SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

5

3.9K 439 26
By SophieAntoni

***Hi lovely readers sepertinya cerita ini nggak banyak dapat respons jadi maaf kalau updatenya pun agak lama...kan authornya jd nggak semangat hehehe author baper...tapi tetap aku akan nyelesaiin cerita ini...karena aku sendiri suka dengan cerita ini. Seperti biasa warning typo...dan voment dong biar semangat update...thank u ya...

Ava Argani

Perjalanan dari Nusa Dua ke Seminyak yang aslinya memang cukup jauh, terasa semakin lama dan menjemukan akibat macet. Sandaran kursiku sudah kusetel sedemikian rupa sehingga membuat tubuhku setengah berbaring. Aku melirik Desi yang wajahnya sama sekali tidak terlihat kesal dengan kemacetan ini, ia justru terlihat bersemangat. Sesekali dia melirikku dan cemberut saat melihat posisi tubuhku yang sudah setengah rebah di kursi penumpang.

"I'm tired Des...nggak cukup tidur dari kemarin." Aku menjawab cemberut di wajahnya.

"Iya...maaf jadi melibatkan lo." Desi tampak sedikit menyesal. "Tapi gue juga nggak ngerti timingnya pas banget ya. Sejak kemarin gue udah cari teman yang cocok buat gue ajak bersukutu untuk misi ini ehh...nggak taunya lo yang sama sekali nggak ada dalam list gue justru malah muncul di sini tiba-tiba. Gue rasa lo dan misi ini berjodoh." Jelas Desi sedikit ngawur menurutku. Ia tertawa kecil melihat aku yang kali ini gantian cemberut padanya.

"Bali kok jadi macet gila gini sih?" gumamku sambil melemparkan pandanganku keluar menangkap antrian mobil, motor dan bis-bis pariwisata bertubuh lebar yang sedang berebut jalan.

"Begitulah...bundaran ini emang langganan macet."

"Lo termasuk salah satu mahkluk yang membuat Bali semakin padat." Aku melirik Desi yang dibalasnya dengan menjulurkan lidahnya. Kami sama-sama tertawa. Desi menaikan volume radionya dan kami sama-sama ikut menyanyikan lagu yang terdengar dari sana sekadar mengusir kebosanan. Dan setelah menghabiskan waktu satu jam kami akhirnya tiba di Seminyak.

Mobil Desi masuk ke area parkiran Tropiz yang katanya merupakan salah satu beach club cukup populer di tempat ini. Suara musik yang bersumber dari meja DJ seperti menyambut kami. Desi terlihat sumringah dan cukup bersemangat. Meja-meja restoran hampir semua terisi.

"Gue nemu orangnya." Desi berbisik cukup keras di telingaku. "Lo liat arah jam 2." Sambungnya lagi. Aku bisa menangkap tiga orang pria yang sedang ngobrol di salah satu booth dengan sofa lounge yang sepertinya merupakan spot mahal di beach club ini.

"Dia yang paling kanan." Sebuah senyum tercipta di bibir Desi.

"Permisi mbak." Seorang waiter menyapa kami. "Mau pake booth atau table aja?"

"Table aja." Jawab Desi. Kami pun mengikuti langkah si waiter yang membawa kami ke sebuah meja yang sepertinya sangat strategis bagi misi Desi. Meja itu tepat berseberangan dengan booth si tersangka.

"Perfect!" gumam Desi. Kami lalu memesan minum. Desi meringis ngeri ke arahku saat mendengar minuman yang kupesan.

"Iced tea."

"Kedengaran keren aja karena lo pake bahasa inggris." Aku hanya nyengir dengan sindiran Desi.

"Emang Mbak Arin diapain sampai segitu dendamnya?" aku mencoba mencari tahu latar belakang utama dari misi ini, itu karena Desi sediri mengatakan kalau aku sudah terlanjut terlibat di sini.

"Mbak Arin patah hati berat. Dia benar-benar jatuh cinta sama Erick."

"Mbak Arin tahu dia playboy?"

"Sepertinya."

"Lalu?"

"Lalu apa?" Desi menatapku tak mengerti.

"Patah hati kan risiko seseorang yang jatuh cinta sama playboy." Jelasku ringan. "Emang Mbak Arin nggak bisa move on?"

"Udah sih, dia udah punya tunangan sekarang."

"Ha? Emang kapan sih Mbak Arin pacaran sama Erick?"

"Ummm...tiga tahun lalu mungkin."

"Dan dia masih pengen balas dendam? Wow!" seruku dengan nada tidak percaya. Sedalam apa luka yang ditorehkan si Erick ini sampai-sampai seorang perempuan cantik bernama Arin dan sudah bertunangan ini masih merasakan perihnya setelah tiga tahun berlalu.

"Gue sih nggak tahu detailnya hanya saja gue akan selalu siap membantu permintaan kakak gue. Balas dendam ini seperti closure buat Mbak Arin yang mau menikah."

"Gue tetap nggak ngerti Des."

"Lo nggak harus mengerti. Lo cukup temenin gue aja."

Aku memilih untuk tidak mendebat lagi karena seperti kata Desi aku tidak perlu mengerti tentang hal ini. Aku memandang sahabatku yang beberapa menit tadi masih terlihat bersemangat namun sekarang ia justru tampak gelisah. Minuman kami diantarkan. Desi langsung menyesap margaritanya.

"Gue ke toilet sebentar ya sambil mikir gimana caranya gue samperin tuh laki-laki." Desi menghembuskan napas kencang sebelum bangkit dari kursinya. Setelah Desi berlalu mataku otomatis mulai merekam semua aksi dan gerak-gerik tiga pria di booth seberang. Mataku terkunci pada pria itu. Erick. Aku mengakui kalau pria itu sangat menarik. Dia mengenakan kaus hitam bergaris yang dipadu jaket bomber berwarna abu. Dan dia terlihat semakin menarik saat dia tertawa. Apakah tipe wajah seperti itu adalah tipe pria playboy? Tapi pada dasarnya para playboy memang selalu punya modal tampang. Aku masih belum lepas mengamatinya hingga pada akhirnya dia bergerak dari boothnya. Sekilas ia menyapu pandangannya ke arahku.

Aku hampir menelan bulat-bulat bongkahn es batu dari gelasku saat melihat tubuh tegap itu sedang berjalan mendekati mejaku. Apa yang sedang terjadi?

"Hi!" Ia menyapaku saat sudah tiba di depanku. Mataku bergerak gelisah saat mendengar sapaannya. "Apa kamu mengenaliku?" Ia mencoba mencari mataku. Aku mendadak menegakkan tubuhku saat dia dengan penuh percaya diri menarik kursi di depanku.

"Maaf, aku hanya mau memastikan." Ia menampakkan senyum ramah yang justru semakin menambah kegelisahanku.

"Maaf juga, aku nggak sengaja." Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibirku.

"Nggak sengaja?"

Aku mengangguk cepat.

"Aku..." aku berkata ragu.

"Jadi kamu mengenaliku?"

"Secara langsung sih enggak. Tapi temanku." Aku mengambil jeda sebentar dengan tangan yang terangkat ke suatu arah. "Dia lagi di toilet." Aku mulai menyesali aksi bodohku beberapa menit lalu.

"Jadi kamu tau siapa aku?"

"Nggak."

Dia menautkan alisnya. Kali ini ia mencoba melihat lebih detail ke wajahku dan membuatku semakin gugup. Jantungku berdebar tak karuan seakan aku sedang berhadapan dengan cowok yang kutaksir.

"Siapa temanmu?"

Aku menarik napas dan menghembuskannya cukup kencang. Aku sepertinya sudah merusak misi Desi. Perasaan bersalah mulai melingkupi hatiku. Aku memang bukan seorang pengintai yang cerdas. Kalau aku hidup di jaman perjuangan aku pasti yang menjadi faktor kekalahan pasukan perangku.

"Ummm..."

"Hi?!" Aku cukup lega saat melihat Desi akhirnya muncul. Aku bisa melihat wajah sahabatku itu terlihat bingung. Dengan mataku aku berusaha memperlihakan bahwa aku innocent.

"Jadi kamu yang mengenaliku?" pria itu langsung menyerang Desi dan membuatku mendesis kecil dan memejamkan mataku. Sahabatku itu sedikit terperangah namun sedetik kemudian ia terlihat tenang. Ia menarik kursi di sebelah pria itu dan kulihat mata pria itu cukup lama bertahan di wajah Desi yang cantik. Ah...aku cukup lega setidaknya aku bisa merasakan kalau pria itu sudah mulai tertarik pada sahabatku yang cantik itu.

"Umm...seseorang menceritakan tentang kamu padaku." Jawab Desi.

"Something bad?"

"No!" Desi menggeleng cepat dan membuat pria itu tersenyum. Aku mulai ikut tersenyum, lebih tepatnya senyum lega, karena sebagai perempuan aku punya insting kalau pria ini sudah mulai masuk ke dalam jerat pesona Desi.

"Oke kenalin, aku Desi." Sahabatku itu mengulurkan tangannya.

"Erick." Sambutnya.

"Dan itu temanku, Ava." Desi mengenalkanku.

"Ava?"

"Ya?"

Dia dengan tiba-tiba mengulang namaku. Sudah dua pria yang melakukan hal yang sama ini. Pertama dokter Rama dan sekarang dia. Dengan dokter Rama aku masih punya seberkas memori meski tidak jelas tapi aku bisa merasakan pernah ada sesuatu yang mengubungkan aku dan dokter angkuh itu di masa lalu tapi kalau dengan dia? Aku rasa tidak, kecuali kesamaan nama dengan malaikat Kak Tania. Itu saja.

"Aku hanya sering mendengar nama Ava akhir-akhir ini." Jawabnya yang langsung membuatku tertawa. Aku tiba-tiba merasa lucu dengan jawabannya.

"Kenapa?" ia bertanya.

"Umm...aku juga sering mendengar nama Erick akhir-akhir ini." Tawaku menghilang dan mataku masih terkunci padanya.

"Ava argani?" Aku membeku sesaat saat dia dengan jelas menyebut namaku.

"Ka...kamu mengenaliku?"

"Kamu kenal Ava?" Desi mengernyit tak percaya.

***

Desi menyetir dalam diam. Aku tahu aku sudah merusak misinya karena aksiku yang menjadi awal Erick tahu kalau Desi punya rencana buruk padanya.

"Sorry Des."

"It's okay."

"Lo marah." Kataku pelan.

Desi diam. Dan aku semakin yakin sahabatku benar-benar marah padaku.

"Gimana kalau lo yang menjalankan misi ini?" Desi menoleh padaku. "Lo yang buat dia jatuh cinta."

"Lo jangan gila!" hardikku. Aku yang kini marah padanya. Bagaimana bisa seringan itu Desi memintaku menjadi pemeran utama dalam misi ini. Dan disamping itu harga diriku cukup tersinggung karena berdasarkan penglihatanku tadi playboy itu tertarik pada Desi dan bukan denganku. Aku si hitam kucel ini.

"Kenapa?"

"Gue nggak mau melakukan sesuatu yang gila dan berisiko. Hidup gue sendiri udah rumit." Semburku dengan agak kesal.

Desi merasa ada emosi dalam kata-kataku. Kali ini dia tampak menyesal.

"Iya...maaf. Gue tahu. Gue yang kayaknya terlanjur gila. Gue rasa misi ini sudah gagal bahkan sebelum dimulai. Nanti gue kabarin Mbak Arin deh." Aku tidak merespons kata-katanya karena aku masih kesal dengan permintaan entengnya tadi. Aku tahu aku yang merusak misinya namun tidak berarti Desi dengan mudahnya memintaku untuk menggantikannya melakukan aksi gila itu.

"Sori Va, gue khilaf. Lo tahu kan gue suka hal-hal yang berbau kompetisi kayak gini."

Aku hendak membuka mulut protes dengan kata-katanya namun sepertinya Desi tahu dengan niatku.

"Iya...iya...maaf. Gue udah gila emang. Untung misi ini gagal karena gue kok merasa gue bisa aja yang merusaknya di tengah-tengah. Bisa aja lo benar gue bisa jatuh cinta sama dia."

Leherku bergerak cepat ke arah Desi.

"Dia menarik banget." Desi menjawab rasa terkejutku. "Oh ya...jadi dia tahu lo dari siapa sih?" air muka Desi dengan cepat berubah.  Pertanyaan yang sudah berkali-kali ia utarakan padaku sejak Erick meninggalkan meja kami namun urung kujawab dan sudah membuat ia dongkol karena penasaran sejak tadi.

"Kak Tania."

"Dia teman Kak Tania?"

Aku mengangguk.

"Pacaran?"

Aku menggeleng.

"Tapi sepertinya Kak Tania banyak bercerita tentang lo sama dia sampai-sampai dia hafal nama lengkap lo."

"Gue nggak tahu kalau masalah itu."

"Dunia ini sempit banget ternyata." Desi bergumam sendiri. "Atau memang playboy semacam dia itu yang membuat dunia terasa semakin sempit? Perempuan-perempuan akan saling mengenal tanpa direncana. Sudah nggak berlaku lagi teori six degrees of separation tapi jadi we only separated by one person." Desi tertawa sendiri dengan pemikirannya. Aku hanya menimpalinya dengan senyum.

Aku teringat kembali percakapan singkat aku dan Erick tadi yang dengan jelas menunjukkan kalau dia sama sekali tidak punya niat untuk pacaran dengan Kak Tania. Namun aku bisa membaca dari setiap cerita Kak Tania tentang pria itu, kalau kakakku itu punya rasa untuknya. Benar seperti katanya kalau kadang perempuan tidak bisa membedakan antara perbuatan baik dan memberi harapan. Tapi bukankah pria terbiasa memberikan harapan denga melakukan perbuatan baik? Entahlah ini sama saja dengan perdebatan antara mana yang lebih dahulu, telur atau ayam.

Dan apa arti kata-kata terakhir tadi untukku? Be happy? Apa yang diceritakan Kak Tania padanya hingga dia mengira aku adalah jenis manusia paling tidak bahagia di muka bumi ini. Bicara tentang bahagia aku teringat dengan buku yang aku temukan di kapal saat aku berkunjung ke Labuan bajo tiga tahun lalu. Ya, sebelum masa magangku aku sendiri pernah melakukan perjalanan ke Flores. Awal yang membuatku jatuh cinta dengan pulau itu dan membuatku bertekad untuk mengabdikan masa magang setahun di pulau itu. Dan harapanku terkabul karena program pemerintah bagi semua lulusan dokter dengan kurikulum berbasis kompetensi ini membuatku kembali ke Flores.

Oke kembali bicara tentang kebahagian dan buku yang aku temukan di kapal sailing Komodo tiga tahun lalu. Buku dengan judul Siddhartha yang ajaibnya sudah kutamatkan dalam beberapa kesempatan, yang artinya aku sudah berkali-kali membaca buku ini karena aku menyukainya. Buku itu bercerita tentang seorang pemuda yang ingin mencari kebahagian abadi. Aku banyak belajar dari buku itu karena pada dasarnya aku meyakini kebahagiaan itu ada disuatu tempat menantiku melewati proses perjalanan ini namun sepertinya ia mengajarkanku kalau kebahagiaan itu sebenarnya berwujud sederhana, hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup yang lupa aku syukuri.

"Lo melamun? Atau lo masih marah? Berniat mendiamkan gue?" Desi membuyarkan aksi kontemplasiku. Mobil sudah tiba di depan kontrakannya. Tanpa menjawab pertanyaan Desi aku turun dan membantunya membuka gerbang rumahnya.

"Gue mana pernah bisa marah sama lo."akhirnya aku menjawab pertanyaan Desi setelah kami sama-sama masuk ke dalam rumah.

"Gue tahu..sekali lagi gue minta maaf."

"Gue juga minta maaf karena sudah merusak misi lo."

Kami berpandangan sebentar kemudian sama-sama tertawa dengan kebodohan kami. Kami ibarat calon agen yang gagal total dalam training pertamanya.

"Tuh laki-laki ke-GR-an banget ya...lo ingat tadi kata-katanya? Aku yakin kalian berdua sudah tahu siapa aku kan? Jadi apapun rencana kalian bisa kubilang gagal." Desi mengulang kata-kata Erick dengan nada yang dibuat-buat. "Gue akuin, dia pilot paling cakep di Indonesia yang pernah gue lihat." Desi membuka sepatunya dan melemparkannya begitu saja di sudut ruangan.

"Lo belum liat pilot-pilotnya Susi Air? Bule-bule cakep."

"Ya karena gue belum pernah liat makanya untuk sekarang gue pastiin kalau dia pilot paling cakep."

Aku hanya tertawa kemudian masuk ke kamar.

"Gue tidur duluan ya Des." Seruku dari dalam kamar.

"Besok lo mau kemana?"

"Belum tahu. Kayaknya mau tiduran aja."

"Ah...lo nggak asik."

"Lo juga kan kerja." Aku menjulurkan kepalaku melalui pintu yang masih terbuka. "Lo kerja kan? Atau mau bolos demi nemenin gue?" aku memberi senyum isengku padanya.

"Bisa dicoba."

"Serius?"

"Serius."

"Asikkk.."

Aku menarik selimut hingga ke batas leherku. Aku tidak berniat menaikan suhu AC karena aku lebih senang bergelung hangat dalam selimut. Itu kebiasaanku sejak kecil karena aku selalu ingin tahu bagaimana rasanya tidur dalam dekapan seorang ibu karena aku tidak pernah merasakannya. Mama Bunga sering terheran-heran melihat aku mampu tidur dalam selimut di tengah udara Ende yang panas tanpa pendingin ruangan. Aku mencoba tidur namun entah knapa kata-kata be happy yang keluar dari mulut Erick terus mengusik hatiku. Aku tidak suka dengan pemikirannya tentangku. Dia tidak berhak mengatakan hal itu padaku, meski kata-kata itu tidak terasa menyakiti.

Aku membuka kembali mataku dan menyambar ponselku.

Kamu nggak perlu mengingatkanku untuk bahagia. Aku selalu bahagia.

Aku kemudian mencari nama Erick the Angel dan tanpa berpikir panjang aku mengirimkan pesan itu padanya. Aku tidak peduli dengan pemikirannya tentang isi pesanku aku hanya ingin dia tahu kalau pemikirannya padaku salah. Aku mengira pesan ini akan diabaikan begitu saja namun aku salah karena tidak sampai lima menit kemudian dia membalas pesanku.

Eyes can't lie. You can lie.

Aku berdesis kesal.

"Dasar playboy!" aku melempar ponselku di atas kasur. Aku menyesal kenapa juga aku repot-repot merspons kata-katanya tadi. Aku mencoba memejamkan mata dan melupakan namun ponselku kembali bergetar.

Stop seeking, try finding ! Because finding means being free, being open, having no goal.

Aku berkali-kali membaca kalimat itu dan merasa sangat yakin ini kutipan dari buku Siddhartha. Aku kemudian tertawa sendiri. Menertawakan semua kebetulan ini. Sudah tiga tahun buku yang kutemukan itu menemaniku, bahkan ia ikut bersamaku ke Ende.

Kamu baca Siddharta. Apa mungkin kamu menghilangkan buku itu di Labuan Bajo?

Dan aku sudah menduga balasannya tidak butuh waktu lama.

Bagaimana kamu tahu?

Aku kembali tertawa. Apa mungkin kebetulan ini terlalu berlebihan?

Continue Reading

You'll Also Like

3.9K 349 55
Ketika kebohongan yang kembali mencuat, ia seperti sebuah heroin.. mengikat dan membunuh. Namun cinta, ia memberi segalanya baik canda atau tangis. ...
2.1K 122 20
Hidup Raka sempurna. Mahasiswa S2, wartawan surat kabar lokal, serta memiliki pacar cantik dan pengertian. Hingga suatu hari, pacarnya menyebut seder...
5.5K 355 32
Shan menerima wasiat dari Ayahnya yang terbaring koma bahwa dirinya harus menikah dengan Kallen, nemesisnya yang setengah mati Shan benci. Shan dan K...
6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...