Sugar Jar

Von Carramella

110K 2.3K 58

Pembaca tersayang, saya ingin membisikan suatu rahasia. Apa kalian tahu bahwa saya menganggap kisah yang say... Mehr

Frigid
My Stepbrother

Shoplifter

37.7K 828 22
Von Carramella

Bagai sebuah penyakit kambuhan, dorongan itu muncul. Sebuah rasa tertekan yang menghimpit, diikuti oleh debaran jantung yang memekakkan telinga. Keinginan atas rasa damba akan sesuatu. Kali ini dorongan itu muncul karena sebuah pena yang terpajang di rak alat tulis di sebuah toko buku yang Fae datangi.

Jika dilihat dengan saksama, pena tersebut tidaklah istimewa. Berbentuk silinder panjang dengan diameter nol koma lima sentimeter—yang merupakan standar ukuran pena yang beredar di pasaran, dengan warna cokelat muda sewarna kulit dan material logam anti karat pada penjepitnya. Warna yang tidak menarik juga kuno, jika dibandingkan dengan pena lain yang berada di sisi kiri dan kanannya—dan mungkin itulah yang memunculkan rasa ketertarikan dalam diri Fae.

Namun selain itu, benda tersebut hanyalah sebuah pena biasa. Yang tidak ada bedanya dengan pena-pena yang telah Fae miliki. Fae bahkan mempunyai banyak pena yang jauh lebih baik dibandingkan pena berwarna cokelat muda itu, baik dilihat dari harga ataupun kualitas. Hanya saja semua fakta-fakta tersebut tidak dapat meredakan gejolak dalam hati Fae. Malah hanya seperti menyiramkan minyak pada kobaran api yang menyala.

Dari sudut mata, Fae melirik ke arah samping, menilai keadaan di sekitar. Cukup ramai, seperti halnya keadaan toko buku di akhir pekan. Namun di bagian peralatan menulis di mana dia berdiri saat ini, hanya ada segelintir orang yang lalu-lalang dengan tidak acuhnya pada keadaan sekitar. Fae pun melirik pada sisi lain dan melihat bagian belakang tubuh petugas yang berjaga di seksi tersebut sedang asyik bertukar kabar burung dengan rekan kerjanya.

Sebuah keadaan sempurna juga waktu yang tepat untuk melaksanakan keinginan terpendam dalam hati Fae. Dengan mata waspada mengamati situasi, tangan kanan Fae meraih pena berwarna cokelat muda yang seakan meminta dia untuk mengambilnya. Beberapa detik singkat yang terasa panjang, pena tersebut telah berpindah tempat ke dalam saku rok seragam tartan berlipit yang Fae kenakan.
Rasa euphoria memenuhi hatinya. Fae merasakan kepuasan tak terlukis karena mendapatkan apa yang dia inginkan. Hanya saja rasa haru yang Fae rasa, tidaklah berlangsung lama. Karena dengan sekuat tenaga dia menahan perasaan tersebut, itu bukanlah waktu yang tepat. Saat ini, yang harus dia lakukan adalah meninggalkan toko buku dengan tenang dan tidak memancing kecurigaan orang-orang di sekitarnya.

Baru saja Fae akan mencapai pintu keluar, pergelangan tangannya dicekal oleh sebuah jemari panjang dan kokoh berwarna kecokelatan. Seketika rasa panik dan malu terefleksikan sempurna di mata Fae, dengan pandangan mengarah ke arah sosok tegap yang saat ini menahannya.

Dari pengamatan singkat, Fae tahu, pria itu bukanlah pegawai yang mengawasi area penjualan. Terlihat jelas dari pakaian yang dia gunakan. Kemeja berserat katun murni tenunan terbaik dan pantalon cokelat muda yang terbuat dari wol kasmir, keduanya dijahit dengan jahitan halus—merupakan bukti bahwa apa yang dia kenakan bukanlah barang produksi massal.

Pria tersebut tidak mengenakan dasi ataupun blazer, hanya sebuah ikat pinggang kulit rusa yang melingkar di pinggang rampingnya juga arloji dengan tali juga terbuat dari jenis kulit yang sama, sebagai pelengkap penampilan kasualnya.

Hanya saja, dari penampilan yang tidak formal tersebut, si pria mengeluarkan aura yang menegaskan segalanya yang diinginkan pada diri pria. Kekuasaan, kepercayaan diri, kharisma dan ... intimidasi. Membuat segala sifat berani, tegar ataupun tangguh yang Fae miliki bersembunyi di sudut yang tidak terlihat.

“A ... a-ada apa?” tanya Fae, mencoba bersikap tenang meski hatinya tengah melakukan lompatan energik seakan tiap detiknya akan mencelat dari kungkungan rusuk yang melindungi. Dalam hati Fae tahu, kemungkinan besar pria itu menangkap basah dirinya yang telah mengutil.

Pria di hadapan Fae bergeming, seakan tidak mendengar perkataan yang Fae ucapkan. Hanya diam dan memandang Fae dengan tatapan datar sementara tangannya masih mencekal pergelangan tangan gadis itu, membuat Fae tidak bisa berlari pergi meski ingin.

Adegan yang diciptakan keduanya menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Hingga beberapa orang terdiam di tempat, hanya untuk mengetahui apa yang tengah berlangsung. Petugas keamanan yang bertugas menjaga pintu pun datang menghampiri mereka. Ketika itu kepanikan yang dirasa Fae membumbung ke tempat tertinggi. Membuat wajah Fae kehilangan semua rona, hanya menyisakan kepucatan yang menyiratkan rasa rapuh.

Dalam kepala Fae tengah memutar kemungkinan-kemungkinan yang muncul dari rentetan kejadian yang tengah berlangsung. Di mana dirinya digiring ke dalam kantor toko buku oleh petugas keamanan untuk kemudian ditanyai mengenai tindakan yang dia lakukan, diiringi tatapan tajam pengunjung toko buku. Asam dalam lambung Fae bergejolak.

“Ada apa ini?” tanya petugas keamanan ketika berada di dekat kedua orang yang menarik perhatian pengunjung toko, dengan mata mengarah pada Fae lalu ke arah pria di sampingnya. Mata petugas keamanan melebar, sedikit terkejut mengetahui bahwa salah satu dari penyebab keramaian di toko buku adalah orang yang dikenal.

“Pak Rio.” Petugas keamanan menyebut nama pria yang mencekal Fae dengan nada sedikit terkejut, hormat, juga rasa takut yang berusaha untuk ditutupi.

Ketakutan yang dirasakan petugas keamanan itu wajar, karena pria yang dia panggil; Pak Rio—atau Kautsarrio, merupakan orang yang kedudukannya di atas langit bagi petugas keamanan. Di pertengahan kepala tiga, Kautsarrio telah memimpin sebuah grup usaha yang semula berkecimpung di dunia properti dan hiburan, namun akhir ini mulai melebarkan sayap ke bidang lain. Salah satunya adalah jaringan toko buku yang saat ini mulai berpindah ranah sedikit-demi-sedikit ke arah toserba, berkat Kautsarrio yang mengambil alih kepemilikan dengan mencaplok induk perusahaan tempat bernaung toko buku.

Namun, walau begitu, petugas keamanan tetap berusaha bersikap profesional. Dia berdeham dan kembali bertanya, baik pada Fae ataupun Kautsarrio. “Jika boleh saya tahu, ada apa ini?”

Fae hanya bisa diam mendengar pertanyaan itu. Sedikit-demi-sedikit, di mulai dari ujung jari, tubuh Fae mendingin seakan kehangatan tidak pernah singgah di sana. Dalam panik, Fae mencoba memikirkan cara lepas dari keadaan ini. Tapi, semakin dia berpikir, semakin buntu pikirannya. Hingga tidak menyadari tangan yang menggemgamnya sedikit mengerat.

“Tidak ada apa-apa.” Kalimat itu diucapkan oleh suara maskulin dan penuh percaya diri. Membuat Fae berpaling ke arah datangnya suara dan melihat pria yang berdiri di depannya pun mengarahkan pandangan padanya lalu tersenyum kecil, sebelum berbalik kembali ke arah petugas keamanan.

“Tidak ada masalah apa pun,” ucap Kautsarrio sekali lagi, “saya hanya menyapa adik sepupu saya.”

Kausarrio tersenyum lebar untuk mempertegas perkataannya. Petugas keamanan yang merasa tidak yakin atas pernyataan itu, berpaling ke arah Fae untuk menerima klarifikasi dari gadis itu. Fae yang semula tercengang atas apa yang diucapkan Kautsarrio, mengangguk kikuk. Meski kecurigaan masih belum lenyap sepenuhnya, petugas keamanan tidak memperpanjang dan kembali ke tempat dia berjaga.

Fae, mengembuskan napas lega dan otaknya yang semula terhenti mulai bekerja kembali. Dia merasa sangat berterima kasih atas kebohongan yang diucapkan oleh Kautsarrio, dan menghindarinya dari keadaan yang sangat memalukan.
Karenanya dia memberikan senyuman dan berucap lirih, “Terima kasih.”

Namun Kautsarrio tidak mengatakan apa pun untuk membalas ucapan Fae. Hanya memandangi gadis itu beberapa saat sebelum beranjak pergi dari toko buku dengan tangan yang masih menggenggam pergelangan tangan Fae. Membuat Fae, mau tidak mau mengikutinya dengan langkah terburu-buru dan kebingungan.

Mata Kausarrio menjelajah ke tubuh gadis yang tengah duduk di depannya, dalam sebuah kedai kopi yang terletak tidak jauh dari toko buku. Gadis yang tidak dia ketahui namanya itu, memiliki paras dan tubuh yang menarik. Bahkan dalam monitor pengawas kecil yang memuat gambar hitam-putih, pesona yang gadis itu miliki menariknya.

Di lain sisi, mungkin, apa yang dimilikinya merupakan bumerang bagi gadis itu sendiri. Karena membuat Kausarrio menangkap tangan kegiatan ilegal kecil yang dilakukannya. Padahal, jika ditilik dari penampilan juga seragam yang dikenakan—yang merupakan sekolah perempuan elit di negara ini, apa yang dia ambil merupakan benda remeh.

Kausarrio yakin dengan uang saku yang dimiliki si gadis, dalam membeli berpuluh-puluh pena yang dia ambil. Tapi gadis itu memilih untuk mencurinya alih-alih membeli. Membuat Kausarrio merasa kebingungan dan pergi dari ruangan pengawas untuk menghampiri gadis itu.

“Sejak kapan kamu melakukan hobi ‘kecil’-mu?” tanya Kausarrio membuka percakapan.

Fae terperanjat mendengar pertanyaan Kausarrio, sebelum kemudian mengubah ekspresi wajahnya seakan dia tidak mengerti apa yang Kausarrio tanyakan. “Hobi apa?”

Melihat reaksi Fae yang berusaha bersikap tidak terjadi apa-apa. Hanya saja, wajah Fae terlalu pucat untuk mendukung perkataannya. Belum lagi betapa buruknya gadis itu dalam berpura-pura. Siapa pun yang melihat seketika akan tahu, bahwa Fae tengah berbohong. Usaha Fae yang gagal total itu membuat Kautsarrio tertawa dalam hati.

“Hobi yang membuat pena di toko buku berada di saku rokmu,” jawab Kautsarrio dengan santai, “dan aku tahu, ini bukan pertama kalinya.”

Wajah Fae kembali pucat seperti halnya saat Kautsarrio menggenggam tangannya di toko buku tadi. Fae tahu, dia sedang berada dalam posisi buruk karena hobinya diketahui dan tidak bisa menyangkal apa yang dituduhkan, karena bukti atas perbuatannya masih berada dalam sakunya.

“To … tolong jangan mengatakan pada siapa pun tentang ini ….” Fae hanya bisa meminta karena tahu tidak akan ada yang bisa dilakukan untuk membuat pria di hadapannya bungkam.

Pada sesaat Kautsarrio hanya menatap Fae dalam diam, seakan tengah menimang sesuatu dalam kepalanya. “Apa imbalannya jika aku menutup mulut atas hal ini?”

Pacu jantung Fae mencapai kecepatan yang menakutkan ketika mendengar perkataan Kautsarrio. Bukan karena takut atas apa yang tersirat, melainkan karena senang. Sebab jika Fae dapat memenuhi permintaan Kautsarrio, itu artinya kenakalan kecil yang ia lakukan hari ini akan tertutup dan hanya akan menjadi kenangan di antara mereka berdua.

“Apa pun,” jawab Fae kemudian. Menyetujui hal yang secara tersirat.

...

Kautsarrio membawa ke sebuah tempat karaoke yang masih berada dalam kompleks pusat perbelanjaan. Tempat tersebut termasuk dalam cabang bisnis yang berada dalam naungan grup yang Kautsarrio miliki.

Setelah pegawai karaoke membawa pesanan juga beberapa makanan kecil. Baik Kautsarrio ataupun Fae diam. Kautsarrio mencoba memecah kecanggungan di antara mereka dengan memilih sebuah lagu. Pada detik Kautsarrio berpaling ke layar televisi, Fae mulai membuka satu persatu kancing seragamnya.

“Kamu ingin—” Niat Kautsarrio ingin menanyakan lagu apa yang ingin Fae nyanyikan, tapi mulut pria itu berhenti bersuara saat melihat Fae. Kancing kemeja gadis itu telah terlepas semua. Memperlihatkan pakaian dalam dengan bordir bunga juga keliman yang menutupi payudara ranum gadis itu, namun tidak mengurangi efek menggoda. Malah sebaliknya, kelim dan renda membuat bagian yang tertutupi seakan meminta untuk disentuh.

“Kamu sedang apa!?” Kautsarrio berseru melihat Fae menelanjangi dirinya sendiri.

“Bukannya ini yang Paman minta?” jawab Fae dengan tanya sambil melingkarkan kedua lengannya di leher Kautsarrio. Tubuh Fae yang setengah telanjang pun hanya beberapa senti dari tubuh Kautsarrio. Tidak mengherankan jika Kautsarrio sedikit banyak bereaksi atas hal tersebut.

Namun Kautsarrio mencoba untuk bersikap bagai pria baik yang tidak mengambil keuntungan dari gadis di bawah umur. “Bukan ini yang kumaksudkan.”

Memang benar, niat Kautsarrio bukanlah meminta Fae berhubungan seks dengannya sebagai ganti tutup mulut. Jika itu niat Kautsarrio, tidaklah mungkin dia membawa Fea ke tempat ini alih-alih hotel. Kautsarrio hanya ingin sedikit mengisengi Fae. Dengan membuat gadis itu menyanyikan lagu-lagu aneh.

Bagi Fae, entah apa niat Kautsarrio padanya, dia tidak peduli. Menurut Fae, berdasarkan dari dia mencuri dengar percakapan kakaknya dan teman-temannya. Tidak ada yang lebih ampuh untuk membungkam pria, terkecuali seks. Ini memang pertama bagi Fae menawarkan tubuhnya untuk menutup mulut seseorang. Tapi bukan kali pertama dia berhubungan seks.

Keperawanan Fae hilang saat dia berada di akhir pendidikan sekolah menengah dengan pemuda yang merupakan cinta monyetnya. Pengalaman Fae pertama kali tidaklah semengerikan yang teman-teman dan dia bayangkan. Tidak ada rasa sakit yang membuat dia mengampun-ampun. Hanya sedikit perih di awal saat tubuh Fae belum menyesuaikan diri.
Tapi, setelah tubuhnya beradaptasi, Fae pun tidak merasakan kenikmatan yang orang selalu hebohkan. Dia hanya merasa tidak nyaman dan ingin secepatnya berakhir.

Awalnya Fae pikir itu karena mereka berdua kurang berpengalaman. Hanya saja, setelah itu hingga kini, Fae telah mengencani lima pria dan juga berhubungan seks dengan mereka. Tidak ada satu pun yang membuat Fae merasakan kesenangan dari sebuah hubungan badan.

Padahal salah satu dari mantan kekasih Fae merupakan seorang playboy. Yang sudah menjadi rahasia umum bahwa dia meniduri semua yang mengenakan rok dan setuju untuk meraih puncak bersamanya. Hingga ada yang mengatakan dengan sinis, jika binatang mengenakan rok juga setuju, dia pun akan menidurinya.

Sayangnya dengan segala reputasi itu, Fae pun tidak  menyicipi apa yang orang katakan sebagai kematian kecil. Yang ada Fae malah memeriksakan diri ke dokter setelahnya. Takut pria itu menularkan penyakit meskipun telah memakai pengaman.

Fae pun berkesimpulan bahwa dia termasuk dalam golongan Frigid—atau orang yang tidak menikmati seks. Atas pengalamannya, cara Fae memandang seks  tidak seperti perempuan lain yang menggangap bahwa seks adalah suatu hal yang intim juga sentimental. Atau sebuah candu yang membuat melayang. Bagi Fae, seks hanyalah seks. Yang merupakan cara alami untuk melakukan pembuahan.

Fae tidak menyukai seks juga tidak pernah nyaman melakukan kegiatan itu. Tapi jikalau memang bisa membuat pria di sampingnya tutup mulut. Fae sama sekali tidak merasa keberatan merasakan ketidaknyamanan.

“Paman ..., aku benar-benar tidak keberatan,” bisik Fae merayu manja di telinga Kautsarrio. Untuk menambah efek rayuannya, Fea tanpa ragu meraih tangan Kautsarrio dan meletakkannya di gundukan yang terlindung oleh renda. Juga dengan jari-jarinya yang lentik, mengusap bagian tubuh Kautsarrio yang bereaksi dan membuat bagian depan celana panjangnya mencuat.

Kautsarrio bukanlah orang suci. Meski pun dia kali ini berniat untuk menjadi pria baik-baik, dia tidak bisa menampik identitasnya yang telah memiliki cap otentik ‘Pria Brengsek’ atau ‘Playboy’. Tidak aneh jika dia tergoda. Terlebih saat jari-jari Fae terus membelai bagian tubuh yang Kautsarrio banggakan.

Hanya saja saat mendengar Fae mengatakan kalimat, “Asal Paman rahasiakan kejadian hari ini.” Kautsarrio bagaikan disiram oleh seember air dingin yang bercampur dengan es. Harga dirinya sedikit banyak terlukai oleh kalimat sederhana itu. Membuat Kautsarrio ingin gadis di sampingnya merasakan penyesalan karena menawarkan diri.

“Kamu benar sama sekali tidak keberatan?” tanya Kautsarrio dengan nada syarat godaan juga senyuman menawan.

“Iya. Aku sama sekali tidak keberatan.” Fae pun membalas dengan senyum di bibir. Mencoba menyakinkan Kautsarrio bahwa dia tidak main-main atas tawarannya.

“Kalau begitu, jangan panggil aku paman. Kautsarrio, panggil Rio.” Kautsarrio memperkenalkan diri sambil tidak lupa menyatakan keberatan atas panggilan Fae padanya.

Fae pun melakukan hal yang sama. “Faerine, tapi aku lebih sering dipanggil Fae.”

“Oke Faerine. Kita mulai,” ucap Kautsarrio seakan mereka tengah memulai sebuah kegiatan belajar. Alih-alih mencoba melepaskan pakaian dalam Fae dan memperlihatkan dadanya yang ranum.

Kautsarrio mulai berkonsentrasi terhadap payudara Fae yang memiliki puncak berwarna merah muda. Dia menyentuh, meraba, sedikit meremasnya juga memilin-milin puncaknya. Namun reaksi yang tubuh Fae berikan nihil. Kautsarrio pun memberikan rangsangan lain. Mulai dari sentuhan yang menjalar ke sekujur tubuh juga ciuman. Hasilnya tetap sama. Saraf sensorik tubuh Fae seakan mati dan tidak memberikan respons sensitif.

Tapi Kautsarrio bukan pemuda hijau seperti yang sering Fae kencani. Dia pun mencoba cara lain. Kautsarrio membungkuk, mengambil dasi yang Fae campakkan di lantai. Dengan benda itu Kautsarrio menutup mata Fae. Lalu sebagai pelengkap, Kautsarrio menarik lepas ikat pinggang yang dia pakai, dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Fae.

Dia memindahkan tubuh Fae yang semula berada di pangkuannya ke tempat duduk. Mengancingkan kembali kemeja Fae, meski tidak lagi memasang pakaian dalam yang telah terlepas. Kautsarrio pun merogoh saku rok Fae, tempat di mana gadis itu menaruh pena curiannya dan mengambil barang bukti kejahatan kecil Fae.

Fae yang semula diam, merasakan Kautsarrio tidak melakukan apa pun mulai panik dan memanggil nama pria itu. “Rio ...,” selama beberapa lama tidak mendapatkan jawaban membuat Fae kembali bersuara, “Rio ..., kamu di mana?”

“Rio!” Fae mulai panik dan menggeliat. Berusaha menelepaskan diri dari ikatan. Fae takut Kautsarrio pergi meninggalkannya dalam keadaan memalukan seperti yang dia alami saat ini. Fae emang berinisiatif dengan menawarkan tubuhnya, namun bukan berarti dia ingin menambah hal memalukan. Cukup dia tertangkap tangan mencuri oleh Kautsarrio, tanpa perlu pegawai karaoke menangkapnya dalam keadaan kurang sopan juga terikat.

Sebelum Fae meneriakkan nama Kautsarrio lagi, sebuah benda yang Fae tidak tahu apa, menyentuh puncak dadanya dan mendorongnya naik. Tubuh Fae terasa tersengat aliran listrik oleh tindakan sederhana itu. Benda itu selama beberapa saat memainkan kedua dada Fae. Sampai Fae menyadari bahwa dia tengah dipermainkan oleh pena yang dia curi.

Kautsarrio tidak berhenti di situ. Dengan pena yang dia pegang, Kautsarrio menjelajahi tubuh Fae, hingga memberikan reaksi yang dia inginkan juga membuat gadis itu mengeluarkan erangan-erangan kecil saat Kautsarrio menyentuh tempat-tempat tertentu.

Merasa tindakannya menghasilkan reaksi yang dia inginkan. Kautsarrio pun melepaskan celana dalam Fae dengan sikap acuh-tak-acuh dan melemparkannya ke seberang ruangan. Menggunakan pena, dia membuka diri Fae. Pada bagian itu memang tidak mengeluarkan banyak cairan seperti halnya kebanyakan perempuan yang Kautsarrio pernah tiduri. Namun cukup lembab dan memudahkan sebuah batang pena masuk. Kautsarrio tidak langsung memasukkan pena ke dalam tubuh Fae. Dia bermain dengan bagian paha juga luar titik sensitif gadis itu.

Tubuh Fae menggeliat. Kali ini bukan karena dia ingin melarikan diri. Tetapi karena rangsangan hebat yang menjalar keseluruh tubuhnya. Sebuah sensasi yang tidak pernah dia cicipi. Tanpa bisa ditahan, mulut Fae mengeluarkan erangan yang semula dia pikir tidak pernah keluar dari mulutnya.

“Kenapa kamu mengutil, Faerine?” tanya Kautsarrio, sementara tangannya masih sibuk mempermainkan tubuh Fae dengan pena.

“Heh?” Fae yang tengah tenggelam dalam kolam kenikmatan bingung.

“Kenapa kamu mengutil, Faerine?” Kautsarrio mengulang kembali pertanyaannya.

Fae diam tidak menggubris pertanyaan Kautsarrio. Sampai akhirnya Kautsarrio mengambil tindakan untuk menanamkan pena yang ke dalam diri Fae. Membuat gadis itu mengeluh manja.

“Faerine, bagaimana rasanya disetubuhi oleh benda yang kamu curi?” Kautsarrio bertanya dengan nada ringan. Seolah yang dia tanyakan merupakan pertanyaan umum.

Fae, yang mendengar pertanyaan Kautsarrio yang melecehkannya tidak merasa tersinggung. Sebaliknya, apa yang Kautsarrio ucapkan malah memberikan rangsangan ganda pada tubuh Fae yang entah kenapa menjadi responsif setelah ditutup matanya juga dengan tubuh terbelenggu.

Bayangan akan dirinya yang terikat oleh ikat pinggang Kautsarrio dan dibutakan sementara oleh dasi miliknya, juga terakhir yang merupakan hal terpenting, dengan pena curian bersarang di tubuhnya. Membuat Fae tanpa malu menjawab pertanyaan Kautsarrio dengan satu kata yang menggambar dengan baik apa yang dia rasa; “Nikmat.”

Sudut bibir Kautsarrio terangkat mendengar Fae dengan jujurnya mengakui apa yang dia rasa. Sebagai hadiah atas kejujuran gadis itu, Kautsarrio menarik pena keluar dari tubuh Fae, memutarnya dengan bagian penutup mengarah pada tubuh Fae dan memasukkannyanya lagi.

“Ughhh ...!” Fae mengeluh. Merasakan rasa nikmat yang lebih saat tutup pena yang meski ukurannya lebih besar beberapa mili, namun memiliki penjepit berbahan logam. Memberikan sedikit sensasi dingin di tubuh Fae yang memanas.

“Kamu mencuri agar bisa melakukan ini.” Kautsarrio kembali melecehkan Fae secara verbal sembari menggerakkan pena maju-mundur ke dalam tubuh gadis itu, “atau ini,” kali ini Kautsarrio memutar pena tersebut.

“Aaah!” seru Fae di antara engahannya. Fae sendiri begitu heran kenapa dia bisa bereaksi seperti ini hanya karena Kautsarrio memainkannya dengan pena curian. “Aku, ah, tidak tahu,” Fae berbisik mencoba menjawab bertanyaan Kautsarrio yang sebelumnya dia hindari untuk menjawab, “aku tidak tahu, ugh, kenapa. Ah, atau bagaimana awalnya, ah, ah, ah ... tahu-tahu aku melakukannya .. aaah!”

Itu benar, alasan Fae tidak menjawab pertanyaan Kautsarrio, bukanlah karena dia malu. Tapi karena Fae sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskan kenapa dia berbuat itu. Di saat di mana Fae berada di satu titik yang membuat dirinya terhimpit hingga tidak bisa bernapas, keinginan itu muncul.

Yang mengherankan, apa yang diambil oleh Fae tidak pernah sebuah benda yang memiliki nilai materi lebih. Hanya benda-benda kecil yang tidak mengeluarkan banyak uang, juga tidak Fae butuhkan. Fae sendiri bingung. Tapi barang-barang kecil yang diambilnya, seiring berjalannya waktu bertambah jumlahnya dan tersembunyi dengan rapi di sudut lemari pakaiannya.

Mendengar jawaban Fae yang membingungkan membuat Kautsarrio menyimpulkan sesuatu. Dia memang bukan ahli ilmu jiwa. Tapi setidaknya bisa menangkap apa yang membuat gadis itu mengutil.

“Baik, karena kamu menjawab dengan baik dan jujur. Aku akan memberimu hadiah.” Sesuai mengatakan itu, Kautsarrio mengecup pipi Fae. Sebelum dia menggerakkan dengan dengan liar namun tetap hati-hati, pena yang bersarang dalam tubuh Fae.

“Aaah! Ah! Ah! Rio! Rio!” Fae kini berada dalam proses menuju hal yang semula dia anggap takhayul.

Tangan Kautsarrio yang bebas, terjulur dan masuk ke dalam gelas minuman yang mereka pesan. Kemudian mengambil bongkahan es yang mengapung di atas. Dengan perhitungan yang sempurna dan juga ketepatan waktu. Sebelum Fae mencapai klimaks, Kautsarrio menarik lepas pena yang bersarang di tubuh gadis itu dan menggantikannya dengan bongkahan es.

Rasa dingin yang dihasilkan bongkahan es dalam bagian tubuhnya yang hangat dan sensitif. Membuat Fae merasakan kenikmatan yang begitu brutal. Fae, yang selama ini tidak pernah merasakan nikmatnya sebuah hubungan seks, untuk pertama kalinya merasakan orgasme. Dan dalam pengalaman pertamanya, Fae pun mengalami pencapaian yang hanya segelintir perempuan yang mengalaminya. Squirting.

Tak hanya Fae, Kautsarrio pun mengalami ketakjuban saat melihat bongkahan es yang dia sarangkan meloncat keluar dari tubuh Fae diiringi muncratan air. Dalam jam terbang yang tinggi, ini bukan pertama kalinya Kautsarrio melihat perempuan mengalami squirting. Namun untuk seorang gadis yang tubuhnya semula sama sekali tidak merespons terhadap sentuhan intim, mengalami orgasme sedemikian hebatnya. Membuat Kautsarrio yang berpengalaman pun terkagum-kagum.

Kautsarrio tidak lama-lama larut dalam kekaguman dan cepat-cepat membebaskan Fae dari belenggu yang dia pasangkan. Saat mengurai dasi yang menutupi mata Fae, Kautsarrio tengah siap jikalau Fae tidak bisa membendung perasaan atas pengalaman yang baru saja dia rasakan dan menangis.

Mata Fae yang memandangnya memang dipenuhi oleh emosi. Hanya saja bukan seperti yang Kautsarrio bayangkan. Dalam bola mata Fae, hanya tersirat kepuasan dan kegembiraan. Dipertegas oleh senyum diikuti tawa serak yang dikeluarkan gadis itu.

“Luar biasa,” kata Fae, “Ha, ha, ha ....”

Fae tertawa, menertawai dirinya sendiri. Akhirnya dia paham, kenapa banyak orang tergila-gila oleh seks. Dan rasanya Fae pun akan mengalami kecanduan yang sama akan kegiatan itu. Karena apa yang Fae rasakan dari seks melebihi euphoria ketika dia mengutil.

Mungkin Fae bukanlah seorang frigid seperti yang selama ini dia yakini. Pria yang dia kencani terlalu hijau untuk menghadapi perempuan dengan kebutuhan khusus terhadap seks sepertinya. Yang Fae butuhkan adalah pria yang tahu keinginan perempuan seperti pria di hadapannya.

Tanpa malu atau sungkan. Fae melingkarkan lengannya di leher Kautsarrio.  Memberikan ciuman pada pria itu, diikuti jilatan pada bibir yang mengeluarkan lecehan yang membuatnya terangsang. “Rio ..., aku ingin kamu.” Fae mengatakan itu sambil kembali lagi menggerayangi bagian kejantanan Kautsarrio.

Kautsarrio tidak lagi menolak. Dengan senang hati dia memenuhi keinginan Fae atas dirinya. Mereka berdua menjelajah tubuh masing-masing dan saling memberi kepuasan satu sama lain. Hingga dalam beberapa jam, akhirnya mereka keluar dari ruang karaoke. Dengan Fae yang sedikit lelah, namun dengan wajah berseri dan merona. Serta Kautsarrio yang mana parasnya menyerupai kucing yang menelan puluhan burung kenari.

“Hubungi aku jika kamu butuh bantuan,” kata Kautsarrio. Saat sadar bahwa perkataannya mengarah pada seks, buru-buru dia menambahkan, “Maksudnya, jikalau kamu mengalami kesulitan seperti hari ini.” Tapi lagi-lagi perkataannya mengarah pada topik yang sama. Membuat Kautsarrio bingung.

Melihat Kautsarrio kebingungan, Fae terkekeh. “Ha, ha, ha ... aku mengerti.” Melihat taksi pesanannya datang, dengan segera Fae berjalan menuju taksi. Namun sebelum Fae masuk, dia tidak lupa menambahkan, “Dah, Paman Rio! Aku akan menghubungimu lagi.” Setelah mengatakan itu Fae langsung masuk tanpa menunggu tanggapan dari Kautsarrio. Meninggalkan pria itu berdiri dan mendengus mendengar ejekan Fae.

Beberapa hari setelahnya, Kautsarrio menerima panggilan dari Fae. Tanpa salam pembuka atau perkenalan diri, gadis itu langsung berkata, “Bagaimana ini Paman Rio, tanpa sadar aku mengambil lem, penjepit dan tali.”

Shoplifter – 11 Februari 2017
©Carramella

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

3.4M 16.3K 18
Warning! Khusus area dewasa dedek-dedek gemush silakan menyingkir dulu Kumpulan cerita dewasa murni hasil pemikiran sendiri!
ONESHOOT48 Von Dutamara

Kurzgeschichten

295K 9.1K 63
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.
14.9K 2.1K 14
Forbidden Romance 21+
Wicked Von Semar Bintang

Kurzgeschichten

8.3K 220 2
Setiap manusia memiliki sisi buruknya masing-masing. Namun ketika kita telah mengetahui cerita hidupnya, apakah kita dapat memakluminya? Ini adalah k...