The Sorcery : SKY Academy [Te...

Por PrythaLize

2M 153K 29.8K

[Fantasy & Romance] SEQUEL of The Sorcery: Little Magacal Piya [published] Temukan cerita ini secara lengkap... Más

PROLOG
One and Half Years Later*1
You've Been Invited!*2
Forced *3
The Intensione*4
A Little Thought *5
Noctis *6
Blue Blanket *7
Realized *8
Aversum *9
Welcome to SKY's Hostel! *10
Spring Night *11
Reunion *12
Illusioned Melody *13
Throw All The Fears Out! *14
First School Day (I)*15
First School Day (II) *16
First School Day (III) *17
Schyorizone *18
Part of Past *19
I Will Protect You *20
Ampelux *21
Saturday Incident*22
Someone in Night*23
One Trouble Day*24
Undesired Feeling *26
Intruder (I)*27
Intruder (II) *28
Intruder (III) *29
[Pemberitahuan]
[Answer]
Extra Part - White Lies
[PENGUMUMAN]

Rain, Storm, and Pain *25

46.9K 4.1K 493
Por PrythaLize

Author's POV

Pagi ini bukanlah pagi yang bersahabat. Rainna tahu itu.

Rainna telah meminta izin kepada Trax dan Odione untuk meninggalkan akademi sementara waktu.

Hatinya hancur. Sangat.

Kabar yang datang tadi pagi, membuatnya benar-benar muak dengan semua ini. Semua kenyataan ini.

Di dalam taxi dengan pakaian dan segala hal yang menutup identitasnya, Rainna berdiam meratapi air yang turun di luar sana. Bertanya-tanya dalam hati, mengapa hujan bisa terjadi disaat dirinya bahkan tak sedang menangis?

Taxi telah berhenti di depan gedung apartemen. Usai membayar taxi, Rainna langsung masuk ke dalam apartemen itu tanpa perlu repot-repot menutupi kepalanya dari hujan. Yang terpenting sekarang adalah naik ke lantai dimana keluarganya berada saat ini.

Naik lift dengan kacamata hitam dan masker, membuat beberapa orang di dalam lift menatapnya aneh. Tapi Rainna tak mempedulikan itu. Mereka bahkan tidak lebih penting daripada tas keluaran tahun lalu yang sedang ditentengnya.

Sampai, dan Rainna keluar dari lift tanpa basa-basi. Dirinya kini sudah berada di depan pintu apartemennya. Ditariknya nafas panjang sebelum menekan pin dalam kamar itu. Setelah layar menunjuk warna hijau, ekspresi Rainna berubah secepat angin.

"Reina pulaaaang!" serunya membahana dengan senyuman khasnya, dia langsung masuk ke dalam setelah melepaskan boots hak tingginya. "Halooo! Reina pulang!"

Menjijikan, pikir Rainna dalam hati. Langit pun tahu bahwa Rainna tak sedang ingin tersenyum saat ini, terbukti dari hujan yang semakin deras.

Rainna hafal betul tempat itu, lorong yang akan menghubungkannya ke ruang tengah. Maka segeralah dia melangkah ke tempat biasa mereka berkumpul. Dan dia masih di sana. Dalam situasi yang paling tidak disukai Rainna.

"Ah, kau kembali." Ayahnya dengan senyum 'ramah', mengangkat botol vodka ke arah Rainna. "Ayah rindu padamu, oh, Rein."

Ah, masih hidup rupanya orang ini. Rainna tersenyum tipis, "Terima kasih, kalau begitu. Ibu dimana?"

"Ibumu pergi dari sini kemarin malam," gumam Ayahnya sambil terus meminum botol itu langsung. Bau alkohol dan rokok benar-benar membuat Rainna muak dengan semua ini. Rainna bisa menebak dimana Ibu dan adiknya berada sekarang. "Hei, Rein, berikan Ayah uang untuk bulan ini. Yang kau kirimkan kemarin tidak cukup."

Rainna mengendikkan bahunya, "Kurasa Ayah harus mulai bekerja dan berhenti menjadi pengangguran, karena aku sedang tidak dalam masa bekerja." Rainna tak sengaja melirik satu tempat kosong yang seharusnya terisi oleh sesuatu. "Ah, pantas saja Ayah tidak tahu soal aku yang sedang jeda di dunia hiburan itu. Aku juga tidak tahu kalau Ayah sudah menjual televisi kita."

Sebenarnya bukan kita, tapi hanya 'Reina', karena Rainna sendirilah yang membeli televisi 32 inch itu. Karena nyatanya, apartemen itu adalah apartemen pribadinya, yang dibelinya dengan tabungan yang disisihkannya sejak dulu.

"Ya, begitulah. Tapi Ayah tahu tentangmu, Ayah sering mencari tahu tentang keadaanmu di media." Dia memamerkan ponsel keluaran terbaru yang ada di tangannya.

"Kenapa tidak telepon saja? Media terkadang menipu," gumam Rainna sambil memutar bola matanya kesal. "Ayah sudah makan?" Rainna membuka kulkas, mendapati kulkas itu dalam keadaan kosong. Menghela nafas, lalu menutupnya kembali.

"Belum,"

"Kalau begitu, kurasa Ayah harus membeli sesuatu. Rein tidak bisa lama-lama di sini, aku hanya izin dua jam."

"Kalau begitu, berikan aku kartu kreditmu."

"Tidak." Rainna membalas dengan tegas, hingga dia tersadar. "Maksudku, aku tidak membawanya."

Ayahnya menatap tas tenteng yang dipegang Rainna dengan penuh selidik. "Lalu, apa yang kau bawa kemari?"

"Hanya ponsel dan beberapa cash," balas Rainna. "Kalau begitu sudah dulu, Yah. Aku tidak dibutuhkan di sini, kan?"

Rainna baru saja hendak meninggalkan apartemennya, sebelum Ayahnya mengacaukan perasaannya dengan menarik tas yang ditentengnya. Itu membuat Rainna terjatuh bersembab di atas ubin apartemennya. Hatinya muak dan semua kepura-puraannya menghadapi Ayahnya, meledak begitu saja.

"Hentikan, Ayah!" serunya yang membuat suara petir terdengar keras dan dekat.

Ayahnya melepaskan tasnya sambil meminum vodka-nya. Rainna samar-samar bisa mendengar suara bising alarm mobil dari kejauhan karena mobil tipe rendah itu terlalu peka terhadap suara keras di dekatnya.

"Nih!" Rainna mengeluarkan beberapa lembar uangnya dan membantingnya di meja. "Sudah! Aku mau kembali ke asrama!"

Setelah keluar dari apartemen itu, Rainna cepat-cepat memasuki lift yang kebetulan tengah kosong.

Di dalam sana, Rainna memijit kepalanya berulang kali, menghela nafas berat sambil bergumam pelan, "sial."

*

Light sedang tidak mood pagi ini, pasalnya hari ini Kazie akan pergi. Mungkin butuh beberapa jam untuk kembali, mungkin beberapa hari, beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Peluang terburuknya adalah, dia tak bisa kembali.

Petir di atas sana mendua, kilat menari dan guntur menjerit menyatakan perasaannya. Masih terjebak di bawah rasa yang sama, Light tidak paham, apakah dirinya tengah patah hati atau mungkin tidak rela. Atau mungkin keduanya adalah jawaban?

Light tak berani menyentuh air di saat dia emosi seperti ini, mungkin saja para penyihir yang berlindung di bawah payung yang sedang menuju bangunan cadangan itu bisa saja menjadi korbannya. Tidak ada yang tahu. Maka dari itu, Light berdiam diri di sana, menahan emosinya dan takut bahwa seluruh langit akan dijajah oleh kilat.

Cahaya putih menghampirinya, Light tak bisa menahan diri untuk senang. Tapi entah karena faktor apa, rasanya Light tidak ingin bertemu Kazie yang datang berteleport saat itu. Semoga saja ini bukan pesan perpisahan.

Kazie yang mendarat di luar tempat perteduhan, membuat Light buru-buru menarik Kayaka masuk. Hujan sangat deras dan Kazie hampir basah kuyup, padahal dia datang berteleport.

"Terima kasih, Light." Kazie tersenyum tipis. "Mau kubawa kau ke merkurius?"

Light bisa melihat senyuman Kazie, tapi bisa tahu juga kalau Kazie tengah bersedih hati. Di sana, Light merasa lemah. Dia lebih menginginkan kekuatan yang mampu membuat orang-orang tertawa daripada petir.

"...terima kasih tumpangannya, tapi mungkin aku akan menunggu hujan reda," balas Light.

"Apa kau sedang marah?" Light baru saja akan mempertanyakan darimana sumber pertanyaannya itu. "Langit hari ini terlihat tidak senang."

Light terdiam beberapa saat, lalu menjawab dengan tenang. "Ya, aku sedang merasa...cemas."

"Apapun itu, redakan emosimu dulu. Kau ingat kan, kalau Piya takut petir?"

Bukan perasaan Light, tapi dia melihat pandangan Kazie menatapnya penuh luka dan sesak. "...kalau begitu, katakan padaku kalau kau akan baik-baik saja." Light memegang kedua pundak Kazie. "Tolong?"

Kazie semula tak ingin menanggapi permintaan Light, namun akhirnya dia luluh. "Baiklah, tapi tolong jangan terlalu berharap."

"Kau pasti kembali, Kato-Senpai juga akan kembali. Tolong...tolong jangan paksakan dirimu untuk merasa bahagia." Kali ini Light tak sadar meremas erat bahu Kazie. "Jangan tersenyum, jangan tertawa. Kau boleh menangis, tidak ada siapapun di sini."

Kazie tersenyum pahit, "Ada kau di sini, ingat?"

"Anggap saja aku tidak ada, anggap saja aku tidak melihat kejadian ini. Jadi, kau boleh menangis...di sini."

Kazie menunduk, tangannya mencengkram lengan seragam Light. Beberapa saat kemudian, bahunya bergetar dan cengkramannya pada lengan seragam Light makin erat.

"Aku ini sahabat yang buruk kan? Aku tidak pernah bisa melindunginya."

Light hanya diam, hatinya hancur. Gadis yang disukainya, menangis di depannya. Dia terlalu rapuh, Kazie saat ini sangat lemah, tak seperti Kazie yang biasanya. Kuat, berpendirian, teguh dan ceria. Ini Kazie yang berbeda.

"Aku tidak berguna. Aku tidak pantas-"

Light baru memberanikan diri mengelus pelan rambut Kazie. Rasanya tangannya hampir jatuh karena bergetar terlalu hebat. Dia tidak siap hancur di depan gadis itu. Dirinya tidak siap ditinggalkan gadis ini.

Petir mengaum. Light tidak yakin topan tidak akan datang karena perasaannya yang sedang campur aduk. Petir menyambar beberapa pohon di sana, membuat warna sakura berubah gelap.

Dengan suara yang tersisa, Kazie berusaha mengingatkan Light meskipun suaranya harus berakhir penuh getaran. "...Tenang, Light. Kau ingat kan, kalau Piya-"

Light roboh di sana, dia jatuh tepat di depan Kazie. Dia sukses hancur di depan gadis itu. Langit di atas kini sangat ekstrim, gelapnya benar-benar di luar nalar, seolah malam. Matahari seolah telah dilenyapkan. Semuanya terjadi hanya dalam beberapa detik.

"Light?" panggil Kazie pelan. "...mengapa malah kau yang menangis?"

"Aku tidak menangis!" bantah Light tanpa menaikkan kepalanya. "Asal kau tahu, Kazie, seseorang telah mengutukku. Setiap kau merasa sedih, aku langsung bisa merasakan kesedihanmu."

Kazie berjongkok, menaikkan dagu Light, dan mereka bertatapan sesaat. Light bisa melihat mata Kazie juga telah dipenuhi oleh airmatanya, tapi tak dihiraukannya. Kazie lebih memilih menghapus air di pipi Light dengan punggung tangannya. "Siapa yang mengutukmu? Jahat sekali."

Kau.

"Omong-omong, itu bukan airmata. Itu air hujan." Light membantah tanpa ada pernyataan.

"Iya," balas Kazie sambil tersenyum tipis. "Terima kasih ya, Hikaru, kau memang terang seperti namamu."

Cuaca gelap di atas sana berkurang meski hanya sedikit. Satu kalimat itu, mampu membuat Light, mereda.

*

Di kelas Venus, di bawah hujan lebat disertai petir dan halilintar.

Kelas Venus masih sepi, meskipun ada beberapa orang yang sudah masuk dan bercerita tentang ekstremnya cuaca hari ini. Beberapa dari mereka berharap bahwa Gino-Sensei terjebak macet hingga tidak akan ada pelajaran membosankan lain hari ini. Semuanya menertawakan keinginan itu. Gino-Sensei memang tergolong niat kalau soal pelajaran, tapi ini sudah melewati jam masuknya, mungkin mereka akan merdeka hari ini.

Di meja paling belakang, seorang gadis meletakan kepalanya di atas tangannya.

Tadinya dia sedang menangis meratapi nasib, tapi kini, dia tak mampu menangis lagi karena terlalu ketakutan. Oh, Yaampun, mengapa petir tidak kunjung reda?

Tazu sudah di sana sedaritadi, mengabaikan orang-orang yang datang mengajaknya mengobrol dan memilih untuk menatap rambut gadis di sampingnya lama-lama.

Tak terdengar suara petir lagi, membuat Piya memutuskan untuk mengangkat kepalanya, dia tersentak karena tak menyadari Tazu sudah ada di sana sedaritadi.

"Yaampun, kau sudah datang, rupanya."

Samar, tapi Tazu langsung menyadari bahwa gadis itu habis menangis. Entah karena ketakutan depan petir atau mungkin hal lainnya. Dirinya hanya diam, bersandar, kemudian menatap langit tak bersahabat di luar sana menjerit seolah ditinggalkan.

"Hei, Tazu."

Yang dipanggil pun menoleh ke Piya.

"...Menurutmu, salah tidak kalau aku berniat membantu seseorang yang berharga?"

"Tidak," balas Tazu tanpa ragu.

Piya menunduk, tersenyum miris. "Tidak salah, yah? Jadi mengapa dia marah?" gumamnya.

Tazu hanya diam, kali ini dia menyimpulkan bahwa Piya menangis bukan karena ketakutan dengan petir di luar sana. Baiklah, mungkin dia takut, tetapi dia menangis bukan karena itu.

"Apa saat aku membantumu, kau pernah merasa bahwa aku sedang meremehkanmu?"

"Tidak."

Lagi-lagi lelaki itu hanya bisa menjawab satu patah kata saja. Rasanya ingin mengucapkan sesuatu untuk menenangkan Piya, tapi Tazu tak mengerti apa yang harus diucapkannya padanya.

Piya lagi-lagi menghela nafasnya, kemudian meletakan kepalanya kembali di atas meja.

"...mau dengar cerita?"

Piya menoleh ke arah Tazu, meski wajahnya masih melekat di meja. "Kau yang akan cerita? Mungkin tidak, terima kasih. Kau hanya akan bercerita sesingkat-singkatnya."

Tazu terdiam.

"...hm, ya, kecuali..., kau mau bercerita tentang pertemuan pertama kita dari segi pendapatmu. Kau mencoba ramah saat menyambutku bangun saat aku di dunia sihir?" Piya-berpura-pura-tertawa. "Ya, aku hanya bercand-"

"Tentu."

Piya tak menyangka bahwa Tazu akan menjawab itu.

"Tentu?" Piya memiringkan kepalanya, "Kau mau bercerita?"

"Ya,"

"Sungguh? Apa ini akan menjadi cerita humor? Maksudku, kau tahu kalau aku tak tahu apa-apa saat aku bangun, kan? Itu hanya akan menghabiskan waktu dan menjadi cerita paling konyol sepanjang waktu."-Piya menekuk alisnya-"Atau ini akan menjadi cerita pendek? Kau masih ingin bercerita?"

"Tentu."

Piya menopang dagunya, kini siap mendengarkan bagaimana jadinya cerita itu. Mungkin saja itu akan lebih dari konyol? Rasanya aneh mendengar persepsi dari sisi seorang Tazu.

"Baiklah, kau boleh mulai."

"Itu saat aku bertemu denganmu pertama kalinya..." Tazu memulai ceritanya. Piya hanya menyimak dengan manis. "Di rumah sakit, awal musim dingin."

Piya masih bertopang dagu, matanya tidak bisa menahan diri untuk menerjap beberapa saat, mulutnya yang terbuka sedikit juga tak mampu bersuara. Piya berhenti menopang dagu. Tazu tahu kebingungan yang dihadapinya, Piya menggeleng seolah membantah ucapannya karena suaranya tidak mampu keluar sama sekali.

"Dan kau lupa." Lelaki itu menatap gadis itu dalam. "Kau hanya lupa, itu tidak masalah."

"K-kau mungkin salah orang. Ya, mungkin." Piya memalingkan wajahnya dan mencoba menenangkan jantungnya yang saat itu tak karuan karena cerita barusan. "Aku tidak ke rumah sakit sampai aku tergelincir es di pertandingan... kalaupun kita bertemu di rumah sakit, seharusnya aku mengingatmu. Aku hanya kehilangan sedikit ingatanku sebelum tergelincir."

"Itu tidak sedikit."

"Baiklah, mungkin tidak sedikit, aku juga merasa kehilangan banyak." Piya membalas cepat. "Tapi...seperti yang kukatakan, bertemu di rumah sakit itu sedikit...kurang masuk akal." Piya memalingkan wajahnya.

"Kurang masuk akal, tapi kau percaya, kan?"

Piya hanya diam. Semuanya terdengar aneh, tapi tidak sedikitpun Piya merasa Tazu sedang membual soal cerita itu. Lagipula apa untungnya coba, Tazu berbohong? Tidak ada. Piya ingat kalau dia di rumah sakit saat musim dingin. Tentang sebelum atau sesudah bertemu, Piya sendiri tidak yakin soal itu.

"Sudah waktunya." Tazu berdiri dan keluar dari mejanya. "Ayo."

"Kemana?" tanya Piya bingung.

"Gedung utama," balas lelaki itu. "Kau tidak mengantar Kazie?"

Untuk beberapa saat, Piya terdiam, mengingat semua kejadian tadi pagi dengan Kazie. Mereka berdua masih dalam keadaan yang tidak baik. Piya akan menyesal seumur hidup jika dia tak berhasil mengantar Kazie.

Piya bangkit dari duduknya, lalu mengikuti kemana Tazu melangkah tanpa berkata apa-apa. Piya melirik punggung Tazu dengan cemas.

Hujan dan petir adalah tanda bahwa ada orang yang sedang tidak bahagia. Piya tahu itu.

Ya, kuharap tidak ada yang kecewa.

Lalu dia melupakan dirinya yang tengah merasa sedih.

***TBC***

28 January 2017, Sabtu.

A/N

Happy CNY! Hahaha! Ini angpao buat kaliaaaan.

BTW, saya private cerita saya gapapa kan? Iya, maaf, tapi chapter ini telah direncanakan sebagai chapter untuk menyampaikan ini. Saya hanya...berusaha melindungi diri, melindungi Piya dan melindungi semuanya. Hanya itu.

LMP dan semua cerita saya yang udah tamat, saya unpublish dibagian klimaks-nya (menurut saya sih). Lalu... AQUA dan REVIVE mungkin masih kulanjutin tanpa private karena chapternya masih dikit. Saya lindungi yang udah tamat dulu yak.

Dan TAZU SPOILER BRO. Mereka pertama kalinya ketemu di rumah sakit. SIAPA YANG TEBAKANNYA BENER?!

Oh ya, gimana LightxKazie? Gimana? Gimana?

Rainna, saya sayang kamu. Meskipun Sonic belum sayang kamu, saya tetap sayang kamu. T-T

*

SKY's DISCUSSION AREA

Lapak ini sengaja dibuat karena saya masih bingung dengan pemikiran kalian.

Begini, kalian diperbolehkan saling balas-balasan untuk diskusi ini. Bahasa kasar tidak diperbolehkan di sini, debat boleh, tapi jangan kelewatan. Kelewatan? Komenmu hilang. :3

TOPIC: Tazu dan Vampix punya hubungan apa? [DISCUSS HERE]

CLUE:
Di Tazu's POV, kalian tahu bahwa Tazu dan Vampix tidak saling kenal.
Di chp 2 LMP, kalian tahu bahwa Vampix menyuruh Tazu buat nganterin Piya ke Newbie, yang mana halnya Vampix juga ga kenal Tazu (dilihat dari ucapan Vampix)
Di chp 15-16 LMP, kita tahu bahwa Vampix menginginkan informasi tentang Tazu lewat Hize.
Di chp 38 LMP, Vampix mengatakan bahwa, "Entah sial atau bagaimana, kita bertemu dengan cara yang aneh begini."

Nah, seharusnya sampai di sini, kalian tahu bahwa mereka bukan kakak-adik atau saudaraan. Selamat berdiskusi di atas yang dibold itu!

Saya tahu udah ada yang temenan karena cerita abal ini, tapi syukurlah kalau kalian bisa dapat teman karena satu cerita.

Cindyana H

🐤

Seguir leyendo

También te gustarán

REFLECTION [END] Por piwa

Misterio / Suspenso

575 76 30
Pada beberapa kejadian, terkadang mimpi adalah sebuah dunia lain yang sebenarnya berdampingan dengan dunia nyata. Setiap pingsan, Tera akan menjalan...
10.2M 1.2M 62
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
47.8K 5.5K 14
(END) Yibo adalah suami takut istri. Masih berstatus mahasiswa dan lebih muda dari Zhan. Semua orang penasaran apa yang membuat Yibo menikah dengan Z...
1.2M 19.4K 8
Highest Rank #1 in Science Fiction [10-10-2017 - dst ] Kotaku hancur. Dihancurkan sekelompok orang tak bertanggung jawab. Mereka yang katanya cerdas...