ACCISMUS

Par farvidkar

198K 15.8K 531

Dikutip dari Om Gugel, dalam kamus psikologi, Accismus adalah keadaan dimana kamu berpura-pura tidak tertarik... Plus

Prolog
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh - End
Epilog

Satu

20.7K 1.4K 41
Par farvidkar

Kata teman-teman di sekolah Erisa, anak basket itu yang paling ganteng di sekolahan. Cowok-cowok disana tinggi, ganteng, berotot, dan playboy. Ralat, playboy hanya untuk beberapa saja. Setelah berita ditolaknya Erga anak kelas 3-1 beredar, Erisa mulai merutuki kebodohannya. Rasa bersalah, iya. Gak enak hati? Banget. Tapi herannya Erisa sama sekali tidak menyesal. Iya dia tidak menyesal, hanya saja salah timing kasih jawaban.

"Ris, lo jadi terkenal loh. Anak kelas sebelah pada ngomongin lo" Cikita sumber informasi dan komunikasi. Erisa beruntung punya teman seperti itu.

"Biarin saja sih. Toh dosa ditanggung masing-masing" Entah mengapa akhir-akhir ini Erisa banyak sembahyang hingga menyangkut pautkan segala sesuatu dengan hal-hal rohani. Bahkan pagi tadi ia menyempatkan diri solat dhuha, yang biasanya lima waktu aja sudah keajaiban dunia.

"Iya bener. Tapi mereka ngomongin yang baik-baik loh" nah, Erisa mulai tertarik dengan bahan obrolan kayak begini.

"Apaan?" Cikita tersenyum licik.

"Yah yang kayak begituan. Gak terlalu penting juga" Inilah kebiasaan mereka, saling bikin penasaran. Dan ujung-ujungnya main syarat-syaratan.

"Yaudah Ciki sayang maunya gue ngapain?"

"Temenin gue ke bandara jemput kakak"

...

Erisa sudah menelpon Ibunya meminta izin untuk menemani Cikita ke bandara. Karena sudah sore, Jakarta tambah macet. Selama di perjalanan mereka ditemani Bruno Mars dengan lagunya Versace on the floor.

"It's warmin up... can you feel it" sambil bernyanyi mereka bertatapan hingga,

"Hahahahaha!" Pak Wondo supir Cikita sampai heran melihat dua anak SMA itu tertawa histeris.

"Udah ah! Jangan mikir yang macam-macam. Sadar umur masih pake popok" Cikita mengingatkan.

"Hello? Sadar umur bu masih ngempeng" setelah itu mereka kembali tertawa. Pak Wondo kembali heran.

"Udah Ris, nanti ingatin gue ganti kasetnya pas ada Mas Idam. Bisa diceramahin kita berdua"

"Sipp"

Suara tante-tante memberitahukan bahwa penerbangan dari Sydney telah mendarat. Erisa mengikuti Cikita mendekat ke pintu kedatangan. Pak Wondo juga ikut berdiri disitu. Butuh beberapa menit hingga satu persatu orang keluar dari pintu kedatangan.

"Ciki, kakak lo ciri-cirinya bagaimana?" Erisa celingak celinguk melihat bule-bule berjalan dengan satu tali di bajunya.

"Ganteng kayak bokap"

"Ha? Serius nih"

"Liatin aja cowok Indo yang bikin hati lo klepek-klepek pada pandangan pertama" Yah kumatlah sudah Cikita. Erisa kembali memandang pintu kaca itu. Cuci mata liatin bule aja, pikirnya.

"Mas Idam!" mata Erisa melotot, tidak mirip Cikita. Beberapa kali ia coba mencari tahu dari mana gen yang didapatkan kakak Cikita untuk wajah itu. Kalau dibandingkan, orang yang namanya Idam terlalu ganteng untuk jadi kakak Cikita. Bukannya Erisa menganggap Cikita jelek, hanya saja manusia yang baru dilihatnya ini terlalu wah.

"Ciki! Kok masih pendek aja? Gak dikasih makan sama mama papa?" pertanyaan itu bukan untuk Erisa, tetapi malah gadis itu yang tersenyum malu-malu. Suaranya itu loh, ngebass banget cocok sama tampangnya.

"Enak aja! Mas Idam yang tumbuh ke atas. Kebanyakan makan kacang panjang di Sidney?" Idam hanya tertawa, tiba-tiba matanya melirik gadis seumuran adiknya. Yang dilirik berdiri kaku sambil natap sepatu.

"Teman Ciki?" Erisa please sadar. Please jangan bengong. Ayolah bersikap normal aja. Erisa masih menyemangati dirinya hingga seseorang menyenggol tangannya.

"Ha? Eh. Iya" Idam tersenyum kemudian mengulurkan tangannya yang disambut malu-malu oleh Erisa. Sementara Cikita berusaha menahan tawanya.

"Erisa" ampun dah, suara Erisa mirip tikus kejepit.

"Idam. Kakak kandungnya Ciki. Kalau gak percaya nanti saya tunjukkin kartu keluarga" Erisa menatap bingung. Bukan karena otaknya lagi mampet, tetapi karena gak tau harus merespon apa. Ia terus memikirkan sangkut paut kartu keluarga. Untuk apa coba ngeliatin kartu keluarga ke dia, toh dia lagi gak ngesensus.

"Yaa.. sapa tau aja gak percaya karena saya terlalu ganteng buat jadi kakaknya Ciki" Garing banget guyonannya, pikir Erisa. Tapi ada benarnya juga, dari tadi ia memang penasaran. Siapa tahu Idam hanya anak angkat atau saudara yang tertukar.

"Udahhh males lama-lama disini, Ciki jadi korban mulu. Yuk Eris cabut"

Cikita mengomel sepanjang jalan. Sementara Idam tertawa tak henti-hentinya. Erisa diam kayak keong rebus kebanyakan air sampai tenggelam. Entah mereka mengobrol tentang celana dalam bolong atau apapun itu Erisa tidak konek. Terlebih selera humor Idam bisa dikatakan garing. Mungkin karena ia baru balik dari Australia, beda benua beda cerita beda bahasa beda selera humor.

"Erisa kok melamun? Nanti kesambet hantu gimana? Rumah sakit jauh" ya, itu suara Idam dan Erisa jadi malu kucing. Satu mobil sama cowok cakep itu luar binasa. Gak kuat godaan sore hari.

"Enggak kok" Cikita menyenggol bahu sahabatnya kemudian memberi kode mata. Ah mata sialan itu, gerutu Erisa. Ia ingat terakhir kali Cikita memberi kode mata dengan bibir yang siap bocor. Saat itu mereka sedang selonjoran kaki di aula sekolah dan senior dari ekskul basket sedang mempromosikan ekstrakurikuler mereka. Dan saat kapten tim basket muncul, Erisa langsung salting dan menatap penuh minat. Cikita menyenggol bahu Erisa dan mengedip genit. Erisa menyipitkan matanya, dan belum siap dirinya bernapas Cikita yang duduk disebelahnya langsung berteriak heboh "Kak! Dia ngefans sama kakak!" sambil menunjuk Erisa yang mati kutu.

"Ciee jatuh cinta sama Mas Idam" kembali ke realita. Erisa mau nangis ditempat. Untung kali ini Cikita hanya meledek melalui kontak batin. Gak bisa dikatai batin juga karena dia memberi gerakan mulut.

"Ha! Diam. Enggak kok. Gak bener itu!" balas Erisa. Dia juga memberi kode dengan tangannya.

"Eh kalian berdua ngapain dibelakang? Ngebicarain saya yah?" Idam tahu-tahu nimbrung. Ia yang duduk di samping Pak Wondo melirik Erisa yang mati kutu.

"Erisa, tadi si Ciki bilang apa? hm?" blush, baru juga ditatap kayak gitu sudah jadi udang rebus. Erisa menggeleng sambil senyum aneh.

"Oh, okay. Awas yah kalau ngomongin yang aneh-aneh"

Dua puluh menit lagi, Erisa bersabar diri di dalam mobil. Hanya dua puluh menit dia bisa tiba dengan selamat di rumah. Cikita tertidur di sebelahnya, sehingga Erisa tidak punya teman bicara. Masa iya dia berani ajak bicara Mas Idam, natap matanya saja langsung lemes.

Deng. Let's take our time tonight.. Girl..

Idam menatap belakang kursinya. Mampus.

"Punya siapa kaset ini?" tanya Idam, yang ditanya hanya menggaruk tengkuknya yang sama sekali gak gatal-gatal amat.

"Punya aku sama Ciki, belinya patungan" berasa diintrogasi, Idam mengangguk.

"Erisa ngertikan lirik lagu ini? Tau artinya kan?" gadis itu mengangguk. Dia mengutuk Cikita yang tidur di jam yang tepat. Tau begini harusnya ia pura-pura tidur saja.

"Nanti kalau jalan sama pacar di mobil berduaan jangan putar lagu ini. Apalagi pas ada di dalam kamar. Saya gak bisa jamin kamu masih utuh"

...

Pagi ini Erisa harus naik angkot ke sekolah, bukannya dia mengeluh atau bagaimana, tetapi biasanya akan diantar Pak Suryo yang sekarang cuti mau mengawinkan anaknya. Tadi pagi juga Erisa hanya makan roti bakar karena Bi Tati juga cuti. Maklum saja Pak Suryo dan Bi Tati adalah suami istri yang dipekerjakan di rumah.

"Ma, Eris berangkat dulu yah!" setelah pamit dan salim pada Ibunya, Erisa berjalan kaki keluar perumahan, di daerah perumahannya tidak ada pangkalan ojek sehingga ia harus jalan kaki ke gerbang utama, atau berharap mendapat tumpangan dari tetangga.

Selama perjalan Erisa terus berdoa semoga dirinya tiba selamat hingga sekolah. Ia sudah mencatat plat nomor mikrolet yang dinaikinya dan menandainya dalam blacklist. Mikrolet ugal-ugalan yang tidak akan dipromosikannya kelak.

Masih jauh sekolahannya, sedangkan awan tidak tahu diri mulai mendung. Mikrolet berhenti dan menepi kesamping karena ada penumpang yang mau naik. Nenek-nenek jualan sayur yang biasa nangkring di dekat pasar rabu. Erisa berpindah tempat agar si nenek bisa langsung duduk di tempat yang terdekat.

"Nek, jualannya udah kelar?" tanya Erisa berbasa basi. Sebenarnya dia sedikit kepo. Karena hari masih pagi dan si nenek sudah kelar jualan.

"Nenek gak jadi jualan. Tadi dapat berita cucu nenek sakit, makanya nenek langsung mau balik rumah" Erisa dan seorang anak SMP yang seangkot mengangguk ngerti.

"Terus jualannya gimana nek? Sayurnya gak bakal layu?"

"Resiko nak kalau jualan kayak gini" Erisa bukan golongan anak yang rajin ikut pengajian, tetapi dia tahu bagaimana hukumnya untuk saling membantu.

"Yaudah saya beli aja sayurnya gimana nek?"

...

"Dek, itu teman kamu kan? Erisa?" Idam memberhentikan mobilnya ketepi jalan. Mereka belum sampai ke sekolah ditambah macet dan hujan deras.

"Mana?" Cikita celingukan di dalam mobil. "Itu, yang di halte" antara mata Cikita yang katarak atau mata Idam yang terlalu bening. Idam yakin betul kalau anak sekolah yang seragamnya sama dengan adiknya itu adalah Erisa.

"Lah, iya Mas. Itu Erisa" mereka mendekat ke halte. Erisa hafal betul mobil keluarga Cikita. Secercah harapan muncul di benak Erisa. Setidaknya dia tidak perlu pindah angkot dua kali lagi, irit duit.

Hingga seorang pria yang tidak terlalu diharapkan muncul dengan payung ditangannya. "Erisa ayo masuk" Idam membantu membawa kantung sayur yang dibawa Erisa. Kemudian ia menuntun gadis itu masuk ke kursi penumpang di belakang.

"Ris, tumben gak diantar Pak Suryo"

"Iya, lagi cuti. Bi Tatih juga cuti. Ngawinkan anaknya" Cikita menatap penuh selidik.

"Yang mana? Yang kakak atau yang adek?" Erisa tertawa. "Tenang aja, doi masih single dan bersih"

"Ciki naksir siapa Ris?" Idam buka suara. Ternyata telinganya juga tajam.

"Gak bisa dikatain naksir sih, hanya apa yah bahasanya..."

"Hanya bilang ganteng aja" lanjutnya, kemudian Idam ber'Oh'ria.

"Kalau Erisa?" Idam menatap gadis itu melalui kaca spion.

"Apanya?" jujur. Bukannya sok ngulur waktu ngasih kode. Tetapi pure telat mikir, cuma sarapan roti bakar sih.

"Kalau Erisa naksir siapa? Atau udah punya pacar?" yep, pertanyaan penuh makna, pikir Cikita. Diliriknya temannya itu yang berpikir keras.

"Erisa naksir kakak kelas anak basket di sekolah. Setelah ditembak sama tuh kakak kelas malah nolak" sahut Cikita. Eriska ingin banget ngeremas mulut comber sahabatnya itu. Tapi dia sadar diri kalau lagi numpang di mobil tuh anak.

"Bagus dong" Idam tertawa setelahnya. Cikita saling ngelirik melempar kode ke kakaknya yang sedang menyetir. Sementara yang duduk di belakang sedang ngatur detak jantung agar tidak mati muda. Ya, Erisa lagi ge-er. Gak ada yang ngelarang dirinya buat berspekulasi arti dari 'bagus dong'.

Mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Erisa dan Cikita segera turun dari mobil.

"Dadah! Belajar yang rajin yah supaya cepat pintar!" Idam berteriak dari dalam mobil. Cikita sumpah mati nahan malu punya kakak terlalu cakep seperti itu. Beberapa siswi di gerbang memperhatikan mereka.

"Erisa juga! Belajar yang bener yah" Idam melambaikan tangannya. Yang namanya disebut hanya melemparkan senyum aneh. Seneng bangetttt, batin Erisa.

...

Kantin penuh, tempat duduk tersisa di sudut. Erisa segera mengambil tempat duduk dan mengamankan bangku sebelahnya untuk Cikita yang memesan makanan. Diliriknya dari jauh gerombolan anak basket masuk ke kantin. Erisa jadi teringat kejadian dimana ia menolak anugerah Tuhan beberapa hari lalu.

"Woiii ngapain ngelirik kak Erga? Nyesel nih?" Cikita datang membawa dua mangkok bakso. Sesekali ia melirik arah pandangan Erisa.

"Nggak nyesel sih, cuma aneh aja" Erisa membuang pandangannya pada mangkok bakso. Baksonya besar tetapi ia tidak berselera.

"Aneh bagaimana?" Erisa menghela nafas,

"Dulu gue naksir banget sama kak Erga right?" Cikita mengangguk, "kemudian dia nembak gue. Seneng banget sampai kupu-kupu di perut terbang kesana kemari" lanjut Erisa, Cikita menunggu kelanjutan cerita dengan seksama.

"Tapi pas dia udah mendekat, bahkan tiba-tiba nyatain perasaannya kok gue malah menghindar yah? Padahal aslinya gue seneng banget loh" Cikita berpengalaman. Sudah dua kali pacaran dan awet. Ia paham permasalahan sahabatnya.

"Jujur nih, selama ini gue nganggep perasaan lo ke beberapa cowok yang katanya 'lo naksirin' hanya sebatas kekaguman, ngefans, or wahh dia cakep aku sukaaaa" kata Cikita mengikuti gaya bicara Erisa.

"Tapi, gue gak tau kalo untuk kak Erga itu special or kebetulan beliau juga naksir lo jadinya lo dari ngfans berubah jadi cinta" otak bakwan Erisa tambah gosong. Gak ngeh alur pembicaraan Cikita lari kemana.

"Tunggu Cik, gue pusing. Nggak ngeh" Eriska tertawa hambar.

"Erisssss, please deh pinter dikit napa sih. Jangan malu-maluin adik ipar nanti" Cikita menghela nafas panjang. Dia lebih pintar dari Erisa yang terkenal otak udang, itu satu-satunya keunggulannya.

"Permudah dong bicaranya. Jangan mentang-mentang lulusan akselerasi penjelasannya tingkat PhD" eluh Erisa.

"Okay. Coba liat sono, kak Erga duduk bersebelahan sama kak Puput. Ngiri gak lo?" Erisa menggeleng.

"Gut, berarti lo gak cinta sama dia"

"Kok bisa?"

"Kalau cemburu berarti lo nganggep kak Erga milik lo. Berarti kalau gak cemburu?"

"Gue nganggep kak Erga milik mama papanya" disatu sisi Cikita ingin menelan sahabatnya itu bulat-bulat, tetapi disisi lain dia bersyukur karena ada lampu hijau untuk saudara sedarahnya yang rese itu.

...

Pukul 01.00, berarti sudah hari Kamis bukan Rabu lagi. Selama di sekolah Erisa sudah berusaha menghindari bahan cerita seputaran 'Mas Idam'. Yaamplop, sebut nama itu saja sekali lagi dia bakalan histeris kejang-kejang. Otaknya berputar mengingat kejadian saat Mas Idam menemaninya singgah ke bawah fly-over, memberi sekantong plastik sayuran itu ke anak kecil yang sedang mulung botol plastik.

"Dek, mamanya mana? Biasanya disini bareng tante-tante yang gendong bayikan?" tanya Erisa. Ia pernah beberapakali memperhatikan aktivitas pagi hari pemulung di bawah fly-over. Dan gadis itu tersentuh melihat seorang wanita parubaya yang menggendong bayi sambil memungut botol plastik, biasanya juga ditemani anak perempuannya yang seumuran anak sekolah dasar.

"Ibu ada disana mbak" anak perempuan itu menunjuk daerah tumpukan tempat sampah bagian barat. Disana ada seorang ibu yang pernah dilihatnya.

"Oh, yaudah nih buat adek yah. Kasih ke mamanya. Mbak beli sayur kebanyakan" Erisa menyerahkan kantong plastik besar itu.

"Wahh makasih banyak mbak" Idam sedari tadi hanya berdiri diam di samping Erisa. Bukan sekedar berdiri menyaksikan aksi amal, melainkan senyum-senyum sendiri seperti supporter bola yang melihat wasit seksi membela orang berkelahi.

"Ris gerimis lagi. Kamu masuk aja ke mobil duluan. Biar saya bantuin adek ini bawa kanton plastiknya, kasian berat" Erisa mengangguk dan mematuhi perintah orang yang lebih tua.

Niatnya Idam hanya akan mengantarkan plastik itu ke Ibu sang anak, tetapi hati nuraninya berkata lain. Idam tidak tega melihat Ibu itu nggendong bayi dan juga membawa karung hasil mengaisnya, alhasil Idam juga ikut mengantarnya ke rumah yang tak terlalu jauh dari tempat itu.

"Nak terima kasih yah atas sayurannya, dan terima kasih juga sudah bantuin Ibu bawa karung ini" Idam tersenyum tulus, ada kelegaan bahwa dirinya juga berguna untuk orang lain.

"Saya hanya membantu ngebawain doang kok Bu, calon pacar saya yang ngasih sayurannya" entah dari mana asal kata 'calon pacar' itu. Mulutnya terlalu cerocos, sebelas duabelas dengan adiknya.

"Oh mbak yang tadi? cantik yah kak" anak kecil itu nongol dan mengacungkan jempolnya kearah Idam.

"Iya cantik pake bangetttt" sambung Idam, kemudian ia pamit takut berlama-lama disini memuji yang punya nama bisa terbang.

Ditempat lain Erisa tersipu malu mendengar percakapan itu. Secepat kilat ia berlari kembali ke mobil dan menetralisir jantungnya. God, terima kasih banget sudah buat Erisa melayang-layang. 

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

474K 59.5K 39
"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan...
577K 72K 40
[family-romance] Bagi Sheila, kehadiran Rama kembali di hidupnya membawa bencana. Setelah lima tahun mengakhiri hubungan, Sheila tidak tahu jika tiba...
984K 33.2K 13
Glori Hadinoto Kusumo, gagal bertunangan dengan pacarnya yang bernama Arya. Tepat di hari pertunangan mereka, Arya memutuskan hubungan sepihak karena...
3.1M 261K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...