Bunga Iris dan Takdir

By hanyapisang

77.4K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... More

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Bendera Perang?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Kesan Pertama?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Tawaran Perdamaian?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Sialan?
Berbicara?
Bagaimana?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Hah!
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Hangat?
Pulanglah?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Power Bank?

828 185 48
By hanyapisang

When you try your best but you don't succeed
When you get what you want but not what you need
When you feel so tired but you can't sleep
Stuck in reverse

(Fix You, Coldplay)

--------------------------------------

"Kau sendirian?"

Lee Jihoon, yang sedang duduk di tempatnya yang biasa di kafetaria asrama dengan piring sarapan yang sudah kosong, mendongak menatapku ketika mendengar pertanyaan yang baru saja kulontarkan. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya ragu.

Tanpa menunggu persetujuan dari laki-laki yang menatapku dengan kernyitan di keningnya, aku mengambil duduk di depannya, memutar bola mataku menanggapi pertanyaannya. "Tentu saja untuk sarapan. Untuk apa lagi aku datang ke kafetaria di jam seperti ini?!"

Mengabaikan pertanyaan retorikku, Jihoon masih menatapku dengan pandangan bingung. "Bukankah kemarin kau bilang padaku akan menginap di rumah Seungcheol?"

"Memang."

"Dan kau sudah berada di asrama lagi pagi ini?"

"Begitulah."

"Sepagi ini?"

Pura-pura tidak menyadari adanya penekanan dalam ucapan Jihoon barusan, aku menggumamkan kata 'Aku butuh sarapan' dengan kesan tidak terlalu peduli.

"Kenapa tidak sarapan di rumah Seungcheol?" Tidak puas dengan jawabanku, Jihoon masih saja menghujaniku dengan pertanyaannya. "Rencanamu kau baru akan pulang siang nanti bukan?"

"Aku berubah pikiran."

"Berubah pikiran?"

Kenapa Jihoon harus mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya sekarang?!

Hah!

Tampaknya dengan terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Soonyoung sedikit berdampak buruk pada sikap Jihoon. Jihoon yang dulu tidak terlalu bisa mengekspresikan apa yang dia rasakan tiba-tiba berubah menjadi cerewet seperti ini.

Oh, baiklah. Seharusnya aku mengatakan bahwa sebenarnya dampak yang diberikan Soonyoung pada Jihoon adalah dampak yang baik. Bagaimanapun Soonyoung telah dapat membuat seorang Lee Jihoon lebih mudah berbaur. Hanya saja dengan kondisi mood-ku yang buruk sekarang ini, pertanyaan-pertanyaan Jihoon sedikit menggangguku.

"Dan Jeonghan," Jihoon kembali mengernyitkan keningnya. "Omong-omong di mana sarapanmu? Kenapa tidak membawa nampan sarapan?"

Dengan melintangkan senyum ceria yang kubuat-buat seperti sedang mengiklankan suatu produk, aku menunjukkan sebuah apel merah di tanganku kepada Jihoon sebelum menggigitnya dengan satu gigitan besar. "Ini sarapanku."

"Hanya apel itu saja?"

"Tidak. Aku juga punya satu botol air untuk diminum."

Jihoon mengerjapkan matanya heran menatapku.

Mengamatiku lama dalam diam, Jihoon terlihat sedang menilaiku, seakan-akan berusaha mencari sesuatu yang salah padaku, sebelum kemudian ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi penuh pengertian. "Jeonghan," Demi Tuhan! Bahkan suara Jihoon pun terdengar begitu lembut dan tulus di telingaku. "Kalau ada sesuatu yang sedang menganggumu, kau bisa menceritakannya padaku."

Ugh!

Kalau sudah ditatap seperti itu oleh seorang Lee Jihoon yang biasanya terlihat cuek dan sedikit galak, pertahananku sudah pasti akan melemah. Aku tidak akan bisa berlama-lama bersikap tak acuh padanya dan menyembunyikan masalahku darinya.

Apalagi Lee Jihoon terlihat sangat begitu bisa diandalkan.

Selama ini Jihoon memang selalu bersikap sebagai teman yang penuh perhatian padaku. Tidak hanya mau mendengarkan curhatan mengenai masalah-masalahku, Jihoon juga selalu berusaha untuk membantuku menyelesaikannya, meskipun beberapa kali hanya melalui saran dan pendapatnya yang kadang kalau tidak dia sampaikan dengan nada tak acuhnya akan dia sampaikan dengan nada galaknya.

Dan selama ini, saat pertama kali aku datang ke asrama ini sampai dengan saat ini, usaha Jihoon dalam membantuku benar-benar terbukti dapat mengurangi beban masalahku.

Apa lebih baik aku menceritakan saja sesuatu yang mengganjal pikiranku saat ini pada Jihoon seperti sebelum-sebelumnya? Siapa tahu hal itu bisa mengurangi bebanku dan membantuku memandang masalah ini dari sudut pandang lain...

"Kau tidak harus menceritakan masalahmu padaku," ujar Jihoon lagi setelah hampir satu menit lamanya aku tidak juga mengeluarkan suara sedikitpun. "Aku tidak memaksamu untuk melakukannya. Aku hanya..."

Menghela napas lemah dua kali, aku kemudian menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Jang Doyoon sudah mengetahui hubunganku dan Seungcheol," dengan sangat cepat sampai-sampai aku ragu apakah Jihoon dapat memahaminya atau tidak.

"...Hah?" Jihoon sedikit terbengong, berusaha memproses informasi yang kuberikan. "Oh!"

Oh?

Sial!

Apa Jihoon hanya akan memberikan 'oh'nya saja sebagai reaksi? Atau dia tidak begitu mengerti dengan apa yang aku sampaikan?

"Kemarin di sela-sela makan malam, Seungcheol memberi tahu Jang Doyoon bahwa..." jeda, aku mengecilkan suaraku supaya hanya bisa didengar oleh Jihoon. "...bahwa aku adalah pacarnya."

Untuk sekitar tiga puluh detik lamanya Jihoon menatapku dengan prihatin. "Apa semuanya berjalan dengan tidak baik? Maksudku apa reaksi Jang Doyoon terhadap hubungan kalian tidak seperti yang diharapkan?"

"Malah sebaliknya," sergahku, masih dengan suara yang pelan. "Jang Doyoon terlihat begitu tenang. Dia hanya terlihat sedikit kaget ketika mendengarnya. Jang Doyoon bilang kalau dia sudah dapat menduga dari awal mengenai hubunganku dan Seungcheol."

Jihoon mengernyit bingung. "Kalau begitu apa yang membuat mood-mu sejelek ini?"

"Power Bank."

"Power Bank?"

Membuka mulutku, aku hanya terdiam sebelum kemudian kembali mengatupkannya ketika melihat sekeliling meja kami yang semakin ramai dengan kehadiran penghuni asrama lainnya.

Menangkap sebuah tanda minta diperhatikan, tampak di seberang sana sedang mengantri di counter makanan bersama Seokmin dan Wonwoo, Seungkwan sedang melambai-lambaikan tangannya padaku, yang kemudian kubalas dengan senyuman lemah dan sebuah lambaian tangan singkat.

Kehadiran penghuni asrama lain dan ramainya kafetaria membuatku sedikit canggung serta bingung dengan bagaimana caraku menceritakan masalahku pada Jihoon.

Aku merasa tidak nyaman.

Mengikuti arah pandanganku, Jihoon menghela napasnya. "Apa kau sudah selesai dengan sarapanmu?"

"Hah?"

"Atau kau ingin menghabiskan apelmu di kamarku saja?" Jihoon kembali bertanya. "Kebetulan Soonyoung pagi-pagi tadi pergi bersama Chan."

Apakah ini sebuah kode?

" O-oke."

***

Suara deringan ponsel benar-benar mengusikku.

Sedikit membuka mata dengan sangat bersusah payah, aku menjangkau ponsel dari atas meja kecil di samping tempat tidur, kemudian berdecak kesal ketika melihat jam yang tertera di sudut atas layar ponsel.

Demi Tuhan! Kenapa kakek harus meneleponku pagi-pagi seperti ini?!

Aku masih bisa tidur sekitar dua sampai tiga jam lagi sebelum waktunya sarapan.

Mengernyit, beberapa saat aku merasa kebingungan karena suasana kamar yang tidak familiar bagiku. Butuh paling tidak sepuluh detik lamanya untuk aku memproses semuanya.

Tentu saja aku tidak begitu familiar dengan kamar ini. Semalam aku menginap di rumah Seungcheol setelah acara makan malam kami dan kemudian tidur di salah satu kamar yang ada di rumahnya.

Dengan sedikit kesal, kugeser tombol hijau yang ada di layar ponsel yang masih terus berdering. "Halo?"

"Jeonghan?"

Suara kakek terdengar sedikit terburu-buru, membuatku menjadi khawatir.

"Apa ada masalah Kek?"

"Jadi Od—"

Hening.

Tidak terdengar suara apa-apa lagi.

Melihat layar ponselku, aku mendapati ternyata ponselku telah mati karena kehabisan baterai.

Sial! Aku tidak membawa charger dan semalan sepertinya aku telah meninggalkan Power Bank-ku di ruang makan.

Benar-benar merepotkan.

Baiklah. Lebih baik aku mengambil Power Bank-ku sekarang dan kemudian menghubungi kakek kembali. Siapa tahu ada sesuatu yang serius yang ingin dia katakan sehingga meneleponku pagi-pagi seperti ini padahal kakek sangat tahu betapa berharganya tidur bagiku.

Tapi sebelumnya aku harus mencuci mukaku terlebih dulu supaya rasa kantukku ini sedikit hilang.

Dengan sedikit sempoyongan aku bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar menuju kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari kamar yang kutempati. Sambil menggerutu kesal karena acara tidurku yang terganggu, aku mulai mencipratkan air ke mukaku.

Setelah selesai mencuci muka dan menggosok gigiku dengan sikat gigi yang semalam diberikan Seungcheol padaku sebelum tidur, aku keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamar tempatku tidur untuk mengambil jam tangan yang kutinggal di sana. Setelah memakainya, aku lalu menuju ruang makan dengan langkah yang sengaja kupelankan karena takut nantinya suara langkah kakiku bisa membangunkan Jang Doyoon ataupun Seungcheol yang mungkin saja saat ini masih tertidur lelap.

Lucunya saat ini aku terlihat seperti seorang maling karena mengendap-endap seperti ini di rumah orang lain.

"...serius?"

Jang Doyoon?

Refleks, aku segera menghentikan langkahku tepat di samping pintu masuk ruang makan ketika mendengar suara Jang Doyoon dari dalam, mengurungkan niat awalku untuk masuk dan mencari Power Bank-ku.

"Maksudmu?"

Itu suara Seungcheol.

Apa yang sedang mereka bicarakan pagi-pagi seperti ini?

"Apa kau yakin dengan apa yang kau katakan padaku semalam?" Jang Doyoon bertanya.

Mau tidak mau apa yang sedang mereka obrolkan membuatku penasaran.

Entah kenapa kakiku rasanya tidak mau menuruti otakku. Tubuhku memaku padahal seharusnya aku kembali saja ke kamarku, bukannya malah menguping seperti ini. Sebagian diriku menyuruhku untuk segera pergi dari sini dan sebagian diriku lagi benar-benar ingin mendengar pembicaraan mereka.

Apalagi firasatku mengatakan bahwa aku juga turut andil dalam topik pembicaraan ini.

Kalau saja tadi aku terlihat seperti seorang maling yang sedang mengendap-endap, saat ini aku benar-benar terlihat seperti seorang penguntit yang sedang bersembunyi. Ataukah bisa dibilang kalau saat ini aku terlihat seperti seorang agen mata-mata yang sedang mengintai biar terkesan sedikit lebih keren?

Konyol.

"Tentang aku dan Jeonghan?" Seungcheol memastikan.

"Hm."

Dugaanku benar.

Tanpa kusadari jantungku berdetak semakin cepat penuh antisipasi mendengar namaku disebutkan. Ke mana arah pembicaraan mereka akan berlangsung? Kenapa perasaanku saat ini begitu tidak karuan setelah mendengar Jang Doyoon mempertanyakan hubungan kami?

Semoga saja bukan suatu hal yang buruk.

"Apa itu yang membuatmu tidak bisa tidur dari semalam?" itu suara Seungcheol.

Tidak ada balasan apapun dari Jang Doyoon sehingga terjadi keheningan untuk beberapa saat.

"Apa orientasi seksualku mengganggumu?" kembali kudengar Seungcheol bertanya dengan sedikit ragu. "Aku mengenal seperti apa dirimu dengan sangat baik sehingga berani menceritakan hubunganku dan Jeonghan sementara seharusnya kami merahasiakannya. Karena aku tahu kau adalah orang yang terbuka dan tidak mudah menghakimi orang lain. Tapi jika aku salah ten—"

"Aku tidak mempermasalahkan orientasi seksualmu," sergah Jang Doyoon cepat. "Aku hanya tidak menyangka kalau kau bisa memiliki perasaan yang seperti itu pada laki-laki. Terlebih lagi sejak awal kau selalu membanggakan gadis cinta pertamamu itu tanpa menunjukkan tanda-tanda tertarik dengan oang lain. Apalagi sesama jenis."

Perasaan cemasku, gugupku, dan takutku bercampur menjadi satu.

Aku bisa mendengar Seungcheol sedikit meringis. "Sejujurnya aku juga begitu terkejut saat mendapati fakta bahwa ternyata aku menyukai laki-laki, dan kemudian lebih terkejut lagi saat menyadari bagaimana dengan begitu mudahnya aku menerima fakta tersebut. Dan omong-omong soal cinta pertamaku, di—"

"Apa karena kondisi orang tuamu yang membuatmu memilih orientasi seksual seperti ini?" tanya Jang Doyoon kembali memotong perkataan Seungcheol. "Apa karena ibumu sehingga kau tidak ingin menjalin hubungan dengan wanita?"

"Aku..." jeda. Aku bisa mendenhar Seungcheol menghela napas lemah. "Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan."

Sebenarnya apa yang telah terjadi yang tidak aku ketahui?

Orang tua?

Ibu?

Apa yang terjadi dengan ibu Seungcheol sebenarnya?

"Apa kau seperti ini karena lari dari masalah keluargamu?"

"Aku tidak mempunyai keluarga sehingga tidak perlu lari dari masalah keluarga apapun!" sahut Seungcheol sedikit kasar.

"Kau tahu apa maksudku," Jang Doyoon membalas dengan tenang, tidak terpengaruh sedikitpun dengan emosi yang ditunjukkan Seungcheol seakan-akan memang sudah sangat terbiasa menghadapinya. "Hubunganmu dan Jeonghan, apakah bentuk pelarian dan protesmu terhadap ibumu?"

Hah?

Apa maksudnya itu?

Dadaku tiba-tiba saja berdebar semakin cepat, begitu bertalu-talu. Perutku juga sakit tanpa sebab yang pasti.

Semoga saja mereka tidak mendengar suara detak jantungku yang begitu kencang di tengan keheningan mereka.

Seungcheol tidak juga menyahut dan kebisuannya seakan menunjukkan kebenaran dari kata-kata Jang Doyoon barusan.

Masalah keluarga?

Lari dari masalah?

Apa aku adalah sebuah pelarian?

Kenapa rasanya aku seperti orang luar yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan Seungcheol?

Fakta bahwa aku sama sekali tidak mengenal Seungcheol padahal aku adalah pacarnya masih sangat menggangguku. Dan pemikiran bahwa Seungcheol tidak ingin menceritakan mengenai dirinya ataupun masalah yang dihadapinya padaku lebih mengusikku lagi.

Demi Tuhan! Tidak seharusnya aku mendengar percakapan ini kalau nantinya bisa menyakitiku sendiri. Bagaimana jika nanti obrolan mereka menjadi obrolan yang akan aku sesali? Selamanya?

Sebelum aku mendengar lebih jauh lagi mengenai sesuatu yang tidak ingin aku dengar, lebih baik aku kembali saja ke kamar. Sebelum semuanya terlambat...

"Mungkin kau benar..." suara lirih Seungcheol membuatku yang sudah membalikkan tubuh berniat ingin pergi, menjadi mengurungkan diri. Tubuhku kembali memaku. "...tapi Jeonghan... dia..."

"Seungcheol, aku menyukaimu."

"...apa?!"

Apa?!

Mulutku sedikit menganga karena saking kagetnya.

Apa yang baru saja Jang Doyoon katakan?

Apa ada yang salah dengan pendengaranku?

Apa aku hanya sekadar berimajinasi saja mendengar apa yang Jang Doyoon katakan?

"D-Doyoon," sahut Seungcheol dengan suara tercekat. "Apa kau sedang bercanda?"

Tidak.

Tidak ada yang salah dengan pendengaranku.

Tidak ada yang salah juga dengan imajinasiku.

Jang Doyoon benar-benar telah mengatakannya.

Jang Doyoon menyukai Seungcheol.

Kenapa aku merasa seperti ada sesuatu yang meremas jantungku dan menyumbat tenggorokanku?

Sesak.

Sesak sekali.

Aku susah bernapas.

Rasanya sulit sekali untukku bisa bernapas dengan normal. Napasku sedikit memburu padahal aku tidak habis berlari.

"Kalau senadainya aku mengatakan bahwa aku menyukaimu sebelum Jeonghan datang ke dalam hidupmu dan rasa sukaku itu seperti perasaan suka sepasang kekasih, apa kau akan menerimaku?" mengabaikan pertanyaan Seungcheol, Jang Doyoon kembali bertanya dengan nada suara yang sama. Begitu tenang. "Apa hubungan kita bisa seperti hubunganmu dan Jeonghan saat ini?"

Jantungku seakan berhenti untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali berdetak dengan detakan yang memukul-mukul cepat penuh antisipasi dan perasaan takut.

Pertanyaan macam apa itu?

Apa yang sekarang harus aku lakukan?

Kenapa aku harus berdiri di sini dan mendengarkan semuanya?

Bodoh!

Yoon Jeonghan bodoh!

Ini adalah salahmu karena dengan seenaknya menguping pembicaraan orang lain.

Dan Seungcheol. Bagaimana dia akan menjawab pertanyaan Jang Doyoon tersebut?

Apa aku sudah siap mendengar apapun jawabannya?

"Mungkin."

Mungkin?

Mungkin?!

Seungcheol menjawab 'mungkin'.

Seungcheol tidak menyangkalnya. Bahkan jawabannya terkesan begitu pasti. Tidak ada keraguan sama sekali.

Rasanya gamang.

Dan kemudian sakit.

Dadaku rasanya sakit.

Tidak hanya jantungku rasanya seperti diremas, tetapi kali ini juga seperti ditampar berulang-ulang.

Perutku juga sakit.

Apakah aku bisa merasakan perasaan yang sakit melebihi ini?

Begitu sakitnya sampai rasanya tubuhku kebas. Mulai dari kaki sampai dengan hatiku.

Aku harus...

Terlonjak, suara alarm tiba-tiba saja terdengar dari jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku.

"J-Jeonghan?"

Suara Seungcheol memanggilku, terdengar sedikit kaget.

Sialan!

Sekarang apa yang harus aku lakukan?

Kenapa alarm menyebalkan ini tiba-tiba berbunyi?!

"Jeonghan?"

Kembali Seungcheol memanggilku.

Hah!

Tenangkan dirimu.

Tenangkan dirimu.

Sekarang bukan waktunya untuk lari.

Kau tidak melakukan kesalahan apapun Jeonghan. Yah, meskipun menguping pembicaraan sebenarnya tidak terlalu baik untuk dilakukan.

Dengan tergesa-gesa aku mematikan alarm yang terus berdering di ponselku. Menarik napas dalam dan cepat untuk menenangkan diri, aku kemudian memasang senyum di wajahku dengan sangat bersusah payah sebelum akhirnya berjalan memasuki ruang makan.

Sekilas aku melihat Seuungcheol yang duduk berhadapan dengan Jang Doyoon di atas kursi yang dipisahkan oleh meja makan, menatapku dengan pandangan kaget bercampur penyesalan. Semenara Jang Doyoon memberikanku senyum canggungnya.

Benar-benar suasana yang sangat canggung.

Apa aku harus meminta maaf karena telah mengganggu momen berharga mereka?

Oh, ya ampun!

Aku tidak pernah berharap untuk ada dalam situasi yang sangat teramat canggung seperti ini. Kalau bisa menghilang, aku ingin menghilang saat ini juga. Aku bahkan dengan konyolnya berharap sekelompok alien datang menculikku dan membawaku ke luar angkasa kemudian menghapus ingatanku sebelum mengembalikanku kembali ke bumi.

Apapun asal aku bisa terbebas dari kondisi yang tidak mengenakkan ini.

Sebuah kondisi yang membuat mulutku kelu dengan gejolak di perutku yang membuatku rasanya ingin muntah.

Apakah senyumku terlihat dibuat-buat sehingga Seungcheol tidak menyunggingkan senyumnya untuk membalasku? Apa saat ini aku terlihat sedikit pucat karena rasanya darah seperti meninggalkan wajahku?

Sakit.

Dadaku. Perutku. Kepalaku.

Cukup, Jeonghan!

Sekarang kau harus menenangkan dirimu.

Sial!

"Maaf mengganggu obrolan kalian," kataku akhirnya, sebisa mungkin terdengar biasa-biasa saja meskipun rasanya benar-benar campur aduk. "Aku hanya ingin mengambil Power Bank-ku yang tertinggal di sini. Ponselku mati. Tadi kakek meneleponku. Sepertinya ada hal penting yang ingin dia bicarakan padaku. Aku tidak membawa charger baterai. Maaf tentang alarmku yang mengagetkan kalian. Aku juga begitu kaget. Aku tidak tahu..." Demi Tuhan! Apa yang aku bicarakan? Aku harus segera menghentikan rentetan kata-kataku yang tidak jelas ini serta gerakan tanganku yang tidak karuan. "Ah! Itu dia Power Bank-ku."

Berjalan menuju sebuah benda kotak cokelat tipis berbentuk Danbo yang ada di atas kursi tepat di samping tempat Seungcheol duduk, aku kemudian mengambilnya sambil berusaha untuk tidak menatap langsung ke arah Seungcheol.

"Jeonghan, kami..."

"Oh ya," sahutku segera, tidak membiarkan Seungcheol untuk melanjutkan kata-katanya yang menurutku tidak begitu diperlukan untuk saat ini. "Karena ada urusan yang harus aku kerjakan, sepertinya aku akan pulang dulu ke asrama dan tidak bisa sarapan bersama kalian. Maaf."

Tanpa menunggu jawaban apapun dari Seungcheol ataupun Jang Doyoon, masih dengan senyum yang dengan sangat susah payah kupertahankan supaya tetap melintang di bibirku, aku segera membalikkan badanku dan berjalan menjauhi mereka.

Tepat di ambang pintu ruang makan, aku kembali berhenti sejenak  dan menoleh ke arah Seungcheol dan Jang Doyoon yang masih memaku di tempat masing-masing dengan ekspresi kaku. "Terima kasih karena kalian sudah bersedia mengundangku untuk makan malam bersama."

Setelah melemparkan senyum untuk yang terakhir kali, akhirnya aku benar-benar meninggalkan mereka berdua. Dengan apapun yang ingin mereka obrolkan selanjutnya.

Aku tidak akan mencampuri urusan mereka karena aku adalah orang luar yang tidak seharusnya hadir di kehidupan mereka.

Bukankah begitu?

***

Selesai bercerita, aku kemudian menggigit apelku besar-besar tanpa benar-benar ingin memakannya.

"Dan Seungcheol tidak berusaha mengejarmu?" Jihoon, yang saat ini duduk di atas kursi belajarnya dengan posisi menghadap ke arahku yang sedang duduk bersila di atas tempat tidurnya, bertanya bingung. "Paling tidak apa dia tidak mencegahmu untuk pulang terlebih dulu sebelum menjanjikan padamu sebuah penjelasan?"

"Tidak," jawabku kecut. "Dia membiarkanku pulang begitu saja dalam damai. Setelah mengambil Power Bank-ku kemudian aku kembali ke kamar untuk berganti baju dan pergi dari rumah keluarga Choi dengan sangat lancar."

"Apa dia juga tidak menghubungimu sampai sekarang?"

"Entahlah. Aku belum menyalakan lagi ponselku setelah mengisi baterainya."

"Berarti kau belum juga menghubungi kembali kakekmu?"

"Belum," jawabku sambil meringis bersalah. "Aku bahkan melupakan hal itu. Setelah ini aku akan segera menghubunginya."

Hening.

Tiba-tiba saja pemikiran mengenai kemungkinan terburuk perasaan Seungcheol terhadap Jang Doyoon yang dari tadi berputar-putar di otakku kembali menyeruak.

"Jihoon..." ragu, aku membiarkan suaraku menggantung untuk beberapa detik. "...jika Seungcheol memang tidak tertarik memiliki suatu hubungan yang romantis dengan wanita..." kembali menghentikan kata-kataku, aku kemudian menatap Jihoon yang balas menatapku dengan pandangan menunggunya. "...apa mungkin dulu Seungcheol pernah mengharapkan hubungan seperti itu dengan Jang Doyoon?"

"Maksudmu kau menduga-duga apa Seungcheol menyukai Jang Doyoon dalam artian romantis?" Jihoon memastikan dengan gamblangnya.

Aku mengangkat pundakku lemah. Mendengar perkataan itu langsung dengan begitu blak-blakannya dari Jihoon ternyata memang sedikit menyulut emosiku. "Kau tahu bukan bahwa mereka dulu sangat dekat?"

Jihoon mengernyitkan kening terlihat berpikir. "Kalau menurutku jika Seungcheol memang memiliki perasaan yang romantis pada Jang Doyoon, bukankah saat ini hubungan mereka bukan hanya sekadar sahabat baik dan kau tidak mungkin memiliki hubungan yang seperti sekarang ini dengannya?"

Meskipun ada benarnya, jawaban Jihoon yang terlihat ingin menenangkanku benar-benar membuatku tidak puas.

"Lalu bagaimana jika Seungcheol memang menyukai Jang Doyoon tetapi hanya bisa memendamnya saja karena takut jika Jang Doyoon ternyata tidak memiliki perasaan yang sama terhadapnya, hubungan persahabatan mereka akan hancur?" kembali aku bertanya dengan berapi-api. "Mana mungkin Seungcheol mau bertaruh untuk hal itu."

Lagi-lagi hening

Aku hanya mendapatkan helaan napas Jihoon sebagai responsnya atas pertanyaanku yang bersungguh-sungguh. Karena itu kembali aku menggigit apel di tanganku, tidak tahu harus melakukan atau berbicara apa lagi.

Jika Jihoon bahkan tidak menyangkalku, berarti kemungkinan seperti yang kupikirkan memang benar adanya.

Semuanya mungkin saja bisa terjadi.

Mungkin saja Seungcheol memang dulunya suka pada Jang Doyoon seperti Jang Doyoon yang ternyata menyukainya. Dan setelah mereka saling tahu akan perasaan masing-masing yang ternyata berbalas, mereka akan memulai sebuah hubungan baru kemudian hidup bahagia seperti di dalam drama-drama yang pernah aku lihat.

Dan aku harus siap-siap dicampakkan.

Tamat.

Apakah aku siap?

Sial!

Apa yang sedang aku pikirkan?

Aku bukan tokoh orang ketiga seperti yang ada di drama-drama itu. Dan belum tentu Seungcheol dan Jang Doyoon adalah tokoh utamanya. Jadi kenapa aku harus mengasihani diri seperti ini?

Kalau memang harus ada seseorang yang dicampakkan, itu berarti Seungcheol adalah orangnya. Bukan aku. Toh, bukankah dia yang bersalah di sini karena tindakan yang dia lakukan sudah menjurus ke arah perselingkuhan?

Aku tidak akan membuat semuanya mudah bagi seorang Choi Seungcheol.

Tentu saja begitu.

"Jeonghan?"

"Ya?"

"Setelah ini bagaimana kau akan menghadapi Seungcheol jika dia menemuimu?" tanya Jihoon hati-hati. "Mau tidak mau kalian pasti akan bertemu mengingat bahwa dia adalah teman sekamarmu."

"Aku tidak tahu," gumamku jujur.

***

Semoga kalian menikmatinya dan terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Apa kabar?

Senang sekali bisa menyapa kalian lagi dengan cerita ini.

Apa kalian suka?

Bagaimana perasaan kalian?

Seperti biasanya terima kasih untuk apresiasinya terhadap cerita ini.

Noerana^^

Continue Reading

You'll Also Like

45K 7K 38
Rahasia dibalik semuanya
124K 8.9K 56
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
42.4K 5.9K 36
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
194K 9.5K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...