Way Back Home โœ”

By helloxmello

6.3K 644 810

Tentang menemukan dan kehilangan. Tentang yang pergi dan yang kembali. Tentang jatuh cinta, sakit hati, luka... More

Prologue
1. Run to You (Peniel)
3. A Little Too Late (Changsub)
4. Our Love Like This (Eunkwang)
5. End of the Road (Hyunsik)
6. Feels Like Home (Sungjae)
7. Congratulations (Minhyuk)
Epilogue
Side Story - Behind This Project

2. Home is Where the Heart is (Ilhoon)

736 87 141
By helloxmello

Hongkong International Airport
Monday, April 9th
06.00 pm

Jung Ilhoon membetulkan letak ranselnya yang ia sandang di punggung. Wajahnya menampakkan kecemasan yang nyata, peluh tak henti-hentinya mengalir di kening dan wajahnya. Hampir setiap dua menit sekali matanya melirik jam di tangan. Akhirnya ia mengeluarkan handphone dari sakunya dan menghubungi sebuah nomor. Ilhoon menunggu cukup lama, sampai akhirnya telfon tersebut tersambung.

"Yeoboseyo..." Sebuah suara mengantuk menjawab telfon Ilhoon.

"YA, YOOK SUNGJAE!" Ilhoon langsung menyalak dengan keras, membuat beberapa orang yang berlalu lalang di sekitarnya menoleh kaget.

"Ah, hyung? Waeyo? Aku masih mengantuk, baru dua menit yang lalu aku tertidur, benar-benar tidak tahu waktu kau ini.." Sungjae terus mencerocos seakan tidak terkejut dengan intonasi tinggi Ilhoon.

"Kenapa kau tidak mengangkat telfonku dari tadi, hah? Dan, apa kau bilang? Aku tidak tahu waktu? Dasar pemalas! Kau pikir ini pukul berapa? Pantas tidak ada satupun perempuan menyukaimu, kerjaanmu tidur saja setiap hari." Ilhoon mulai mengomel sambil berjalan mondar-mandir.

"Hei, kenapa membawa-bawa perempuan segala, sih? Kau pikir Jiyoung noona bahagia denganmu apa, huh, kau tidak tahu saja. Kau tahu, aku mulai berpikir kau memaksanya menikah denganmu, hyung." ujar Sungjae di seberang sana. Mendengar nama "Jiyoung" membuat Ilhoon kembali fokus pada tujuan awalnya menghubungi Sungjae.

"Sungjae-ya, bagaimana kabar Jiyoung-ku?" tanya Ilhoon mengabaikan seratus persen celotehan Sungjae. Nada suaranya benar-benar terdengar khawatir, membuat Sungjae yang tadinya ingin menjawab dengan "dia bilang akan menceraikanmu", mendadak mengurungkan niatnya. Sepertinya hyung nya ini sedang tidak dalam mood bercanda.

"Yah.. kau tahu, masih seperti biasanya. Tidak ada perubahan berarti. Semalam noona muntah-muntah lagi, tapi tidak separah sebelumnya kok," jawab Sungjae.

Ilhoon menghela napas panjang. "Apakah.. belum ada tanda-tanda..?"

Sungjae menggeleng. Sadar kakaknya tidak bisa melihatnya, ia menjawab. "Belum hyung, rasanya tidak akan 'keluar' hari ini."

"Ya, kau pikir anakku semacam kotoran? 'Keluar' katamu.." Ilhoon kembali mengomel. Sungjae nyengir di ujung sana.

"Hehehe, mian. Tenang saja, hyung. Lagipula, kau pulang hari ini kan? Dalam beberapa jam kau akan bertemu Jiyoung noona, tenang sajalah. Bisa cepat botak kau lama-lama kalau terus-terusan khawatir seperti ini.."

Ilhoon mengacuhkan ejekan Sungjae. "Baiklah, Sungjae-ya. Kabari aku kalau ada apa-apa. Kau paham kan? Perubahan sekecil apapun.."

"Ya ya hyung, aku paham. Tenang saja." Sungjae memotong perkataan Ilhoon. "Sekarang kau bersiaplah sana! Jangan sampai ketinggalan pesawat hanya karena kau terlalu cemas."

Ilhoon mengangguk. "Gomawo, Sungjae-ya."

Setelah hubungan terputus, Ilhoon kembali mengantongi handphone nya dan menghela napas panjang. Ia menarik kopernya dan berjalan menuju barisan check-in di depannya, bersiap pulang.

*

Ilhoon dan Jiyoung sudah menikah selama dua tahun. Saat ini, Jiyoung sedang mengandung anak pertama mereka. Usia kehamilannya memang sudah delapan bulan, hal itulah yang membuat Ilhoon cemas meninggalkan istri dan calon anaknya sendirian. Meski sebetulnya ada Sungjae dan orangtuanya di rumah, tapi tetap saja.

Sayangnya, panggilan dinas dari kantor betul-betul tidak dapat ditolaknya. Ilhoon baru saja bekerja di sebuah trading company ternama di Korea, One International. Posisinya sebagai intern di kantor tentu saja merupakan masa-masa krusial yang menentukan kelanjutan masa depannya nanti. Karena itu, begitu atasannya mengirim Ilhoon ke Hongkong, ia harus berangkat.

Yang membuat Ilhoon lebih was-was lagi, meskipun usia kandungan Jiyoung belum mencapai sembilan bulan, dokter kandungan sebelumnya telah menyatakan bahwa plasenta dalam kandungan Jiyoung menutupi jalan lahir si bayi. Berita itu disampaikan dokter mereka pada bulan ke lima kehamilan Jiyoung.

Ilhoon yang memang sering cemas berlebihan sejak Jiyoung mengandung, makin cemas mendengar fakta tersebut. Meski begitu, rupanya dokter menenangkan dengan mengatakan bahwa hal itu masih bisa berubah dalam beberapa bulan ke depan.

Hal inilah yang membuat Ilhoon bolak-balik mengkhawatirkan istrinya. Dan calon anaknya. Sejenak, ia tersenyum hangat mengingat momen ketika pertama kali ia dan Jiyoung merasakan tendangan kecil di perut Jiyoung. Betapa hatinya dipenuhi rasa cinta, bahkan sebelum anaknya lahir ke dunia. Ilhoon hanya berharap, saat ini dirinya ada di sana, di sebelah Jiyoung, memeluk dan mencium istrinya itu.

*

Seoul, Korea
At the same time

Sungjae menguap lebar. Kakaknya itu sukses membuyarkan tidur siangnya yang kelewat sore, membuat Sungjae tidak bisa memejamkan mata lagi. Ia berjalan ke dapur, ingin mengambil air ketika dilihatnya Jiyoung noona sedang berdiri di dekat wastafel, membelakangi dirinya.

"Noona, apa yang sedang kau lakukan? Baru saja Ilhoon hyung menelfonku, menanyakan kabarmu. Kubilang padanya kau baik-baik saja, dia memang terlalu pencemas, hyungku satu itu. Bisa cepat tua kalau terus-terusan begitu. Oh ya, noona, apa kau sudah makan?"

Sungjae terus mencerocos sambil membuka kulkas, mengeluarkan sebotol air mineral dan menenggaknya tandas. Ia memutar badan ke arah Jiyoung ketika ocehannya sama sekali tidak ada respon dari sang kakak ipar.

"Noona? Mau kubuatkan makanan? Atau..." Suara Sungjae menghilang ketika melihat raut wajah Jiyoung yang sangat pucat dan seperti menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Noona! Wae geurae??"

Sungjae segera memegangi kedua lengan Jiyoung dan memapahnya menuju kursi meja makan, ketika ia baru menyadari bahwa lantai dapur dalam keadaan basah. Dengan raut wajah bingung, ia menatap lantai yang basah dan Jiyoung, berkali-kali secara bergantian. Sejenak kemudian, ia baru paham.

"Noona... A-apa kau... apa kau merasa...?"

Jiyoung akhirnya menatap Sungjae, peluh menghiasi seluruh wajahnya. Matanya hanya tinggal segaris, nyaris memejam.

"Sungjae-ya.. A-air ketubanku.. Pe-pecah..."

Seketika itu juga, Jiyoung ambruk ke lantai.

*

Gate F
07.00 pm
30 min before departure

"Dear passangers of Korean Airlines with flight number 1589, destination Seoul, Korea. We are sorry to inform you that because of bad weather, your flight will be delayed until further notice. Thank you."

Ilhoon yang sedang serius membaca koran elektronik di iPadnya segera bangun dan berjalan menuju meja informasi begitu mendengar pengumuman tersebut.

"Permisi. Apakah pengumuman tadi diperuntukkan bagi penumpang pesawat Korean Airlines pukul 19.30?" Ilhoon bertanya kepada perempuan di balik meja informasi.

"Betul, Tuan. Dikarenakan cuaca malam ini cukup berangin dan hujan deras tidak berhenti sejak tadi, maka demi keamanan bersama kami memutuskan menunda penerbangan untuk waktu yang tidak dapat ditentukan." Perempuan itu menjawab dengan nada seperti robot, seperti sudah terprogram.

Ilhoon menatap jendela di samping kanannya. Benar juga. Hujan sangat deras mengguyur seantero Hongkong. Ia begitu tenggelam dalam bacaannya sehingga tidak menyadari hujan deras di luar.

"Tapi sampai kapan? Sampai kapan tertundanya?"

Perempuan itu menggeleng. "Kami belum bisa memberikan informasi terkait kapan Korean Airlines akan diberangkatkan. Sebaiknya Tuan menunggu informasi selanjutnya."

Ilhoon menatap perempuan itu, sedikit kesal dengan jawabannya. Ia berjalan kembali menuju kursinya, dan tiba-tiba saja benaknya dipenuhi kecemasan.

Jiyoung-ah, pikirnya seperti tersadar. Ia segera menekan nomor Sungjae. Terdengar nada tunggu yang sangat lama sampai akhirnya telfon tersebut tersambung.

"Yeoboseyo.."

"Sungjae-ya, kenapa kau selalu lama sekali mengangkat telfon dariku? Bagaimana kabar Jiyoung? Jadwal penerbanganku mundur sampai waktu yang tidak dapat ditentukan karena hujan sialan ini. Jiyoung baik-baik saja kan?"

Ilhoon merepet tanpa henti, sampai ia tersadar bahwa Sungjae terdiam di ujung sana.

"Sungjae-ya? Wae? Kenapa kau diam saja?"

"Hyung. Aku baru ingin menelfonmu dan menanyakan kapan kiranya kau bisa tiba disini. Jiyoung noona.." Sungjae menghela napas, nadanya bimbang seperti ingin melanjutkan atau berhenti di tengah-tengah kalimat.

Ilhoon membatu. Wajahnya tegang dan matanya membelalak lebar.

"Ada apa? Cepat katakan padaku!"

"Hyung, kau harus tenang, oke? Jangan terlalu cepat emosi. Tunggu dulu aku sedang memilah kata yang tepat.." Di ujung sana, Sungjae menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Yook Sungjae, cepat katakan padaku apa yang terjadi atau kau..."

"Baiklah, hyung, tenang dulu. Jiyoung noona saat ini berada di rumah sakit. Tadi sore begitu aku selesai bicara denganmu, aku melihat noona di dapur dan ternyata.. air ketubannya sudah pecah."

Mendengarnya, Ilhoon semakin panik. "Lalu.. lalu sekarang bagaimana?!"

Ia bisa mendengar Sungjae menghela napas. "Saat ini dokter sedang memeriksanya. Kau pasti sudah tahu permasalahannya kan? Tentang plasenta noona yang menutupi jalan lahir atau apalah itu. Dokter sempat mengatakan bahwa kemungkinan besar jika dalam beberapa jam ke depan keadaannya makin buruk, maka noona harus dioperasi. Supaya.. supaya bayinya selamat."

Tanpa mematikan sambungan telfon, Ilhoon berlari kembali menuju meja informasi. Ia harus pulang. Sekarang.

"Nona, apakah tidak ada cara lain untuk penerbangan tetap berangkat pada pukul 19.30? Atau setidaknya bisakah aku mendapat kepastian kapan tepatnya pesawatku akan berangkat??"

Nada mendesak yang terdengar nyata dari suara Ilhoon membuat perempuan di meja informasi tersebut kaget. Ia menjelaskan sekali lagi kepada Ilhoon, penjelasan yang sama seperti yang pertama. Ilhoon menggeleng-geleng tidak sabar.

"Tidak, tidak. Itu aku sudah dengar. Aku harus pulang sekarang, Nona. Aku harus pulang sekarang, saat ini juga!"

Tanpa disadarinya, Ilhoon menggebrak meja dengan cukup keras. Saat ini, ia frustrasi sekali. Rasanya ingin menendang apa saja yang ada di dekatnya.

"Tolong Nona, lakukan apa yang bisa kalian lakukan. Aku harus pulang sekarang, detik ini juga." Ilhoon menatap perempuan itu tajam. Nada suaranya memelan tetapi setiap kata yang ia ucapkan mampu membuat orang yang mendengarnya merinding.

Saat ini sudah pukul 07.30 malam waktu Hongkong. Sudah 30 menit berlalu sejak jadwal penerbangannya yang seharusnya. Di Korea pasti sudah pukul 08.30 malam. Bahkan jika pesawatnya terbang detik ini juga, Ilhoon pesimis bisa menemani istrinya di rumah sakit.

"Sial!" Ilhoon menendang kopernya sampai koper itu jatuh terguling dengan keras. Ia sudah sangat frustrasi. Ilhoon kembali duduk, menangkupkan kepalanya di atas kedua tangannya. Dadanya sesak. Ia membayangkan Jiyoung meregang nyawa sendirian, berjuang melahirkan anaknya, anak mereka...

Tiba-tiba saja, semua kenangan bersama Jiyoung seperti terputar kembali di benak Ilhoon. Ia pertama kali bertemu Jiyoung di sebuah acara musik di kampusnya. Ilhoon yang saat itu menjadi salah satu pengisi dan Jiyoung yang merupakan panitianya. 

Ketika sedang menunggu giliran tampil, Ilhoon betul-betul tidak dapat melepaskan pandangannya dari sosok Jiyoung yang berlari kesana kemari, dengan rambut yang hanya dikucir kuda asal-asalan dan dandanan seadanya. Meskipun dengan penampilan seperti itu, Ilhoon terhipnotis sosoknya yang terlihat betul-betul bekerja keras dan selalu tersenyum.

Ilhoon ingat, betapa setelahnya ia berusaha mati-matian mendekati Jiyoung. Ilhoon ingat, ketika sudah berhubungan pun, Jiyoung selalu tersenyum manis meski Ilhoon sering bersikap sok cuek dan tidak peduli. Jiyoung pernah berkata bahwa meski cuek, dirinya adalah laki-laki paling romantis yang Jiyoung kenal.

"Hoonie, kenapa kau menggemaskan sekali." Suatu ketika Jiyoung berkata padanya. Wajah Ilhoon selalu bersemu merah tiap Jiyoung mengucapkan panggilan sayangnya itu. Ilhoon mati-matian membangun imej cuek dan angkuh, tetapi Jiyoung lah yang berhasil meruntuhkan itu semua.

"Kuharap kita selalu seperti ini, Ilhoon-ah. Bersama-sama seperti ini. Bahkan jika kita saling berjauhan.. kuharap kau selalu mengingatku. Atau kau bisa membawa separuh hatiku dan menggenggamnya kemanapun kau pergi. Sehingga nantinya kau akan selalu ingat untuk pulang kepadaku, untuk mengembalikan hatiku dan membuatnya utuh kembali."

Ilhoon tersenyum mengingat ucapan Jiyoung dulu. Tanpa sadar ia meraba dadanya, berusaha menggenggam hati Jiyoung yang saat ini dibawanya. Jiyoung-nya yang manis dan lembut, yang selalu tersenyum, yang dapat menenangkan dirinya ketika ia tersulut emosi...

Drrrt! Ilhoon merasakan handphone di sakunya bergetar. Ia membuka pesan yang masuk dengan terburu-buru dan membaca pesan singkat dari Sungjae.

From: Sungjae
Hyung, baru saja noona masuk ruang operasi.
Terpaksa harus dilakukan.. Apa kau baik-baik saja?

Setitik air mata jatuh di atas layar ponselnya. Saat ini ia merasa sangat tidak berguna. Beberapa jam lagi ia akan menjadi seorang ayah, tetapi bahkan ia tidak ada disana untuk sekadar menggenggam tangan Jiyoung dan menguatkannya. Ilhoon tidak ada disana, tidak bisa melihat anaknya untuk pertama kali.

Aku harus bagaimana? pikir Ilhoon, semakin putus asa di setiap detiknya. Tiba-tiba saja, terdengar sebuah suara bergaung di seantero ruang tunggu.

"Dear passangers of Korean Airlines with flight number 1589, destination Seoul, Korea. We are glad to inform you that we will be boarding in ten minutes. Please departure through gate F. Dear passangers of..."

Dengan cepat Ilhoon berdiri dan menyambar kopernya. Ia menjadi orang pertama yang keluar dari ruang tunggu dan berjalan memasuki pesawat. 

Ilhoon menarik napas panjang. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah tenang, dan berharap semuanya baik-baik saja, setidaknya sebelum ia datang.

*

Three hours later
Asan Medical Center
Obstetryc and Gynecologyst Department

Ilhoon berlari masuk ke dalam rumah sakit seperti kesetanan. Tidak dipedulikannya orang-orang yang memaki dirinya karena Ilhoon menabrak mereka. Ilhoon hanya harus bertemu dengan Jiyoung, sekarang juga.

Akhirnya Ilhoon melihat sosok Sungjae yang sedang duduk menunggu di depan ruang operasi. Ia menambah kecepatan larinya dan sampai di hadapan Sungjae dengan terengah-engah.

"Mana... hhh, mana istriku?" Ilhoon menatap Sungjae putus asa. Belum sempat Sungjae membuka mulutnya, pintu ruang operasi terbuka. Beberapa orang keluar dari balik pintu tersebut, salah satunya adalah dokter yang menangani Jiyoung selama ini. Cepat, Ilhoon menghampiri dokter tersebut.

"Dokter, bagaimana—" Dokter tersebut mengangkat tangan kanannya, meminta Ilhoon berhenti bicara. Ilhoon terdiam, menunggu.

Dokter itu menghela napas. Panjang.

"Kami sudah melakukan semampu kami. Tetapi plasenta yang menutup jalan lahir bayi terlalu berbahaya untuk keduanya, si ibu dan bayinya. Pada akhirnya kami harus memilih. Maaf, tetapi istrimu meninggal saat operasi."

Ilhoon hanya bisa terpaku mendengar seluruh perkataan dokter itu. Ketika ia belum mampu mengumpulkan kesadarannya, seorang suster di belakang barisan maju ke depan. Di pelukan tangannya, seorang bayi menangis cukup keras, hal yang tidak disadari Ilhoon sejak tadi.

"Anak anda, Tuan. Perempuan." Suster itu menyerahkan bayi perempuan di tangannya ke arah Ilhoon. Tetapi Ilhoon terlalu terkejut untuk bisa bereaksi. Sungjae lah yang mengambil bayi di tangan suster tersebut, meski dengan tangan yang gemetaran.

"Hyung.." Sungjae memanggil Ilhoon pelan, matanya mulai basah. Ilhoon tidak menjawab. Perlahan, ia berbalik menghadap Sungjae, menatap bayinya. Saat itulah Sungjae baru menyadari wajah Ilhoon yang telah dipenuhi air mata.

"Sungjae-ya.." panggil Ilhoon, suaranya serak. Sungjae beringsut mendekat, air matanya tumpah ketika melihat kakaknya yang selalu terlihat cuek ini mendadak menjadi sangat rapuh dan seakan bisa hancur berkeping-keping kapan saja.

"Jiyoung-ku.. Jiyoung-ku.." Ilhoon mengulurkan tangannya, ingin meraih bayi dalam pelukan Sungjae. Tetapi kakinya kehilangan kekuatan untuk berpijak, Ilhoon jatuh terduduk dengan keras, tangisnya berubah menjadi raungan marah dan tidak percaya.

"TIDAK! JIYOUNG! AKU HARUS BERTEMU DENGANNYA! JIYOUUUUNG!" Ilhoon meneriakkan nama Jiyoung keras-keras.  

"Hyung!" Sungjae berseru, air matanya juga tidak bisa berhenti mengalir. Ia segera menyerahkan bayi perempuan di tangannya kepada suster dan langsung memeluk Ilhoon yang masih meraung frustrasi.

Seakan dapat mendengar suara Ilhoon, pintu ruang operasi kembali menjeblak terbuka. Dari balik pintu, terlihat dua orang suster mendorong ranjang rumah sakit.. dengan Jiyoung di atasnya. Jiyoung-nya. Tersenyum, meski kedua matanya tertutup. Ilhoon berdiri dengan susah payah, berlari dan kembali jatuh terduduk di sebelah Jiyoung.

"Jiyoungie.. Bangun, chagi.. Anak kita sudah lahir bukan? Ayo bangun, kau harus melihat anakmu.. Dia cantik sekali, persis ibunya.." Ilhoon menggenggam tangan Jiyoung dan mencoba tersenyum meski air mata terus mengalir deras di wajahnya. Ketika menyadari tangan Jiyoung yang dingin, Ilhoon kembali terisak hebat. Istrinya betul-betul sudah tiada.

Seorang suster menghampiri Ilhoon dan menyentuh bahunya lembut.

"Kami ikut berduka, Tuan. Kami mohon maaf, tetapi kami sudah melakukan segala yang bisa kami lakukan. Sebelum operasi berlangsung, istrimu sempat meminta salah satu suster untuk menuliskan surat ini." Suster itu menyerahkan sebuah kertas yang dilipat kepada Ilhoon. "Istri anda sendiri yang mengucapkan kata-kata itu, Tuan. Sekali lagi, kami mohon maaf."

Ilhoon mengambil kertas itu dengan tangan yang gemetar. Sembari duduk di lantai rumah sakit yang dingin, ia membaca baris-baris kalimat yang diucapkan Jiyoung.

Hoonie,

Ilhoon-ku, sayangku, suamiku yang paling luar biasa. Sebentar lagi anak kita akan lahir ke dunia. Aku sungguh tidak sabar. Sejujurnya saat ini aku takut. Bukan karena akan dioperasi, tetapi aku takut memikirkan kemungkinan apakah anakku akan selamat atau tidak. Dan aku takut.. karena tidak ada kau disini yang menemaniku.

Aku tahu, aku tidak bisa menyalahkan pesawat yang terlambat. Aku hanya berharap, semoga semuanya baik-baik saja dan aku bisa menemuimu, dan surat ini tidak perlu kau baca. Tetapi jika kau sedang membacanya.. ketahuilah, Ilhoon-ah.

Aku menyayangimu, mencintaimu sebegitu besarnya hingga rasanya dadaku ingin meledak. Sebegitu besarnya, sehingga aku berani menitipkan separuh hatiku untuk kau bawa kemanapun kau pergi, karena aku yakin kau akan selalu pulang padaku. Aku percaya.. meskipun aku tidak ada, kau akan selalu menyayangi anak kita, mengingat semua tentangku, dan tetap menjaga separuh hatiku yang masih kau bawa.

Aku mencintaimu, Hoonie. Aku menitipkan hatiku padamu, sampai tiba waktunya nanti kau pulang kepadaku. Aku mencintaimu, selalu.

Jiyoung

Ilhoon hampir tidak bisa membaca kalimat terakhir dalam surat itu karena air mata kembali mengalir deras di wajahnya. Ia mendongak, mencari-cari, dan menemukan anaknya dalam gendongan seorang suster. Ilhoon menghela napas dalam. Kata-kata terakhir Jiyoung entah bagaimana menguatkan dirinya, meskipun ia merasa kepedihan yang sangat hebat juga memenuhi hatinya. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya, meminta bayi dalam gendongan suster tersebut.

"Anakku." ucapnya tegas, meski kepedihan masih terlintas jelas di wajahnya. Dengan tangan yang gemetar, ia menggendong anak perempuannya. Bayi perempuan di gendongannya tertidur. Ilhoon menatap matanya yang tertutup, hidungnya yang kecil dan bibirnya yang merah. Ia kembali berlutut di dekat jasad Jiyoung.

"Jiyoungie.. Anak kita. Aku berjanji akan menyayanginya sampai kapanpun. Dan aku tidak akan, tidak akan pernah melupakanmu." Ilhoon mendekat dan mencium pipi Jiyoung, lama. Air matanya kembali menetes.

"Aku mencintaimu, Jiyoung-ah. Selalu."

Continue Reading

You'll Also Like

22.9M 801K 69
"The Hacker and the Mob Boss" โฆ Reyna Fields seems to be an ordinary girl with her thick-framed glasses, baggy clothes, hair always up in a ponytail...
3.9M 159K 69
Highest rank: #1 in Teen-Fiction and sci-fi romance, #1 mindreader, #2 humor Aaron's special power might just be the coolest- or scariest- thing ever...
1M 39.7K 92
๐—Ÿ๐—ผ๐˜ƒ๐—ถ๐—ป๐—ด ๐—ต๐—ฒ๐—ฟ ๐˜„๐—ฎ๐˜€ ๐—น๐—ถ๐—ธ๐—ฒ ๐—ฝ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ถ๐—ป๐—ด ๐˜„๐—ถ๐˜๐—ต ๐—ณ๐—ถ๐—ฟ๐—ฒ, ๐—น๐˜‚๐—ฐ๐—ธ๐—ถ๐—น๐˜† ๐—ณ๐—ผ๐—ฟ ๐—ต๐—ฒ๐—ฟ, ๐—”๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฒ๐˜€ ๐—น๐—ผ๐˜ƒ๐—ฒ ๐—ฝ๐—น๐—ฎ๐˜†๐—ถ๐—ป๐—ด ๐˜„๐—ถ๐˜๐—ต ๏ฟฝ...
7.3M 303K 38
~ AVAILABLE ON AMAZON: https://www.amazon.com/dp/164434193X ~ She hated riding the subway. It was cramped, smelled, and the seats were extremely unc...