungkus roti dan meminum sebotol air mineral. Itupun karena aku yang tidak tahan ingin ke kamar mandi akhirnya memutuskan untuk pergi sebentar mencari mini market yang ada di sekitaran sini sekaligus membeli roti dan air. Tetapi karena takut nanti ketika aku pergi Jeonghan tiba-tiba datang dan tidak menemukanku, yang malah akan membuatnya kesal, aku memutuskan untuk tidak membuang-buang waktuku dengan tidak membeli makanan lain dan cepat-cepat kembali ke tempatku semula.

Tetapi sayangnya sampai dengan saat ini Jeonghan tidak juga kunjung datang.

Atau mungkin aku harus mencoba untuk menghubunginya sekali lagi?

Tentu saja aku tidak akan menyerah untuk memperbaiki hubunganku dengannya setelah beberapa kali aku menghancurkan kesempatanku untuk menjelaskan semuanya padanya. Kali ini mungkin bisa dibilang adalah kesempatan terakhirku. Dan jika lagi-lagi aku gagal memperbaiki hubungan kami hari ini maka sepertinya aku akan memilih untuk menyerah dan membiarkan Jeonghan melakukan apapun yang diinginkannya.

Seperti mungkin saja sebenarnya yang dia inginkan adalah putus dariku...?

Dengan cepat aku segera menggeleng-gelengkan kepalaku berulang kali untuk menghilangkan bayangan kemungkinan Jeonghan akan memutuskanku. Gelengan cepat dan kuat kepalaku membuatku menjadi sedikit pusing.

Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.

Aku akan memastikan kalau hal itu tidak akan terjadi. Jadi lebih baik aku menghubungi Jeonghan lagi dengan mencoba mengirimkan pesan untuknya.

Sampai dia meresponsnya.

Kembali menjangkau ponsel di sampingku, dengan tangan yang rasanya ingin membeku karena angin dan udara malam yang bertambah dingin, aku mengetikkan pesan dengan cepat untuk Jeonghan.

'Jeonghan aku masih menunggumu sampai saat ini. Aku kelaparan dan benar-benar kedinginan. Apa kau tega membiarkanku mati kedinginan di sini menunggumu?'

Kirim.

Apa pesan yang baru saja kukirimkan terkesan mengancam? Harusnya aku menuliskan sesuatu yang lebih persuasif dan bukannya mengancam seperti itu.

Baiklah. Aku akan mencoba mengirim pesan sekali lagi.

'Aku akan benar-benar menunggumu di sini dan tidak akan pergi sebelum kau datang menemuiku. Jadi kumohon datanglah~'

Kirim.

'Kau pasti tahu sebuah halte yang ada di depan sekolah khusus wanita Saimdang High School. Aku masih menunggumu di sana.'

Kirim.

'Jeonghan aku benar-benar kelaparan dan rasanya benar-benar dingin di sini T_T Jadi cepat datang menemuiku, kumohon~ Meskipun sampai besok aku akan tetap menunggumu karena aku perlu berbicara dan butuh kau untuk mendengarkanku.'

kirim.

Sekarang aku tinggal menunggu respons dari Jeonghan.

Apa aku perlu menambahkan sebuah stiker?

Mungkin biar lebih menimbulkan efek dramatis aku bisa menambahkan stiker menangis meraung-raung?

Atau sebuah anjing berekspresi menyedihkan yang berharap untuk diadopsi mengingat Jeonghan punya dua ekor anjing di rumah?

Atau aku perlu mengirimkan fotoku di sini dengan ekspresi memelas yang hampir mati?

Atau...

Tidak. Kalau aku menambahkan sebuah stiker atau sebuah foto pasti akan terkesan bahwa aku tidak serius sedangkan aku berharap Jeonghan menanggapiku dengan serius.

Hah!

Sambil menggosok-gosokkan kedua tanganku untuk memunculkan efek hangat, aku kembali menunggu Jeonghan dengan sesekali diiringi oleh bunyi suara perutku yang menuntut untuk diisi.

Perut sialan, sampai kapan kau akan berbunyi terus seperti ini?! Tolong bersabarlah sampai Jeonghan datang ke sini dan kemudian aku akan memberimu makan sampai kau benar-benar kenyang untuk dua hari.

Untuk sekarang bersabarlah dulu.

Bersabarlah!

Udaranya benar-benar dingin.

Bersabarlah!

Dan aku benar-benar kelaparan.

Bersabarlah!

Kenapa anginnya semakin kencang?!

Bersabarlah!

Suara perutku benar-benar memalukan. Untung saja tidak ada orang di dekatku saat ini.

Bersabarlah!

Mungkin lebih baik aku mendengarkan musik yang ada di playlist ponselku saja untuk membunuh waktu.

Bersabarlah!

...

Sialan! Sudah hampir dua puluh menit lamanya dan tidak juga ada respons apapun dari Jeonghan! Hembusan angin kencang yang sesekali menerpaku membuatku tidak dapat berkonsentrasi pada musik yang kudengarkan.

Hah!

Mengecek kembali pesan yang telah aku kirimkan kepadanya, aku melihat bahwa pesanku telah dibacanya. Tetapi kenapa Jeonghan tidak merespons sama sekali pesan dariku, meskipun itu adalah sebuah penolakannya untuk datang menemuiku?

Apakah Jeonghan memutuskan untuk datang ke sini atau akan membiarkanku menunggunya dengan tangan hampa?

Sebegitu marahnya kah Jeonghan padaku sampai-sampai dia tidak peduli jika aku kedinginan dan kelaparan karena menunggunya seperti ini?

Sial!

Aku tahu semua ini karena kesalahanku yang tidak langsung menjelaskan semuanya padanya.

Salahku, sialan!

Untuk mengekspresikan kekesalan pada diri sendiri, tidak tahan lagi aku pun mengacak-acak rambutku dengan begitu frustasinya. Tidak begitu memedulikan pandangan heran sepasang laki-laki dan perempuan yang baru saja melewatiku sambil bergandeng tangan.

Bodoh.

Bodoh.

"Bodoh!"

Hah?

Menghentikan gerakan mengacak-acak rambutku yang sudah sangat acak-acakan juga kepalaku yang berdenyut-denyut, aku mendongak ke arah sumber suara bernada mencemooh yang terdengar sangat familiar di telingaku.

Yoon Jeonghan, sedang berdiri tepat di sampingku dan menatapku dengan tajam.

Dengan perasaan membuncah di dalam dadaku, aku merasa waktu seakan berhenti. Membiarkanku menikmati moment ini.

Atau semua ini hanya imajinasiku saja karena nyatanya waktu tidak pernah berhenti, kendaraan masih berlalu-lalang di jalan di depan kami dan angin masih berhembus dengan kencang, namun hanya akulah yang membatu. Menatap lama ke wajah Jeonghan yang bagiku adalah malaikat penyelamatku. Meskipun dia saat ini lebih seperti malaikat penyelamat yang berwajah masam karena mengerutkan keningnya seperti itu padaku.

Tidak. Dia memang adalah malaikatku.

Semasam apapun wajahnya, bagiku dia memang adalah malaikat penyelamatku.

Tiba-tiba saja bunyi perutku yang minta diperhatikan memecah kesunyian di antara kami.

"Aku lapar," sahutku sambil meringis.

"..."

Bunyi pertu sialan!

Ya ampun! Alih-alih mengucapkan kata-kata yang sedikit menyentuh seperti 'Akhirnya kau datang', 'Aku menunggumu', 'Aku percaya kau pasti datang', 'Terima kasih karena bersedia menemuiku', atau kata-kata lainnya yang lebih romantis, kenapa aku harus mengucapkan 'Aku lapar' di saat seperti ini?

Sial!

Benar-benar tidak romantis setelah penantian panjang yang aku lakukan hari ini.

Memutar bola matanya sebagai reaksi atas ringisan memelasku barusan, Jeonghan kemudian mengambil duduk di sampingku dan tanpa mengucapkan sepatah katapun menyerahkan sebuah kantong plastik yang berisi beberapa roti dan sekotak susu rasa pisang. Tanpa berpikir dua kali aku menerimanya, membuka bungkus roti tersebut, dan segera melahapnya dengan semangat.

Akhirnya aku bisa makan juga.

Dan penantianku ternyata tidak sia-sia. Malaikatku benar-benar datang untukku dengan membawakan makanan karena tahu aku pasti sedang kelaparan.

Sekitar lima menit lamanya, sementara aku memakan roti-roti yang rasanya sangat enak dan meminum habis susu rasa pisang, Jeonghan hanya menungguku dalam diam. Dia duduk di sampingku dengan pandangan menerawang dan kedua tangan yang dilipatnya di depan dada.

Apa Jeonghan merasa kedinginan meskipun telah mengenakan jaket seperti itu?

"Aku percaya kau pasti datang dan mau mendengarkan penjelasanku," kataku, memecah keheningan setelah membuang bungkus kosong makananku di tempah sampah yang ada di dekatku, kemudian kembali duduk di samping Jeonghan yang saat ini sudah mengalihkan tatapannya untuk memandangku. "Ternyata kau juga masih mengingat dengan baik tempat ini..."

"Kau harus mengganti uang yang kugunakan untuk membayar taksi hanya supaya aku bisa sampai ke tempat ini dengan cepat," Jeonghan menggerutu pelan, seperti tidak terlalu menyimak perkataanku. "Juga untuk roti dan susu pisang yang baru saja kau habiskan."

Tidak tahu harus merespons seperti apa gerutuan Jeonghan barusan, aku hanya bisa kembali meringis padanya. "Baiklah."

"Apa kau tidak ingin berbicara di tempat yang lebih hangat? Restoran mungkin? Supaya kau juga bisa mengisi perutmu dengan makanan yang lebih baik."

"Bisakah kita berbicara di sini sebentar?" tanyaku dengan sedikit memohon. "Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu dan menurutku tempat ini sangat cocok untuk itu."

Meskipun aku bisa melihat sekelebat keheranan dari ekspresi wajahnya, Jeonghan hanya terdiam tidak menanyakan apapun. Kemudian aku melihat ekspresinya berubah menjadi bimbang, mungkin sedang menimbang-nimbang keputusannya atas permintaanku.

"Jeongh-"

"Terserah. Tapi aku tidak akan meminjamkan jaketku padamu dan tidak akan peduli meskipun nantinya kau tersiksa karena kedinginan."

"Tidak apa-apa," jawabku sambil menggosok-gosokkan telapak tangan, mencoba menghangatkan diri. "Duduk di sampingmu seperti ini sudah membuatku merasa hangat... EHCHWII!"

Bodoh!

Kenapa aku harus bersin setelah mengucapkan kalimat rayuan seperti tadi?!

Tapi demi Tuhan, udaranya memang benar-benar sialan dingin!

"Aku berubah pikiran," tiba-tiba saja Jeonghan bangkit dari duduknya. "Aku lapar. Lebih baik kita cari makan terlebih dulu dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol."

"Kau belum makan malam di asrama tadi?" tanyaku sedikit bingung.

"Sudah," jawab Jeonghan sedikit ragu.

Aku mengernyitkan keningku karena heran. "Kalau begitu kenapa kita harus mencari makan...?"

"Kau ingin berbicara padaku atau tidak?!" Jeonghan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan tidak sabarnya.

"Mau!" sergahku segera. "Tapi tempat ini... halte ini..."

"Bukankah yang penting adalah apa yang ingin kau bicarakan padaku dan bukannya di mana kita harus berbicara?"

"Memang benar. Tapi..."

"Mencari makan serta tempat yang lebih nyaman terlebih dulu atau kita tidak perlu berbicara sama sekali."

Sial! Jeonghan mengucapkannya dengan nada final yang tidak ingin dibantah.

Padahal aku ingin memberi tahu Jeonghan bahwa dulu, selama masa-masa SMA-ku, aku telah menghabiskan waktuku memandanginya yang selalu duduk di halte ini. Memberitahukan padanya bahwa halte ini adalah tempat yang begitu penting bagiku, tempat di mana aku untuk pertama kalinya jatuh cinta pada seseorang. Jatuh cinta padanya.

"Baiklah," ujarku, dengan setengah hati akhirnya mengikuti Jeonghan berdiri. Dan kemudian bersama-sama kami berjalan beriringan dalam diam, mencari restoran.

***

Aku dan Jeonghan menemukan sebuah restoran Jepang yang cukup ramai dan begitu mengundang selera, apalagi dengan kondisi perutku yang keroncongan. Tetapi karena suasana yang terlalu ramai dan menurut kami tidak kondusif sebagai tempat untuk mengobrol serius, akhirnya kami memutuskan untuk membawa pulang makanan yang kami beli untuk di makan di rumahku.

Atau lebih tepatnya aku mengusulkan pada Jeonghan supaya kami mengobrol di rumahku dan dia menyetujuinya. Padahal kukira dia akan menolaknya mengingat terakhir kali kejadian yang terjadi di ruang makan rumahku adalah awal dari masalah kami.

Karena itulah saat ini aku dan Jeonghan sudah duduk dengan nyaman dan saling berhadapan di kursi meja makan rumahku. Sementara aku sangat menikmati memakan semangkuk besar ramen, Jeonghan dengan ekspresi sedikit bosannya sedang memainkan ponsel di tangannya dan sesekali meminum matcha latte yang tadi dibelinya.

Bukankah tadi Jeonghan bilang bahwa dia sedang lapar, makanya dia mengajakku untuk mencari makan sehingga kami harus pergi dari halte? Tetapi kenapa dia tidak membeli satupun makanan kecuali hanya segelas matcha latte di depannya itu?

Apa Jeonghan melakukan itu karena dia tidak ingin aku kedinginan tetapi terlalu malu untuk berterus terang?

"Hah!" aku mendengar Jeonghan menghela napasnya.

Melihat ekspresi bosannya, aku segera menghabiskan ramenku karena tidak ingin nanti dia berubah pikiran dan kemudian memutuskan untuk pergi dari sini. Meninggalkanku tanpa sempat menjelaskan apapun.

"Jeonghan..." kubiarkan suaraku menggantung sebelum kemudian meminum air di dalam gelasku dan kembali menatapnya dengan menyunggingkan senyum terbaikku. "Terima kasih sudah mau datang menemuiku hari ini."

Jeonghan mengalihkan tatapannya dari ponsel menuju ke arahku dengan malas. "Aku tidak mau menjadi penyebab seseorang ditemukan tidak sadarkan diri karena kedinginan dan kelaparan."

"Aku tidak selemah itu," sergahku tanpa sadar menggunakan nada sedikit memprotes. "Aku masih bisa menunggumu sampai keesokan harinya."

Lagi-lagi Jeonghan menatapku dengan skeptis. "Hanya orang bodoh yang keluar pada malam hari hanya dengan selembar kaus pendek berbahan tipis."

Hei! Apa Jeonghan baru saja menghinaku bodoh? Dan bukankah dia yang salah dalam hal ini karena membiarkanku menunggunya seharian?

"Aku tidak menyuruhmu untuk menungguku seharian jadi apapun yang ada dalam pikiranmu saat ini, semua ini adalah kesalahanmu sendiri."

Oh?

Apa Jeonghan bisa membaca pikiranku? Bagaimana mungkin dia tahu dengan sangat tepat bahwa aku sedang menyalahkannya?

"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Jeonghan sambil memutar bola matanya ketika mendapatiku hanya mampu memberikan ringisan bodohku padanya. "Aku harap apa yang kau jelaskan nantinya sepadan dengan kepergianku malam-malam dari asrama."

Baiklah. Saat ini Jeonghan sudah ada di hadapanku dan itu berarti sekarang adalah kesempatanku untuk menjelaskan segalanya padanya. Aku harus membuatnya mengerti sehingga dia tidak akan memutuskan hubungan kami nantinya.

"Jeonghan..." aku memulai setelah menghirup dan menghembuskan napas panjang, tanpa benar-benar yakin bagaimana caranya untuk menjelaskan padanya. "Aku minta maaf padamu untuk apa yang kau dengar dari pembicaraanku dan Doyoon tempo hari di sini. Aku juga minta maaf padamu karena selalu menggagalkan kesempatan yang kau berikan untukku menjelaskan semuanya sejak awal. Aku tahu apa yang aku lakukan padamu, sikapku padamu meskipun tanpa sengaja, telah membuatmu kecewa padaku. Maafkan aku."

Jeonghan hanya membisu. Meskipun begitu tatapan matanya yang menatapku dengan teramat serius menandakan bahwa saat ini dia sedang menyimakku.

"Doyoon... dia... telah kembali ke Amerika kemarin," apa yang aku katakan? Kenapa aku sekarang malah membicarakan Doyoon? "Dia juga menitip salam padamu dan meminta maaf atas kekacauan yang disebabkannya pada hubungan kita."

Tidak ada sahutan dari Jeonghan kecuali sebuah senyum miring sarkastiknya.

Hah!

Aku memang sudah menyiapkan diri jika harus bermonolog. Aku tidak berharap banyak, hanya Jeonghan mau mendengarkanku saja itu sudah cukup.

Kembali aku menghirup napas lebih dalam dan mengeluarkannya perlahan untuk lebih menyiapkan diriku. Rasanya benar-benar tidak nyaman ketika kau harus mengungkapkan rahasia-rahasia hidupmu yang telah lama kau simpan untuk dirimu sendiri kepada orang lain. Rasanya sangat tidak nyaman jika seseorang mengasihanimu padahal bukanlah hal itu yang kau butuhkan.

Tetapi aku ingin Jeonghan mengerti tentang diriku dan kemudian masalah yang terjadi di antara kami bisa cepat terselesaikan. Jadi aku memang harus mengungkapkan segalanya padanya.

"Doyoon... dia mengenal diriku sudah lama sekali," ujarku berusaha untuk terlihat setenang mungkin. "Dia tahu bagaimana masa laluku dan tetap menerimaku apa adanya. Dia selalu menghiburku ketika orang tuaku menjadi orang tua terburuk di dunia, terlebih lagi ibuku.

"Mereka, kedua orang tuaku, mengajarkan padaku bahwa hubungan sepasang kekasih itu hanya sebuah omong kosong. Perasaan cinta itu sebenarnya hanya racun yang akan melumpuhkanmu dan menyiksamu sebelum kemudian membunuhmu perlahan. Mungkin tidak dalam arti sebenarnya, tetapi karaktermu, hatimu... dan apa jadinya manusia jika sudah tidak mempunyai hati lagi?!" Sial! Rasanya seperti ada gumpalan besar yang mengganjal tenggorokanku. Dengan sedikit tercekat aku melanjutkan, "Ibuku..."

"Kau tidak perlu menjelaskan semuanya padaku jika memang tidak menginginkannya," sahut Jeonghan tiba-tiba memotongku dengan lembut.

Dan kelembutan suaranya itulah yang semakin membulatkan tekadku untuk tetap bercerita padanya.

"Ibuku... dia awalnya adalah ibu yang baik meski selalu suka mengeluh dengan kehidupan kami. Dia bilang kalau dia terlalu mencintai ayahku makanya dia tetap bertahan dan mau mengurus kami, dan itu sudah cukup buatku melihat hubungan mereka. Tetapi kemudian..." aku menundukkan pandanganku, tidak mampu membalas tatapan Jeonghan ketika harus membicarakan aib keluargaku, sambil berusaha menemukan kalimat yang ringkas untuk menjelaskan semuanya. "...ibuku bertemu seseorang yang lebih baik. Pria itu lebih mapan, lebih kaya, dan mampu memberikan barang-barang mewah padanya. Dengan sekejap ibuku meninggalkan ayahku dan tentu saja juga meninggalkanku. Dia dengan begitu saja melupakan cintanya, membuang ayahku dengan cintanya, dan membunuh hati ayahku, membuatnya menjadi sosok berbeda yang tidak mempedulikanku lagi. Ayahku berubah menjadi seorang pemabuk yang mengabaikan sekitarnya, bahkan mengabaikan dirinya sendiri. Dan sejak saat itu aku tidak mempunyai keluarga lagi, hanya ada Doyoon saja sebagai sahabatku yang selalu ada di sampingku."

Sial!

Aku tidak ingin terlihat menyedihkan, apalagi di depan Jeonghan. Dan meskipun kejadian itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, tetap saja masih sangat begitu menyakitkan bagiku dan masih tetap membuatku merasa marah. Marah pada ibuku dan pengkhianatannya, juga cintanya yang omong kosong. Marah pada ayahku karena kelemahannya. Marah pada mereka berdua karena mengabaikan dan meninggalkanku. Dan marah pada diriku sendiri karena tidak bisa melakukan apapun saat itu.

Rasanya benar-benar seperti aku membuka luka lama yang ternyata belum mengering dan masih begitu membekas meski bagaimanapun aku berusaha untuk melupakannya.

Sialan!

Tidak! Aku tidak boleh terlihat mengasihani diri sendiri karena bukan itu fokusku sekarang.

Berusaha supaya terlihat lebih santai, aku mengangkat pundakku tak acuh untuk menunjukkan kesan bahwa aku sudah tidak peduli lagi dengan semua itu. "Mungkin sebagai saksi mata terhadap masa lalu keluargaku, Doyoon berpendapat bahwa orientasi seksualku saat ini disebabkan karena aku membenci ibuku dan membuatku tidak ingin menjalin hubungan dengan perempuan. Dan mengenai Doyoon dan pengakuan perasaannya, di-"

"Aku... mengerti."

Kudengar Jeonghan bergumam pelan, membuatku mendongak menatapnya yang sedang menatapku dengan raut sedihnya. Bukan raut kasihan yang selama ini kutakutkan, hanya raut sedih seakan dia ikut mengalami apa yang aku alami.

"Apa yang kau mengerti?" tanyaku lirih.

"Masalah dengan orang tuamu," jawab Jeonghan memberikanku seulas senyum yang tidak sampai ke matanya, meskipun begitu tidak mengurangi ekspresi tulus yang terpancar di wajahnya. "Karena aku juga memiliki beberapa masalah dengan hubungan kedua orang tuaku. Jadi terima kasih karena mau bercerita padaku."

Kubalas senyum Jeonghan juga dengan senyuman lemahku.

"Dan mungkin aku juga mengerti alasanmu bisa menyukaiku," Jeonghan melanjutkan sebelum aku sempat mengatakan apapun sebagai respons atas ucapan terima kasihnya. "Penampilanku..." membiarkan kalimatnya menggantung, Jeonghan mengendikkan bahunya lemah. "Mungkin Doyoon benar. Maksudku... mengenai pendapatnya tentang alasan kita bisa berpacaran."

Penampilannya?

Benarkah dia benar-benar mengerti alasan kenapa aku memintanya menjadi pacarku?

Ingin aku menanyakan apa maksud Jeonghan sebenarnya untuk mencegahku berspekulasi. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk tetap menutup mulutku karena tahu bahwa masih ada sesuatu yang ingin disampaikannya.

Jeonghan kemudian menghela napasnya sebelum memutus kontak mata kami dan menundukkan pandangannya. Tidak mungkin aku tidak menangkap raut ironinya saat ini. "Aku juga mengerti mengenai posisi Jang Doyoon dan ketidakmungkinanku bisa menyainginya. Dia adalah orang yang selalu menemanimu dalam masa-masa penyembuhan dirimu, sehingga wajar saja jika disuruh memilih kau bakal tidak ingin mengambil resiko menjalin hubungan dengan orang asing yang nantinya malah akan melukaimu."

Tunggu!

Kenapa Jeonghan tiba-tiba membawa nama Doyoon dan membandingkan dirinya sendiri dengannya? Apa Jeonghan benar-benar mengerti dengan apa yang baru saja kujelaskan? Atau aku kurang jelas dalam menjelaskan semua ini?

Apa Jeonghan berpikir bahwa aku akan lebih memilih Doyoon daripada dirinya? Apa Jeonghan berpikir bahwa aku menganggap hubunganku dengannya tidak lebih penting dari hubunganku dengan Doyoon? Apa Jeonghan selama ini meragukan perasaanku terhadapnya?

Demi Tuhan! Tidak heran kalau dia begitu marah terhadapku dan hampir saja membuatku mati kelaparan dan kedinginan.

Hah!

"Kini giliranku yang tidak mengerti apa maksudmu," sahutku skeptis sambil menatap intens ke arah Jeonghan yang masih menolak menatapku dan lebih memilih memandangi gelas matcha latte di depannya. "Dari perkataanmu kau berpikir bahwa alasanku menjadi seperti ini, aku yang menjalin hubungan denganmu, adalah karena aku yang putus asa pada cinta ayahku yang disakiti begitu dalam oleh ibuku? Dan akhirnya aku memutuskan untuk berpacaran saja dengan laki-laki yang kemudian memilihmu karena tampilan fisikmu yang cantik?"

Jeonghan hanya membisu, tidak meng-iya-kan atau meng-tidak-kan pertanyaan-pertanyaanku, dan itu tidak masalah bagiku. Aku tidak butuh dia mengatakan apapun karena sekali lagi yang terpenting saat ini adalah dia mendengarkan penjelasanku.

Harus benar-benar mendengarkannya.

Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang dengan ditemani oleh memori-memori masa laluku. Tetapi setidaknya memori masa laluku dengan Jeonghan yang ada di dalamnya bukanlah sebuah memori yang buruk, jadi tidak masalah untukku jika harus membukanya kembali.

Meraih tangan kanan Jeonghan dan membawanya dalam genggaman kedua tanganku, aku membuat Jeonghan mendongak menatapku, sedikit terkejut dengan gerakan tiba-tibaku. "Jeonghan, apa kau percaya bahwa aku sudah sangat lama jatuh cinta padamu bahkan ketika kau belum mengenalku?"

"Hah?"

***

Semoga kalian menikmatinya dan terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Halo, apa kabar? Apakah ada yang menungggu cerita ini? Atau bahkan ada yang sudah melupakannya? :"D

Sepertinya ini adalah kali pertama aku menggunakan kutipan dari dalam negeri (?) setelah chap sebelumnya dengan Choi Seungcheol POV aku memakai kutipan dari penyair cinta sepanjang masa Kahlil Gibran dan Shakespeare. Sebagai informasi (meski tidak penting) Seno Gumira adalah salah satu cerpenis favoritku ketika pertama kali aku membaca cerpennya yang berjudul "Pelajaran Mengarang" dulu dulu sekali bahkan aku sudah lupa tahun berapa (mungkin ketika aku SMP atau SMA?) dan sampai sekarang aku masih suka mengulang membaca cerpen-cerpennya. Meski mengikuti beberapa penulis-penulis luar, aku juga mengikuti penulis-penulis Indonesia yang karya-karyanya tidak kalah kerennya. Jadi cintailah produk-produk Indonesia (?) *eh -__-

Seperti biasanya maaf untuk typo yang bertebaran sehingga mengganggu kenyamanan membaca. Dan terima kasih untuk apresiasinya terhadap cerita ini.

Noerana^^

Continue Reading

You'll Also Like

487K 36.7K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
34.6K 7.7K 38
Selama ini Taehyun tidak pernah menyadari jika cowok populer di kelasnya itu berhasil membuat dirinya menjadi seperti orang bodoh karena jatuh cinta...
1M 84.2K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
194K 9.5K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...