SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

بواسطة SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta المزيد

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

7

3.9K 425 6
بواسطة SophieAntoni


Ava Argani

Aku tersenyum menyapa pramugari yang menyambut setiap penumpang di dekat pintu pesawat, namun sedetik kemudian senyum itu berubah menjadi ringisan saat aku mulai menyusuri lorong di antara kursi-kursi penumpang mencari tempat dudukku. Aku meletakkan bokongku dengan sedikit hati-hati agar tidak terlalu memberi tekanan berlebih pada otot pahaku yang kurasakan begitu nyeri saat ini. Sudah hampir setahun aku tidak pernah berolahraga dan aktivitas turun naik tangga sebanyak tiga ratusan lebih kemarin bersama Desi yang menjadi penyebab nyeri ini. Sahabatku itu bahkan berniat bolos lagi setelah mengantarku ke bandara pagi ini.

"Cepat lo kabarin gue ya kalau benar dokter Rama itu cowok yang dulu pernah kita intipin." Pesan Desi sebelum aku turun dari mobilnya. Dia begitu antusias saat aku menceritakan tentang ingatanku tiga belas tahun lalu itu. Dan seperti yang kuduga Desi dengan begitu bersemangat mulai merangkai jalinan cerita versinya kalau benar cowok tiga belas tahun lalu itu adalah Rama, dokter residen di rumah sakit yang sama denganku saat ini.

"Kalau benar nih Va, dia itu Rama, cowok yang kita intipin dulu, story kalian udah kayak di film-film deh. Cewek yang ketemu lagi dengan cinta pertamanya." Desi berkata dengan kedua mata yang berkerjap dan kedua tangan yang dikatupkan di dada. Aksi yang terlalu berlebihan bagi seseorang yang menganggap LDR itu hanya mitos.

"Cinta pertama apaan? Gue aja nggak pernah ingat mukanya kok, story itu bahkan hampir terlupakan." Protesku dengan istilah Desi.

Namun begitu aku tersenyum sendiri mengingat obrolan kami tadi malam. Meski aku membantah segala celoteh Desi dan skenario lebainya aku tidak bisa mengingkari perasaanku sendiri. Ada debaran halus di dadaku hanya dengan mengingat semua ucapan dan dugaan Desi tentang cerita yang bakal terjalin seandainya Rama adalah benar laki-laki dari masa lalu itu. Aku bahkan benar-benar tidak sabar untuk kembali ke Ende dan bertemu dokter Rama untuk segera mengkonfirmasikan hal ini. Itu yang menyebabkan aku memilih penerbangan langsung dari Denpasar ke Ende.

Mario menyambut kedatanganku dengan aksi yang menggemaskan. Dia melompat ke pelukanku dan mencium kedua pipiku dengan sayang. Bocah tiga tahun ini ternyata benar-benar merindukanku.

"Sudah Mario, Tanta Ava capek itu." Mama Bunga mengambil Mario dari gendonganku.

"Tante Ava bawa oleh-oleh buat Mario." Aku mengedipkan mata pada bocah itu yang disambut dengan jerit bahagianya. Aku membawa travel bag-ku ke dalam kamar kemudian mengeluarkan beberapa barang yang kubelikan sewaktu di Bali untuk Mario dan juga kakek neneknya. Aku tidak bisa membayangkan rasa rindu yang aku punya untuk keluarga ini setelah tiga bulan nanti aku harus kembali ke Jakarta. Selama hampir dua puluh lima tahun hidupku, aku baru merasakan kehangatan keluarga di kota ini. Aku menghela napas berat saat membayangkan sinar mata Mama yang masih dingin saat memandangku. Namun sekali lagi aku terus meyakinkan hatiku bahwa suatu saat nanti sinar mata itu akan berubah. Untuk sekarang aku hanya perlu mensyukuri kebahagaian-kebahagian kecil yang kurasakan di sekelilingku. Seperti kebahagiaan saat melihat senyum dan tawa Mario beserta kakek neneknya ketika melihat oleh-oleh yang kubawa.

Aku sudah mengabarkan pada teman-teman magangku bahwa siang ini aku sudah kembali ke Rumah Sakit. Dan entah kenapa saat ini aku merasa diriku sedikit berlebihan mempersiapkan diri. Aku cukup lama berdiri di depan lemari untuk memilih atasanku yang akan kupadu padan dengan celana panjang hitamku. Aku menyapukan bedak di wajahku bahkan memoleskan lipstik di bibirku, satu hal yang sudah lama tidak kulakukan.

"Wow. Seger banget kamu Va. Tumben." Vandi menyapaku saat aku baru saja keluar dari ruang dokter Steven untuk melaporkan kepulanganku. Aku tersenyum kecil merespon kata-kata Vandi.

"Aku ke poli dulu ya."

"Eh, kamu ke poli anak kan?" Pertanyaan Vandi menghentikan langkahku. "Aku, Santi dan Dian mau jadi asisten operator di RO. Poli lagi rame, dokter Rama sendirian." Aku hanya merespons info Vandi dengan anggukanku. Aku melangkah sedikit lebih cepat ke poli dan kemudian tersenyum menyapa para pasien dan orangtuanya yang sedang duduk menunggu giliran. Entah kenapa jantungku saat ini berdebar pelan saat masuk ke ruang periksa. Aku melihat dokter Rama sedang mencoba membantu menenangkan bayi yang sedang menangis di gendongan ibunya. Ia sekilas melihat kedatanganku. Aku mengangguk ke arahnya.

Dokter Rama kembali sibuk menjelaskan tentang manfaat imunisasi pada ibu si bayi yang terlihat masih sangat muda itu. Dan si ibu muda terlihat antusias dan bertanya banyak hal pada dokter Rama. Laki-laki itu terlihat begitu sabar dan ramah menjelaskan tentang imunisasi mana yang penting, manfaat ASI buat bayi dan hal-hal lain yang membuat si ibu tersenyum senang. Aku ikut tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Dokter ini memang pantas mengambil spesialis anak.

Dengan tangannya dokter Rama menyuruhku untuk mendekat ke arahnya. Ia memintaku membacakan tanggal kadaluarsa di kemasan vaksin sebelum si bayi di suntik.

"Va, tolong ukuran jarumnya diganti. Ini si Erni ngasih jarumnya terlalu besar." Rama menyebut nama perawat yang tadi membantunya di poli. Aku memperhatikan cara dokter Rama menyuntik si bayi. Sebelum mulai menyuntik ia mengelus paha si bayi pelan dan berbicara pada si bayi seolah-olah si bayi bisa memahaminya dan ketika si bayi menangis setelah selesai disuntik, dokter Rama tanpa ragu menggendong bayi itu dan mencoba menenangkannya. Aku kembali teringat dengan caranya dulu menenangkanku saat aku terluka karena jatuh. Ya, seandainya dia memang benar dokter Rama. Dan karena itu aku harus segera memastikannya.

"Harus kasih ASI yang banyak ya buat anaknya biar dia sehat terus." Pesan dokter Rama pada si ibu muda sebelum mereka meninggalkan ruangan. Dan aku berakhir membantu dokter Rama hingga menjelang makan siang.

"Aku ikut prihatin dengan ibumu. Gimana keadaannya?" Dokter Rama akhirnya memulai obrolan di antara kami setelah tadi kami hanya bertukar kata untuk membantu pasien. "Oh ya aku juga minta maaf untuk yang waktu itu." Sambungnya lagi. Tanpa perlu menjelaskan aku tahu aksi mana yang membuat Rama sampai perlu meminta maaf padaku. Melihat sikap Rama padaku saat ini aku mengira mungkin saja saat itu ada sesuatu yang sedang mengganggu perasaannya sehingga ia melampiaskannya kepadaku. Mungkin saja karena saat ini aku melihat dokter Rama yang jauh berbeda.

"Terimakasih dok. Ibuku..." Aku menggantung kata-kataku karena jujur saja aku tidak tahu bagaimana keadaan Mama sekarang, kalau berdasarkan apa yang aku lihat terakhir aku rasa ibu baik-baik saja. "Dia sudah baik-baik saja sekarang."

"Mau makan siang bareng?" Rama memandangku dan tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengangguk setuju. Kami berdua berjaan beriringan keluar dari Rumah Sakit setelah memastikan tiga orang temanku tidak bisa ikut makan siang karena operasi yang belum selesai.

"Kenapa kamu nggak tinggal bareng dengan teman-temanmu yang lain?" Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Rama.

"Kontrakan mereka cuma punya dua kamar. Andaikan Vandi perempuan aku tentu saja tidak keberatan sekamar sama dia." Rama tergelak mendengar alasanku. Sebenarnya ada alasan yang lebih dari sekadar masalah jenis kelamin Vandi tapi tentu saja Rama tidak perlu tahu tentang hal itu. Untuk sekarang.

"Bagaimana kabar Tante Nia dan Om Reno." Aku memberanikan diriku bertanya. Rama yang hendak membuka pintu mobil seketika mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan memandangku.

"Jadi kamu ingat sekarang?" ia berkata setelah beberapa detik memenjarakanku dengan tatapannya dan membuat jantungku kembali berdetak pelan.

"Jadi dokter benar-benar cowok yang dulu ngobatin kakiku?" aku bisa melihat kedua sudut bibirnya berkedut kemudian sebuah tawa kecil tercipta di sana.

"Ayo masuk mobil dulu. Aku udah lapar." Dengan kepalanya ia memberi tanda padaku untuk masuk ke mobil. Aku menghela napas pelan sambil berusaha menyembunyikan senyum di bibirku dan menahan rasa yang membuncah dalam dadaku. Aku sungguh tak mengerti dengan perasaan ini namun yang aku tahu aku merasa begitu bersemangat.

***

Erick Leitner

Michelle melompat ke pelukanku saat aku baru saja melangkah kaki masuk ke kamar hotel. Kedua kakinya yang panjang melingkar erat di pinggangku. Ia melumat bibirku tanpa memberikan kesempatan padaku untuk menghela napas. Perempuan ini begitu mudah membangkitkan gairahku. Aku membalas ciumannya yang bertubi-tubi dengan sebelah tangan yang menahan tubuhnya dalam gendonganku. Aku berjalan mendekati ranjang dan tubuh kami berdua jatuh di sana.

"Kangen banget sama kamu." Kata Michelle di antara desah napasnya. Ia naik ke atas tubuhku dan kepalanya sedikit menunduk kemudian kembali melumat bibirku. Kami kembali tenggalam dalam ciuman yang begitu dalam. Dengan sekali sentak aku mengganti posisi tubuh kami. Tanganku dengan sangat lihai melepaskan rok dan atasan yang Michell kenakan. Bibirku mulai bergerilya di tubuh mulusnya hingga membuat perempuan itu mendesis kemudian mengerang. Kami bergelut di atas ranjang melampiaskan kerinduan dan menuntaskan gairah kami. Aksi kami berakhir dengan jeritan panjang yang keluar dari mulut Michele. Aku berguling ke samping dari atas tubuh telanjang perempuan itu. Kami sama-sama terengah memandang langit-langit kamar. Tak ada kata-kata yang berniat kami ucapkan. Kepuasan jelas tergambar di wajah kami berdua

Beberapa menit kemudian Michelle bangkit dari ranjang dan memungut bajunya yang teronggok di lantai kemudian berjalan cepat ke arah kamar mandi.

"Kamu langsung pergi?"

"Ya. Aku ada meeting." Michelle menjawab dari dalam kamar mandi.

"Nggak bisa tinggal lebih lama lagi, please."

"Nggak bisa sayang." Michelle keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya. Dia sangat seksi dengan gaya kantorannya itu. Dan aku sangat menyukainya. Perempuan itu mendekatiku dan mencium bibirku lembut.

"Pengen banget semalaman sama kamu terus. Tapi si bos akhir-akhir ini lagi jutek banget." Michelle mengenakan ankle-strap pump-nya. "Dan malam ini mungkin kita nggak bisa ketemu." Michelle mengelus rambutku dan memberika tatapan syahdunya yang membuatku rasanya ingin kembali menariknya ke atas tubuhku.

"So sorry." bisiknya. Aku hanya bisa melenguh pendek.

"Oh ya, siapa sih tadi yang neleponin kamu terus. So annoying. Cewek kamu?" Michelle berjalan ke sofa untuk membereskan tasnya yang sejak tadi teronggok di sana. Aku turun dari ranjang dan mengambil ponselku yang kusimpan di saku celana yang saat ini teronggok di lantai. Aku melihat layarnya dan mendapati nama Tania di sana.

"So...itu cewek kamu?" tanya Michelle saat aku masih terpaku memandang layar ponsel. Aku menggeleng. Aku membaca pesan yang entah sejak kapan masuk di kotak pesanku.

Kamu belum balas pertanyaanku. Aku harus kirim kemana buku ini? Tapi kalau kamu nggak keberatan aku akan mengembalikannya setelah aku balik ke Jakarta dua bulan lagi.

"Serius amat? Siapa sih?" Michelle mendekatiku dan membuatku cepat-cepat memasukan kembali ponsel ke dalam saku celanaku.

"Hmmm....mencurigakan. And I am jealous right now." Aku hanya tertawa melihat cemberut di wajah cantik Michelle.

"Karena itu temenin aku sekarang. Don't go. Persetan dengan si Franco." Aku menyebut nama bule yang juga adalah bos Michelle. Kedua tanganku menarik pinggang Michelle hingga tubuh perempuan itu menempel padaku. Kami saling berpandangan.

"I wish you were my boss." Michelle berjinjit dan mengecup bibirku. Aku baru saja hendak membalas ciuman kecil Michelle saat ponselku kembali berbunyi. Berkali-kali dan membuat Michelle berdecak kesal.

Aku mengeluarkan kembali ponselku.

"Hi, Tania." Sapaku dan membuat Michelle didepanku melebarkan kedua kelopak matanya. Aku tersenyum melihat reaksinya.

"Nanti malam? Ummm..." aku mengulum senyum mencoba membuat Michelle cemburu dan mau mengubah rencananya. Namun ternyata aku tidak berhasil.

"Oke...see you there." Jawabku pada Tania di seberang sana. Setelah pembicaraan kami terputus aku melemparkan begitu saja ponsel ke atas ranjang.

"It is okay." respons Michelle ringan melihat aku baru saja membuat janji bertemu dengan perempuan lain. Namun aku bisa merasa ada nada kesal dalam suaranya. Dia cemburu? Entahlah karena perempuan kadang sulit dipahami.

"Okay." Balasku sambil berjalan ke kamar mandi. Ketika keluar aku mendapati Michelle sudah tidak ada. Aku menghembuskan udara dari kedua mulutku kemudian membuang tubuhku kembali ke ranjang. Aku pernah sekali menyinggung untuk membawa hubungan kami lebih serius namun Michelle justru meresponsnya dengan tawa. Oke, dia mungkin merasa aku sedang bercanda tapi saat itu aku sempat berpikir serius saat menyadari bahwa Michelle satu-satunya perempuan yang dekat denganku. Dia satu-satunya perempuan yang tidur denganku. Melihat reaksi Michelle saat itu aku berpikir memang lebih baik hubungan kami sebatas teman tidur dan tidak lebih. Aku pernah berpikir aku akan berakhir dengan tipe perempua idealku tapi ketika melihat Alex, sepupuku, jatuh cinta pada perempuan yang jauh dari gambaran idealnya, maka pola pikirku pun berubah bahwa aku bisa saja jatuh cinta dengan perempuan manapun. Termasuk Michelle.

Atau Tania? Ah...aku menggeram kecil karena menerima tawaran Tania tadi sebenarnya adalah langkah yang salah mengingat aku tahu kalau perempuan itu menyukaiku. Dan pertemuan kami beberapa kali kemarin tidak memberi titik terang padaku bahwa dia bisa saja menjadi perempuan yang membuat aku jatuh cinta. Aku teringat kembali kata-kata Ava malam itu padaku agar tak memberi harapan pada kakaknya. Gadis kecil yang baik hati. Aku mendengus sendiri membayangkan wajah gadis baik hati itu beserta semua kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dan sekarang aku semakin penasaran bagaimana buku hadiah dari Dara berakhir di tangan Ava? Kalau memang kami pernah bertemu di Labuan Bajo, kenapa aku sama sekali tidak mengingatnya. Ah tentu saja kalau kami bertemu saat itu, pertemuan kami pasti tidak punya kesan apa-apa sampai membuat kami harus saling mengingat satu sama lain.

"And it kinda hurts my ego." Gumamku pelan. Selama ini para perempuan yang pernah bertemu denganku akan selalu mengingatku. Tidak hanya sekali dua kali aku disapa oleh perempuan, yang tidak aku ingat dimana pernah bertemu dengan mereka, di tempat-tempat yang aku datangi.

"Ava Argani." Aku mengucap pelan nama itu. Kemudian meraih ponsel dan mendial nomornya tanpa ragu.

"Halo." Nada suara itu terdengar ragu.

"Hi. Ini Erick."

"Ya. Aku tahu."

"Maaf belum sempat balas pesanmu. Oke aku nggak keberatan menunggu sampai dua bulan."

"Okey kalau begitu."

Jeda tercipta di antara kami.

"Ummm...bagaimana bisa bukuku berakhir sama kamu?"

Dia tertawa kecil di seberang sana dan membuatku tanpa sadar ikut menyunggingkan senyum.

"Kamu menjatuhkannya saat kita turun dari kapal. Aku mengejarmu untuk mengembalikannya tapi sepertinya aku sudah membuatmu tersinggung sampai-sampai kamu nggak mau mendengarkan kata-kataku lebih lanjut."

"Tersinggung? Kenapa?" tubuhku bergerak mencari posisi duduk yang lebih enak.

"Ummm..." dia terdiam sebentar. "Aku memanggilmu Om dan sepertinya kamu nggak suka."

Kedua alisku serentak naik mendengar kata-kata Ava. Untuk beberapa detik ingatanku kembali ke saat itu, ke saat aku berada di Labuan Bajo untuk liburan sebentar sekaligus menyembuhkan sedikit luka hatiku gara-gara Dara. Aku memang membiarkan wajahku ditumbuhi cambang agar terkesan adventurous-nya. Aku terkekeh geli dalam hati. Bisa jadi wajahku terlihat 20 tahun lebih tua saat itu.

"You rude!" jawabku pendek dan membuatnya langsung mengucap maaf. Aku tersenyum mendengar kepolosan yang tergambar jelas di nada suaranya.

"Emang aku kayak Om-Om?"

"Umm..."

"Udahlah nggak penting." Potongku. "Oke...makasih ya udah menyimpan buku itu."

"Aku juga mau berterima kasih karena buku itu udah mengajarkan banyak sama aku. Sepertinya dia datang padaku di saat yang tepat. Kecerobohan kamu menjadi keberuntungan buatku. It helped me a lot. Thank you." Aku terdiam mendengar kata-kata Ava. Entah takdir seperti apa yang sedang terjadi di antara aku dan gadis kecil ini. Kalau mau jujur aku bukan orang yang begitu saja percaya pada takdir. Aku menghargai semua kebetulan yang terjadi dalam hidup namun bila kebetulan itu terasa berlebihan maka aku perlu bertanya, apa yang terjadi? Takdir itu benar ada?

"Halo." Dia menyapaku saat mengetahui tidak ada reaksi dariku.

"Ava."

"Ya?"

"Who are you?"

"Ha?"

"Nggak apa-apa. Sorry!" aku kemudian langsung memutuskan sambungan teleponku. Menertawakan diriku sendiri yang berbicara melantur. Ini tidak sepertiku, kenapa aku berubah menjadi drama king seperti ini? Sejak kapan aku terusik dengan semua kebetulan? Kebetulan hanyalah kebetulan. Sama seperti ketika aku bertemu dengan semua perempuan-perempuan yang mengaku mengenaliku.Tidak ada yang berlebihan. Takdir? Hah! Itu omong kosong!

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

623 115 8
Lepas dari status mahasiswa alias sudah sarjana adalah kebahagiaan tak terhingga bagi Arinda, rasanya seperti kau terikat dalam lorong gelap dan akhi...
17M 755K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
25K 347 8
Cerita di privat, silakan follow dulu. Gadis cantik, karir okay, punya usaha dibidang kuliner. Kurang apalagi coba, dibalik kesuksesannya dia memend...
2.3K 404 9
Kebencian orang lain membuat mereka terjebak ke dalam kisah rumit yang tak seharusnya terjadi. Athar yang saat itu sedang berjuang untuk mendapatkan...