The Curse [on hold]

By uphil_

14.4K 516 70

Mungkin akan terdengar klise, tapi memang ini yang terjadi. Entah ini sebuah kutukan atau keberuntungan. Keti... More

The Wolf Curse
Chapter 1 - The Newcomer
Chapter 2 - The Dream
Chapter 3 - The Interview
Chapter 4 - The Dream
Chapter 5 - The Interview
Uphil's Note
Chapter 6 - The Progress
Chapter 7 - The Blabber
Chapter 8 - The Unluck'

Chapter 8 - The Unluck' (2)

711 62 12
By uphil_

(unedited, read for the risks ^^)

THE UNLUCK'

Part 2

Ben mengantarkanku pulang dengan mobilnya.  Tadinya aku tidak menyangka kalau ia sudah mengendari mobil sendiri. Di sini anak seumuran kami belum banyak yang memakai mobil.

Sangat memalukan memang, tapi tidak ada pilihan lain selain diantar pulang dengan mobil ini atau menunggu hujan reda dirumah Ben. Tentu saja aku memilih pilihan pertama. Kalaupun tadi Ben tidak menawarkan mobilnya, aku akan tetap berusaha pulang meskipun harus meminjam motornya atau memintanya mengantarku. Lebih baik aku kehujanan daripada menghabiskan waktu berduaan dengan Ben di rumahnya.

Gejolak tidak normal ini selalu muncul semakin kuat tiap kali aku menatap mata Ben. Ngobrol di tempat umum saja sudah cukup membuatku sesak napas. Entah bagaimana jadinya kalau kita hanya berdua dalam rumahnya. Mungkin aku bisa terkena serangan jantung.

Mungkin kau masih belum paham dengan apa yang kumaksud dengan gejolak ini. Sebenarnya aku juga tidak begitu paham dengan perasaanku sendiri. Tapi bahkan ketika pertama naksir teman sekelasku di SMP dulu, aku tidak pernah merasakan tarikan sekuat ini. Rasa ini begitu asing. Begitu aneh.

Sepuluh menit perjalanan ini berlalu dalam diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Entah apa yang terjadi pada Ben yang biasanya aktif. Ia terlihat begitu tegang dan berpikir keras. Tidak tahu apa yang bisa kulakukan, aku hanya menatap jendela dan melamun.

“Payungnya dibawah jok, ambilkan bisa?” Suara berat Ben membangunkanku dari lamunan. Tidak terasa mobil ini sudah berhenti didepan rumahku.

"Makasih ya Ben. Hujanya masih deras, mau mampir minum dulu?” Itu hanya basa-basi. Sebenarnya aku agak berharap dia akan langsung pulang saja.

“Nggak usah, aku pulang aja. Aku anter sampai pintu ya. Mau bilang makasih ke mama kamu atas kuenya.” Ben sudah mematikan mesin mobilnya. Payung sudah digenggam, tapi ia belum juga membuka pintu mobilnya. Seolah bisa merasakan rasa engganku untuk meninggalkan mobil ini juga.

Mendadak kecanggungan diantara kami terasa semakin kental, dan sepertinya tidak ada yang ingin mengakhirinya. Ia memandangku lekat-lekat dengan tatapan itu lagi. Lama dan intens, seolah ia melamun.

“Kita memang baru kenal. Aku nggak tahu apapun tentang kamu. Mungkin ini kedengaranya gila, tapi aku ingin dekat sama kamu, Nour.” Rasanya sulit sekali mempercayai indera pendengaranku. Tidak kusangka Ben akan mengatakannya. Aku menatap Ben, shock, bingung bagaimana harus merespon.

“Kamu pasti menganggapku aneh. Tapi aku tidak peduli. Aku juga tidak peduli apapun itu yang telah membuatmu menutup hati dan menarik diri. Beri aku waktu, akan kutunjukan kalau aku pantas untuk kamu percaya.” Ben menatap lurus kedepan, ekspresinya tak dapat dibaca.

Aku tahu, seharusnya sekarang aku mengatakan sesuatu. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi terlalu takut untuk merusak momen ini.

Aku takut semua ini hanya imajinasiku saja. Aku takut mempercayai kata-kata Ben, meskipun sangat ingin. Aku takut, karena sebelumnya aku tidak pernah menginginkan sesuatu atau seseorang sampai separah ini. Dan aku takut, tidak akan bisa bertahan lagi dan menyerah pada akhirnya. Aku takut suatu hari nanti akan merasa sakit karena kenaifanku ini. Aku takut.

“Entah kenapa,” ia berhenti sejenak, alisnya bertaut. “Aku sempat merasa kamu seperti tidak nyaman dengan kehadiranku.” Ben seperti berusaha menutupi perasaan terlukanya.

Aku tidak tahu apapun tentang Ben. Dari semua kemungkinan yang ada, bisa saja semua ini hanya permainanya. Dan itu berarti ia memang luar biasa lihai sampai bisa membuatku termakan pesonanya. Tapi kenapa harus aku? Bukankah di sekolah banyak cewek populer yag lebih menarik dariku? Atau mungkin ia sengaja ingin membuat sensasi saja.

“Tolong, Nour, beri kita kesempatan. Katakan saja, apa yang mungkin tidak kamu suka dariku sampai bisa membuatmu ingin menjaga jarak dariku?” ia seolah memohon agar aku mengatakan sesuatu. Aku merasa pusing.

Ben adalah resiko. Memberi Ben kesempatan artinya memberi kesempatan pada resiko untuk masuk dalam hidupku. Dan aku harus memutuskan sekrang. Mengambil resiko itu, atau melepasnya. Meskipun harus kuakui, aku sangat tertarik untuk mengambil resiko.

“Noura Quinn?” Ia menatapku penuh antisipasi.

“Ah, haha.. hahahaa..” aku tidak berani menatap Ben, mungkin ia mengira aku sudah gila karena menertawakan situasi ini.

“Hahahaa.. apaan sih Ben, konyol banget. Jangan bercanda disini ya!” Ben begong, sekarang gilirannya yang merasa shock. Dahinya mengernyit, mungkin ia mengira aku tidak menganggap serius omonganya tadi. Aku buru-buru menyelanya ketika ia akan mengatakan sesuatu.

“Oke, oke, kesalahanmu? Astaga. Kesalahan terbesar yang pernah kamu buat adalah, kamu selalu membawa sial. Berhenti bewa sial, bisa?” Aku berusaha keras mencairkan ketegangan yang begitu kental dalam mobil ini.

“Bawa sial gimana, Nour?” Ia mulai bingung, tatapanya masih serius, tapi ia mengikuti saja arah pembicaraanku. Tidak lagi mendesak jawaban.

“Um gimana ya. Tiga hari ini, sejak kamu datang aku jadi merasa sering tertimpa sial, Ben. Semua itu gara-gara kamu.” Aku tersenyum. “Mulai dari dipaksa wawancara, hape hilang, ban bocor, sampai yang paling parah, tadi pagi aku baru tahu ada gosip aneh-aneh yang menyebar di grup.” Ups. Yang terakhir itu nggak seharusnya keluar dari mulutku.

What? Gossip apa? Kenapa jadi gara-gara aku? Grup apaan nih maksudnya.” Ben sudah tidak tegang.

“Ya, ada lah pokoknya, nggak penting. Cuma grup fb. Yang jelas, mulai sekarang aku nggak boleh deket-deket kamu lagi di sekolah, kalau nggak mau jadi bahan fitnah. Haha.” Aku berusaha tidak serius menanggapinya.

“konyol banget.” Ben menggeleng kepala. “nggak usah diperdulikan yang kaya gitu,” Ia mulai serius lagi dan aku segera menyela.

“Udah nggak usah dipikir. Ayo keluar, hujannya sampai sudah reda noh.” Tanpa sadar, ternyata kami sudah cukup lama menunggu didalam mobil. Aku pun keluar, diikuti Ben yang membawa payung untuk melindungi kami dari gerimis. Sesaat aku melihatnya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Kami sampai diteras rumah yang aman dari gerimis.

“Aku panggilkan mama ya? Mau ikut masuk atau tunggu disini?” Tanyaku. Kami berdiri di depan pintu rumah.

“Disini saja, aku buru-buru Nour.” Ben membuat dirinya nyaman dengan duduk di kursi rotan disamping pintu.

“Tunggu sebentar ya.” Aku lagsung masuk mencari mama dan menemukanya di kamar sedang membaca Koran.

“Hey Nour. Nggak kehujanan?” mama mengalihkan perhatian kearahku dan tersenyum.

“Nggak ma, tadi diantar naik mobil Ben. Dia lagi nunggu diluar, mau ketemu mama.” Aku buru-buru menarik mama.

“Ben siapa?” Mama bangkit dan berjalan keluar mengikutiku.

“Temen, ma.” Mama seperti agak terkejut karena aku membawa temen dan cowok kerumah.

Ben lagsung berdiri ketika kami keluar. Ia mengulurkan tangan yang dibalas oleh mama dengan jabatan hangat.

“Tante, saya Ben. Terima kasih benyak atas kuenya, maaf merepotkan.” Ia memperlihatkan senyum mempesonanya. Aku ingin menertawakan kata-katanya yang begitu formal didepan mama.

“Tunggu, tunggu. Jadi kamu yang menyewa rumah itu? Dan kalian sudah kenal sebelumnya?” Mama tampak bingung.

“Ternyata kami satu sekolah ma.” Aku menjelaskan.

“Iya tante, kebetulan saya anak baru di sekolah Noura.” Ben tersenyum menatapku dengan tatapan khasnya.

Mama memperhatikan Ben dengan khawatir. Aku seperti melihat ada sedikit curiga dan keraguan di mata mama.

“Yasudah, tante. Saya pamit pulang dulu.” Ben sedikit membungkuk untuk mengambil payungnya. Tiba-tiba saja wajah mama berubah tidak ramah. Ia mengernyit, seperti berpikir keras.

“Tunggu Ben.” Mama agak berteriak. Aku mulai khawatir, apa yang dipikirkan mama.

“Aku belum bilang terima kasih karena sudah mengantar Noura pulang dengan selamat.” Kata-kata mama terdengar begitu tajam dan penuh hati-hati. Seolah ada makna lain dibaliknya.

Mereka saling berpandangan. Mama menyipitkan matanya. Ekspresi Ben pun tidak terbaca. Aku mulai bingung.

“Tidak masalah tante. Kapanpun saya akan berusaha bantu kalau bisa.” Nada bicara Ben pun berubah tegang. Aku merasa sepert anak kacil yang tidak tahu apa-apa disini.

“Tante bisa minta tolong sesuatu sekarang, Ben?” Aku menggenggam tangan mama. Tidak yakin dengan apa yang mama katakan.

“Apapun yang bisa saya lakukan tante.” Mereka masih bertatapan dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“kamu bisa tutup jendela kecil diatas pintu ini? Hari ini udaranya sangat dingin. Tolong ya, Ben.” Ini sangat tidak masuk akal. Aku tidak paham apa maksud mama menyuruh Ben melakukan hal kecil ini. Biasanya mama bisa menutupnya sendiri atau memintaku kalau sedang sibuk. Aku memelototi mama penuh pertanyaan.

Ben memanjat kursi rotan untuk melakukan permintaan mama dengan wajah tegang. Dahinya berkerut. Ini hanya hal sepele, tapi kenapa semua seolah begitu serius?

Begitu turun, Ben memasukan kedua tangan dalam saku celananya dengan gaya kasual. Suasana hening. Tetap masih mama yang memecahkan keheningan pada akhirnya.

“Noura, sepertinya mama tadi lupa mematikan kompor. Bisa tolong cek sebentar?” Sesuatu yang sangat tidak mungkin dilakukan mama. Mama bukan tipe orang yang teledor. Tapi bagaimanapun juga aku tetap menurutinya. Sebelum masuk, aku sempat memberi mama tatapan panjang.

Seperti dugaanku, ketika sampai didapur aku tidak melihat ada kompor yang menyala. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa seperti ada yang sengaja disembunyikan dariku? Aku mengerang frustasi.

Begitu aku kembali, mama sudah duduk sendirian di samping pintu. Terlihat berpikir keras dan seperti akan menangis. Oh, jangan lagi.

“Ma?” Aku mulai khawatir. “Ben sudah pulang? Ada apa sebenarnya ma?” aku mengusap pundak mama. Ia hanya menggeleng pelan, lalu berdiri dan masuk kedalam rumah. Menutup pintu.

“Apapun yang kamu lakukan, Noura. Mama ingin kamu jauhi dia sebisa mungkin.” Mama hanya menatapku sesaat dan kembali ke kamarnya. Aku mengikutinya. Kugenggam lengan mama sampai ia berhenti melangkah. Aku butuh penjelasan.

“Kenapa ma memangnya?” tuntutku. Mama diam sejenak, seolah memikirkan kalimat yang sesuai.

“Dia tidak baik buat kamu, Nour. Mama tahu, permintaan mama ini pasti sia-sia. Tapi mama mohon. Kalau kamu bisa, hindari dia sebelum semuanya semakin jauh.” Nada bicara mama sedingin es. Aku melepaskan lengannya.

“Apanya yang semakin jauh? Diantara kami tidak ada apa-apa, ma. Mama pasti salah paham.” Aku mulai meninggikan nadaku. Mungkin ini hanya reaksi protektif mama yang agak berlebihan karena mengira aku mulai ada hubungan dengan cowok.

Mama berbalik, menatapku. Matanya berkaca-kaca. Aku tidak paham kenapa mama se-labil ini.

“Tidak ada apa-apa? Itu kan menurutmu. Mungkin baginya berbeda, sayang! Kamu tidak tahu!” mama juga menjawab engan nada tinggi. Aku sudah tidak tahan lagi.

“Ya aku memang tidak tahu! Mama juga tidak pernah menceritakan apa yang mama tahu padaku! Mama selalu membiarkanku bingung sendiri tanpa penjelasan. Bahkan sejak DIA pergi bertahun-tahun lalu, mama juga sibuk sendiri meratapi nasib, tanpa memperdulikanku. Tanpa merasa perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa merasa kalau aku juga membutuhkan mama. Lalu sekarang tiba-tiba mama memintaku melakukan sesuatu yang tidak kupahami tanpa penjelasan lagi. Maaf saja kalau Noura manganggap mama sangat egois!” Rasanya begitu melegakan, bisa mengatakan perasaan yang telah kupendam bertahun-tahun.

Mama menatapku tertegun, tak mampu berkata. Satu bulir air mata jatuh di pipinya.  

“Maaf Noura. Mama memang tidak perlu menjelaskan apapun, karena kamu pasti tahu suatu hari nanti. Tapi sekarang belum saatnya.” Jawaban mama begitu pelan, seperti kehilangan semua energi. Ia berbalik lagi menuju kamarnya. “Sekarang mama cuma bisa berdoa yang terbaik untukmu.” Aku buru-buru menambahkan sebelum mama menutup pintu.

“Tenang saja ma. Lagi pula tidak akan ada apa-apa antara Noura dengan Ben, kok.” Nadaku dingin.

“Semoga saja begitu.” Jawaban mama tidak kalah dingin.

Sesaat kemudian aku mendengar suara pintu dikunci.

Continue Reading