SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

8

3.8K 421 11
By SophieAntoni

Ava Argani

Aku menempati salah satu kursi di nurse station IGD sambil mengisi log book internshipku. Aku menyalin daftar pasien beserta diagnosis dan terapi yang diberikan sejak awal aku menangani pasien di RS ini. Tiga bulan terakhir ini aku belum mengisinya kembali dan aku tidak mau kalang kabut untuk mengisinya di hari-hari terakhir progam ini selesai. Waktu sudah menunjuk pukul 5 sore namun aku memilih untuk meyelesaikan semua catatanku sebelum kembali ke rumah. Vandi dan Santi sudah sejak setengah jam yang lalu meninggalkan RS karena memang jam kerja kami sebagai dokter magang dimulai sejak pukul 8 pagi sampai pukul 4 sore kecuali bila ada jadwal operasi malam dan kami harus menjadi asisten. Aku masih belum melihat bayangan Dian sejak tadi.

"Dokter Ava." Perawat Erni menyapaku dengan suara agak direndahkan. Ia berdiri disampingku sedikit membungkuk dan berbisik. "Dokter Ava pacaran dengan dokter Rama?" ia bertanya tanpa ragu. Mataku membulat kaget dengan pertanyaan Erni namun gadis yang mungkin sepantaran usia denganku itu hanya bisa menyeringai sedikit menggoda.

"Siapa yang bilang? Jangan percaya itu. Kami hanya teman lama." Protesku dengan nada yang direndahkan mengingat masih banyak yang lalu lalang di sekitar kami.

"Satu rumah sakit sudah tau. Bahkan bidan Rini di puskesmas Rukun Lima saja tau." Erni menekuk bibirnya dan membuatku hanya mampu mengusap wajah. Aku akui seminggu terakhir ini aku memang sering terlihat bersama dokter Rama. Sejak makan siang kami hari itu, momen dimana aku mengungkapkan ingatanku akan dirinya tiga belas tahun lalu. Ya sejak saat itu kami dekat setidaknya buat siapapun yang melihat. Aku datang ke RS lebih pagi agar bisa sering menemaninya melakukan visit ke bangsal. Dan bila di IGD tidak banyak pasien aku sesekali membantunya di poli. Tentu saja hal ini menarik perhatian para perawat yang dulu sangat tahu kalau aku hampir tidak pernah bersama dokter Rama sejak awal dia datang ke RS ini.

"Kalau saya sering sama dia bukan berarti saya pacaran. Santi dan Dian juga sering sama dia." Protesku dan membuat Erni hanya tertawa kecil dengan kesan tidak percaya pada kata-kataku.

"Dian kenapa?" Dian sudah berdiri di depanku sambil bersedekap. Erni kembali tertawa dan kemudian meninggalkan kami sambil tak lupa memberikan kedipan genitnya. Perawat satu itu memang terkenal paling bawel dan cepat akrab dengan kami para dokter magang.

"Nggak." Aku mencoba kembali berkonsentrasi ke catatanku.

"Hayooo...ada apa? Hmmm...pasti mereka gosipin kamu sama dokter Rama kan?" Dian berjalan ke sampingku dan menarik satu kursi dan duduk di sampingku. Aku melihat ke sekeliling, meyakinkan tidak ada orang di dekat kami mengingat sekarang adalah waktu pergantian shift.

"Gimana cerita sih kamu jadi akrab sama si Rama? Sebelum kamu balik Jakarta kamu kayaknya jutek gitu kalau ngomongin dia."

"Siapa yang jutek. Kalian aja yang menyimpulkan."

"Oke deh kita yang nyimpulin, tapi gimana cerita bisa jadi akrab gitu."

"Ternyata tantenya dia tetangga rumahku. Dia beberapa kali main ke sana dan dulu waktu SMP aku pernah ketemu dia, cuma karena udah lama banget jadi aku lupa dan kemarin pas ngobrol jadi ingat semua deh." Aku menceritakan semua itu sambil mengisi log book-ku tanpa melihat Dian, aku mencoba menciptakan kesan seolah pertemuan kami bukan sesuatu yang istimewa yang akan disimpulkan terlalu berlebihan oleh siapa saja termasuk Dian. Karena benar yang Dian katakan sebelum aku ke Jakarta waktu itu 'kalau misalnya kamu beneran naksir mending nggak jadi aja deh...batalin perasaannya'.

"Wow...kenapa bukan aku yang punya cerita itu. Jadi iri." Dian berdecak kemudian mencibir ke arahku. "Aku balik dulu ya ntar pada ngomel-ngomel tuh dua orang kalau aku nggak bantuin masak. Bye." Dian berlalu begitu saja tanpa mengeluarkan protes lebih lanjut. Sesuatu yang patut aku curigai. Aku mengikuti bayangan Dian hingga menghilang di balik pintu. Apakah mereka bertiga juga ikut menggosipkan kedekatanku dengan dokter Rama? Lagian aku tak punya kuasa untuk menghentikannya. Biarkan saja.

Setelah Dian pergi ingatanku kembali terbang ke hari itu. Saat berada di mobil yang akan membawa kami makan siang perasaanku begitu campur aduk. Ada gugup yang melebur dalam rasa excited. Rama pintar sekali memainkan perasaanku. Ia cukup lama mendiamkanku hingga membuat aku salah tingkah.

"Dok, jadi benar dokter yang dulu ngobatin kakiku?" aku sedikit meliriknya yang tampak santai di balik kemudi. Sangat berbeda denganku saat ini.

"Iya." Dia hanya menjawab pendek dan membuat jantungku semakin berdebar tak karuan.

"Maaf waktu pertama kali bertemu aku nggak ingat dokter." Aku berkata dengan pandangan yang lurus ke depan. Dia tidak merespons. Aku menggerakan leherku sedikit untuk melihat ke arahnya. Aku bersyukur Ende bukanlah Jakarta yang terkenal macet, yang otomatis bisa melipatgandakan situasi canggungmu. Aku menghela napas berusaha meredam rasaku yang sudah berganti kesal saat ini.

"Aku juga butuh waktu sehari untuk mengingatmu." Dia melihatku sekilas. "Kamu nggak banyak berubah. Hanya bertambah tinggi sedikit dan bertambah cantik sedikit."

Aku menelan ludah mendengar kata 'sedikit' yang dia sematkan saat menggambarkan diriku saat ini. Oke aku rasa aku tidak perlu protest toh meski sedikit tetu saja itu terkesan sebagai pujian bukan? Aku bahkan sama sekali tidak mengingatnya. Seandainya dia dulu tidak pernah mengatakan kalimat 'namaku akan menjadi dokter Rama' kemungkinan untuk selamanya memori tentangnya tidak pernah ada. Mungkin.

"Saat itu aku terlalu malu untuk sekadar melihat wajah dokter. Aku pakai rok saat itu dan terjatuh dengan posisi yang sangat nggak enak dilihat." Aku mencoba menjelaskan versiku.

"Ya, posisimu memang nggak enak dilihat." Aku menoleh cepat ke arahnya dan dia terlihat sedang menahan senyum.

"Oke dok aku sudah cukup malu waktu itu jadi aku rasa kita lupakan saja ya."

Dia kemudian tertawa menampakkan barisan giginya yang putih. Suara tawanya sangat renyah dan menghilangkan kesan sengaknya waktu itu. Ia tidak terlihat seperti jenis laki-laki yang terlalu percaya diri yang sempat ia tunjukkan padaku waktu itu. Dan saat ini aku bisa merekam dengan jelas wajahnya. Aku harus setuju dengan sebagian besar staf RS yang menilai dokter Rama cukup tampan sebagai laki-laki berkacamata. Dan di tengah makan siang itu dokter Rama banyak bercerita. Cerita yang sungguh membuatku perasaanku jungkir balik.

"Aku pertama kali lihat kamu waktu kamu sama kakakmu ke rumah Tante Nia nganterin sesuatu. Makanan kayaknya. entahlah aku lupa" Dia menyesap teh hangatnya dengan pandangan yang tak lepas dariku. Entah kenapa sejak Desi mulai merangkai skenarionya tentang aku dan Rama, jantungku terus berdebar tak karuan bila Rama melakukan aksi semacam ini. Aku perlu meneguk air mineralku untuk bisa menetralkan perasaanku.

"Waktu itu aku langsung nanyain ke Tante Nia tentang kamu tetapi tante Nia malah salah paham dikiranya aku nanyain kakak kamu." Dia tersenyum kecil kemudian kembali sibuk dengan makanan di piringnya yang hampir tandas. Sedangkan piringku masih belum berkurang banyak. Nafsu makanku mendadak lenyap ditambah lagi dengan informasi terakhir ini. Jadi dia menanyakan tentangku? Bagaimana mungkin dia lebih tertarik padaku saat itu? Akan lebih masuk akal jika Kak Tania lah yang menyita perhatiannya. Mereka usianya mungkin sepantaran, Kak Tania saat itu masih SMA sama dengannya. Lalu apa menariknya anak kelas satu SMP di matanya?

"Aku bukan nanyain kamu karena aku naksir ya."

Aku hampir saja keselek batang kangkung. Sekali lagi aku perlu menyambar botol air mineralku karena tenggorokanku tiba-tiba gatal. Aku terbatuk dan Rama meresponnya dengan senyum yang kurasa sangat menusuk perasaanku. Tentu saja aku yang terlalu gede rasa.

"Aku juga nggak mengira seperti itu kok." Balasku cepat untuk menyelamatkan gengsiku. Aku mencoba bersikap seperti biasa dan mulai kembali memasukan makanan ke dalam mulutku.

"Karena aku pernah melihat kamu bengong sendiri di dekat jendela kamarmu. Bahkan kamu menangis saat itu. Aku hanya pengen tahu ada apa sama kamu? Aku pengen ngajak kamu bicara tapi kamu malah pergi gitu aja waktu aku habis ngobatin kaki kamu. Dan itu hari terakhir aku di Jakarta karena besoknya aku harus ikut orang tua pindah ke Bandung." Dia mengambil tisu menyeka mulutnya dan menandaskan teh di gelasnya.

"Jadi begitu ceritanya." Kataku pelan tanpa memandangnya. Karena aku masih terlalu malu dengan pikiranku yang sempat mengawang beberapa waktu lalu.

"Kamu masih sering bersedih sampai sekarang?"

"Nggak." Aku menggeleng.

Kami sama-sama terdiam.

"Oh ya dok, kenapa waktu itu sebelum aku ke Jakarta dokter bilang 'aku sama sekali nggak punya niat untuk mengejar seorang cewek di sini'? Emang siapa yang naksir dokter?" aku mencoba membalikkan situasi membuat ia malu karena sempat punya pikiran yang mengawang juga sepertiku.

"Itu? Umm...aku hanya pengen kamu kesal aja. Dengan kamu kesal bisa jadi kamu bisa ingat aku." Dia menyenderkan tubuhnya jauh ke belakang, bibirnya menampakkan segaris senyum yang menciptakan kesan yang sangat berbeda dariku saat aku berada disituasinya. Oke perlu kucatat sekarang kalau skenario Desi tidak akan pernah menjadi realita. Skenario hanyalah skenario.

"Kirain..." bisikku pelan. Aku mencoba dengan susah payah menandaskan isi piringku karena kedudukannya saat ini antara aku dan Rama adalah 2-0 untuk kemenangan Rama.

Tapi siapa yang bisa meminta hati untuk berhenti berharap? Karena aku tidak bisa memintanya untuk berhenti berdetak setiap kali melihatnya atau berdekatan dengannya. Tidak ada tombol cancel disana yang bisa mengembalikan rasamu seperti di awal. Haruskah aku menerjemahkan debar ini sebagai rasa sukaku? Perasaan yang berubah seratus delapan puluh derajat hanya karena kisah masa lalu yang hampir saja kulupakan? Entahlah aku tidak mau cepat menerjemahakan semuanya dan aku juga tidak mau memaksakan sesuatu, aku memilih untuk membiarkannya saja. Kebersamaan kami hanya dua bulan dan aku akan menikmati waktu ini dan setelah itu biarlah takdir yang menentukan apakah rasa ini benar atau hanya sekadar intermezzo.

"Hei, belum pulang?" dokter Rama sudah ada di depanku sekaligus membuyarkan semua lamunanku tentang waktu itu.

"Sebentar lagi dok."

"Mau pulang sama-sama?"

Aku butuh waktu dua detik untuk menjawabnya.

"Aku mau nyelesaiin ini sebentar." Aku menunjuk catatanku berharap dia membatalkan ide untuk pulang bersama tadi. Sebagai info saja, dokter Rama saat ini tinggal di rumah sebuah keluarga di jalan Melati dan itu tidak jauh dari jalan Anggrek tempat rumah kosku berada. Jadi ide pulang bersama ini sebenarnya sangat masuk akal dan aku tidak perlu berpikir terlalu berlebihan namun tentu saja hal ini perlu kulakukan demi kenyamanan perasaanku. Ini hal yang berbeda dengan kebersamaanku dengannya di bangsal pasien atau di poli, karena di sana kita tidak hanya berinterkasi berdua saja tetapi dengan banyak orang. Dan seminggu terakhir ini kami selalu makan siang bersama Dian, Santi atau Vandi atau malah kadang dia tidak bisa ikut makan siang bersama kami karena ada operasi. Aku hanya ingin membatasi kebersamaan kami berdua tanpa orang lain.

"Oke aku tunggu." Dengan santainya dia menarik kursi di sebelahku. "Teruskan saja." Dia mengeluarkan ponselnya dan mulai sibuk menatap layar benda itu. Aku tidak punya alasan lain untuk menolak ajakannya karena itu aku memutuskan untuk kembali melanjutkan catatanku dan kalau bisa berlama-lama agar ia bosan menunggu dan akhirnya memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.

Ponselku bergetar dari dalam kantung bajuku. Aku menyambarnya cepat sekaligus sebagai aksi pengalihan dari rasa canggungku.

"Halo."

"Hi. Ini Erick." Aku menurunkan ponsel dan membaca layarnya yang tadi tidak sempat kulakukan dan ternyata benar nama Erick the angel ada di sana

"Ya. Aku tahu."

"Maaf belum sempat balas pesanmu. Oke aku nggak keberatan menunggu sampai dua bulan."

"Okey kalau begitu." Aku tersenyum lega sekaligus takjub dengan hal-hal yang menghubungkan kami. Tapi aku menyebut ini sebagai kebetulan yang luar biasa. Meski luar biasa sekalipun, itu hanyalah kebetulan. Entah kenapa aku jadi berdebat dengan pikiranku sendiri.

"Ummm...bagaimana bisa bukuku berakhir sama kamu?" pertanyaannya secara otomatis membuatku teringat dengan aksiku saat itu dan membuatku tertawa.

"Kamu menjatuhkannya saat kita turun dari kapal. Aku mengejarmu untuk mengembalikannya tapi sepertinya aku sudah membuatmu tersinggung sampai-sampai kamu nggak mau mendengarkan kata-kataku lebih lanjut."

"Tersinggung? Kenapa?"

"Ummm..." aku terdiam sebentar. "Aku memanggilmu Om dan sepertinya kamu nggak suka."

"You rude!"

"Maaf. Maaf banget." Namun aku tidak bisa menyembunyikan rasa geli yang muncul melalui senyumku yang tak mau berhenti.

"Emang aku kayak Om-Om?"

"Umm..."

"Udahlah nggak penting." Potongnya. "Oke...makasih ya udah menyimpan buku itu."

"Aku juga mau berterima kasih karena buku itu udah mengajarkan banyak sama aku. Sepertinya dia datang padaku di saat yang tepat. Kecerobohan kamu menjadi keberuntungan buatku. It helped me a lot. Thank you."

Tiga tahun lalu adalah masa dimana aku merasa sedang berada diujung keputusasaanku akan sikap Mama dan Bang Aldo. Aku hampir menyerah dan menyalahkan keberadaanku di tengah keluarga mereka. Aku merasa sikap diamku selama ini tidak mendatangkan kebahagian yang aku cari. Aku hampir berhenti dengan semua asaku untuk menjadi seorang dokter. Aku meninggalkan Jakarta sejenak untuk pergi mencari jawaban dan aku tak menyangkan jawaban itu datang tanpa disengaja.

"Halo." Aku merasa Erick terlalu lama diam.

"Ava."

"Ya?"

"Who are you?"

"Ha?"

Aku menurunkan ponsel pelan-pelan dari telingaku. Sungguh aku tidak mengerti dengan kata-kata terakhirnya. Dia memutuskan teleponnya begitu saja. Apa maksud laki-laki itu? Kebingungan masih melingkupiku.

"Siapa? Pacarmu?" aku serentak menoleh pada Rama yang sejenak tadi membuatku lupa kalau ia ada di dekatku. Bagaimana dia menyimpulkan pembicaraan tadi sebagai pembicaraanku dengan seorag pacar.

"Bukan." Aku menggeleng. "Dia..." pikiranku masih begitu terganggu dengan kata-kata Erick sehingga aku sama sekali tidak mampu menjawab pertanyaan Rama. Rama memandangku dengan ekspresi menunggu aku menyelesaikan kalimatku.

"Dia..."

"Complicated?" Rama tersenyum.

"Complicated?" Aku balik bertanya karena tidak mengerti maksudnya.

"Complicated relationship."

"Ah....enggak...no relationship hanya saja aku sulit menjelaskan sama dokter tentang siapa orang ini...dia yang complicated." Jelasku sambil memasukan semua buku dan catatanku ke dalam tas. Aku memutuskan untuk pulang saja.

"Dokter percaya takdir?" Tanyaku saat kami sama sama melangkah keluar dari nurse station. Aku sempat melambai pada dua perawat yang sedang ada di situ, dokter Rama pun tak lupa memberikan senyumnya pada mereka.

"Takdir? Maksudnya seperti kita?"

Aku berusaha menahan gemuruh di dadaku di saat dokter Rama melakukan sesuatu yang innocent seperti ini.

"Pertemuan kita bukan takdir dok, ini hanya kebetulan."

"Oh ya? Emang bedanya apa?"

Aku terdiam dengan kening berkerut. Ah...aku sendiri pun tidak tahu apa bedanya.

"Nggak tahu. It's complicated." Aku menjawabnya dengan desah putus asa yang justru membuat Rama tertawa dan kemudian mengacak poniku.

"You are so cute." Katanya di antara derai tawanya dan membuatku harus bekerja ekstra keras untuk mengendalikan perasaanku. Seperti biasa dokter Rama selalu innocent karena dia tidak pernah merasa bersalah dengan sikapnya padaku. Kami kemudian melangkah dalam diam hingga bunyi ponselnya mengisi keheningan kami.

"Hi." Dia sedikit melirik ke arahku. "Iya ini baru mau pulang." Sesuatu dengan cepat terbaca olehku. Bahasa tubuh dokter Rama seketika berubah dan dia sedikit mengecilkan suaranya terkesan tidak ingin aku mendengarkannya. Aku kemudian melangkah sedikit cepat kemudian berbalik melihat ke arahnya. Dengan gerakan mulutku aku berkata kalau aku pulang sendiri saja. Beberapa detik kemudian suara Rama terdengar.

"Ava! Hei." Dia mengejar langkahku.

"Nggak apa-apa dok, aku pulang sendiri aja rumahku dekat ini."

"Kamu kenapa?" keningnya mengernyit heran

"Nggak kenapa-napa." Aku justru heran dengan keheranannya. Memangnya ada gerak tubuhku atau gurat wajahku yang salah yang memperlihatkan padanya dengan jelas bahwa aku tidak enak berada di situasi tadi? Meski situasi itu hanya dugaanku, hasilku membaca cepat.

"Oke dia...dia..." aku tertawa sambil membuang pandanganku ke tempat lain melihat Rama yang sedang berusaha menjelaskan situasinya padaku. Lebih tepatnya orang yang berbicara dengannya di telepon. Oke, dia tidak wajib menjelaskannya padaku.

"Complicated?" Aku memiringkan kepalaku memandangnya.

Dia tertawa.

"Ya...it's complicated." Dia mengedikan kedua bahunya, tersenyum lalu sedikit menunduk. Hari ini terbukti sudah apa yang dikatakan Dian. Tentu saja dia punya seseorang yang menantinya di suatu tempat. Mana ada laki-laki seperti dia yang berstatus single. Oke mungkin banyak di luar sana tapi tidak untuk dokter Rama.

"Aku pulang dulu ya." aku sekali lagi berpamitan.

"Sekalian aja aku antar." Dia masih memaksa.

"Nggak usah." Aku mengangkat sebelah tanganku sedikit melambai ke arahnya.

"Va." Panggilannya menghentikan langkahku. Aku berbalik.

"Aku nggak butuh satu hari untuk mengingatmu. Aku bohong. Aku langsung mengenalmu di detik aku melihat kamu." Dia mengakhiri kata-katanya itu dengan sedikit menghela napas kemudian berbalik untuk membuka pintu mobilnya. Sekali lagi dia melakukan kesalahan itu.

Continue Reading

You'll Also Like

302K 53.4K 62
Blurb : Menikah adalah prioritas nomor ke sekian bagi Rolan, sebelum dia bertemu sosok Mita. Gadis polos penderita disleksia. Sayangnya, Mita adalah...
2.9M 145K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
3.2M 24.8K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
14K 1.9K 11
(GANTI JUDUL | Judul sebelumnya: Back Into Love) Hidup kerap menawarkan kesempatan kedua. Namun, bagaimana jika kesempatan kedua itu datang ketika du...