SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

3

4.1K 395 7
By SophieAntoni

***Warning Typo

***Jangan lupa voment ya....thank u

Ava Argani

Hatiku berdebar tak karuan saat baru saja membaca pesan Whatsapp Kak Tania. Dia baru saja mengabarkan kalau Mama masuk RS. Aku sudah mencoba beberapa kali menelepon Kak Tania namun ia tidak menjawabnya. Mama memang punya riwayat darah tinggi dan jantung, dan sudah beberapa kali Mama collapse karena dua penyakit itu. Hal yang memicu tentu saja kalau Mama sedang merasa marah dan tertekan. Aku dan Kak Tania selalu menjadi pemicu sakit Mama, karena itu setelah Mama dulu masuk RS karena sikap berontakku untuk pertama kali kulakukan saat kelas 5 SD, aku mulai berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah melakukannya lagi. Tentu saja ada sesuatu yang besar yang lebih mempengaruhi perubahan sikapku. Aku akan menceritakannya nanti. Aku kemudian menjadi anak yang patuh meski dibawah sinar mata kebencian Mama. Aku sebisa mungkin membuat Mama tidak marah dan tertekan. Aku menyabarkan diriku hingga aku lulus SMA dan memilih untuk ngekost dan tinggal jauh dari pandangan Mama.

Melalui lorong-lorong yang menanjak di RS umum daerah ini sudah menjadi rutinitasku dan tidak lagi membuat aku terengah-engah seperti hari-hari pertama kedatanganku sebagai dokter magang. Dari kejauhan, tepatnya dari bangsal anak, Santi, sesama teman dokter magang, melambai ke arahku.

"Mau makan siang dimana?" aku mengernyit mendengar pertanyaan Santi seolah-olah kita punya pilihan untuk makan siang selama ini. Bisa dibilang para dokter magang yang berjumlah 4 orang di RSUD ini hanya punya satu tempat makan andalan yang memang jaraknya tidak terlalu jauh di RS. Aku sendiri lebih memilih pulang ke rumah karena Mama Bunga selalu menyiapkan jatah makan siang untukku, hanya sesekali aku ikut bersama teman-temanku untuk makan di luar.

Aku mulai mengerti dengan pertanyaan Santi ketika aku melihat bayangan dokter Rama berjalan ke arah kami.

"Ada tempat makan cukup enak di Jalan Kelimutu. Teman saya yang bilang, sih. Citra?" Dokter Rama ikut menimpali percakapan kami, entah bagaimana ia bisa mendengar apa yang baru saja kami obrolkan atau mungkin karena Santi sudah terlebih dahulu menawarkan makan siang bersama dengan dokter Rama sebelumnya.

"Oh iya dok...aku tahu tempatnya. Emang disana cukup enak." Santi tersenyum sumringah.

"Kamu mau ikut?" dokter Rama memandangku. Aku hanya menggeleng.

"Ayo ikut aja, Va. Nih kita lagi nunggu Dian sama Vandi." Santi menyebut dua teman dokter magang kami.

"Aku nggak bisa." Aku bisa menangkap senyum kecil dokter Rama, dan aku menilai senyum itu lebih kepada senyum sinis. Entahlah, aku merasa seperti itu. Memang aku akui sudah beberapa kali aku melewatkan kesempatan untuk ada bersama dokter Rama di suatu tempat. Misalnya saat aku diminta bantuan untuk mendampinginya melakukan visit ke bangsal anak untuk mengecek pasien, atau membantunya di poliklinik, aku selalu punya alasan untuk menolaknya. Bukan suatu kesengajaaan, karena aku sama sekali tidak punya niat untuk menghindar darinya, karena demi Tuhan aku tak punya alasan untuk itu.

"Saya pikir kita berempat saja sudah cukup." Dokter Rama menyimpulkan dan membuat aku semakin yakin kalau laki-laki itu mendapat kesan yang salah dari sikapku selama ini. Baiklah, aku tidak terlalu peduli. Sekarang yang aku pedulikan adalah menemui dokter Steven, dokter pembimbingku untuk meminta ijin pulang ke Jakarta. Semoga dokter Steven memberi ijin mengingat jatah cuti untuk kami para magang hanya 3 hari dalam setahun dan selama sembilan bulan ini aku sama sekali belum pernah menggunakannya, dan aku nggak mungkin hanya pulang selama tiga hari, setidaknya aku butuh seminggu.

Dan beberapa menit kemudian Santi sudah berlalu bersama dokter Rama. Aku hanya bisa membuang napas pelan dan menuju ruang dokter Steven. Meski Tania belum mengabarkan seberapa parah situasi Mama, aku rasa aku perlu pulang. Aku sudah satu setengah tahun tidak bertemu Mama, dan itu waktu yang cukup lama.

Aku tersenyum lega saat keluar dari ruangan dokter Steven. Aku sudah mendapatkan ijinnya dan siang ini aku akan segera memesan tiket ke Jakarta. Sebagai dokter magang kami memang mendapatkan gaji bulanan yang tidak terlalu besar dan kadang dirapel beberapa bulan, tapi untung saja almarhum Papa sudah mewariskan uang untukku yang menurutnya cukup untuk digunakan selama menempuh kuliah kedokteran hingga menempuh spesialisku. Aku bisa sedikit mengambilnya dari tabungan itu untuk membeli tiket.

Aku hidup berhemat bukan saja sejak kuliah tapi sejak aku mulai menyadari bahwa aku hanyalah seorang anak yang tidak diharapkan dalam keluargaku, meski saat itu Papa, orang yang selalu membelaku, masih hidup. Dan ketika Papa meninggalkan kami saat aku menginjak bangku kelas dua SMA, aku mulai mendidik diriku sendiri untuk hidup mandiri dan menggunakan uang peninggalan Papa sebijaksana mungkin.

Aku sedang menuju ruang IGD ketika rombongan empat teman dokter magangku baru saja pulang dari makan siang. Aku tidak melihat dokter Rama di antara mereka.

"Udah makan siang Va?" Vandi yang menyapaku.

"Udah." Jawabku berbohong karena aku hanya mengganjal perutku dengan roti bakar coklat keju yang kubawa dari rumah kosku sejak pagi.

"Kamu kenapa si sepertinya suka menghenidar dari dokter Rama? Kamu naksir dia ya?" Dian berbisik di telingaku saat Santi dan Vandi sedang saling bercanda berjalan mejauhi kami.

"Aku nggak maksud menghindar hanya saja timing selalu nggak pas setiap kali dia minta bantuanku."

Dian hanya berdehem panjang setengah menggodaku.

"Kalau misalnya kamu beneran naksir mending nggak jadi aja deh...batalin perasaannya." Dian melirik sesekali ke belakangnya. "Dia udah punya cewek, atau mungkin istri. Tapi mengingat nggak ada cincin di jarinya, aku rasa perempuan yang selalu nelponin dia itu ceweknya sih." Dia meralat pernyataannya.

"Aku nggak naksir dia." Tegasku.

"Siapa tahu...jadi ini sekadar warning aja." Dian nyengir sambil menepuk pelan bahuku. "Padahal aku berharap banget bisa punya kisah romantis di kota sepi ini, seenggaknya bikin aku lebih bersemangat tiga bulan ke depan." Dian mencebik kemudian berjalan gontai hendak meninggalkanku.

"Dian!" Aku menghentikan langkah gadis itu. "Aku besok ke Jakarta." Dian menoleh dan membulatkan kelopak matanya.

"Kenapa?"

"Mamaku masuk RS. Aku berangkat besok pagi."

"Ya Tuhan!" Dian menutup mulut dengan tangannya.

"Dokter Dian!" suara perawat dari ujung koridor seketika menghentikan obrolan kami.

"Oke..nanti aku bilang anak-anak. Hati-hati dijalan besok ya." Dian masih sempat berseru kepadaku sambil melangkah cepat meninggalkanku. Aku melirik jam di pergelangan tanganku dan saat aku hendak melangkah aku merasa tubuhku terhuyung kebelakang karena baru saja menubruk seseorang.

"Maaf." Aku meringis sedikit dan mengangkat wajahku lalu mendapati sosok yang baru saja dibahas oleh Dian tadi da di depanku dan menjadi korban dari ketidakhati-hatianku tapi sepertinya di situasi ini aku yang lebih tepat disebut korban.

"Kamu sendiri nggak apa-apa?" tanya dokter Rama. Aku mengangguk dan sedikit tersenyum. Saat aku hendak melangkah lagi, dokter Rama kembali bersuara dan membuatku berhenti.

"Kenapa kamu selalu menghindariku?"

Aku butuh beberapa detik meyakinkan pertanyaan itu ia tujukkan padaku sebelum aku berbalik.

"Aku?"

"Ya."

"Maaf dokter, aku nggak pernah menghindar hanya timingnya saja nggak tepat. Waktu kemarin dokter memintaku ke poli ada seorang pasien yang memang hanya mau bertemu denganku. Jadi..."

"Oke." Dia memotong kata-kataku.

Aku terdiam.

"Ava...mungkin aku pernah memberi kesan yang salah saat kita pertama kali bertemu." Rama menatapku sedikit tajam dan membuatku teringat akan pertemuan pertama kami dan ekspresinya waktu saat aku menyebut namaku, seakan-akan ia pernah mengenal seseorag bernama Ava sebelumnya. "Ummm...tapi aku sama sekali nggak punya niat untuk mengejar seorang cewek di sini." Dia tersenyum dan seketika membuatku benar-benar tersinggung.

"Maaf...saya rasa Anda salah dokter. Saya sama sekali ngak pernah berpikir sejauh itu." Aku yang kali ini tersenyum sedikit mengejek dengan kepongahannya. Sungguh laki-laki di depannya ini benar-benar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Oke, dia memang tampan dan menjadi bahan pembicaraan seantero RS saat ia pertama kali tiba, bukan hanya di antara staf tapi juga para pasien. Pasien anak-anak di RS ini tiba-tiba mempunyai idola baru. Aku akui Rama pintar menghadapi anak-anak, tapi sepertinya dia terlalu besar kepala jika yang dihadapinya adalah perempuan. Atau mungkin dia mengira akulah satu-satunya perempuan yang tidak terlalu peduli padanya, dan itu sedikit menyakiti gengsinya. Seberkas ingatanku tentang dokter Rama, entah siapa dia, di masa kecilku dulu seketika terhapus total dengan aksinya saat ini.

"Oke..." aku menelan kekesalanku saat dia hanya berucap pendek. Dan senyum di bibirnya masih ada seperti ingin mengatakan padaku aku hanya sedang menyelamatkan gengsiku, bahwa apa yang ia duga sebenarnya tepat. Bukankah perempuan pintar menyembunyikan perasaannya?

"Terserah dokter." Jawabku datar dan mencoba tidak peduli meski aku begitu kesal.

"Oke."

Aku hanya tertawa kecut dengan jawaban yang sama kemudian memutuskan berlalu dari hadapannya.

***

"Ngapain kamu pulang segala?" Tania berbisik menyambutku di depan pintu kamar perawatan Mama, sesekali ia melongok ke dalam kamar dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku memang mengabarkan pada Tania saat aku tiba di bandara tadi dan langsung menuju RS di daerah Pondok Indah ini.

"Kakak sama sekali nggak ngangkat teleponku. Aku khawatir mengira Mama parah." Jawabku dengan berbisik juga namun cukup keras untuk membuat Bang Aldo muncul di sebelah Tania.

"Kamu tahu kepulanganmu juga nggak akan membuat Mama sembuh, lalu kenapa pulang?" kata-kata Aldo yang dingin sama sekali tidak lagi menusuk perasaanku.

"Mama baik-baik saja?"

"Kenapa? Kamu ingin dia nggak baik-baik saja?" Tania langsung menyikut perut Aldo. Aku hanya terdiam dan menelan rasaku sendiri.

"Boleh aku ke dalam?"

"Mama lagi tidur."

"Aku hanya ingin melihatnya."

Aldo mendengus kemudian membuat jarak dengan Tania memberi jalan padaku. Perlahan aku masuk ke dalam ruangan dan melihat Mama sedang terbaring dengan selang infus di tangannya. Aku menarik napas lega. Dugaanku yang paling buruk tidak terjadi.

"Aku akan bicara dengan dokternya." Kataku pelan pada Tania yang ada di sebelahku.

"Hmmm...dokter. Hebat kamu sekarang, seandainya Mama bisa bangga dengan titel kamu sekarang." Timpal Aldo tapi sama sekali tidak membuatku tersinggung.

"Bang." Tania melotot pada kakaknya itu.

"Kamu..." kami bertiga serentak beralih ke ranjang saat suara Mama terdengar. "Kenapa kamu pulang?" Mama memandangku dengan tatapan lemahnya, namun cukup membuatku ciut. Aku sudah tahu akan seperti apa respon Mama dengan kepulanganku, namun entah kenapa aku selalu berusaha menebalkan mukaku, mengeraskan hati dan perasaanku, hanya agar bisa ada dan menjadi bagian dari keluarga ini.

"Kamu selalu menjadi bagian dari keluarga ini, apapun keadaannya. Kamu anak Papa."

Kata-kata itu sudah mengarca dalam diriku dan sudah sulit kusingkirkan dan kubaikan.

"Aku..aku khawatir Ma." Aku menjawab dengan suara serak.

"Lebih baik kita nggak harus bertemu. Kamu sudah tahu itu. Kamu tahu apa yang akan kamu dapatkan kalau kamu ada di depanku. Kenapa kamu memaksakan diri? Kenapa kamu membuat seolah aku yang kejam?" ada sedikit emosi dalam suaranya.

"Sudah Ma." Aldo mendekati Mama dan memegang tangannya mencoba menenangkannya.

"Lebih baik kamu pulang." Aldo menoleh ke arahku.

Aku hanya bisa mengangguk menelan kembali semua kesedihanku. Memang benar kehadiranku akan selalu membuat Mama menjadi kejam. Banyak yang mengenal Mama selalu mengatakan Mama adalah sosok perempuan yang baik hati. Ya, aku mengakui itu tidak banyak perempuan yang bisa menerima dengan lapang dada saat suaminya berselingkuh hingga menghasilkan seorang anak. Namun akan sangat keterlaluan bila kamu masih menuntut kesabaran dari seorang perempuan yang sudah terpuruk? Kehadiranku di rumah menjadi pukulan terberat perempuan baik hati itu. Sudah cukup ia tahu suaminya memiliki rasa pada perempuan lain, lalu kau masih menyodorkan buah cinta terlarang suamimu ke hadapannya? Ia pantas marah dan mendendam. Namun aku yakin suatu saat nanti perempuan baik hati ini akan memandangku tanpa kebencian. Aku punya harapan itu.

"Ava minta maaf, Ma." Aku masih sempat berkata sebelum berbalik menuju pintu keluar.

Aku datang ke keluarga Paul Mahadri saat usiaku menjelang setahun. Di suatu masa, Paul bertemu kembali dengan cinta lamanya di suatu proyek perusahaan kontraktornya. Nila, perempuan itu, tidak menikah sejak putus hubungan asmaranya dengan Paul bertahun-tahun lalu. Paul adalah tipe laki-laki setia namun sepertinya pesona Nila mampu mengoyak kesetiaan itu. Hanya satu malam mereka bersama dan membuat Nila mengandung. Paul mencoba menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dengan membiarkan kehamilan itu terus terjadi. Dia mengakui kekhilafannya itu pada Diana, istrinya, dan tentu saja berita itu menjadi neraka bagi Diana. Dengan kekuatan cintanya ia memaafkan suaminya namun sepertinya dukanya tidak berakhir disitu ketika aku muncul setahun kemudian di rumahnya.

"Nila meninggal dalam kecelakaan. Aku nggak mungkin membiarkan anak ini bersama orang lain. Dia anakku. Aku mohon Diana, aku mohon terimalah dia. Aku yang akan menanggung dosa ini seumur hidupku karena sudah menyakiti kamu. Tapi anak ini, dia tidak bersalah." Paul bersimpuh di kaki Diana memohon agar aku menjadi bagian keluarga mereka. Itulah cerita tentangku, dan semua orang yang mendengarnya pun pasti akan paham mengapa Aldo dan Mama begitu membenciku.

***

Langit berubah oranye saat aku menempati kursi pesawat di dekat jendela karena aku bebas memilih posisi duduk mengingat tidak banyak penumpang sore ini. Satu jam lagi aku akan tiba di Bali dan berencana keesokan hari aku akan melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo. Aku lebih suka memilih penerbangan Denpasar ke Labuan Bajo di banding penerbangan langsung dari Denpasar ke Ende karena aku suka dengan perjalanan darat menyusuri pulau Flores yang selalu memberikan pengalaman yang menyenangkan mata sekaligus menghibur hatiku yang gundah.

Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan....

Aku meluruskan dudukku memastikan seatbelt sudah terpasang. Pandanganku kembali kubuang melalui jendela pesawat. Kepulanganku kali ini hanya sia-sia. Tapi kucoba telan kekecewaan ini seperti biasa. Aku hanya tahu bahwa aku tak akan pernah kecewa dengan keyakinanku pada harapan.

The commander of this flight is Captain Erick Leitner, assisted by first officer Heru Prayoga...

Momen take-off adalah momen yang paling aku suka saat terbang karena rasanya menyenangkan saat perlahan kau merasa dirimu terangkat menjauh dan melihat segalanya yang berada di bawah menjadi begitu kecil. Aku memejamkan mata sejenak saat pesawat mulai menderu dan tidak lama kemudian gesekan kasar roda dan aspal di bawahnya perlahan hilang.

Para penumpang yang terhormat, selamat sore dan selamat datang pada penerbangan Jakarta menuju Denpasar. Saya, Kapten Erick Leitner, bersama ko-pilot Kapten Heru Parayoga melaporkan bahwa kita saat ini berada pada ketinggian 3.150 meter dari permukaan laut dengan kecepatan jelajah sekitar 600 km/jam...

"Erick." Aku menyebut pelan nama itu sesaat setelah pilot memperkenalkan diri. Nama mereka sama. Si malaikat Tania dan juga laki-laki yang pernah kutemui secara tak sengaja tiga tahun lalu. Aku tersenyum sendiri. Dan aku rasa pilot ini bukan laki-laki yang kutemui beberapa tahun lalu saat kami melompat turun hampir bersamaan dari atas kapal yang membawa para wisatawan sailing komodo kembali ke Labuan Bajo atau laki-laki yang disebut malaikan oleh Tania. Tentu saja banyak orang bernama Erick di dunia ini. Kalau mereka adalah orang yang sama maka akan menjadi kebetulan yang sangat hebat. Tapi aku rasa tidak. Aku mencoba memejamkan mata untuk tidur karena memang aku baru bisa memejamkan mata menjelang pagi. Otakku terlalu sesak dengan berbagai pikiran, namun aku tidak pernah menyesal dengan kepulangan ini dan cukup lega bisa menghabiskan beberapa menit melihat Mama yang terbaring sakit. Aku selalu menganggap diriku adalah anaknya dan semasa kuliah dulu aku selalu menyempatkan diri untuk menengoknya setiap kali ia sakit meski ia tidak pernah suka dengan kehadiranku.

Aku membuka mataku saat aku merasakan pesawat bergetar karena roda-rodanya baru saja menyentuh landasan. Aku sudah tiba di Bali. Desi, sahabatku sejak SMP hingga SMA, yang kini menetap di Bali karena bekerja di suatu perusahaan arsitektur di Badung, akan menjemputku. Aku memang berencana menginap di kontrakannya.

Desi sedikit melompat kesenangan saat melihat kemunculankku. Kami berpelukan dengan gembira.

"Lama banget kita nggak ketemu Va." Jeritnya. "Akhirnya..." Desi melepaskan pelukannya dan memandangku dari jarak dekat, dari atas ke bawah.

"Lo nggak pernah makan ya? Kurus banget. Kasian pasiennya kalau dokternya kurus kayak gini."

Aku hanya tertawa kecil.

"Apa hubungannya?" timpalku. Desi meringis kemudian merangkul bahuku, kami berjalan menuju parkiran.

"Va, kamu jangan langsung pulang besok dong. Kan katanya kamu punya waktu seminggu cutinya. Masih lima hari kan?"

"Tapi.."

"Ayolah...kamu butuh piknik tau nggak?" Aku berdecak mendengar kata-kata Desi. Sahabatku ini adalah orang yang paling tahu situasiku. Masa laluku beserta segala detilnya. Desi adalah salah satu faktor yang membuatku mampu melalui masa-masa sekolahku. Perempuan cantik dan ceria ini selalu menjadi obat penawar di setiap sakit yang harus kutanggung selama hidup bersama Mama setelah kematian Papa.

"Sebenarnya, gue pengen lo jadi saksi aksi balas dendam gue." Desi memasukan tas pakaianku ke bagian kursi penumpang.

"Balas dendam?"

Aku mengerutkan kening sambil membuka pintu mobil CRV-nya. Desi sudah duduk di balik kemudi.

"Gue sebenarnya udah pengen cerita lama tapi nggak enak aja kalau lewat telepon. Jadi senang banget lo ada di sini sekarang. Timingnya pas banget."

"Ada apa sih?" kejarku penasaran.

"Lo ingat cerita tentang Mbak Arina? Sepupu gue yang di Bandung."

"Iya?" Aku menjawab masih dengan nada tak paham. Aku kenal Arina tapi cerita tentang dia yang dimaksud Desi sama sekali tidak tersimpan di memoriku.

"Mba Arina minta tolong gue buat dekatin cowok. Cowok yang dulu nyakitin dia."

"Terus?"

"Ya, kata Mbak Arin gue akan bisa dengan mudah menundukkan nih cowok. Dan gue bisa bikin dia ngejar gue terus gue permalukan deh ya sesuatu semacam itu. Pokoknya biar dia ngerasain apa yang mbak Arin rasa waktu itu. Kata mbak Arin cowok itu sering ada di Bali karena kakaknya punya beach club di sini."

"Permalukan gimana?" aku masih tidak mengerti dengan niat Desi.

"Belum gue pikirin. Nanti malam setelah gue ketemu tuh cowok baru otak gue bisa bekerja."

"Lo nggak takut lo bakal jatuh cinta beneran sama nih cowok?"

Desi tertawa cukup keras.

"Lo tahu kan gue susah jatuh cinta, apalagi sama cowok yang pernah nyakitin kakak gue. Ya enggak mungkinlah." Desi berkata dengan nada angkuh.

"Tapi hati-hati...ekpektasi jauh berbeda dari realita."

Desi masih menggeleng dengan penuh percaya diri.

"Lo temenin gue ya ketemu tuh cowok. Pengen liat dia kayak apa. Dari fotonya sih orangnya oke lah, Profesinya juga oke cocoklah buat playboy semacam dia."

"Oh ya? Emang kerjaannya apa?"

"Pilot." Desi mengedip kearahku dengan senyum sinisnya. Ia mengedikan kedua alisnya sebagai tanda seakan dia sudah siap melakukan aksi balas dendam pada laki-laki itu.

"Erick Leitner. Dasar bule kampungan sok kecakepan." Maki Desi dan membuat aku terkikik pelan karena tanpa sadar Desi mengakui kalau laki-laki itu cakep di matanya.

"Hati-hati aja." Aku memperingatkannya sekali lagi. Menurutku aksi balas dendam semacam ini hanya sering terjadi di film-film itu pun selalu berakhir dengan si pemeran akhirnya jatuh cinta pada korbannya. Ah...Desi terlalu percaya diri. Tapi aku tidak pernah menyangsikan kemampuannya untuk membuat laki-laki manapun jatuh cinta. Lihat perempuan di balik kemudia ini, dia cantik, mandiri dan mapan. Desi selalu membuatku iri dalam konteks yang positif.

"Kamu bilang namanya siapa? Erick?"

"Hmm..." Desi berdehem mengiyakan.

"Dia pilot?"

"He eh."

Aku kemudian tertawa.

"Kenapa? Lo kenal?" Mata Desi membulat kaget. Dengan cepat aku menggeleng.

"Gue terlalu sering mendengar nama Erick akhir-akhir ini. Pilot gue tadi namanya Erick juga."

"What?" Desi membelalak kemudian terkekeh kencang. "It is like a sign."

Continue Reading

You'll Also Like

624 115 8
Lepas dari status mahasiswa alias sudah sarjana adalah kebahagiaan tak terhingga bagi Arinda, rasanya seperti kau terikat dalam lorong gelap dan akhi...
13.6K 1.7K 33
Harumi pernah gagal dalam pernikahan. Demi mengobati luka hati, dia pindah kota dan memulai hidup baru sebagai bagian dari tim Wedding Story (WeSto)...
3.5M 27.4K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1K 108 43
Kehidupan dewasa yang kosong dijalani tanpa arah yang pasti. Walau memegang teguh pesan dan nilai hidup, ketidakhadiran orang tua menjadikan semuanya...