SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

169K 16.3K 709

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

4

5.4K 499 7
By SophieAntoni


***Kemarin pas nulis part ini di  dictionary.com pop up kata Saudade...jadi buat yang bertanya-tanya apa itu Saudade jawabannya adalah ini. Kalau bahasa indonesianya BAPER hahahahaha...

***warning typo dan jangan lupa voment yaaa


Ava Argani

Aku memperhatikan Desi yang sedang merias wajahnya di depan cermin dengan tubuh masih berbalut handuk. Sejak tadi aku masih setia menjadi penonton aksi sahabatku itu tanpa berniat segera beranjak dari ranjang. Sebenarnya aku sama sekali tidak bersemangat untuk diajak kemanapun malam ini. Aku hanya ingin memanjangkan tubuh di atas kasur empuk ini dan terlelap tanpa perlu bermimpi.

"Des, emang nggak ada waktu lain untuk balas dendam?" aku bertanya dengan suara kusetel semalas mungkin agar membuat sahabatku itu bisa membaca keinginan hatiku.

"Nggak bisa, darling. Dia pilot. Dia hanya punya beberapa jam di sini. Dan menurut Mbak Arin dia selalu menghabiskan waktu di Tropiz. Nih Mbak Arin baru WA, temannya Erick yang juga kenalan Mbak Arin baru ngasih info mereka lagi kongkow di Tropiz." Desi menjawab dengan begitu bersemangat sambil memberi perona di kedua pipinya. Dia sama sekali tidak menangkap isi hatiku.

"Kita nggak akan lama, Va. Sebentar aja." Janjinya sambil menoleh ke arahku yang masih nyaman memeluk guling. "Ganti baju gih ntar kudandanin." Sambungnya lagi yang membuatku langsung meringis.

"Emang harus dandan ya?"

"Ya biar bisa menarik laki-laki playboy itu."

"Lo aja kan? Lo yang berniat menarik perhatian si playboy itu."

Desi tampak berpikir sebentar.

"Iya juga sih, tapi tetap aja lo jangan keliatan lusuh dong ah..." Desi cemberut kembali menatapku. Jadi aku memang terlihat lusuh? Aku berdesis tak percaya sambil cepat-cepat melihat diriku melalui kamera ponselku. Aku hanya bisa menarik napas berat melihat wajah kusamku yang hampir setahun tidak pernah tersentuh krim mahal dari salah satu klinik kecantikan.

Aku bukan tipe perempuan yang tidak suka dandan, tentu aku suka tampil cantik juga apalagi bila kamu selalu bepergian kemana-mana dengan si nona Desi ini, paling tidak agar kamu tidak terlihat seperti gunung hijau dan jurang yang dalam. Tentu saja yang satunya terlihat menyehatkan mata dan satunya membuat kamu menutup mata. Oke mungkin aku terlalu berlebihan mengecilkan kelebihan diriku dengan perbandingan ini. Kalau kalian sudah pernah melihat Tania, tentu saja aku tidak jauh berbeda dengan dia. Hmmm...baiklah, kalau yang ini bisa kubilang berlebihan karena bagaimanapun Tania jauh lebih cantik dariku. Kecantikan yang bisa membuat kepala siapa saja akan menoleh saat kamu berjalan tanpa perlu usaha keras.

"Ava!" jeritan Desi menyentakku keluar dari pikiranku yang sibuk mengoceh sendiri dengan tangan yang masih belum lepas dari kamera ponsel yang merefleksikan wajah kusamku.

"Aku memang lusuh."

"Emang di Ende itu nggak ada salon apa?"

"Ada sih...hanya saja mana sempat?" aku bangkit sambil menyingkirkan guling dari pelukanku. Dengan langkah setengah diseret aku berjongkok di depan koperku meneliti pakaian pantas yang bisa aku pakai ke tempat playboy itu berada.

"Gue pinjam baju lo ya..." kataku dengan mata yang masih terpaku di depan koperku yang terbuka. Di dalam sana hanya berisi kaus dan jeans yang tentu saja sangat cocok dengan dikenakan dengan sneaker lusuh kesayanganku. Banyak pakaianku yang kutinggalkan di Jakarta dan ada beberapa pasang terusan yang lumayan cantik yang saat ini kutinggalkan di Ende. Jadi tentu saja isi koper ini sama sekali tidak membantuku untuk berada di antara manusia-manusia sejenis kak Tania di salah satu beach club di Bali ini.

"Oke..." Desi berjalan ke depan lemarinya kemudian membukanya. "Lo kayaknya cocok pake yang ini." Dia mengeluarkan mini dres hitam tanpa bertali satu yang membuatku langsung mendorong tangannya.

"No!"

"Seksi lagi."

"Gue atau lo yang punya job malam ini?"

"Job? Lo kira gue apaan?" protes Desi yang membuatku tertawa.

"Gue pinjam ini aja." Aku menyambar atasan putih simple dari lemari Desi. "Kayaknya ini cocok deh sama jeans gue."

"Terserah lo deh."

"Terus gue pinjam ankle boots lo yang itu ya." Aku menunjuk salah satu sepatu Desi di barisan rak sepatunya.Desi hanya mengangguk.

"Nggak nyangka gue harus merayu Om-Om malam ini." Desi menyapukan lipstick merah di bibirnya. "Dan ini semakin terdengar murahan banget." Sambungnya lagi.

"Dia sudah Om-Om?"

"Thirty something. Udah om-Om lah." Desi menyahut ringan. "Om-Om ganteng sih." Tambahnya lagi.

"Hmmm...kok gue nggak yakin sih sama lo. Gue takut lo jadi suka beneran sama ini Om."

"Kalau pada akhirnya gue bisa menghentikan sifat playernya, gue rasa nggak ada salahnya. Bagus juga tuh buat jadi inspirasi film romantis."

"Lo gila!" aku melempar bantal ke arahnya dan kami pun tertawa bersama.

Dan akhirnya aku pun berhasil menjadi partner Desi dalam menjalankan misinya. Beberapa kali aku sempat mengatakan pada Desi untuk mengurungkan niatnya. Membuat seseorang asing—yang pada dasarnya tidak kau sukai—untuk masuk ke dalam hidupmu adalah hal yang terlalu berisiko. Tapi sepertinya Desi suka hal yang berisiko. Dia menganggap ini sebuah petualangan. Sebagai teman dekatnya aku tahu Desi adalah tipe perempuan yang tidak mudah jatuh cinta. Sejak aku mengenalnya, aku tahu hanya ada satu laki-laki yang mampu menundukkan hatinya. Reynold. Mereka putus karena Reynold harus melanjutkan studi ke Inggris sedangkan Desi adalah tipe perempuan yang realistis yang merasa LDR hanyalah sebuah mitos. Menurutnya kalau Rey balik dan mereka masih sama-sama punya cinta itu maka mereka bisa kembali bersatu. Sesederhana itu.

***

Erick Leitner

Aku hanya bisa tertawa menimpali obrolan Dama dan Vincent yang mengisi meja kami malam ini di Tropiz. Suatu kebetulan aku bisa bertemu dan ngobrol dengan dua teman lamaku ini. Kami sama-sama pernah kuliah di Sydney sebelum aku memutuskan pindah ke Gold Coast, Queensland untuk masuk sekolah penerbang. Dama adalah lajang sepertiku di usianya yang menjelang 33 tahun yang sekarang menjadi pengusaha properti di Yogya. Sedangkan Vincent sebaliknya, diusia 32 tahun, ia sudah punya tiga anak dan seorang istri yang cantik yang selalu akan menyambutnya saat pulang ke rumah. Ia seorang bankir yang tinggal di Jakarta.

"Lo liat dong si Erick. Kerjaannya jalan-jalan didampingi perempuan-perempuan cantik. Jenis manusia macam ini yang nggak bakal nemu kata pernikahan dalam kamusnya." Dama menunjukku dan membuatku hanya bisa tertawa. "Kalau gue sih standarlah jawabannya belum ada yang pas aja." Dama menenggak bir dari botolnya.

"Kalau gue masalahnya sih bukan belum ketemu yang pas aja tapi gue masih belum tega biarin istri gue kalau sakit harus nyetir sendiri ke dokter. Kasian kan?" Aku mencoba mengeluarkan pendapat yang lebih bijaksana.

Vincent berdecak.

"Sudahlah kalian berdua stop cari alasan. I am not judging okay." Vincent berkata sambil mengecek ponselnya dan kemudian melakukan panggilan telepon dengan anak bungsunya.

"See?! Tipe kepala keluarga." Kata Dama dan membuat kami bertiga kembali tergelak.

Obrolan kami mulai merembet kemana-mana. Dama si pengusaha sedikit berdebat dengan Vincent yang seorang bankir tentang masalah investasi dan pinjaman, dan aku hanya sesekali menimpali karena bukannya aku tidak tertarik dengan diskusi mereka namun sejak tadi aku merasa ada sepasang mata yang memperhatikanku. Aku memegang botol birku dan menenggaknya sedikit kemudian memperhatikan dengan seksama perempuan yang memandangku dengan cukup intens. Aku perlu melihat sekelilingku untuk memastikan bahwa hanya aku obyek dari penglihatannya itu.

"Sebentar." Kataku pada Dama dan Vincent dan kemudian beranjak meninggalkan meja kami.

"Kemana Rick?" seru Dama dan aku hanya menjawabnya dengan gerakan tanganku. Perempuan itu duduk sendirian di mejanya. Aku melihat ada segela iced tea dan segelas margarita di depannya. Aku yakin dia dengan seseorang. Perempuan itu terlihat sedikit kaget melihat aku melangkah mendekatinya. Ia tampak sedikit gugup dengan menyambar gelasnya lalu menyesap isinya.

"Hi!" Sapaku saat sudah berada di depannya. Bola matanya bergerak gelisah saat mendengar sapaanku. "Apa kamu mengenaliku?" Tubuhnya kini yang gelisah. Ia mendadak menegakkan tubuhnya dengan mata yang bergerak ke sana kemari. Dengan penuh percaya diri aku menarik kursi di depannya.

"Maaf, aku hanya mau memastikan." Aku menyertakan senyum ramah agar membuat perempuan di depanku tidak gugup lagi."Biar aku nggak ke-GR-an aja." aku mencoba bercanda.

"Maaf juga, aku nggak sengaja." Jawabnya.

"Nggak sengaja?"

Dia mengangguk cepat.

"Aku..." Dia memandangku dengan raut ragu.

"Jadi kamu mengenaliku." Aku memastikan.

"Secara langsung sih enggak. Tapi temanku." Dia mengacungkan jarinya ke satu arah. "Dia lagi di toilet." Sambungnya lagi. Oh jadi aku sudah menjadi obyek obrolan mereka. Entah siapa teman perempuan ini, aku yakin obrolan tentangku bukanlah sesuatu yang bagus. Tatapan intens perempuan ini tadi terasa seperti sebuah investigasi. Aku bisa menangkap desisannya yang tercipta dari bibirnya saat ia menjelaskan tentang temannya. Seperti desisan penyesalan.

"Jadi kamu tau siapa aku?"

"Nggak."

Aku menautkan kedua alisku. Kali ini aku mencoba melihat lebih detil wajah perempuan di depanku. Kedua matanya yang bulat dibingkai dengan bulu mata yang cukup panjang sehingga terlihat lentik alami. Hidungnya mungil dengan sepasang bibir yang cukup menggoda karena saat ini ia terlihat sedikit menggigit bibir bawahnya. Di antara puluhan orang di tempat ini dan dengan penerangan yang minim serta musik dengan volume maksimal aku sebenarnya heran dengan aksiku ini. Perempuan di depanku ini seharusnya tidak begitu saja menarik perhatianku. Ah...bukan dia yang menarik perhatianku namun tatapannya. Aku hanya merasa terintimidasi dengan tatapannya itu. Hal itu yang menarikku untuk duduk di hadapannya saat ini.

"Siapa temanmu?"

Dia menghembuskan napas cukup keras. Bisa jadi ia menyesal sudah membuatku datang ke meja ini.

"Ummm..."

"Hi?!" Seorang perempuan sudah berdiri di sebelahku. Tatapannya sekilas melihatku kemudian beralih ke temannya dengan tatapan bingung.

"Jadi kamu yang mengenaliku?" kulirik perempuan yang duduk di depanku sedikit meringis dan memejamkan matanya. Dan perempuan yang baru saja datang, yang bisa kubilang sangat menarik, menarik kursi di sebelahku.

"Umm...seseorang menceritakan tentang kamu padaku."

"Something bad?"

"No!" dia menggeleng cepat dan membuatku tersenyum. Yup, dia sangat cantik apalagi dengan ekspresi terkejutnya itu. Aku langsung tahu bahwa cerita tentangku bukanlah sesuatu yang bagus.

"Oke kenalin, aku Desi." Perempuan itu mengulurkan tangannya padaku.

"Erick." Sambutku.

"Dan itu temanku, Ava." Desi mengenalkan perempuan yang masih tampak gelisah.

"Ava?" aku mengulang nama itu, nama yang tidak asing di telingaku.

"Ya?" perempuan itu sedikit terperanjat saat aku mengulang menyebut namanya.

"Aku hanya sering mendengar nama Ava akhir-akhir ini." aku menjawab keterkejutannya.

Kali ini dia tertawa.

"Kenapa?" tanyaku cepat setelah mendengar tawanya.

"Umm...aku juga sering mendengar nama Erick akhir-akhir ini."

Senyumnya perlahan memudar dengan mata yang masih terkunci padaku. Kali ini tatapannya mampu membuatku meneguk ludah.

"Ava argani?" Nama itu tiba-tiba dengan mulus keluar dari mulutku dan membuat perempuan di depanku membeku sesaat. Aku juga sama terkejutnya dengan dia, karena aku lupa dari mana aku tahu nama lengkapnya.

"Ka...kamu mengenaliku?" perempuan itu memajukkan tubuhnya lebih dekat ke arahku. Aku sendiri juga tiba-tiba bingung dengan situasi ini.

"Kamu kenal Ava?" Desi mengernyit tak percaya.

"Aku umm...aku mendengar namamu dari seseorang." Aku tidak percaya bisa bertemu adik Tania di tempat ini. Bukannya dia seorang dokter yang sedang magang di Flores? Ini sangat lucu. Jadi ini malaikatnya?

"Siapa?"

"Aku rasa aku harus pergi. Karena aku punya penerbangan dini hari. Aku yakin kalian berdua sudah tahu siapa aku kan? Jadi apapun rencana kalian bisa kubilang gagal." Aku tersenyum dan membuat Desi membuang penglihatannya dariku dan si malaikat Ava masih menatapku dengan seribu pertanyaan di wajahnya.

"Bye...ladies." Aku beranjak dari meja mereka dan hendak kembali ke teman-temanku.

"Tunggu!" perempuan malaikat itu sudah berdiri di depanku dan menghentikan langkahku. "Kamu tahu aku dari siapa?"

"Seseorang."

"Iya siapa?" dia sedikit berkeras.

"Tania."

Jeda beberap detik.

"Jadi kamu teman Kak Tania?" Dia tampak tersenyum lega sangat berbeda dengan ekspresi-ekspresi sebelumnya. "Jadi kamu Erick si malaikat itu?" Dia sedikit menengadah menatap mataku.

"Malaikat?" aku tertawa sedikit geli.

"Ya. Kak Tania menyebutmu seperti itu." Dia berkata dengan sumringah seakan itu adalah berita gembira. "Kamu...pacarnya?

"Aku? Ohh..nggak! Aku hanya temannya." Senyum di bibirnya menghilang. Dia hanya mengatakan 'oh' dengan nada kecewa. "Kalau kamu tahu aku dari cerita temanmu. Kamu pasti akan senang kalau aku bukan pacar Tania."

Dia terdiam.

"Oke...sudah dulu ya. Salam aja buat Tania."

"Bagaimana kalau Kak Tania menyukai kamu?" sekali lagi kata-katanya membuatku tidak jadi melangkah. Aku menatap lekat gadis ringkih di depanku. Bagaimana mungkin dia seorang dokter? Dia tampak sangat lemah. Aku berbicara dalam hati.

"Tania menyukaiku?"

"Mungkin."

"Oke aku nggak bisa melarang perasaan seseorang." Aku tidak berniat meneruskan obrolan ini dan hendak berbalik melangkah.

"Jangan beri harapan padanya." Kata-katanya terdengar tidak enak di kupingku.

"Aku hanya berbuat baik. Apakah kalian para perempuan bisa membedakan itu?" aku sebenarnya sudah tidak mau meladeni kata-kata perempuan di depanku ini.

"Kadang memang kami nggak bisa membedakan."

Aku tertawa tawar dengan jawabannya.

"Who are you?" aku kembali memandang matanya. "Sesekali hiduplah untuk dirimu sendiri. Kamu nggak perlu repot dengan hidup orang lain, meski itu kakakmu."

Wajahnya sedikit menegang mendengar kata-kataku. Oke aku merasa aku sedikit kelewat batas tapi aku hanya ingin menghentikan pembicaraan ini. Ada suatu hal yang tidak kusukai dari perempuan ini. She is so selfless. Karena aku seperti melihat diriku sendiri ketika bersama Alice. Dan aku membenci diriku saat itu

"Maaf kalau aku sudah mengganggumu." Dia sedikit menunduk kemudian berjalan gontai meninggalkanku.

"Ava!" panggilku. Ia berhenti sejenak melihat ke arahku. "Be happy!" aku tidak percaya dengan kata-kataku sendiri. Namun aku rasa aku perlu mengatakan hal itu padanya. Wajah perempuan itu sarat beban. Mata bulatnya justru berbinar di saat dia bicara tentang Tania. Ada apa dengannya?

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 115K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
535K 42.1K 18
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
2.4M 107K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
8.9M 110K 45
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...