A Cup of Cocoa

By Mandascribes

3K 240 109

15+ [Novella] Warning: dark content. Azrael tahu bahwa Carolina pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik... More

Part 1
Part 2
Part 3

Part 4

474 39 23
By Mandascribes

Tubuh Carolina terasa seperti potongan kayu yang luar biasa ringan di dekapan Azrael. Kedua rambut mereka berkibar ke atas seperti bara kematian yang makin menggelora. Azrael tak tahu apa perbuatannya itu akan menyelamatkan Carolina atau tidak, karena dia tahu tubuhnya yang tinggi dan kokoh hanya akan menambah beban keduanya. Selama di udara, Azrael hampir ingin menumbuhkan kedua sayap kelamnya, sebelum dia menyadari bahwa berubah wujud tak akan membawa perubahan apapun selain hanya akan membiarkannya menyentuh nyawa Carolina alih-alih raganya. Azrael merasa dia hanya melakukan satu-satunya yang dapat dia pikirkan di waktu secepat sambaran kilat di atas kota New York.

Meloncat dan melingkupinya sebagai tameng adalah hal yang betul-betul ekstrim bagi Azrael. Dia tahu dia adalah malaikat, tetapi bukankah saat itu dia sedang berubah wujud sebagai manusia? Azrael dapat merasakan tetesan hujan yang merasuki kerongkongannya saat dia meneriakkan nama gadis itu, sensasi kesemutan yang merayap dari jari-jari kakinya, suhu beku belulang Carolina di tubuhnya, dan silau langit yang sedang dipecah-belah oleh sambaran halilintar ketika dia terjatuh sambil menghadap angkasa. Satu hal yang menjadi ringkasan: dia tidak sekuat biasanya. Ketika sayap-sayap kelam itu bercokol di punggungnya dan jemarinya memilin tongkat sabit, dialah sosok murni malaikat maut yang siap merenggut. Kini dia hanyalah manusia yang berharap Tuhan akan mengampuni dosanya--khususnya ketika dia telah melukai rekan malaikatnya, Michael--dan berharap Tuhan akan menyelamatkan Carolina dari langkah yang menyedihkan.

Azrael merengkuh erat gadis ringkih bernoda luka di sekujur tubuhnya itu. Netra biru Azrael memantulkan kilat menyilaukan yang sesaat kemudian mengundang gelegar sampai mengguncang jantungnya, dan tubuhnya meluncur kencang berkat tarikan gesit gravitasi. Dia membiarkan seluruh alam mengancamnya dengan maut, dan seharusnya dia tidak merasa takut, karena siapakah yang lebih tahu tentang kematian dibanding sang pembawa nyawa itu sendiri? Azrael mulai memejamkan matanya dan mengatupkan rahangnya erat-erat, persis ketika tanah sudah mulai menerima hantaman bobotnya.

BRAKKK!!!

Sampai beberapa lama, Azrael merasakan seluruh saraf di kepalanya berkedut dan mengoyak otaknya dari dalam. Rasanya begitu pening ketika organ tubuhnya bergetar karena terjatuh berpuluh meter dari tanah, sampai dia merasakan kedua bola matanya hampir meloncat keluar. Tulang punggungnya beradu dengan gerigi aspal, menjepit otot dan sebagian pembuluh darahnya. Dia bisa merasakan aspal tersebut retak dan menyerpih di sekitarnya, membentuk cekungan di kepala dan tubuhnya. Azrael membayangkan seperti inilah rasanya merasa paralisis dalam sekejap--seluruh persendiannya seakan meronta untuk saling melepaskan diri. Ketika Azrael mulai bisa mengembangkan paru-parunya kembali, dia membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sinar kelabu langit New York masih mengguyurnya dengan hujan sehingga dia pun berkedip-kedip ketika tetesan air membuat bola matanya perih. Bayangan-bayangan gedung berlipat ganda dan berputar-putar di atasnya sampai mereka bersatu-padu membentuk lanskap yang sesungguhnya.

Azrael mulai menggerakkan jemarinya. Untungnya, kedua tangannya masih melingkupi Carolina, gadis manusia yang ingin dia selamatkan. Gadis itu tertahan di dadanya, diam dan bernapas. Setelah mengetahui keberhasilan misinya, Azrael mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Memang benar dia merasa sakit ketika tanah menghantam kerangkanya, tetapi Azrael menggerak-gerakkan badannya dan mengetahui bahwa seluruh organ dan darahnya masih tertambat kokoh di dalam rangka dan kulitnya. Bagaimana bisa? pikir Azrael, dan dia mulai berasumsi bahwa ketika dia berubah menjadi manusia, dia bukanlah manusia biasa. Atau mungkin, Tuhan benar-benar mengabulkan doanya, dan dia bisa saja mati, atau seharusnya memang dia mati, tetapi Tuhan telah menyelamatkannya. Apapun jawabannya, Azrael mengembuskan napas lega dan mengucapkan syukur kepada-Nya. Seluruh malaikat memang makhluk yang amat mematuhi Sang Pencipta, tetapi Azrael merasa tindakannya barusan bukanlah sebuah bentuk kepatuhan. Sama sekali bukan.

Sangatlah menyedihkan apabila malaikat sepertinya berbuat dosa karena seorang manusia.

Azrael tak tahu apa yang dia baru saja perbuat. Tetapi dia sangat tahu bahwa kuasa Tuhan melebihi kehendak siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Jadi jika dia bisa membuat perubahan bagi Carolina, Tuhan bisa saja menggunakannya sebagai benang baru bagi rajutan takdir yang telah ada, kendati Azrael sama sekali tak membenarkan tindakannya. Sekali lagi dia memohon ampun terhadap tindakannya, dan dia merasa bahwa dia harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya dengan memohon ampun kepada-Nya karena ini.

Saat itulah Azrael mendapat tatapan mata-mata yang prihatin dan penasaran; seluruh pengguna kendaraan menepi dan mengelilinginya. Tak lama, sepasang mata cokelat pun menghadang di atas wajahnya. Azrael mengayunkan kepalanya ke depan untuk memperhatikan keadaan Carolina yang saat itu bergetar kedinginan, basah kuyup, dan terlihat luar biasa ketakutan.

Carolina berteriak, lantas Azrael menegakkan tubuhnya dan menggenggam pundak gadis itu kuat-kuat.

"Aku baik-baik saja, tenanglah!" seru Azrael padanya ketika Carolina menangis tersedu di hadapannya.

"Bagaimana bisa kau baik baik saja?? Kau melindungiku dari gedung setinggi itu!!" Carolina membantah dan memegang wajah Azrael cemas. Azrael membiarkan tangan gadis itu memeriksa tulang-tulang pada wajahnya dengan sirat mata terluka. Begitu Carolina selesai memeriksa kondisi pemuda yang sama basahnya dengan dirinya itu, Carolina masih sesenggukan tak percaya.

"Aku baik-baik saja, Carolina." Azrael berbisik sambil menyimpulkan senyuman tipis, pertanda bahwa dia tak lagi merasakan sakit. Entah mengapa, seluruh nyeri itu menghilang, seperti rambatan kilat yang menyambar menara pencakar langit yang kemudian teredam dan musnah di dalam bumi. Azrael segera memapah Carolina dan berdiri di antara khalayak yang terpaku mengerumuni mereka, menatap dengan iba. Azrael bisa saja kebal terhadap musibah macam apapun, tetapi Carolina hanyalah gadis manusia dengan tubuh kurus yang lemah.

"TOLONG PANGGILKAN AMBULANS! GADIS INI BUTUH PERAWATAN SEGERA!" Azrael berteriak, dan pertolongan itu tiba tepat pada waktunya.

*

Suara sirene ambulans menemani mereka melintasi New York dengan cepat walau kota itu sedang tidak terkena macet saat ini. Ambulance stretcher tempat Carolina tidur ikut bergoyang-goyang dan mengguncang tubuhnya yang pucat-pasi. Selang oksigen yang melingkupi hidungnya mampu membuat syoknya terkendali, tetapi Carolina tetap meratapi pemuda pirang yang duduk di sampingnya itu, sang penyelamat yang tak pernah dia harapkan. Bola mata Carolina masih gemetaran melihat sosok pemuda yang telah jatuh berpuluh meter bersamanya dan entah bagaimana sanggup melindungi Carolina dari maut yang diinginkannya. Mata gadis itu menyipit miris, tak tahu dia harus berterima kasih atau justru marah karenanya.

Azrael tersenyum ketika dia menerima tatapan itu. Tangan hangat malaikat itu menggenggam jemari ramping Carolina, membuat gadis itu semakin heran dengan kepedulian yang ditunjukkannya. Azrael mulai mengelus jemarinya dengan lembut untuk menenangkannya. Carolina mengira-ngira bahwa saat itu Azrael tengah membisikkan kata-kata penenang yang tak dimengertinya, padahal malaikat itu tengah mengomat-ngamitkan doa-doa keselamatan padanya.

Benak Carolina mulai meluapkan berbagai tanda tanya. Gadis itu berpikir apakah dia benar-benar sedang bermimpi, bukan karena dia selamat dari keputusasaannya, tapi karena seseorang telah menyelamatkannya. Terutama ketika dia sama sekali tak mengenal orang asing yang sedang bersamanya di ambulans itu. Carolina mulai beranggapan jika pemuda itu adalah kerabat jauhnya, tetapi dia pikir itu tidak mungkin, karena dia tak pernah melihat pemuda itu di seluruh acara keluarga yang pernah didatanginya ketika orangtua Carolina masih bersatu. Tetangganya pun tidak mungkin--mereka semua selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, dan kebanyakan urung mengunjungi kamar Carolina untuk sekadar menanyakan kabarnya karena kematian tragis Nyonya Sullivan di kamar itu. Sang pemilik apartemen bahkan menyerahkan kamar itu secara cuma-cuma pada Carolina, karena dia yakin tak ada yang mau menempati kamar bekas seseorang menggantung diri di langit-langit. Gara-gara kasus itu, banyak di antara penghuninya yang meninggalkan apartemen itu demi mencari tempat tinggal yang tak lebih menakutkan.

Di masa di mana seluruh orang menjauhi dan membencinya, pemuda ini nyaris mengorbankan nyawa untuknya. Sekali lagi fakta itu membuat dahi Carolina berkerut-merut.

"Mengapa?"

Carolina bertanya. Tetapi pemuda pirang itu tak langsung menjawabnya. Tatapan mata birunya mengingatkan Carolina tentang langit sebelum mendung melanda, begitu cerah dan penuh dengan harapan. Ini pertama kalinya Carolina merasa tenteram melalui tatapan tulus seseorang.

"Aku seharusnya mati," Carolina menghirup napas dengan terbata. "kau tak berhak ikut campur dengan urusanku."

Azrael membuka mulutnya untuk menjelaskan, "Aku tidak ingin--"

"Bagaimana jika kau mati?" isakan Carolina memotong perkataannya, bulir air mata membendung di kantung matanya. "Apa yang akan kulakukan bila aku membiarkan orang lain mati karenaku? Aku tak akan memaafkan diriku sendiri karena itu."

"Itu bukan salahmu. Kau tidak minta diselamatkan. Ini pilihanku sendiri. Tapi, aku tidak menyesalinya." Azrael menjawab spontan, sementara Carolina masih menatapnya dengan pandangan buram. Tangisan itu membasahi bekas-bekas luka di sepanjang pipinya, luka-luka yang menurut Azrael tak mencoreng harapannya.

"Ini mustahil. Kau tidak mungkin tidak terluka." Carolina meringis. "Mengapa? Mengapa kau melakukan itu, orang asing?"

Azrael menelan ludah dan memejamkan mata sesaat. Sebagian dari dirinya merasa ngeri ketika tangisan masa lalu Carolina menghantuinya dari sisi yang tergelap. Sebagian yang lain adalah rasa ragu, takut, khawatir, dan rasa ingin memberontak. Terhadap Tuhan, terhadap takdir, terhadap dirinya sendiri, dan terhadap Carolina, gadis yang terpuruk itu. Azrael tahu bahwa mulai saat itu, kaum malaikat mencapnya sebagai buronan. Butuh waktu beberapa lama saja sampai dia bisa bersembunyi dari incaran para Grim Reaper, syukur-syukur bila mereka membiarkannya hidup. Dia tidak tahu siksaan macam apa yang akan menantinya di Dunia Malach HaMavet. Untuk sementara waktu, Azrael menelan kepiluan itu dalam-dalam dan menggenggam tangan dingin Carolina lebih erat lagi.

"Kau tidak mendengarkanku," kata Azrael dengan teguh. "kubilang hidupmu akan menjadi lebih baik. Kebahagiaanmu akan datang, jika kau bertahan sekarang."

Mendengarnya hanya membuat perasaan Carolina semakin berkecamuk. Bagaimana seseorang lebih yakin terhadap kehidupannya daripada dirinya sendiri? Lagi pula, dia hanya orang asing. Carolina ingin memrotes, tetapi kesadarannya mulai menurun. Desau napasnya sudah terlalu membebaninya, dan penglihatannya yang terakhir hanya memperlihatkan iris biru pemuda itu yang menguar menjadi warna langit New York.

*

Carolina kecewa ketika dia mendapati sinar putih yang menyambutnya ternyata bukan surga atau kehidupan akhirat yang pernah dibayangkannya. Dia berada di rumah sakit, selang infus menembus kulit punggung tangannya dan mengalirkan tetes-tetes cairan yang sejuk. Lagu bertema rohani tersiar lirih dari speaker, membawa kesadarannya kembali. Pakaian basahnya kini tergantikan setelan piyama hijau sederhana. Dia menggerakkan kepalanya perlahan, merasakan lembutnya bantal dan balutan selimut hangat di sepanjang tubuhnya. Kini Carolina merasa benar-benar membaik, dia menduga telah tertidur di tempat itu selama seharian penuh.

Uhuk, uhuk. Suara itu membuat Carolina ingin mengintip pemandangan di balik tirai putih di bagian kanan ranjangnya. Jika Carolina sedikit meringsut ke atas, dia bisa menangkap bayangan pria tua berusia sekitar setengah abad yang tengah tertidur tak berdaya. Tiap beberapa menit bapak-bapak itu akan terbatuk, seakan dia tidak akan bisa bernapas tanpa mengenyahkan rasa sesak di dadanya. Dokter dan suster sering memasuki kamar itu untuk melihat keadaannya. Dari yang didengar Carolina, bapak-bapak itu menderita penyakit paru yang kronik.

Carolina pun mengintip tirai di sebelah kirinya untuk mencari tahu jika ada seseorang di sana. Ternyata ranjang itu juga terisi pasien; kali ini lelaki yang lebih tua, seluruh rambutnya sudah beruban. Tetapi, kakek-kakek itu tertidur sangat pulas, gerakan napasnya pun terlihat begitu pelan sampai Carolina nyaris mengira kakek-kakek itu sudah mati. Berbeda dengan sang bapak-bapak di samping kanannya, kakek-kakek itu tak pernah sadar dan tak pernah menimbulkan suara. Dia terlelap pulas dan tak membuka matanya barang sekali saja.

"Nona Carolina, akhirnya Anda sudah terbangun. Bagaimana perasaan Anda?"

Seorang suster muda berambut hitam pendek datang di sisi tempat tidurnya. Suster itu tersenyum ramah padanya sambil mencatat di sebuah map berisi banyak kertas. Ragu, Carolina hanya mengangguk-angguk.

Suster itu tersenyum kembali. "Nona jangan khawatir, seluruh biaya pengobatan Nona sudah ditanggung rumah sakit. Sekarang, kami akan terus merawat Anda sampai kondisi Anda membaik untuk bisa pulang. Oke?"

Carolina mengangguk lagi. Entah dia ingin merespon dengan apa--berada di tempat itu bukan keinginannya. Gadis itu tahu bahwa pihak rumah sakit pasti telah menemukan identitas dan masa lalunya yang memilukan, sehingga mereka memutuskan untuk memberikannya bantuan pengobatan. Sekali lagi Carolina tak tahu mesti menanggapinya dengan apa, dan dia masih tidak cukup berani untuk memikirkan rencana bunuh diri untuk yang kedua kalinya. Cara suster itu bersikap mengindikasikan rasa iba yang mencolok. Lihatlah, gadis malang yang mencoba membunuh dirinya sendiri ini. Dia hidup sebatang kara, benar-benar malang nasibnya! Ketika suster itu pergi, Carolina menatap bangsal itu dengan hampa.

*

Di waktu sore hari, banyak orang yang memasuki bangsal itu, bukan untuk menjenguknya, tetapi untuk menjenguk bapak-bapak yang selalu terbatuk-batuk di sampingnya. Para pembesuk itu mungkin merupakan sanak-saudara juga rekan-rekannya yang begitu peduli. Beberapa dari mereka membawakan buah-buahan, bunga-bunga, buah tangan apapun yang menunjukkan kepedulian mereka. Meski bapak-bapak itu tak banyak bicara, pembesuk-pembesuknya tak pernah bosan untuk menyapa dan mendoakan harapan yang begitu tinggi untuknya.

"Richard, cepatlah sembuh. Kami semua rindu ingin menghabiskan musim panas lagi denganmu. Hei, apakah kau ingat momen ketika terakhir kali kita memancing di sungai itu?"

"Sudah kubilang rokok itu berbahaya untukmu. Tetapi kau memang keras kepala dari dulu. Semoga kau tak menyentuh benda itu lagi begitu kau sembuh."

"Ayah, aku tak percaya dokter itu berkata bahwa kondisi ayah memburuk. Aku yakin Tuhan akan menyembuhkan ayah."

"Bahkan ketika kau sakit, kau terlihat begitu bugar. Cepat kembali ke kantor, Richie. Pak Manajer tak akan puas bila kau tak membantunya lagi."

Dan berbagai ekspresi dari para pembesuk itu bermacam-macam. Ada yang menangis, ada yang melontarkan candaan, ada juga yang begitu serius dan membacakannya ayat suci selama mereka menjenguknya. Carolina kini mengerti bagaimana rasanya mendapat perhatian sebanyak itu dari orang-orang yang mencintai si bapak-bapak--orang-orang yang Carolina sama sekali tidak miliki selama ini. Terkadang Carolina akan mengintip Si-Kakek-Yang-Tertidur-Pulas di sebelah kirinya--Suster Rossi bilang Beliau tak lagi dijenguk oleh keluarganya sejak beberapa bulan yang lalu. Mungkin kakek-kakek itu sudah terlalu lama dalam keadaan koma, sehingga tak ada dari keluarganya yang ingin menjenguknya lagi. Carolina mencelus dan berpikir setidaknya kakek-kakek itu sama sepertinya--sendiri dan ditinggalkan.

Ketika malam tiba, Carolina hampir tak bisa tidur. Bapak-bapak di sampingnya terbatuk setiap saat, dengan suara napas yang makin lama makin parah. Para perawat sering memeriksanya dengan intensif, hingga saat pagi hari tiba, bapak-bapak itu memuntahkan banyak darah.

Carolina merasa hari itu benar-benar suram.

*

Suster Rossi mulai membiarkan Carolina beranjak dari ranjangnya dan berjalan-jalan di sekitar bangsal. Carolina bahkan mendapat bimbingan konseling dari psikiater yang disiapkan khusus untuknya. Berbagai pertanyaan dilontarkan padanya--tetapi jawaban Carolina hanya ada dua; mengangguk dan menggeleng. Carolina sama sekali tak tertarik untuk mengucapkan sepatah kata pun pada psikiater wanita yang pada akhirnya membuat Carolina bungkam karena dia sempat menyentaknya dan memaksanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Sampai akhirnya psikiater itu menyerah dan berkata bahwa dia akan menanyainya lagi ketika Carolina lebih siap.

Suster Rossi menenangkannya ketika Carolina keluar dari ruang konseling yang menakutkan itu. Dia terlihat menyesal jika Carolina masih merasa tidak antusias setelah apa yang dialaminya kemarin.

"Aku sangat bersyukur ada seseorang yang menyelamatkan dan membawa Nona kemari. Pemuda berambut pirang itu begitu baik hati. Apakah dia teman Nona?"

Suster Rossi berkata ketika dia mengantarkan Carolina kembali ke tempat tidurnya. Begitu mendengar sosok pemuda itu disebut, Carolina terperangah dan langsung teringat tentangnya. Sampai sekarang pun Carolina masih belum tahu siapa gerangan pemuda yang menyelamatkannya itu. Sejak dia berada di rumah sakit, Carolina tak pernah melihatnya lagi. Andai saja suster itu tahu bahwa yang jatuh menghantam tanah terlebih dahulu adalah pemuda itu, bukan dirinya. Tapi Carolina yakin, tak seorang pun akan percaya. Carolina bahkan tidak percaya pada dirinya sendiri ketika dia mendapati pemuda itu sehat dan sama sekali tidak terluka setelah meloncat dari gedung yang tinggi.

"Ke mana dia pergi?"

Suster Rossi membelalak senang ketika Carolina mengucapkan kata-kata pertamanya. Carolina merasa betul-betul membutuhkan jawabannya, tetapi Suster Rossi sendiri pun terlihat tak yakin.

"Dia pergi setelah mengantar Nona kemari. Aku pun tidak tahu di mana dia sekarang, Nona."

"Apakah dia akan kembali?"

Suster itu hanya mengangkat bahunya.

*

Siang menjelang. Carolina terbangun dari tidurnya dan mendapati sang bapak-bapak sudah tak lagi berada di ranjang sebelah kanannya. Awalnya, Carolina heran mengapa suara batuk-batuk itu sudah tak terdengar lagi. Meski dirinya tak memiliki ikatan apapun dengan bapak-bapak itu, Carolina masih penasaran. Di mana mereka memindahkan Si Bapak-Bapak?

Ranjang bapak-bapak itu telah dibersihkan seakan belum pernah ada yang menempatinya sebelumnya. Seluruh bebungaan yang tadinya menghiasi meja dan kabinet kecil di sampingnya pun menghilang entah ke mana.

Carolina beranjak turun dari ranjangnya, melintasi tirai Si Kakek-Kakek yang masih saja tertidur pulas, dan akhirnya keluar bangsal. Para perawat ternyata tengah membicarakan tentang Tuan Richard dari kamar nomor 43, kamar Carolina berasal.

"Semua yang bernyawa kembali kepada Tuhan. Semoga Tuan Richard tenang di sisi-Nya."

*

Kematian Tuan Richard tak membuat Carolina merasa nyaman lagi berada di bangsalnya. Suster Rossi mengizinkannya menapakkan kaki ke lobi rumah sakit, di mana Carolina dapat menyaksikan para pembesuk dan dokter-dokter yang berseliweran dengan sibuknya. Suasana yang begitu ramai, dan menurut Carolina, menyerupai kepadatan jalanan Brooklyn. Di sebuah pojokan terdapat kursi tunggu kosong yang tak lama kemudian dia tempati.

Carolina berpikir bagaimana orang-orang yang mencintai Tuan Richard akan menanggapi kepergiannya. Apakah mereka akan menangis, seperti bagaimana Carolina menangisi almarhumah ibunya dahulu? Tentu saja, pikir Carolina kemudian. Carolina hanya sempat berbagi bangsal dengannya selama sehari. Tetapi, bukan hanya penyakit kroniknya saja yang Carolina ketahui darinya. Selama sehari itu Carolina mengerti betapa Tuan Richard adalah sosok yang begitu disayang oleh orang-orang terdekatnya selama Beliau masih hidup di dunia.

Meskipun Carolina mungkin akan segera meninggalkan rumah sakit itu, dia tidak tahu bagaimana jadinya jika bangsalnya tidak lagi didatangi oleh pembesuk-pembesuk seperti rekan-rekan Tuan Richard. Carolina tahu Si Kakek-Kakek--bahkan sampai sekarang Carolina tidak tahu namanya--tidak pernah kedatangan penjenguk yang membacakannya doa-doa, atau penjenguk siapa pun, apalagi Carolina. Bahkan jika para pembesuk Tuan Richard itu tidak bermaksud menjenguknya, Carolina sempat merasa senang menyaksikan Tuan Richard bisa menerima belasungkawa sedemikian besarnya. Tuan Richard pasti meninggal dengan tenang karenanya, batin Carolina. Bangsalnya akan terasa luar biasa sepi setelah ini, tetapi Carolina memang sudah tidak asing lagi dengan rasa itu.

Carolina yakin apabila dia mati, tak seorang pun akan bersedih untuknya. Tak seorang pun rela bersedih seperti bagaimana orang-orang itu bersedih karena Tuan Richard. Lalu, Carolina memikirkan tentang pemuda pirang bermata biru yang menyelamatkannya kemarin. Ini semua salahnya. Dan pada akhirnya dia pun meninggalkanku sendirian...

Carolina menyeka air matanya yang meluncur. Saat itulah dia menyadari, bahwa di ambang pintu lobi, berdiri diam menatapnya, adalah sang pemuda pirang yang telah menyelamatkannya. Carolina mengenali matanya yang sebening angkasa, mengingatkannya tentang apapun yang surgawi, bahkan dari jarak yang jauh.

Carolina bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah perlahan menuju pemuda itu.

<bersambung>

Continue Reading

You'll Also Like

1M 56.1K 106
SEDANG TAHAP REVISI seorang namja cantik dan manis yg kehidupannya sangat menyedihkan karna di jual oleh ayah nya sendiri semata mata hanya demi mend...
11.5K 538 12
obsesi seorang laki-laki terhadap perempuan dan ia tidak akan pernah membiarkan orang lain menyentuh miliknya
130K 11.1K 37
Landers University, salah satu kampus ternama di California, Amerika Serikat. Tentu saja di setiap kampus memiliki beberapa mahasiswa dan mahasiswi f...
44.3K 3.6K 120
Pengarang: Gardenia Jenis: perjalanan waktu dan kelahiran kembali Status: Selesai Pembaruan terakhir: 09-03-2024 Bab terbaru: Teks utama Bab 119 Pemb...