VIOLET (SUDAH CETAK-TERSEDIA...

By nikendarcy

1.2M 62.3K 3.8K

Kisah Violet dengan putri kecilnya, Viola dan lelaki yang ingin kembali masuk ke hidupnya. Tersedia di PLAYST... More

1. Ibu Tunggal
2. Dia Kembali
3. Erlangga dan Istrinya?
4. Kemiripan
5. Pertemuan Ayah dan Anak
6. Kedekatan Ayah dan Anak
7. Cinta Yang Tak Pernah Hilang
8. Masuk Kembali Dalam Hidupnya
9. Cemburu
10. Merajuk
11. Tiran

12. Sebuah Harapan

35.1K 4.5K 470
By nikendarcy

"Bunda?"

"Ya, Sayang?" Vio menoleh pada Ola yang tengah berbaring di sampingnya sambil menonton televisi.

"Kok Om Elang nggak pernah ke sini lagi?"

Vio berpaling dari wajah Ola yang tampak sedih. Dia tidak akan sanggup melihat wajah Ola yang bersedih, tapi dia juga tidak bisa melakukan apa-apa karena Erlangga menghilang. Yeah, betul-betul menghilang.

Satu hari setelah mereka beradu mulut di ruang rapat, Erlangga tidak tampak kembali di sekolah. Tidak ada yang tahu dia kemana. Semua tanggung jawab sekolah diserahkan pada Bu Wanda hingga Erlangga kembali. Dan Erlangga tidak kunjung kembali. Bahkan aturan baru yang dibuatnya tidak jadi diterapkan.

Seharusnya dia senang seperti teman-temannya karena peraturan itu tidak jadi dilaksanakan. Tapi dia tidak merasa seperti itu. Sudah satu minggu dan lelaki itu belum kembali. Dan tidak bisa dipungkiri, kembali ada bagian dari dirinya yang hilang saat Erlangga tidak ada. Bahwa ternyata Erlangga begitu memberi pengaruh besar di hidupnya. Dan hidup Ola terutama.

"Sayang, Om Elangnya lagi pergi. Nanti ya Bunda tanyain kalau Om Elangnya pulang." Vio mengusap lembut rambut Ola. Kembali satu kebohongan terucap dari bibirnya. Dan hal itu membuatnya semakin merasa bersalah. Entah akan berapa banyak lagi kebohongan yang akan dia ucapkan untuk putrinya ini.

Ola cemberut dan memeluk erat bonekanya. "Kenapa Bunda nggak telepon Om Elang?" Matanya berkaca-kaca menatap Vio.

"Sayang..."

"Bunda, ayo telepon Om Elang." Ola mengguncang tangannya dengan semangat.

Vio menghela napas dengan bimbang. Apa yang harus dia lakukan? Selama ini dia tidak pernah menghubungi Erlangga lebih dulu. Apa yang akan dipikirkan lelaki itu jika dia menghubunginya lebih dulu?

"Bundaaa, ayooo cepat telepon Om Elang!!"

Vio mengomel dalam hati. Ola benar-benar Erlangga sejati yang suka memaksa. Dia menyesal telah membenci Erlangga saat hamil dulu hingga Ola menjadi duplikat Erlangga seperti ini. Vio meraih ponselnya dan mencari nomor Erlangga di sana. Setelah berkali-kali berdebat dengan hatinya sendiri, akhirnya dia memencet tombol telepon. Terdengar nada sambung, namun Erlangga tidak juga mengangkat teleponnya.

"Sayang, Om Elangnya udah tidur. Tuh nggak diangkat," Vio menunjukkan ponselnya.

Ola kembali cemberut. Matanya kembali berkaca-kaca pertanda dia siap menangis. Vio baru meletakkan ponselnya saat benda itu berbunyi. Sederet nomor asing tertera di sana.

"Halo?"

"Violet, ada apa meneleponku?"

"Erlangga?"

"Bundaaa, aku maaauu!!" Ola menjerit gembira dan melonjak-lonjak di kasurnya. Vio tersenyum dan menyerahkan ponselnya pada Ola yang langsung direbut oleh gadis kecil itu.

"Om Elaaaang!! Ola kangeeenn. Huhuhu." Tangis Ola pecah saat akhirnya dia bicara dengan Erlangga.

Vio cepat-cepat memangku putrinya dan mengusap punggungnya lembut.

"Om Elang ke mana?" Tanya Ola dengan terisak-isak. Dia masih sesenggukan saat Erlangga menjawab pertanyaan Ola.

Vio mencium rambut Ola dengan sedih. Ola sudah begitu sayang pada Erlangga. Tidak mungkin dia bisa memisahkan mereka berdua. Ibu macam apa dia jika membuat anaknya bersedih?

Berikutnya Ola sudah asyik bercerita dengan Erlangga. Entah apa yang mereka bicarakan. Gadis kecilnya tertawa-tawa dengan senangnya.

"Bunda, Om Elang mau bicara sama Bunda." Ola mendongak dan menyerahkan ponselnya lalu kembali meringkuk nyaman di pangkuan Vio setelah Vio menerima ponselnya.

"Ya?"

"Maaf, seharusnya aku kasih tahu kalian sebelum pergi."

"Aku tidak butuh tahu kemana kamu pergi, Erlangga. Itu bukan urusanku."

Mereka bukan siapa-siapa lagi kan sekarang? Vio tidak perlu untuk tahu kemana Erlangga pergi, atau dengan siapa dia pergi. Walau sebenarnya dia ingin tahu.

Erlangga menghela napas di seberang sana. "Ya, aku tahu aku bukan siapa-siapa lagi bagimu, Violet. Aku hanya ingin minta ijinmu."

Violet mendengarkan dengan waspada. Ijin apa? Apa Erlangga akan menikah?

Erlangga tertawa kecil. "Tidak, aku tidak akan menikah."

Sial! Jadi dia menyuarakan pikirannya? Oh! Betapa memalukan!

Vio berdehem kecil. "Lalu ijin apa?"

"Aku pulang tiga hari lagi, bolehkah aku bertemu Ola? Aku sangat merindukannya, Violet."

"Ya. Temui dia," Vio tersenyum. Satu kali saja dalam hidupnya dia ingin melakukan sesuatu yang benar. "Dan kamu bebas untuk menemuinya setiap kamu mau," lanjutnya kemudian.

"Violet, kamu...kamu serius? Aku boleh ketemu Ola tiap hari?"

"Ya," Vio berbisik. Air matanya sudah menetes mendengar suara Erlangga yang begitu bahagia.

"Terima kasih,Violet. Terima kasih." Erlangga berbisik penuh kebahagiaan.

Vio tersenyum dan mematikan ponselnya setelah pria itu berpamitan pada Ola. Raut wajah Ola yang tadi murung langsung ceria seperti matahari pagi yang bersinar.

"Nah, kan udah teleponan sama Om Elang, sekarang Ola tidur ya?"

Ola mengangguk. "Ya, Bunda!" Dia bangkit dan mengulurkan tangan mungilnya. Vio meraihnya dan menggendongnya ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci kaki.

"Memangnya Om Elang pergi kemana sih, Sayang?" Vio bertanya saat menyelimuti anaknya.

"Bunda nggak nanya?" Ola balas bertanya.

Vio menggeleng. Dia tidak mungkin bertanya setelah dia bilang pada Erlangga bahwa kemanapun itu Erlangga pergi adalah bukan urusannya. Tapi sebenarnya dia ingin tahu kemana lelaki itu pergi. Bertanya pada Ola menjadi satu-satunya cara untuknya tahu.

"Om Elang lagi nemenin nenek di rumah sakit." Ola menjelaskan sambil menguap.

Vio tertegun. Jadi ibunya Erlangga sakit lagi? Pantas jika tidak ada satupun keluarga Widjaya yang pergi ke sekolah. Dalam hati Vio berdoa semoga ibu Erlangga baik-baik saja. Wanita itu sangat baik dan ramah pada semua staff dan guru di sekolah jika kebetulan beliau mampir. Dan sejak dulu, sejak dia melihat Bu Samudra untuk pertama kali, dia sudah melihat wanita cantik itu mirip dengan Erlangga. Hanya saja saat itu dia tidak berpikiran bahwa Erlangga adalah anak lelaki Pak Samudra karena dia memang tidak pernah mengenal keluarga Erlangga.

Vio menghela napas dan memeluk Ola yang sudah tertidur. Entah apa reaksi mereka nanti jika tahu Erlangga sudah memiliki anak dan bahwa dia adalah mantan istri siri Erlangga. Apa mereka akan menolak Ola? Pak Samudra selama ini sangat baik padanya. Sosoknya yang bijaksana membuat Vio merasa menemukan figur seorang ayah. Pak Samudra juga lebih dekat dengannya daripada staff tata usaha lainnya. Dia hanya berharap, jika satu saat nanti kebenaran itu terbuka, Pak Samudra dan Bu Samudra bisa menyayangi Ola seperti cucu mereka sendiri. Itu saja harapannya.

.....

Sekolah kembali heboh. Pita selamat datang, bunga-bunga, semua menghiasi pagar depan sekolah hingga depan ruang direksi di lantai tiga. Siapa lagi pencetus ide norak itu jika bukan Bu Wanda.Vio tahu hari ini Erlangga akan kembali masuk sekolah. Dan sejak pagi Ola sudah ribut ingin bertemu Om Elangnya. Vio bahkan harus berjanji membelikannya buku cerita baru agar Ola diam.

"Vio, kamu tidak usah ikut acara penyambutan. Diam saja di perpustakaan. Nanti mood Pak Erlangga jelek lihat kamu." Bu Wanda 'menyapanya' begitu mereka berpapasan di depan ruang tata usaha.

"Dengan senang hati, Ibu Wanda." Vio tersenyum sinis dan berbelok ke perpustakaan.

Apa nenek sihir itu pikir dia lebih suka menyambut Erlangga? Oh, salah besar!
Jika bukan karena Ola, dia tidak akan peduli Erlangga pulang atau tidak.

Bohong! Kamu juga senang akhirnya Erlangga pulang. Suara hatinya berbisik membuat Vio cemberut. Dia ingin 'memprotes' suara hatinya itu, tapi itu tidak mungkin kan? Bisa-bisa dia disangka tidak waras.

"Lho, kok kesini? Kan mau menyambut tuan besar?" Tanya Darwin saat lelaki itu bersiap keluar dari perpustakaan.

Vio mengangkat bahunya dan masuk ke perpustakaan. "Bu Wanda mengusirku."

"Ah, lebih baik aku di sini juga sama kamu." Lelaki itu kembali memasuki perpustakaan, namun langkahnya terhenti saat mendengar teriakan melengking Rosi.

"Buruaaan, Darwiiinnn!! Cruella udah ngamuk-ngamuk!"

Vio tertawa dan melambai pada Darwin. "Hamba akan menjaga kerajaan Anda, Paduka."

Darwin menggerutu tidak jelas dan berbalik. Vio mengamati punggungnya yang menjauh. Kadang, Vio ingin memberikan sedikit hatinya untuk Darwin. Apalagi Darwin begitu baik dan tulus menyayangi Ola. Seandainya dia bisa.Vio menghela napas dan masuk menuju bagian sastra. Matanya menyusuri deretan buku sastra yang tertata rapi, dan sejurus kemudian tangannya terulur mengambil satu buku. Airlangga.

Ia membawa buku itu ke sudut perpus tempat dia bisa duduk. Lantai perpustakaan ini dilapisi karpet yang tebal dan nyaman, karena itulah Vio lebih suka duduk di bawah. Vio mulai membuka buku yang dibawanya dan asyik membaca drama tiga babak itu. Raja Airlangga hendak menganugerahkan tata kerajaan pada putrinya, Sanggrama Wijayattunggadewi, namun sang putri menolak tawarannya.

Vio tengah asyik membaca babak kedua ketika sang putri kerajaan menolak lamaran sang pangeran, saat dia melihat seseorang berdiri di hadapannya. Dia mendongak dan melihat Erlangga berdiri di hadapannya.

"Jadi kamu memilih sembunyi di sini daripada ikut menyambutku?"

Vio menutup bukunya dan merengut pada Erlangga. "Bu Wanda yang menyuruhku. Katanya mood kamu jadi jelek kalau lihat aku."

Erlangga berlutut di hadapannya. "Mood aku jelek lihat kamu?? Di kamus mana dia menemukan itu? Violet, aku..."

"Vio...Pak Erlangga?" Darwin berdiri tidak jauh dari hadapan mereka.

Vio menarik tangannya yang tengah dipegang oleh Erlangga. Darwin menatap mereka dengan kening berkerut.

Erlangga bangkit dan berkacak pinggang. "Oke, Violet, saya rasa sudah cukup Anda bersantai di sini. Sekarang Anda bisa mulai bekerja. Saya perlu Anda untuk ikut saya mengunjungi suatu tempat."

Ganti kening Violet yang berkerut. Mengunjungi suatu tempat? Akal-akalan apalagi ini?

"Bisa Anda bergegas? Kita sudah terlambat." Erlangga tersenyum miring padanya.

Vio tahu itu senyum licik Erlangga. Lelaki ini pasti merencanakan sesuatu!

Menghela napas, Vio bangkit dan merapikan pakaiannya. "Darwin, aku pinjam ini ya?" Vio memasukkan buku itu ke dalam tasnya, namun Erlangga lebih dulu merebutnya.

"Airlangga?" Alisnya naik menatap Vio. Lagi, senyum licik itu muncul di bibirnya.

Vio cemberut dan melangkah pergi dari hadapan Erlangga. "Nggak jadi, Win!" ia menghentakkan kakinya meninggalkan perpustakaan yang masih sepi itu. Masih didengarnya Erlangga yang tertawa terbahak-bahak. Ia menggerutu dalam hati. Harga dirinya serasa sudah jatuh di hadapan Erlangga. Setelah peristiwa dia mengucapkan pikirannya di telepon tiga hari lalu, kini dia ketahuan membaca buku berjudul sama dengan nama lelaki itu. Brengsek!

Vio baru saja akan berbelok ke ruang tata usaha saat sebuah tangan mencekalnya. Dia berbalik dan melotot pada Erlangga.

"Apa kurang jelas yang tadi saya katakan, Violet? Kita akan keluar. Studi banding."

Vio mengerutkan alisnya. "Studi banding? Saya rasa seharusnya Bapak pergi dengan salah satu guru atau dengan Bu Wanda." Vio menjawab sopan karena saat itu beberapa rekannya melihat mereka.

"Tidak. Saya butuh kamu."

Vio berusaha menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah dan jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. Sial sekali lelaki ini. Kenapa dia bisa mengucapkan itu dengan sangat lembut?

"Eh..tapi...saya...itu...anu..." Vio merutuk dalam hati menyadari kegagapannya. Dia melirik teman-temannya yang terpesona melihat Erlangga.

Erlangga terkekeh dan menarik tangannya, meninggalkan koor iri dari teman-temannya. Vio seperti kerbau yang dicocok hidungnya, menurut saja saat Erlangga menariknya. Bahkan tatapan sinis Bu Wanda tidak membuatnya gentar seperti biasa.

"Bu Wanda, saya harus ke sekolah Bakti Mulia. Violet akan menemani saya sebagai asisten." Erlangga bicara sambil lalu pada Bu Wanda yang berdiri di depan koridor ruang tata usaha.

Erlangga membukakan pintu belakang untuknya. Setelah Vio duduk, lelaki itu masuk dan duduk di sampingnya. "Pak, ke rumah Violet ya."

Vio menoleh dengan heran. "Lho, katanya..."

"Aku mau ketemu Ola dulu. Udah kangen banget."

Vio tersenyum dan menunduk. Dalam hati dia bersyukur, walaupun Ola dan Erlangga baru saja bertemu, mereka sudah saling menyayangi.

"Kamu apa kabar?" Erlangga bertanya pelan.

Vio mengangkat kepalanya menatap Erlangga. "Baik," jawabnya pendek.

"Maaf ya, aku udah buat Ola nangis lagi." Erlangga tampak begitu sedih.

"Enggak apa-apa kok. Dia selalu begitu kalau lagi kangen orang yang disayanginya."

Erlangga menghela napas pelan dan menyandarkan kepalanya di jok mobil. "Kadang aku berharap bisa memutar kembali waktu, Violet. Aku berharap aku tidak pergi saat itu."

Vio memalingkan wajahnya memandang jalanan. Dia juga pernah berandai-andai seperti Erlangga, tapi itu hanya akan terus membuatnya melihat masa lalu. Dan mereka harus melangkah ke depan kan?

Mobil mewah Erlangga berhenti tepat di depan Bu Ratna, dan bahkan sebelum mereka turun, Ola sudah berlari ceria.

Erlangga keluar dari mobil dan meraih Ola dalam gendongannya. Dia menciumi wajah Ola dengan bertubi-tubi. Terlihat sekali dia begitu merindukan Ola. Olapun memeluk leher Erlangga dengan erat. Vio begitu terharu melihat mereka.

"Lho, kok Om Elangnya nggak diajak masuk, Ola?" Bu Ratna keluar menghampiri mereka.

Erlangga tersenyum dan bersalaman dengan Bu Ratna.

"Kok udah pulang, Vio?" Tanya beliau saat Vio mencium tangannya.

"Cuma mampir, Bu. Ada yang udah kangen berat katanya." Vio menunjuk Erlangga yang sedang memerintahkan supirnya mengeluarkan bermacam-macam kantong dari bagasi.

"Kelihatannya Erlangga begitu sayang ya sama Ola," Bu Ratna berbisik padanya. Vio hanya menanggapinya dengan senyuman.

"Ola, kasih tahu Omnya dong, Ola bisa nyanyi," ucap Bu Ratna kemudian.

Ola tersenyum pada Bu Ratna lalu kembali menatap Erlangga yang masih menggendongnya. "Ola udah bisa nyanyi dong, Om."

"Oh ya? Coba dong, Om pengen denger."

"Pada hari Minggu, kuturut Bunda ke kota. Naik delman..."

"Lho, kok kuturut Bunda, Sayang?" Vio menyela nyanyiannya.

Ola menoleh pada Vio. "Kan Ola nggak punya ayah, Bunda."

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 114K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
39.2K 3.2K 31
Ian adalah lelaki tampan yang menjalani hobi melukis di tengah ketidakberdayaannya untuk melihat. Tak banyak orang yang menghargai karyanya yang terk...
502K 47.2K 110
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
179K 3.9K 10
Gea Syahmila adalah seorang costum designer di salah satu teater Broadway. Sukses meski kecantikannya biasa-biasa saja dan punya tunangan seorang ars...