"Jim apa kau yakin bisa menjalankan motornya?" Kau tak henti-hentinya bertanya dari tempat dudukmu dibelakang Jimin. Seandainya saja kau tau caranya menjalankan sepeda motor, kau pasti dengan senang hati menggantikan posisi Jimin.
"Tenang saja, aku bisa, sebentar lagi kan?" Jimin juga berkali-kali mengatakan baik-baik saja, tapi kau tau kalau dia berusaha menahan rasa sakitnya.
Untunglah, tak lama kemudian kalian akhirnya sampai. Kau memapah Jimin menuju apartemen dan membaringkannya di kasurmu.
"Istirahatlah dulu, aku akan membuatkanmu teh hangat. Tunggulah oke?"
Kau bergegas ke dapur untuk membuatkan Jimin lime tea hangat. Menurutmu sangat baik untuk memberikan minuman itu untuk orang sakit.
Saat kau kembali, kondisi Jimin semakin parah. Peluh membasahi seluruh pakaiannya matanya terpejam, dahinya berkerut, dari bibirnya terdengar rintihan samar. Tapi dia menggigil.
Kau setengah berlari menghampiri Jimin. Sesungguhnya kau tidak tau cara merawat orang sakit. Kau tak tau harus berbuat apa, atau melakukan apa.
Kau duduk di pinggir kasur dan meletakkan gelas yang berisi teh hangat itu di nakas.
Kau menyingkirkan rambut yang menutupi kening Jimin lalu meraba keningnya, membandingkan suhu tubuh kalian lagi.
Pemuda itu sepertinya demam.
"Jim," panggilmu takut-takut. Kau mengelus lembut pipi Jimin.
Pemuda itu membuka matanya dan menatapmu sayu.
"Kau bisa bangun? Aku sudah menbuatkanmu teh, minumlah."
Dengan susah payah, Jimin akhirnya bangkit dan kau dengan cekatan membatunya.
Setelah Jimin duduk tegak di kasur, kau mengambil gelas berisi teh dan memberikannya padanya.
"Minumlah." Serumu lembut. Dan Jimin mematuhinya.
Kau memerhatikan tangan Jimin yang gemetar ketika mendekatkan gelas ke bibirnya. Jadi kau yang mengambil alih.
"Biar aku bantu."
Ajaibnya, meskipun tengah menahan sakit, Jimin masih memberimu senyuman manisnya.
***
Dengan bantuanmu, Jimin akhirnya bisa meminum setengah gelas teh yang kau buat.
"Terima kasih." Ucap Jimin lalu kembali merebahkan dirinya.
"Tidak perlu," Kau mengambil selimut dan menyelimuti Jimin hingga batas leher. "Apa yang kau rasakan?"
"Sakit."
"Dimana?"
"Perut."
"Apa sangat sakit?"
Jimin mengangguk.
Kau ikut merabahkan dirimu di samping Jimin kemudian memeluk pemuda itu.
"Kau demam Jim, bagaimana kau akan pulang?"
"Tidak apa-apa, aku akan menunggu hingga sakitnya sedikit berkurang lalu aku akan pulang."
"Menginap saja disini." Usulmu.
"Tidak bisa, ayahku tidak akan mengijinkannya."
"Tapi kau lemah Jim, berbahaya jika kau mengendarai motor dalam keadaan seperti ini."
"Tidak apa-apa, aku bisa."
"Kau keras kepala." Serumu sedikit jengkel.
"Kau juga." Balasnya lalu membalas pelukanmu.
Kalian saling berhadapan sekarang, mata kalian saling menatap tanpa suara. Matamu menjelajahi lekuk rupa wajah tampan pemuda yang tepat berada di depan matamu itu, dan menangkap ada guratan-guratan kecil di keningnya dalam setiap seperdekian detik.
Sepertinya, rasa sakit yang di rasa Jimin hilang dan timbul, dan setiap kali rasa sakit itu menyerangnya, dia menahannya dan hanya menyisahkan kerutan dalam di keningnya.
Kau menyentuhkan jemarimu ke pipi Jimin, dan mengusapnya lembut.
"Jim?"
"Hm?"
"Ayo kita ke dokter."
"Hah? Tidak perlu, sebentar lagi pasti sembuh." Tolak Jimin.
"Tidak bisa, aku tau kau pasti sangat kesakitan. Tidak apa-apa, ada klinik di dalam gedung apartemen ini, kita bisa kesana."
"Tidak perlu repot-repot!"Tolak Jimin masih keras kepala.
"Tidak ada yang di repotkan disini, aku akan melakukannya kepada siapapun yang membutuhkan bantuan, dan kau sekarang yang sedang membutuhkan bantuan."
Kau turun lebih dulu dari kasur, dan merapikan bajumu bersiap untuk mengantarkan Jimin ke klinik.
"Tapi aku tidak membawa uang lebih." Sepertinya Jimin malu mengakuinya. Karena saat bangkit wajahnya tertunduk.
"Tidak apa-apa, aku akan membayarnya."
***
Tak perlu menunggu lama, karena klinik lagi sepi, Jimin jadi cepat di layani. Setelah di periksa, tibalah kau dan Jimin menerima obat yang akan di resepkan kepada Jimin.
Kalian berdua, duduk berdampingan di depan seorang dokter pria paruh bayah berwajah ramah itu.
"Ini obatnya, minumlah sesuai resep, dan tolong hindari makanan asam dulu."
Dalam hatimu kau jadi merasa bersalah karena sebelumnya sudah memberikan Jimin minuman lime tea tadi.
Jimin tau kau merasa bersalah, jadi dia yang mengambil alih pembicaraanmu dan dokter itu.
"Terima kasih dok."
***
Kau mendudukan Jimin di kasur lagi lalu bergegas ke dapur untuk mengambilkan air putih untuk Jimin.
"Minumlah obatnya, kita sudah makan tadi, jadi tidak perlu makan lagi kan?" Kau meletakkan gelas di nakas dan mengeluarkan beberapa butir obat dari bungkusnya dan menyodorkan kearah Jimin.
"Terimah kasih." Ucap Jimin penuh rasa sukur sambil meletakkan gelas air putih tersebut ke nakas.
"Tsk, tidak perlu." Selanjutnya kau membantu Jimin untuk berbaring kembali.
"Istirahatlah dulu, tunggu obatnya bekerja, lalu kau bisa pulang jika memang ingin."
Jimin mengangguk dan berbaring. Sementara kau tetap duduk di sampingnya.
"Ada apa?" Kau mengelus rambut Jimin.
Tanpa diduga, air mata jatuh dari ujung mata pemuda di depanmu itu. Terang saja kau kaget. Kau tidak mengerti mengapa Jimin tiba-tiba menangis.
"Ada apa? Apa sakitnya makin parah?" Tanyamu panik.
Jimin memegang tanganmu yang berada di pipinya.
"Kau orang yang baik."
Ungkapan Jimin membuatmu salah tingkah, kau tak menyangka Jimin akan mengatakan hal seperti itu.
"Aku jahat! Kau tau kan? Aku selalu semena-mena terhadapmu."
Jimin tersenyum lalu menarikmu dalam dekapannya. Wajahmu berada di dadanya, degup jantung Jimin terdengar jelas, melodinya indah, dan berdetak bersamaan dengan jantungmu.
"Kau hanya berpura-pura begitu agar terlihat kuat. Tapi sesungguhnya kau sangat rapuh."
"Jangan asal bicara." Ketusmu.
"Terima kasih sudah merawatku." Jimin lalu mengeratkan pelukannya.
"Itu hal yang sepeleh Jim, tak perlu dipikirkan."
"Tapi bagiku, itu sangat berarti, tak banyak orang yang akan melakukan ini pada orang lain."
"Ini biasa dilakukan pasangan lain terhadap pasangannya."
"Terima kasih."
_계속_