Love Between Us 1

Por AnisaSwedia

3.8K 68 2

Pengkhianatan dari sahabat terbaik mengungkap kebenaran terburuk. Mia sudah benci mengetahui bahwa ternyata d... Más

BAB 2 : Gadis Misterius
Bab 3: DRAMA
BAB 4: BAGAIKAN MATAHARI DAN BULAN
BAB 5: DIANTARA DUA NAMA

BAB 1 : Aku dan Kak Abby

496 20 0
Por AnisaSwedia

"Mia!" panggil seseorang lantang. Aku menoleh seketika dan mendapati diriku yang lain sedang berlari ke arahku, dia kelihatan rapi dan bersih, berbeda halnya denganku yang lusuh dan kotor. Aku diam memandangnya yang tersenyum riang kepadaku. Aku iri dengan apa-apa yang ia miliki meski aku juga memilikinya. Aku memiliki mata menawannya, bibir indahnya, hidung mancungnya, wajahnya yang rupawan dengan alis yang sempurna dan bulu mata yang lentik. Ya, aku memiliki semua fisiknya karena kami kembar identik, namun aku tak memiliki nasibnya yang indah.

"Kenapa mesti lari-lari?" tanyaku sesampainya ia di hadapanku dengan napas yang terengah-engah. Ia memegang erat tali tas sekolahnya agar tak terjatuh dari lengannya sedangkan lengannya yang lain memegang punyaku.

"Kita bertukar tempat lagi, yuk?" pintanya padaku sembari mengatupkan kedua lengannya yang cantik dan lentik. Matanya terlihat memohon sekali kepadaku. Aku menghela napas kesal.

"Hari ini aku ada ulangan matematika kak ... " ujarku kepadanya.

"Kamu kan tahu kalau aku pandai matematika," sergahnya bersemangat. Ya, kakak kembarku memang pandai matematika. "Ayolah ... " rengeknya kembali. "Aku ingin melihat dirinya ... " imbuhnya. Ada seorang pemuda di kelasku yang menaut hati kakakku. Pemuda di kelasku memang membuatnya lebih ceria dan bersemangat dalam hidup. Dia melepaskan jaket mahal berwarna merah jambu serta pita indah yang kuinginkan sejak lama agar bertengger di rambutku yang juga indah. Ia memberikan semua aksesoris yang ada di dalam dirinya, kecuali seragam sekolah kami yang sama. Dari mulai pita, tas, jaket sampai sepatu kami bertukar. Gaya rambut kami juga kami rubah. Aku selalu mengikat rambutku sedangkan dia tidak.

Meski aku dan Kak Abby jarang bersama, kami tidak mau berbeda. Cukup lingkungan kami dibesarkan saja yang berbeda. Semua yang ada pada kami harus sama, termasuk panjang rambut kami agar orang mengenali kami sebagai saudara kembar yang saling menyayangi meski kami tidak tinggal satu atap dikarenakan satu alasan yang paling menyakitkan. Dan aku benci mengingat hal itu.

Aku bergegas memakai jaketnya, mengenakan pita indahnya di rambutku. Baru beberapa hari yang lalu aku bermimpi mengenakan pita indah seperti ini, hari ini mimpi itu terwujud meski hanya sementara saja, sampai jam pelajaran utama usai dua jam lagi.

"Teetttt!!!!!" Bel tanda masuk kelas berbunyi nyaring sekali. Aku dan Kak Abby merapikan pakaian kami. Kami memandang diri kami dalam cermin di hadapan kami. Sempurna sekali penyamaran kami. Aku menoleh ke kiri, tersenyum ke arahnya, lalu kebiasaan lama kami lakukan sebagai tanda kami saling sayang dan sepakat akan rahasia kami. Aku dan kakakku saling berjabat tangan dan mencium telapak tangan kami masing-masing setelahnya melambai ke kiri dan ke kanan bergantian sebanyak dua kali, dan terakhir gerakan menjotoskan tangan yang kami kepalkan. Kemudian kami tertawa terbahak-bahak.

Dia buru-buru berlari dari toilet setelah mencium pipi kiriku. Aku berjalan keluar. Di ambang pintu toilet kukeluarkan kepalaku sebagian, sembari memikirkan kalau-kalau penyamaran ini terbongkar. Entah mengapa aku merasa ragu-ragu saat memandang ke atas, ke kelas di mana Kak Abby seharusnya berada namun sekarang akulah yang akan ada di sana. Sungguh menyebalkan! Terbayang wajah Pak Hari saat aku memandang kelas Kak Abby. Wajah yang seolah akan menelan hidup-hidup muridnya. Apalagi jika mengingat kumisnya yang menyeramkan, seperti seorang dalang dalam lakon wayang lengkap dengan blangkon jawa dan sarung batik serta sandal yang mirip sekali dengan milik Aladin. Aku begidik memikirkannya.

Aku menghela napas panjang dan berat sekali. Rasanya sungguh malas untuk masuk kelas Pak Hari. Kak Abby sempurna sekali mencari hari kami bertukar posisi! Aku mendengus kesal. Bagaimana tidak? Setelah Pak Hari mengisi kelas Kak Abby, kelas selanjutnya yang akan Pak Hari isi adalah kelasku. Empat jam bersama beliau? Benar-benar serasa berada di kelas yang bersuhu supernova! Aku seperti dilempar jauh-jauh dari muka bumi dan mendarat di planet kutukan. Oh, beginilah nasib murid SMA. Samar, sama seperti warna seragamnya yang abu-abu.

"Mia?" panggil seseorang tiba-tiba yang berdiri di depanku tegak. Aku menelan ludah mengetahui bahwasannya penyamaranku terbongkar olehnya. Pemuda tampan dengan kaca mata minus yang bertengger di mata cokelatnya. Mata cokelatnya, mata yang membuat Kak Abby jatuh cinta dan kagum kepadanya sehingga sering sekali bertukar posisi denganku di kelas demi mata cokelat itu. Aku memasang wajah kesal memandangnya. Aku tak pernah bisa mengelabuinya. Dia selalu saja mengetahui penyamaranku dan Kak Abby. "Kalian bertukar lagi? Saat ulangan matematika?" tanyanya tak percaya. Ya! Dan itu semua karenamu! Batinku kesal. Pemuda itu membuang wajahnya dengan mendengus kesal, sedangkan aku takut kalau-kalau ia akan membocorkan penyamaran kami. Ia kemudian melangkah pergi setelah melirikku tajam. Aku buru-buru menyusulnya.

"Kak Danu, tunggu!" panggilku, tapi ia tak mengubrisnya. Ia terus berjalan menuju kelasku dan jantungku semakin cepat berdetak. Aku takut kalau ia akan memberi tahu guruku bahwa aku dan Kak Abby sedang bertukar posisi.

Aku berdiri terperanjat saat ia sudah berada di ambang pintu kelas kami. Jarakku dengannya hanya terpaut tiga meter. Ia menoleh ke arahku sejenak dan aku menggeleng menatapnya. Ia terlihat kesal dan marah, matanya penuh api. Terkadang aku tak mengerti kenapa ia harus marah? Ini bukanlah urusannya. Tapi, aku bisa apa?

Kak Danu berjalan ke arah di mana Kak Abby duduk. Bu Sisca dan teman-teman kelasku memandangku dan dia secara bergantian. Kak Danu menatap Kak Abby lekat-lekat. Aku yakin sekali bahwasannya Kak Abby sedang ketakutan dan jantungnya berdetak hebat sama halnya seperti diriku sekarang.

Aku dan Kak Abby berakhir di lapangan sekolah dengan posisi hormat ke bendera pusaka merah putih. Sebelum Kak Danu menjelaskan kepada Bu Sisca kenapa ia menyuruh Kak Abby keluar dari kelasku, Kak Abby sendiri yang mengakui bahwasannya dialah yang memintaku untuk bertukar posisi.

Aku melirik ke arah kakakku yang berdiri di samping kiriku. Ia tak berucap sama sekali semenjak kami berdiri di sini satu jam lalu. Panas terik matahari semakin menyusutkan tenagaku. Perutku terus saja berbunyi karena aku belum makan apapun dari tadi pagi. Aku kembali melirik kakakku, keringat deras mengalir di pelipisnya.

"Teettttttttttt!" Suara bel itu nyaring sekali. Aku dan Kak Abby melepaskan posisi tangan kami dan mengibaskannya ke udara. Sesaat sebelum aku menoleh ke Kak Abby yang jongkok membenarkan tali sepatunya, aku melihat Kak Danu berdiri dari tempat duduknya di tangga ujung yang mengarah menuju kelas kami; Ia menungguku. Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan beberapa tisu.

"Kak ... " panggilku ke Kak Abby yang berjongkok di hadapanku seraya masih menalikan tali sepatunya yang lepas. Ia mendongak ke arahku, memandang tisu yang kujulurkan ke arahnya. Namun, bola mata indahnya berputar dan ia tampak terkejut. Buru-buru ia berdiri dari posisinya. Aku masih memandangnya yang ternganga menatap seseorang di belakangku. Aku pun penasaran dan menoleh, aku melihat Kak Danu yang kaget menatap seseorang, lalu aku melihat orang itu; seorang perempuan paruh baya yang aku kenal sedang menuju ke arahku dan Kak Abby dengan seorang perawat yang mendorong kursi rodanya. Kak Abby terlihat kebingungan begitupun denganku. Aku tak sanggup menoleh ke belakang lagi. Kakiku kesemutan dan tak bisa bergerak karena terlalu lama berdiri di lapangan. Ingin rasanya aku segera pergi dari sini namun aku tak mampu melangkah. Sedangkan suara kursi roda itu semakin jelas terdengar.

"Mia, pergi!" perintah Kak Abby lirih. Aku menatapnya gelisah dan kebingungan, ia mengerti kondisi kakiku yang kesemutan dan tak bisa bergerak sama sekali setelah aku menggeleng cemas ke arahnya. Suara kursi roda itu semakin mendekat. Kak Abby semakin terlihat cemas dan ketakutan. Suara kursi roda itu kemudian berhenti tepat setelah aku menurunkan topi yang kukenakan, aku hanya berharap semoga wajahku tak terlihat.

"Abby? Kenapa di sini sayang? Tidak masuk kelas?" Suara perempuan paruh baya itu semakin membuatku takut dan gemetaran. Tak ada jawaban dari Kak Abby yang kebingungan.

"Mama ... aku ... " Kak Abby gugup

"Tante, apa kabar?" Kak Danu memotong jawaban Kak Abby dan menyapa Ibu angkat kakakku, mama Kak Abby. Aku melihat bayangan Kak Danu di hadapanku, rupanya ia berdiri di belakangku dan memunggungiku.

"Baik, Danu. Kamu sendiri bagaimana kabarmu? Oh ya, tadi kenapa kelihatannya kamu kaget melihat tante? Sampai terperanjat begitu dan tak membalas senyum tante?" ujar mama Kak Abby.

"Saya kira tadi itu bukan tante, tante terlihat semakin cantik." puji Kak Danu asal. Aku berusaha untuk tenang. Saat kucoba menggerakkan kakiku, kesemutanku sedikit berkurang. Aku kemudian melangkah menjauh perlahan demi perlahan, dan akhirnya aku mampu melangkah dengan benar dan pergi.

"Hey, nak!" teriak perempuan paruh baya itu. Aku diam sejenak, jantungku berpacu semakin cepat. Keringat dingin mengalir di pelipisku. "Iya, kamu! gadis yang mengenakan pita merah jambu corak ungu!" imbuhnya padaku sedikit lantang. Aku lupa bahwasannya aku belum melepaskan pita yang mengikat rambutku. Ini adalah milik Kak Abby. Kenapa aku ceroboh sekali? Rutukku kesal. Aku kembali merasa takut.

"Mama ... " panggil kak Abby kepada Ibunya, mungkin ia berusaha mengalihkan pusat perhatian Ibunya kepadaku.

"Tali sepatumu lepas! ikatkan dulu sebelum nanti kau terjatuh saat berjalan," ujar Ibu kak Abby kepadaku. Aku memandang kedua sepatuku, dan benar apa yang diucapkan oleh ibu Kak Abby. Aku jongkok dan buru-buru membenarkan tali sepatuku dengan tanganku yang gemetaran. "Abby ... ikat rambut yang dipakai gadis itu sama dengan ikat rambut yang kau kenakan tadi pagi ... " ujar Ibu kak Abby. Tanganku semakin gemetaran mendengar penuturan tersebut.

"Ikat rambut seperti itu lagi tren tante ... " ujar Kak Danu cepat-cepat. Aku berdiri setelah usai menalikan sepatuku.

"Terima kasih, tante!" kataku sedikit lantang tanpa menoleh ke belakang. Aku kemudian berlari pergi menjauh sebelum semua sandiwara ini terungkap.

***semua yang ada di novel nusantara akan saya pindah di sini, Best Regards Anis_Swedia

Seguir leyendo

También te gustarán

RAYDEN Por onel

Novela Juvenil

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
677K 78.8K 10
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
778K 56.9K 33
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
2.8M 259K 67
"Kalau umur gue udah 25 tahun dan gue belum menikah, lo nikahin gue ya?" "Enggak mau ah, lo tepos!" Cerita ini tentang Mayluna dan Mahesa yang sudah...