Geandert [Completed]

By kainansetra

127K 7K 592

[PART 27-28 DI PRIVATE] "Seharusnya cukup pertemanan tanpa harus melibatkan perasaan." - Aileen. "Gue akan me... More

Prolog
1. Elyshia Nesya Percival
2. Aileen Saralee Adinata
3. Masa Lalu
4. Cinta Begini
5. Who's that?
6. All I ask
7. Pupus
8. Cinta Kau dan Dia
9. Teror
10. Terjebak
11. Senja dan Malam
12. Anonymous
13. Setitik Rasa
14. Cheese cake
15. Kehangatan
16. Egois
17. Hari ini datang
18. Berubah
19. Surat Kaleng
20. Pengakuan
21. Rival
22. 20-22/11/2015.
23. Sebuah Jebakan
24. Tolong
25. Kaisan Arsya Percival
26. Arsya dan Rival
Announcement
27. Love you, Goodbye
EXTRA PART
EXTRA PART [ii]: SURPRISE!

28. Let Me Love You [END]

4.4K 225 30
By kainansetra


Aku berjalan dengan kepalaku yang tertunduk. Semilir angin membuat rambutku beterbangan kesana kemari. Mungkin kalau saat ini aku tidak menahan selendang yang menyelimuti punggungku, kain hitam itu akan ikut terbang bersama daun-daun kering.

Di genggamanku terdapat beberapa tangkai bunga mawar yang baru saja kupetik dari kebun Bunda. Aku akan membawa bunga ini untukmu.

Semoga bunga ini akan menemanimu dalam kesepian.

Sudah terhitung satu bulan kamu pergi meninggalkanku. Meninggalkan dunia ini. Meninggalkan semua orang yang sangat menyayangimu. Meninggalkan kedua orang tuamu yang masih menangis jika mengingatmu.

Sedang apa kamu disana? Apakah kamu melihatku dari atas sana?

Oh Tuhan, aku sangat merindukan lelaki itu.

Aku tersenyum saat kedua mataku menangkap gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan namamu. Aku bersimpuh di atas tanah itu, tidak peduli kalau tanah itu akan mengotori celanaku. Aku hanya ingin merasa dekat denganmu.

Kuusap lembut batu nisanmu sembari tersenyum, dan saat itu juga angin kembali bertiup kencang. Aku menyapu pandanganku, berharap bisa melihat dirimu saat ini juga. Tapi sayang, Tuhan tidak mengizinkanku untuk melihatmu.

Kuletak 'kan bunga mawar yang tadi aku bawa, di dekat batu nisanmu. Aku tidak tahu harus apa, yang bisa kulakukan hanya menatap gundukan tanah yang di dalamnya ada jasadmu.

Ah aku ingat, ada yang harus kulakukan disini.

Aku membuka tas kecilku, kemudian diriku mencari secarik kertas. Kertas itu darimu, kau ingat?

Ibumu yang memberikan kertas itu kepadaku saat pemakamanmu baru saja selesai.

Aku menarik dalam nafasku, lalu kuhembus 'kan perlahan. Awalnya aku ingin membacanya saat itu juga, saat di mana ibumu memberikan kertas ini padaku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak kuat.

Bayangan Veno membunuhmu masih terekam jelas di pikiranku.

Tapi kali ini aku siap. Semoga.

Assalamu'alaikum cantik

Mungkin saat lo baca surat ini gue udah ngga ada di samping lo, gue udah ngga bisa hapus air mata lo lagi setiap lo di
acuhkan oleh Raymond, atau mungkin saat ini gue udah ngga ada di dunia yang sama kayak lo.

Sya, gue udah tau hal ini akan terjadi. Gue tau pasti kalau Veno ngga akan biarin gue tetap hidup. Tapi ngga papa, setidaknya gue bisa bahagia sekarang. Karena apa? Karena gue bisa melihat lo tertawa dari atas sini. Gue bisa melihat lo bahagia sama Raymond. Gue ngga mau ngeliat lo nangis. Inget itu, Sya.

Gue nggq mau nyawa gue hilang sia-sia, oke?

Gue membocorkan semua rahasia Veno dan Arin karena gue mau lo bahagia. Gue ngga mau lo disiksa ataupun di teror terus sama dua abang ade sialan itu.

Gue yakin sekarang Raymond akan selalu menemani lo. Gue yakin, sekarang lo sama dia udah pacaran. Bener kan? hahaha.

Nesya,

Makasih udah pernah mau jadi pacar gue, makasih atas cinta yang dulu pernah lo kasih ke gue. Gue inget banget dulu lo jarang ngabarin gue, lo sering ngacangin gue, muka lo selalu bete setiap deket gue. Awalnya gue ngerasa bingung. Apa salah gue? Dan akhirnya gue tau alasanya.

Lo gamau buat gue terluka dengan lo nolak cinta gue. Bener?

Jangan bingung kenapa gue tau. Asal lo tau, gue bisa baca pikiran juga sama kayak lo hahaha.

Yaudah Sya, tangan gue udah pegel banget nulis ini surat. Jaga diri lo baik-baik ya, jangan lupa makan, jaga kesehatan, jangan kangen sama gua, kalau kata Dilan mah berat, lo gaakan kuat.

Dan satu lagi, jangan lupa bahagia:)

Sincerely,

Rio.

Aku menghapus lembut air mataku sambil melipat kembali surat yang kau berikan.

Maaf Rio, Nesya gabisa janji untuk tidak nangis setiap kali ingat Rio.

Rio adalah lelaki yang baik.

Sangat-sangat baik. Aku sendiri tidak menyangka dia rela mengorbankan nyawanya hanya untuk melihatku bahagia, hanya untuk membebaskanku dari Veno dan juga Arin.

Rio benar, saat ini Nesya dan Raymond telah resmi berpacaran.

Baru seminggu yang lalu, Rayap menyatakan cintanya padaku. Awalnya aku sedikit tidak yakin. Namun saat diriku membaca pikirannya. Raymond memang serius. Lelaki itu sedang tidak bersenda gurau.

Aku memasukkan kembali kertas putih berisikan pesan dari Rio ke dalam tasku. Sekali lagi aku mengusap lembut batu nisanmu, lalu berdiri dari makammu.

Rio, Nesya pamit ya..

Kudapati seorang laki-laki yang sedang bersandar di batang pohon, dia mengenakan kemeja hitam dan kacamata hitam. Kedua tangannya dia lipat di depan dada bidangnya, dan dirinya tersenyum ke arahku.

Dia adalah Raymond.

Raymond berjalan menghampiriku, "Udah selesai kangen-kangenannya?" ledeknya.

"Apasih, Ray."

Dia tertawa, sedetik kemudian wajahnya mendekat ke wajahku, "Nangis lagi?" tanya Raymond.

Aku menggeleng lemah, membuat Raymond mendengus pelan, "Jangan nangis. Kasian Rio. Dia pengen lo bahagia. Kalau lo nangis, dia ikut sedih di sana." Raymond menghapus sisa air mataku.

Pantas saja dia tahu kalau aku menangis.

"Jangan nangis lagi, paham?"

Aku mengangguk sambil tersenyum simpul, "Paham, cikgu." jawabku.

"Nah gitu dong, kan cakep kalo senyum." Raymond mengacak rambutku, seraya merangkul pundakku.

Kami berjalan meninggalkan area pemakaman ini. Sesekali diriku memerhatikan Raymond yang sedang serius menatap jalan dihadapannya. Aku masih tidak menyangka kalau aku dan Raymond bisa bersatu seperti saat ini.

Kalau kalian ingin mengetahui bagaimana Raymond menembakku, begini ceritanya. Kejadian itu terjadi satu minggu yang lalu, tepat saat diriku baru saja kembali dari rumah sakit.

Flashback on

Raymond mendorong kursi rodaku. Aku tersenyum senang saat udara segar langsung menyambutku, ditambah dengan awan yang terlihat sangat cerah hari ini. Hari ini aku kembali dari rumah sakit setelah lima hari yang lalu diriku kembali dirawat di bangunan bernuansa warna putih ini.

Luka di tubuhku cukup parah, dokter saja hampir kewalahan saat mengobatiku. Aku tidak menyangka Arin dan Veno sejahat itu.

Mereka berdua benar-benar psychopath! Baru kali ini aku menemukan orang sejahat mereka.

Dan aku lebih tidak menyangka saat mengetahui Jean tunangan Veno. Bagaimana bisa gadis itu membodohi semua orang? Membodohi Raymond? Dan bagaimana bisa dia mau dengan Veno yang jelas-jelas dia sendiri tahu kalau Veno adalah seorang psychopath.

Tapi kalau di pikir-pikir, Jean dan Veno sangat cocok. Mereka sama-sama orang jahat!

Seperti biasa, hari ini orang tuaku tidak datang menjemputku. Bang Arsya berkata kalau Ayah sedang berobat di Jerman, dan tentu saja Bundaku ikut.

Ah, berbicara tentang bang Arsya, kalian pasti penasaran bagaimana kabar bang Arsya setelah kejadian kemarin?

Hanya satu jawabannya, bang Arsya menyerahkan dirinya ke kantor polisi. Ya, walaupun itu bukan salahnya, tapi biar bagaimanapun juga, Rival menggunakan tubuhnya untuk melakukan kejahatan itu.

Raymond menjentikan jarinya di depan wajahku, "Bengong aja." kata Raymond.

"Siapa yang bengong? Nesya ngga bengong kok."

"Masa?"

Aku mengangguk semangat. Aku tidak bengong Ray, hanya saja aku sedang mengingat kembali kejadian mengerikan itu.

Raymond mendorong kembali kursi rodaku. Sesampainya di lobi, Raymond menyuruhku untuk menunggu sebentar. Dia harus mengambil mobilnya yang masih terparkir. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk lelaki itu tiba kembali di lobi.

Raymond berlari kecil menghampiriku, "Bisa jalan ngga?" tanya Raymond.

Aku mengangguk, walaupun aku sendiri tidak yakin, tapi aku akan mencoba. "Awas, pelan-pelan aja, gausah buru-buru." ucap Raymond membantuku berdiri.

Perlahan tapi pasti aku berhasil masuk kedalam mobil Raymond. Kemudian lelaki itu memasangkan seatbelt di tubuhku. Tuhan! Dengan jarak sedekat ini jantungku benar-benar berdegup kencang, semoga saja Rayap tidak mendengarnya.

Raymond menatapku sejenak. Dia mendengarnya? Ah, tidak mungkin. Sedetik kemudian Raymond tersenyum sembari mengacak rambutku. Huh, untung saja.

Raymond masuk dan duduk di kursi pengemudi. Lelaki itu menghidupkan mesin mobilnya dam langsung mengendarai kendaraan beroda empat ini.

Ini bukan jalan menuju rumahku! Aku menoleh kearah Raymond yang tengah menggerakkan kepalanya mengikuti irama musik, "Kita mau kemana?" tanyaku.

"Hah?"

Aku mendengus pelan, kemudian mengecilkan volume musik di mobil ini, "Kita mau kemana?"

"Lah iya ya!" pekik Raymond, "Salah jalan Sya, Ini mah arah kerumah gue yak. Maap, Sya maap." lanjutnya. Aku tertawa kecil sambil menggelengkan kepalaku. Raymond, Raymond, ada-ada saja kau ini.

"Eh tapi, gapapa, lo kerumah gue aja."

"Ngapain?" tanyaku, menautkan kedua alisku.

"Ya, lo kan baru pulang dari rumah sakit. Abang lo gaada di rumah, orang tua lo juga. Terus siapa yang mau ngerawat lo nanti?"

Benar juga. Tapi, aku tidak ingin merepotkan Raymond terlalu sering. "Ada mbok Siti kok. Beliau pasti merawat Nesya." jawabku.

"Yaiya sii," Raymond menggarukkan kepalanya, "Tapi gue khawatir lo kenapa-kenapa lagi, Sya. Udah, lo dirumah gue aja dulu sampe lo bener-bener sembuh."

"Yaudah, tapi maaf ya kalau Nesya ngerepotin."

"Apaan ngerepotin sih? Orang gue yang mau lo tinggal dirumah gue."

"Mau?"

"Eh?" Raymond menutup mulutnya, "Ma-maksud gue, gue takut lo ngapa-ngapa doang. Makanya gue nyuruh lo dirumah gue dulu."

"Oh gitu ya, Ray?" ujarku dengan nada suaraku yang meledek.

"Iya, Nesyaaa." Raymond mengacak kembali rambutku.

Kadang aku suka berpikir, bagaimana perasaannya saat ini? Apakah dia sudah tahu tentang hubungan Jean dengan Veno? Apakah dia sudah tau kalau Jean tidak sebaik yang dirinya pikirkan?

Susana hening menyelimuti kami. Raymond mulai sibuk kembali dengan pikirannya. Sementara aku hanya memerhatikan kakiku yang terbalut sepatu berwarna putih. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat Bang Arsya.

Sedang apa dia di sana? Pasti abangku itu tidak bisa tidur nyenyak di dalam penjara.

Duapuluh menit kemudian kami tiba dirumah Raymond. Ibu Raymond langsung menyambut kami di depan pintu. Beliau memelukku seperti anaknya sendiri. Sudah lama sekali aku tidak ke tempat ini.

"Nesya istirahat di kamar Raymond saja ya? Biar bisa Raymond jagain. Tenang aja, Raymond ngga akan ngapa-ngapain Nesya kok. Kalau dia nyentuh kamu sedikit, Tante pasti akan mencubitnya."

Aku tertawa kecil mendengar ocehan Tante Irma alias ibunya Raymond itu. "Yeh ibu. Raymond mah anak baik, bu. Masih polos lagi." celetuk Raymond sambil mengeluarkan barang-barangku dari mobilnya.

Tante Irma menggelengkan kepalanya, "Sudah cepat kamu bawakan barang Nesya keatas. Kasihan Nesya sudah capek."

"Ibu ngga kasian sama, Ray? Ray kan juga capek, Bu."

"Engga."

***

Malam sudah tiba saat aku sedang duduk di balkon kamar Raymond. Pemilik kamar ini ada di sampingku. Dia sedang menatap lurus langit-langit yang bertaburan bintang dengan kedua tangan yang dia lipat di bawah kepalanya.

"Sya." kata Raymond masih memerhatikan langit.

"Apa?" jawabku.

"Kalau gue sayang sama lo gimana?"

Okay, Ray, kau membuat jantungku berhenti berdetak saat ini juga.

Raymond membetulkan posisi duduknya seraya menatapku. Membuatku langsung mengalihkan pandanganku. Aku mendengar lelaki itu tertawa kecil. Huh, pasti dia hanya bergurau saja.

Raymond memegang kedua bahuku, kemudian dia memutar tubuhku agar berhadapan dengannya. "Jawab dong." ujarnya.

"Jawab apa?" tanyaku seolah tidak mengerti.

"Jawab, kalau gue sayang sama lo gimana?"

Tuhan, bantu Nesyaaa, "Rasa sayang itu banyak macamnya, Rayap. Ada rasa sayang antar teman, antar sahabat, antar orang tua, antar adik, an-"

"Antara cowo sama cewe." Raymond memotong ucapanku.

Kualihkan kembali pandanganku. Aku tidak sanggup menatap kedua matanya.

"Maksudnya?" tanyaku.

Raymond tertawa, kemudian dia kembali manyandarkan tubuhnya. Untuk beberapa saat Raymond terdiam, dan aku menunggunya untuk berbicara lagi.

"Lo tau ngga Sya? Dulu waktu lo masih sama Rio,"

Ah, mengapa ia harus menyebut nama Rio. "Sori." kata Raymond yang sepertinya menyadari perubahan raut wajahku.

"Waktu itu gue nyimpen rasa sama lo. Jujur gue cemburu setiap kali lo cerita tentang Rio,"

Itu juga yang Nesya rasakan tiap kali Rayap cerita tentang Jean, Ray.

"Entah kenapa setiap lo sedih, gue akan ikut sedih. Dan setiap lo sedih gue bertekad buat ngehibur lo, buat selalu ada di samping lo, buat lo senyum lagi dan buat lo tertawa lagi."

"Gue berhasil kan?"

Aku mengangguk. Sangat berhasil Ray.

"Sampai akhirnya gue mulai nyerah sama lo. Gue berpikir kalau kita emang ngga pernah bisa lebih dari sahabat." Raymond mendengus pelan,

"Gue coba buka hati gue, dan Jean masuk." lanjutnya.

"Gue juga ngga ngerti kenapa gue bisa tergila-gila sama Jean. Eh saking tergila-gilanya, gue sampe ngga sadar kalau gue dimanfaatin sama dia. Parahnya dia udah tunangan lagi, hahaha."

Rayap tau?

"Iya gue tau," kata Raymond seolah mengetahui isi pikiranku.

"Gue marah besar pas tau lo diculik. Pas tau lo sama Aileen adalah bahan inceran Veno sama Arin. Gue kalang kabut saat itu. Marah banget. Kalau gue bisa ngebunuh, pasti Veno sama Arin udah mati ditangan gue."

"Dan setelah kejadian itu gue baru sadar, kalau rasa yang dulu pernah gue milikin buat lo ngga pernah seutuhnya ilang." Raymond diam sejenak,

"Dih gila, sok puitis banget gue." ujarnya tiba-tiba.

Aku tertawa. Astaga di saat suasana seperti ini, dia masih bisa membuatku tertawa. Merusak suasana saja.

"Gue juga baru sadar kalau rasa sayang yang gue kasih ke Jean itu sebatas terobsesi biar gue bisa ngalahin lo."

Bisa mengalahkanku? Apa maksudnya?

"Childish banget ya gue? Tapi gimana ya, setiap kali gue liat lo jalan sama Rio, gue kayak ngerasa kalah. Dan gue mau nunjukin ke lo kalau gue juga bisa kayak lo."

Aku terdiam sembari mengamati wajah Raymond.

Aku mengerti.

"Lo juga sebenernya nyimpen rasa kan ke gue?"

Mataku membelalak mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Raymond.

"Hayo ngaku." cibir Raymond.

Aku menutupi wajahku. Rasanya malu sekali saat ini. "Jiah, gausah malu, Sya, gue seneng malah pas tau lo juga sayang sama gue."

Tapi tetap saja, Ray. Rasanya seperti aku sedang mencuri di warung, dan pemilik warung itu menelakku yang sedang mencuri.

"Gue sayang lo, lo sayang gue. Kenapa kita ngga jadian aja?" tanya Raymond tiba-tiba.

Dia menembakku? Aku tidak percaya!

"Jadian yuk, Sya?"

Kalau benar dia menembakku mengapa caranya seperti ini? Sangat tidak romantis sekali! Eh? Apa yang kupikir 'kan? Raymond hanya bercanda, Sya.

"Kaga romantis banget ya? Hahaha. Ya aku mah apa atuh, cuma cowo receh yang bisanya cuma buat cewe ketawa doang."

Pletak!

Raymond menjitak kepalaku. "Ngomong apa, dari tadi gue yang bacot perasaan. Berasa ngomong ama pengki tau ngga?"

"Hehehe."

"Udah gitu doang? Ya Allah kuatkan hati hamba, Ya Allah."

Aku menggelengkan kepalaku sambil tertawa, "Rayap serius?" tanyaku.

"Yang mana? Yang doa tadi? Iya gue serius berdoa, biar Allah nguatin hati gue." jawab Raymond.

"Bukaaan, bukan yang itu."

"Terus?"

"Ucapan Rayap yang sebelumnya."

Raymond mengangkat sudut kiri bibirnya, "Buset dah, lo ngira dari tadi gue ngomong panjang lebar itu lagi latihan dialog drama? Kaga, Sya. Gue serius. Tulus dari hati gue yang pualing dalam. Saiiiik."

Aku semakin tertawa melihat Raymond yang sedang merapihkan jambulnya. "Gue serius. Semua omongan gue yang tadi bener. Gaada yang gue tambah-tambahin atau pun gue kurang-kurangin."

Aku mengangguk mengerti.

"Jadi, mau ngga jadi pacar gue?"

Aku diam sejenak dan berusaha membaca pikirannya. Dia benar, dan Raymond sedang tidak bercanda.

"Gamau ah." jawabku.

"Yaah." Raymond mendengus lelah, "Kenapa emang?"

"Nesya takut cuma dijadiin pelarian doang."

Raymond menatapku serius, membuat jantungku kembali berdetak cepat. "Engga, Sya. Gue serius. Gue gaada niat sama sekali buat jadiin lo pelarian, Dan ngga berfaedah juga kalo gue jadiin lo pelarian. Biar apa coba? Gaada gunanya."

Raymond berdiri dari tempat duduknya, kemudian lelaki itu merogoh saku celananya. Apa yang dia sembunyikan di dalam situ? Kedua mataku membulat, dan aku menahan tawa saat ini juga.

Raymond mengeluarkan SEBOTOL TEH PUCUK dari saku celananya.

Iya teh pucuk.

Bukan bunga apalagi cincin.

"Nesya, will you be mine?" ucap Raymond berlutut dihadapanku.

Astaga, aku sangat yakin pasti saat ini pipiku sangat merah. "Yes, I will." jawabku mengambil teh pucuk yang Raymond berikan.

"Serius?!" pekik Raymond.

Aku mengangguk. Raymond langsung memeluk tubuhku.

Pelukannya sangat erat hingga membuatku sedikit sulit bernafas.

Dan saat itu juga ponselku berdering.

"Siapa si tuh? Ngerusak suasana aja." kata Raymond yang masih bermanja di pundakku.

Raymond mengambil alih ponselku. "Siapa nih?" kata Raymond.

"Aileen. Lo ngapain Ray? Nesya mana? Gue pengen ngomong sama dia."

Raymond melirikku sekilas, "Nesya? Ada di kulkas, lagi curhat samping tomat." jawab Raymond asal membuatku tertawa.

"Serius nyet."

"Kenapa, Leen?"

"Nesyaaa, lo di mana sekarang?"

"Di rumah Raymond, Leen. Kenapa?"

"Oh gapapa, gue kira lo di rumah. Gue cuma ngeri lo kenapa-kenapa doang."

"Tenang, Nesya aman kok sama gue." celetuk Raymond.

"Iyain. Yaudah Sya, gue tutup ya. Bye Sya."

Aku mematikan ponselku dan meletakkannya di atas meja. "Besok ke rumah sakit ya? Jenguk Aiden." ujarku.

"Jangan besok, lusa aja. Lo belum sembuh banget." kata Raymond menidurkan kepalanya di pahaku.

"Hmm yaudah."

-Flashback off.

***

Aileen POV

Aku terbangun karena cahaya matahari yang menerobos masuk lewat celah gorden yang masih tertutup. Aku mengerjapkan kedua mataku seraya membetulkan posisi dudukku. Lagi-lagi diriku tertidur di kursi.

Tepat di hadapanku ada seseorang yang masih tertidur pulas sejak satu bulan yang lalu. Lama sekali bukan?

Dia Aiden. Kalau kalian mengira saat itu Aiden tidak selamat kalian semua salah. Memang, lelaki itu hampir tidak selamat, tapi Tuhan masih sayang dengan Aiden. Tuhan masih memberikan Aiden kesempatan untuk menghirup udara segar di dunia.

Flashback on

"AIDEEN!" aku hanya bisa terdiam saat semua temanku menyebut nama Aiden.

Pandanganku terkunci oleh kedua mata indah Aiden, lelaki itu terus menatapku saat tubuhnya terjatuh. Adegan di sekelilingku, seperti adegan slow motion. Semua berjalan lambat.

Tubuhku lemas. Aku tidak tahu harus apa! Dengan keaadan seperti ini, dengan semua luka di tubuhku aku hanya bisa menangis saat darah Aiden mengalir deras.

Apa belum cukup Veno dan Arin menyiksaku? Apa belum cukup untuk semua yang mereka lakukan padaku selama ini? Apa mereka berdua harus menusuk Aiden seperti ini? Dia tidak salah! Aiden tidak salaaah!

Aku merangkak menghampiri Aiden, kemudian diriku langsung menarik lelaki itu ke dalam pelukanku. Aiden menatapku dengan pandangannya yang mulai lemah. Lelaki itu menangkup pipi kananku dengan tangannya. Dia tersenyum simpul sambil sesekali menarik nafasnya seraya menghembuskannya perlahan.

Aku tidak mengerti mengapa dengan keadaan seperti ini dia masih bisa tersenyum! Semua orang panik melihatnya! Semua orang disini menangis mengkhawatirkan nasib Aiden. Tapi tidak dengan Arin dan juga Veno. Mereka berdua tertawa senang melihat Aiden kesakitan. Ralat, bukan hanya Aiden yang kesakitan disini. Tapi kami semua!

Air mataku semakin mengalir deras saat Aiden mengusap lembut air mata ini, "Jangan nangis, gue benci liat air mata lo." gumamnya lirih.

Bodoh! Bagaimana bisa aku tidak menangis sementara kondisinya seperti ini!

Aku menggenggam kedua tangan Aiden saat nafas lelaki itu mulai terlihat sesak. Tuhan, tolong selamatkan dia..

"Maafin aku, Koala.." aku berteriak histeris saat Aiden menutup rapat kedua matanya.

Aku memeluk erat tubuh Aiden, berharap lelaki itu bisa mengeluarkan suara dan memprotes ku karena pelukanku yang terlalu kencang, "Aiden bangun! lo ngga boleh ninggalin gue!" teriakku di telinganya.

Bruk!

Aku mengusap air mataku saat suara kencang itu terdengar. Kulihat Raymond segera menggendong tubuh Nesya dan membawanya ke dekatku. Begitupun dengan temanku yang lain. Fara, Alana, dan Alyssa langsung mendekat kearahku dan Nesya. Sementara Raymond, Agra, Angga, dan Adskhan menjadi tameng kami kali ini.

Dor!

Suara pistol terdengar membuatku menutupi tubuh Aiden. Aku harus melindungimu, Den.

Veno menepuk kedua tangannya sembari tertawa renyah, "Kayaknya ada cepu nih di sini." ujar lelaki psikopat itu sembari memutarkan pisaunya yang tadi dia gunakan untuk menusuk Aiden.

Sekelompok lelaki berseragam masuk ke dalam ruangan yang sedang kami tempati. Mereka semua membawa senjata dan langsung menyebar.

"Angkat tangan!" teriak salah satu dari mereka.

Aku bersyukur saat mengetahui kalau mereka semua adalah polisi.

Beberapa di antara mereka langsung memborgol tangan Veno, Arin, dan juga Jean. Sementara ketiga orang itu tidak terlihat ketakutan sama sekali, mereka malah tertawa licik.

Dasar manusia aneh!

"Pak! Tolong, kami butuh ambulans! Ada yang sekarat disini!" teriak Raymond, dan langsung di sanggupi oleh salah satu polisi itu.

Ambulans datang. Aiden langsung dibawa masuk kedalam mobil itu. Para tenaga medis langsung memberikannya pertolongan pertama. Masih ada harapan untuk Aiden bisa selamat. Beberapa diantara mereka juga sibuk mengurus jenazah Rio.

Kami semua hanya bisa menatap nanar, saat tubuh Rio dimasukkan kedalam kantung kuning.

Terimakasih Rio, kau sudah berusaha untuk menyelamatkan kami.

"Ikut kami ke kantor!" teriak polisi itu kepada ketiga manusia psikopat yang masih terlihat sangat santai.

"Bentar, gue-eh Saya maksudnya. Saya ingin menyampaikan sebuah pesan pada teman lama saya boleh?" kata Veno melirik tajam kearahku dan Nesya.

Mau apa lagi lelaki itu?!

Dua orang polisi mengawal Veno yang sedang berjalan kearahku, "Sampai ketemu nanti, teman." Veno mengedipkan sebelah matanya, kemudian polisi itu langsung menyeret tubuhnya untuk masuk kedalam mobil polisi.

Satu kalimat itu sukses membuat jantungku berhenti berdetak! Apa maksudnya? Apa lelaki itu benar-benar belum puas atas semua yang telah dia lakukan pada kami?

"Nesya!"

Seorang lelaki berlari kearah kami, wajahnya terlihat pucat, dia mengenakan kaos tangan pendek dengan celana selutut dan sepatu vans. Dia Bang Arsya atau Rival?

"Abaaaaang.." Nesya menangis.

Oh ternyata Bang Arsya. Aku kira Rival. Kalau dia Rival... Aku tidak tahu harus apa lagi. Bang Arsya menangkup kedua pipi Nesya, membuat Nesya meringis kesakitan karena luka di wajahnya.

"Medis! Tolong disini masih ada korban!" teriak Bang Arsya sedikit marah.

"Tahan sebentar, oke?" kata Bang Arsya pada Nesya, sejurus kemudian lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arahku, "Lo juga harus bertahan, Leen." lanjutnya tegas.

Aku dan Nesya dibawa masuk ke dalam ambulans yang berbeda. Fara dan Agra menemaniku. Raymond berada di ambulans yang mengangkut Nesya, tentunya bersama bang Arsya. Sementara yang lainnya sedang di mintai keterangan oleh pihak kepolisian.

Singkat waktu kami tiba di Rumah Sakit. Seperti biasa, Rumah Sakit yang kami tempati adalah Rumah Sakit milik keluarga Aiden. Tadi, aku sempat bertemu dengan orang tua Aiden. Mereka berkata kalau Aiden masih di ruang operasi.

Kali ini aku se ruangan dengan Nesya. Aku sengaja meminta agar se ruangan dengan Nesya. Bang Arsya sedang duduk di kursi sembari menggenggam tangan Nesya. Sementara Raymond sedang tertidur di sofa. Kasihan lelaki itu, dia belum tidur sejak kemarin.

"Nesya udah tau semuanya, Bang." kata Nesya. Aku mengerti arah pembicaraan ini.

"Maafin Abang, Sya."

Nesya menggelengkan kepalanya, "Engga, Abang gasalah. Tapi satu hal yang masih Nesya ngga ngerti. Kenapa abang ngga bilang sama Bunda dan Ayah, atau sama Nesya tentang penyakit abang itu? Siapa tahu kami bisa membantu Abang." jawab Nesya.

"Abang cuma ngga mau kalian jadi korban Rival yang selanjutnya."

"Nesya ngerti, tapi seharusnya Abang ngga kayak gitu. Kita ini keluarga, bang."

Bang Arsya tersenyum, senyum itu seolah meyakinkan Nesya kalau dirinya baik-baik saja, "Udah, ngga usah di pikirin. Yang jelas, kamu harus sembuh, Dek. Besok, insyaaAllah Abang akan menyerahkan diri Abang ke kantor polisi."

"Kantor polisi? Untuk apa?"

Bang Arsya mendengus pelan, "Biar bagaimanapun juga Abang harus bertanggung jawab atas kesalahan yang Rival buat."

"Tapi itu kesalahan Rival, Bang! Bukan Abang yang ngelakuin!"

"Kamu lupa, Rival menggunakan tubuh Abang untuk kejahatan-kejahatan yang dia lakuin."

"Tapi bang-"

"Ssst udah, ini udah keputusan Abang. Gara-gara Rival, Nesya sama Aileen jadi kena imbasnya kan? Abang ngga mau Rival terus berulah."

Nesya mengangguk mengerti. Bang Arsya benar. Dia harus menyerahkan dirinya ke kantor polisi. Siapa tahu di sana pihak kepolisian akan merehabilitasinya dan membantunya menghilangkan Rival. Dengan tangan yang terborgol, aku yakin Rival tidak akan berusaha membunuh orang-orang yang tengah mencoba menghilangkannya.

Tok tok tok

Pintu ruangan kamarku dan Nesya terbuka. Bang Arsya bangun dari tempat duduknya. Ternyata Agra yang membukanya, wajah lelaki itu terlihat lebih cerah dari sebelumnya,

"Aiden selamat. Tapi kondisinya masih koma. Sekarang dia ada di ruang ICU."

-Flashback off.

Aku memandangi Aiden yang masih menatap rapat kedua matanya. Sudah lima hari aku selalu menjaganya. Membacakan buku untuknya, bercerita hal apapun kepadanya, bahkan sesekali aku bernyanyi untuknya, ya walaupun suaraku tidak bagus tapi tak apa. Toh Aiden belum tentu mendengarnya.

Tapi kata orang, kalau kita berada di dalam keadaan koma, kita masih bisa mendengar apa yang orang lain ucapkan kepada kita. Kalau Aiden mendengar aku selalu memintanya untuk bangun, mengapa dia tidak bangun juga?

"Aiden." aku menggerak-gerakan tangannya, "Ngga bosen apa tidur mulu?" tanyaku.

"Bangun dong, emang lo ngga kangen sama gue?"

"Bangun kek! Ntar gue kasih seribu deh kalau lo bangun."

"Ih Aiden! Lo mah emang ngga punya hati ya! Bangun kek! Ngga tau apa yang disini pada kangen."

Kalian boleh menganggapku gila. Karena memang sepertinya otakku sudah tidak waras!

Aku mengerjapkan kedua mataku saat kulihat jari Aiden bergerak perlahan.

"Gue emang ngga punya hati. Kan hati gue udah gue kasih semua ke lo, Aileen."

Aku tidak salah mendengar? Aiden berbicara padaku!

"Jangan bilang, dari tadi lo udah sadar?!" tanyaku penuh selidik.

Lelaki itu tertawa kecil seraya membuka perlahan kedua matanya, "Mana duit seribunya?"

"Bentar-bentar, gue panggilin bokap lo dulu." baru selangkah aku berjalan, Aiden menahan pergelangan tanganku.

"Ngga usah."

Keningku mengernyit, "Loh kenapa emang?"

"Gapapa." Aiden melepas masker oksigen di hidungnya, "Lagian bokap gue juga udah tau kalau gue udah sadar." lanjutnya sembari mengubah posisi tidurnya menjadi posisi duduk.

Aku tidak percaya melihat ini semua. Aiden terlihat seperti orang yang sudah sembuh sejak lama. Lelaki itu tertawa kencang. Mungkin karena dia melihat ekspresi bingung di wajahku. Aku menatap intens kedua matanya sembari menautkan kedua alisku.

"Lo ngerjain gue ya?!" sungutku.

Lagi-lagi lelaki itu tertawa. Aku semakin dibuat bingung olehnya. Tapi sepertinya dugaanku benar. Kuambil sebuah bantal di dekatku dan langsung memukul tubuhnya. Bukannya kesakitan, Aiden malah terus tertawa. Ini aneh!

"Oke oke gue ngaku,"

"Ngaku apaan?!" teriakku membuatnya langsung menutup kedua kupingnya. Sebesar itukah suaraku?

"Sebenernya gue udah sadar dari lima hari yang lalu. Dari mulai lo jagain gue disini."

"What?!"

"Butuh perjuangan juga buat gue sok-sokan masih koma. Apalagi gue harus nahan tawa tiap kali lo nyanyi." Aiden tertawa. Ah, aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa saat ini.

"Ada untungnya juga punya bokap nyokap dokter. Gue bisa bekerja sama, sama mereka buat ngerjain lo hahaha."

"Jahanam ya lo, Den! Lo tau ngga sih gue tuh panik setengah mati!"

Aiden menyengir kuda sambil membentuk lambang peace dengan jarinya. "Maap Leen, maap. Tapi seriusan, asik banget tau ngerjain lo." Sudut bibir kiriku terangkat mendengar dirinya semudah itu mengatakan hal tersebut. "Tadinya gue masih mau pura-pura koma. Tapi denger lo mau ngasih gue seribu, gue jadi bangun deh. Kan lumayan buat beli permen kopiko, dapet tiga tuh kalo beli seribu."

Aku kembali memukul tubuh Aiden dengan bantal, "Lo... Ck arrgh! Ngeselin banget sih!" bentakku.

"Walaupun ngeselin kayak gini tapi lo kangen kan sama gue?hahaha."

Aku menggeram kesal! Kalau saja diriku tidak ingat dia baru sembuh, pasti akan aku jambak rambutnya saat ini juga!

"Saik ada yang akur niih!"

"Yosmaaan."

Aku menoleh kaget saat semua suara itu datang tiba-tiba. Suara itu berasal dari teman-temanku yang kini menerobos masuk kedalam ruangan Aiden. Mereka datang semua. Gila ngga sih? Untung saja ruangan ini cukup besar untuk menampung sepuluh orang.

Raymond berjalan menghampiri kami. Seperti biasa lelaki itu langsung melakukan salam persahabatan dengan Aiden, dan dia langsung memeluk Aiden. Begitupun dengan Agra, Angga, dan Adskhan.

Sementara aku? Aku tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi disini. Mengapa semua orang tidak terlihat kaget saat melihat Aiden sudah sadar?

"Gimana rasanya nungguin orang koma selama lima hari, Leen?" ledek Raymond dan disambut tawa kencang oleh teman-temanku yang lain.

Apa hanya aku disini yang tidak tahu kalau sebetulnya Aiden sudah sadar?

"Au amat! Lo semua ngerjain gue ya?!" bentakku kesal.

Lagi-lagi mereka semua tertawa, rasanya aku ingin kabur dari ruangan ini sekarang juga! Tapi itu terlalu drama untuk dilakukan. "Tau ngga, Ray, dia bacot banget nyuruh gue bangun, katanya Aiden bangun dong, Koala kangeen." Aiden meniru gaya ucapanku.

Semua orang tertawa kencang sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Fitnah heh!" teriakku.

"Yeuh yeuh kalo kangen mah bilang aja, ngga usah sok-sok'an jaim gitu." cibir Agra.

"Udah udah, kasian Aileen, mukanya udah merah banget." kata Nesya di sela-sela tawanya.

"Dikit lagi mateng tuh, Leen, muka lo." celetuk Raymond.

Menyebalkan. Aku merasa sedang di pojokan saat ini.

"Ini yang baru jadian diem-diem aja nih. Pajak jadiannya mana nih?" ujar Alyssa.

Jadian? Siapa?

"Tau nih huuuu!" jawab semua orang di ruangan itu.

Ya, kecuali aku dan Aiden. Sepertinya kami benar-benar kudet.

"Siapa yang jadian?" tanyaku dan Aiden berbarengan.

"Eak barengan!"

"Saik."

Aku memutar malas kedua bola mataku, "Serius ih, siapa yang jadian? Kok gue ngga tau?" tanyaku penasaran.

"Raymond sama Nesya lah, siapa lagi!" jawab Fara.

Aku menoleh cepat kearah Nesya. Gadis itu menunduk malu. Aku yakin dirinya tengah berusaha menutupi wajahnya yang memerah.

"Kok lo jadian ngga bilang-bilang gue sih, Sya?!" aku beralih menatap Raymond, "Lo juga, Ray! Diem-diem aja lo!" lanjutku.

"Lo nya aja yang kudet! Buktinya semua orang disini tau, padahal gue ngga ngasih tau." jawab Raymond tidak mau kalah.

"Tau nih, gimana sih Koala." Agra menjitak kepalaku membuatku mendengus kesal.

"Mau PJ apaan?" tanya Raymond.

"Anjaay, kayaknya duit lo lagi banyak nih." celetuk Angga.

"Lah emang duit gue pernah sedikit?" sahut Raymond seraya menyisir rambutnya dengan jari tangannya.

"Najis! Bocah tengil! Belagu!"

"Biarin bae, gue doain tuh duit ilang semua dibetak tuyul." kata Aiden menepuk kencang leher Raymond.

"Kok kalian semua jahat sih sama Raymond, hiks hiks." Raymond bertingkah seolah dirinya sedang menghapus air matanya.

"Geli, Ray, sumpah!"

"Serius serius. Pada mau PJ apaan?" tanya Raymond lagi.

Kami semua berpikir sejenak. Setelah itu kami saling menatap satu sama lain. "Ke vila!" teriak kami berbarengan.

Ya, kecuali Raymond dan Nesya yang hanya bisa melongo bingung.

"Vila? Vila siapa?" tanya Nesya.

"Vila yang kemarin di jadiin tempat sandra lo sama Aileen." jawab Fara.

"Ide bagus tuh. Anggap aja tuh vila sekarang milik kita ye ngga?" kata Raymond.

"Yoi!"

"Eh tapi emang boleh masuk?"

"Boleh lah kalau ada gue mah." lagi-lagi Raymond bertingkah menjengkelkan.

"Nesya, pacar lo boleh gue buang ke kali ciliwung ngga?" tanyaku.

Nesya tertawa kecil, "Boleh, Leen, Boleh banget!" jawabnya semangat.

Raymond berjalan menghampiri Nesya, "Sayang kok kamu gitu? Nanti kalau kamu kangen sama aku gimana, hm?" tanya lelaki itu sembari memegang kedua bahu Nesya dan menatapnya lembut.

"Ray! Please, stop it! Gue geli!" teriakku bergidig geli.

Aiden tertawa kencang. Melihatnya tertawa seperti ini membuatku sangat bersyukur, mengingat kalau kemarin dia sempat lemah tidak berdaya di pangkuanku.

"Btw, ini Raymond sama Nesya 'kan jadian ya," semua orang menatap penasaran Agra yang sedang berbicara, "Koala sama Aiden ngga jadian lagi niiih?" lanjutnya.

"Nah iya tuuh, balikan dong."

"Iyaaa, balikan lah."

"Engga." jawabku memotong semua ucapan mereka.

Aku menoleh kearah Aiden dan mendapatkan lelaki itu sedang tersenyum, "Baikan sama dia aja gue udah cukup seneng. Gue takut nyakitin dia lagi kalau gue balikan sama dia." jawab Aiden sambil menatap kedua mataku.

"Oooooow so sweet." sahut semua temanku.

"Yaudah mau pacaran atau engga, yang penting persahabatan kita ngga boleh pecah. Dan yang lebih penting, jangan pecahin persahabatan kita hanya karena cinta." tutur Alyssa.

Ya, Alyssa benar. Aku tidak ingin hubungan persahabatan kami hancur hanya karena permasalahan di dalam percintaan. Aku sangat berharap di hari esok atau pun hari-hari selanjutnya, tidak ada lagi drama-drama di hidupku! Aku sudah sangat lelah selama ini. Dan aku yakin Nesya dan yang lainnya juga sudah sangat lelah.

Satu lagi,

Aku berharap kalau Veno dan Arin tidak mengganggu kami lagi..

Semoga.

T A M A T

A.n WUUUAAAAH akhirnya selesai jugaa! Aku ingin mengucapkan terimakasih pada Allah SWT, terimakasih untuk kedua orang tuaku yang selalu mendoakan yang terbaik untukku, terimakasih juga untuk kalian yang setia membaca Geandert, yang setia membaca dan memberikan Vote untuk Geandert, dan yang setia untuk membaca, memberikan vote dan juga comment kalian!

Aku mau ingetin ke kalian kalo tokoh-tokoh geandert punya ig looooh, rp sik tapi hahaha. Di follow dong, kali aja gitu suatu saat nanti kalian rindu sama mereka. Ini uname mereka, check this out!

@aksadaylon
@aileensadinata
@elyshianesya
@arinsevhanie
@lareinajean

Aku juga mau mempromosikan ceritaku yang baru. Judulnya Behindert, kalian bisa langsung cek di profile aku.

Ini sinopsis nya;

Karma memang benar ada. Tuhan memang adil dalam segala hal.

Dulu, Thara sering menghancurkan hati perempuan dengan kata cinta yang dia berikan. Dan kini? Hidup lelaki itu hancur karena perempuan dan cinta.

Semua persahabatan yang dia miliki hancur begitu saja karena perempuan.

Akankah hidup Thara membaik? Atau semakin hancur?

Dibaca yak! Jangan lupa untuk vote dan comment juga! Alasyuu;3

Salam,

eera.

Continue Reading

You'll Also Like

5.3M 293K 36
Di masa lalu, Ashley Carlton menyukai Ethan Bradley, sebagai cinta pertamanya. Ashley merasa bahwa Ethan adalah laki-laki yang sempurna. Sampai suatu...
5.4M 242K 48
Mau baca cerita yang bikin kalian baper terus nangis, nah cocok banget nih. Yuk langsung aja baca cerita ini. Mungkin semua perempuan bahagia bi...
11.4M 768K 59
Project #Remaja | "Gue gak terima penolakan! Mulai sekarang lo jadi pacar gue." Ini bukan kisah Cinderella yang kehilangan sepatu kaca, di mana sang...
2.4M 19.7K 5
Nora tidak tahu apa yang telah terjadi hingga membuat semua orang memandangnya khawatir ketika dia bangun. Di tengah kebingungan yang mendera, tanpa...