Satintail

By retnogaluh

71K 7.1K 1K

Bisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang da... More

Gulungan Pengantar
P R O L O G
1: Tidak Terlihat
2: Kesepakatan
3: Masih Berbeda
4: Si Pemilik Punggung
5: Sudut yang Terselimuti
6: Katakan, Dia Menyakitinya
7: Langit Berawan
8: Dua Puluh Dua untuk Empat Belas
9: Sisi Lain Davian
10: Ungkapan Padang Ilalang
11 (1): Praduga Pentas Seni
11 (2): Praduga Pentas Seni
12: Piringan Hitam Davian
13: Dimensi Lain Piano Klasik
14: Takdir yang Terus Dipertanyakan
15: Takdir Pertama (Anugerah atau Bencana?)
17: Takdir Ketiga (Rapuh)
18: Ferro Zenanta
19: Saxofone & Topeng Hitam
20: Pengakuan Davian & Tawaran Zenan
21: Masih Pantaskah?
22: It's Okay, It's Fine
23: Perpecahan Rindu
24: Pulang
25. Kekuatan Waktu [END]
E P I L O G
Main di Satintail, yuk!
Ucapan Terima Kasih

16: Takdir Kedua (Kehilangan Andrya)

1K 166 8
By retnogaluh

Satu yang tidak bisa aku cegah sebagai manusia biasa; kematian.

==========================

Masih terasa jelas bagaimana tamparan Zenan di pipi Rea. Kalau mengingat malam itu, rasanya Rea kesal sekaligus menyayangkan perilaku Zenan padanya. Bagaimana bisa, kebencian itu menghunus perasaan kakaknya hingga tangan itu tergerak untuk menyakitinya?

Rasanya Rea masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Zenan yang terlihat semakin kacau.

Seperti yang diminta Zenan malam itu, kemarin Rea langsung mengunjungi makam bunda sehabis pulang sekolah. Setelahnya, Rea mengirimkan foto bergambar bunga Lily kesukaan bundanya pada Zenan. Sebagai bukti kalau dia menuruti kemauan kakaknya itu. Padahal, tanpa disuruh pun Rea pasti mengunjungi bundanya. Tapi sungguh, akal sehat Zenan sedang tidak sejalan akhir-akhir ini.

Ponselnya berdering, menampilkan nama Jasmin Faradina di layarnya.

"Besok jadi, nggak? Aku harus bilang apa lagi Re ke sutradara?" tanya Jasmin dari sebrang sana, tanpa basa-basi.

"Jadi. Tolong bilangin aja ke Pak Ruli, aku ijin shooting besok, ada urusan ke Bandung, bilang aja gitu. Tapi bener temenin, ya!" Rea meminta Jasmin menemaninya untuk mengunjungi makam Andrya, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengunjungi calon--mantan kakak iparnya itu.

"Iya, bawel. Sekarang lagi dimana?"

"Di rumah lah, malem-malem gini. Untung aja nggak ada jadwal kegiatan."

Jasmin tertawa renyah di sebrang sana. "Yaudah, tidur sana. Besok kita berangkat pagi ya, biar bisa pulang sore. Kamu pasti ditunggu sama orang-orang di lokasi."

"Iya, Kak. Aku putus ya, see you!"

Rea malas menanggapi percakapan lainnya. Jadi, lebih baik langsung saja diputus sambungannya pada Jasmin. Kalau tidak, managernya itu pasti berkhotbah dengan jadwal Rea yang berantakan. Besok, jadwal shooting ftv terbaru sudah menunggunya.

Berniat untuk mencari kertas jadwal yang diberikan Jasmin di meja belajar, tatapannya justru teralih pada bingkai foto yang tertengger rapi di rak paling atas meja belajarnya.

Bukannya mengalihkan perhatian, dia malah meraih bingkai tersebut dan mengusapnya pelan. Kesalahan fatal, seharusnya Rea tahu itu. Karena sekarang dia melihat foto dirinya yang dirangkul oleh Zenan, dan tangan Zenan menggenggam Andrya. Lalu ketiganya tersenyum lebar pada kamera.

Rea sungguh bodoh! Seharusnya dia tahu kalau hal itu justru membawanya pada kejadian beberapa tahun silam. Dan ingatan itu berhasil menyeretnya hingga sesak perlahan menjalar memenuhi rongga paru-parunya.

***

Bagaimana bisa Rea melupakan kejadian mengerikan itu?

Ketika dentingan alat berat memenuhi pikirannya.

Kala itu fokusnya bercabang, bingung harus menghindar atau justru naik ke lantai atas untuk menghampiri makhluk kurang ajar yang tertawa-tawa di dalam gedung sana, mereka dengan sengaja memainkan besi-besi, seng, beton--apapun yang ada di dalam sana ketika melihat keberadaan Rea di sekitar mereka.

Calon gedung itu belum utuh, masih kerangka bangunan berupa tiang-tiang menjulang yang akan mencakar langit. Rea ingat betul, tujuan utama mereka datang ke tempat itu untuk menemani Zenan mencari bangunan yang sesuai bagi calon kafe yang akan dibangunnya.

Tapi naas, bukannya menemukan calon tempat untuk kafenya, mereka justru menghampiri maut Andrya yang kala itu berniat menolong Rea dari kejatuhan besi dan beton, yang malah meluncur mengenai kepala Andrya.

"Tolong, jangan main-main sama alat-alat itu!" perintah Rea dalam hati. Ia memejamkan matanya agar bisa berinteraksi dengan makhluk di atas sana.

Tapi ternyata permohonan Rea tidak diindahkan oleh mereka. Di dalam sana, semakin jelas terdengar oleh Rea bagaimana suara derap langkah dan lari, bahkan tawa sampai akhirnya salah satu dari makhluk itu menyenggol setumpuk besi dan beton hingga bergelinding jatuh ke bawah.

"Rea, minggir!" teriak Andrya kala itu.

Rea mendongak, melihat satu-persatu besi dan beton berjatuhan. Tapi sebuah tangan mendorongnya, hingga tubuhnya terhuyung dan terlempar cukup jauh.

Demi Tuhan, tangan itu milik Andrya! Tubuh itu tidak sempat menghindar, besi-besi dan runtuhan beton berjatuhan mengenai tubuhnya, hingga terjatuh dan terjepit runtuhan itu.

Rea menjerit. Memanggil nama Andrya berkali-kali, membuat makhluk tak kasat mata di atas gedung itu tak berani memainkan alat-alat dari atas lagi. Mereka sama sekali tak berani menampakkan wujudnya di hadapan Rea setelah apa yang mereka lakukan.

"Setan brengsek! Terkutuk! Biadab!" semua umpatan demi umpatan Rea lontarkan, lantaran melihat Andrya yang sudah tak mampu lagi bergerak.

Tubuh Andrya kaku, darah mulai mengalir dari hidung dan memecahkan kepala Andrya, merembes ke luar serta membasahi aspal.

Rea menggeleng, meraung, hingga air mata meluncur dengan derasnya membasahi pipi merah itu. Dia melihat dengan jelas, bagaimana malaikat maut menghampiri jasad Andrya. Wujud yang amat sangat mengerikan itu membawa rantai untuk mengikat ruh Andrya.

Dan seolah ruh Andrya memaksakan sebuah interaksi. Bibirnya bergerak tak bersuara.

"Aku pergi, bahagia dengan hidupmu, Re."

Seketika itu raungan Rea semakin keras hingga suaranya serak. Tapi ruh Andrya tak mau menyahut. Rea menatap jasad Andrya yang sudah hampir tak berbentuk, beton dan besi bangunan semakin menjepit tubuh itu. Air mata terus mengalir di pipi Rea. Tapi tubuhnya tak kuasa untuk mengejar ruh Andrya yang perlahan menghilang bersama malaikat maut yang membawa ruh itu pergi.

Raungan Rea mengundang banyak saksi mata, mereka menghampiri Andrya, menarik kepayahan jasad itu dari reruntuhan.

Sunggu menyakitkan! Tubuh Rea menciut, napasnya semakin memburu dengan isakan tangisnya.

Sayangnya, kala itu Zenan datang terlambat, menghampiri jasad Andrya dengan tubuh lemas. Dia tak bisa melindungi kekasihnya itu. Dan satu hal yang pasti, Rea melihat ada sorot mata kekecewaan dari Zenan.

Kakaknya itu menghampiri jasad Andrya yang berlumur darah. Menatap nyalang pada Rea yang terbaring lemah tak bisa berbuat apapun dengan kelebihannya. Rea bisa melihat sorot itu menyayat kepercayaan Zenan pada Rea, membuang perlahan rasa simpatik pada adiknya yang tak bisa menggunakan anugerah indigo itu untuk menolong Andrya.

Dan saat Rea menyadari kekecewaan Zenan, saat itu juga dia tahu kalau kakaknya berubah. Bukan lagi Zenan yang masih peduli dengannya. Kasih sayang kakaknya mulai terkikis digantikan rasa kecewa.

***

"Kamu kenapa, Re?"

Pertanyaan Jasmin menyeret kesadaran Rea untuk menanggapi. Dia menggeleng, menghapus dengan cepat air mata yang mulai melintas dari mata indahnya itu.

Jasmin menengok pada Rea, meraih tangan anak itu dan menggenggamnya erat.

"Kamu nggak bisa bohong sama Kakak, Re. Ada apa? Kakak perhatiin, kamu diem aja sepanjang jalan. Bahu kamu gemetar, kakak bisa liat itu. Kamu kenapa?" cecar Jasmin.

"Aku inget Andrya, Kak. Tiba-tiba bayangan kematian dia muncul lagi."

Jasmin bergeming, merasakan napasnya yang tertahan karena pengakuan Rea. Jasmin tahu--sangat tahu, kalau kematian mantan pacar Zenan itu disaksikan langsung oleh anak itu dengan mata kepalanya sendiri. Beberapa kali Rea bercerita soal itu--tentang Andrya yang berusaha menyelamatkannya dari kejatuhan alat berat. Dan anak itu sempat mengeluh, seharusnya dialah yang mati, bukan Andrya.

Tapi Jasmin menampik pendapat itu. Tak ada yang bisa mencegah takdir, bukan?

Dan ketika Jasmin menanyakan hal serupa pada Zenan, kakak kandung Rea itu justru bersikap semakin dingin. Sorot tajam dari Zenan menyiratkan kalau mereka sungguh tidak akur, bukan hanya drama semata. Dan hal itu hanya karena permainan takdir yang Tuhan berikan untuk persaudaraan mereka.

"Jangan terus nyalahin takdir, Re. Andrya pergi lebih dulu karena udah seharusnya dia ninggalin kalian."

Rea mengembuskan napasnya kasar. Mencoba menyerap kalimat Jasmin padanya. Dia mengerjap, melirik pada Jasmin yang justru tersenyum padanya.

Senyum itu ... entah bagaimana caranya, Rea selalu melihat ada senyuman Andrya di dalam sana. Dan mata teduh yang menatapnya sekarang ... bulu mata lentik yang memancarkan kelembutan itu membuatnya tenang hanya dengan menatap matanya.

Pantas saja, sekarang Rea tahu jawabannya mengapa Zenan bisa dengan mudah menerima kehadiran Jasmin dan akrab dengan cewek di sampingnya itu!

Jawabannya tak lain hanya karena ... ah, dengan berat hati Rea harus mengakui kalau Jasmin sungguh mirip dengan Andrya. Yang berbeda hanya warna rambut dan bentuk hidungnya yang tak serupa dengan Andrya.

Hem, berbicara soal Andrya ... Rea sungguh tidak sabar untuk mengunjungi makam pacarnya Zenan yang sudah dianggapnya seperti kakak kandung itu.

"Kamu harus belajar ikhlas. Perbaikin yang di depan, bukan perbaikin yang ada di belakang."

Kalimat itu, masuk perlahan melalui pendengaran Rea, seolah berputar pada otaknya, menyerap perlahan melalui aliran darahnya dan mengendap di jantungnya. Hingga rasanya, kata-kata itu menusuk pelan urat jantungnya.

Jasmin benar, Rea harus belajar ikhlas. Dan belajar untuk yakin, kalau Andrya maupun bundanya akan bahagia di alam sana, kalau Rea bisa memperbaiki kebahagiaannya di sini.

==========================

13 Maret 2017

Continue Reading

You'll Also Like

5.8K 572 27
Aku tidak pernah berpikir kalau takdir akan membuatku bersinggungan dengan perempuan bernama Zoe. Membawaku pada keputusan-keputusan besar, termasuk...
49.1K 2.6K 73
Jata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset ka...
280K 31.6K 22
Bagi Inggita, Tuhan pasti mengambil tulang rusuk Vikram ketika Sang Maha Pencipta itu menciptakan dirinya. Tetapi, siapa bisa menduga bagaimana alam...
2.7M 67K 38
Menceritakan tentang seorang psycopath yang jatuh cinta pada korbannya sendiri