Between Us

Od rishapphire

17K 1.3K 401

[Completed] Kalau kamu mencari kisah romantis yang menakjubkan, mungkin tidak seharusnya kamu membaca kisah... Více

Prolog
Bagian 1 : Tentang Dia dan Kegilaannya
Bagian 3 : Antara Masa Lalu dan Masa Kini
Bagian 4 : "You're Awkward. But I Love You."
Bagian 5 : Keributan antara Mereka
Bagian 6 : Sesuatu yang Dia Rencanakan
Bagian 7 : Pertanyaan Tanpa Jawaban
Bagian 8 : Perjanjian antara Aku dengan Dia
Bagian 9 : Adik Kelasnya
Bagian 10 : Kelakuannya
Bagian 11 : Pembagian Hasil Ujian
Bagian 12 : Aku Mau Kamu Selamanya. Boleh?
Bagian 13 : Malam Terakhirku Bersamanya
Bagian 14 : Perpisahan
Epilog
Extra Part 1 : Dan Aku pun Jatuh Cinta [Gavriel's Side]
Extra Part 2 : Waktu Berlalu Secepat ini
Rencana Awal Ending

Bagian 2 : Semangkuk Canda Darinya

1.1K 100 29
Od rishapphire

Aku baru saja membersihkan tubuhku dan berbaring di atas tempat tidur ketika ponselku berbunyi nyaring, tanda ada pesan masuk.

Aku segera mengambil benda yang tergeletak di sebelah tubuhku itu, dan membaca pesan masuk yang terlihat di layar.

Gavriel Athaya : Udah tidur, Ai?

Gavriel Athaya : Kok cepet banget, sih?

Gavriel Athaya : Kecapekan, ya?

Gavriel Athaya : Eh, diread wkwk

Aileen Nediva : Kenapa, sih?

Gavriel Athaya : Nggak pa-pa

Gavriel Athaya : Btw, tadi gue nemu foto ini pas lagi iseng-iseng googling

Gavriel Athaya :

Gavriel Athaya : Nggak niat ngirim pesan kayak gitu ke gue?

Gavriel Athaya : Kan lo pendek wkwkwkwk

Aku mengabaikan saja pesan itu. Walaupun begitu, senyum tetap saja mengembang di bibirku.

Ini aneh di saat seharusnya aku merasa kesal, aku malah merasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia ini karena berhasil memilikinya.

Tiba-tiba, ponselku kembali berbunyi. Dan kali ini adalah tanda panggilan masuk. Aku segera membaca nama yang tertera di layar.

My Mr. Athaya kesayangannya Aileen♥ is calling...

Bukan. Bukan aku yang memberikan nama seperti itu. Hal itu adalah perbuatan Gavriel yang iseng memainkan ponselku.

Tak mau membuat Gavriel menunggu lebih lama lagi, aku segera menjawab panggilan, dan mendekatkan ponsel itu ke telingaku.

"Halo, Gav---"

"Kok di-read doang, sih, Ai? Lo marah gara-gara gue ngatain lo pendek? Ya, maaf. 'Kan gue bukan bermaksud ngatain. Tapi itu emang kenyataannya 'kan kalau lo pendek?"

"Niat lo nelpon gue cuma buat ngatain gue lebih jelas lagi?" cibirku. "Mending nggak usah susah-susah nelpon. Besok lagi ngatainnya 'kan bisa."

Terdengar suara umpatan dari seberang sana. "Najis. Baper banget lo. Lagi PMS, ya? Jangan gitu dong, Ai. Gue 'kan juga udah minta maaf. Please, maafin Gavriel."

Aku terkekeh pelan. Sisi kekanak-kanakannya mulai muncul ternyata.

"Iya, iya," balasku singkat. Terdengar suara embusan napas penuh kelegaan dari seberang sana. "Udah sana tidur. Besok kesiangan kalau tidur malem-malem. Jangan lupa jemput gue, ya."

"Siap, Nyonya. Kalau gitu, gue tidur dulu, ya. Lo juga tidur. Jangan lupa mimpiin gue, lho, biar tidurnya nyenyak. Bye, Alien jelek kesayangan Gavriel." Dan sambungan pun terputus.

Aku meletakkan ponselku. Dan akupun menatap langit-langit kamar. Senyumku tanpa sadar terkembang. Ah, selalu begini setiap aku mendengar suaranya.

Aku lantas menggeleng cepat. Tapi tetap saja, suara Gavriel tidak juga hilang dari pikiranku.
Lama-kelamaan, aku merasakan kelopak mataku mulai memberat. Dan tak lama kemudian, aku pun masuk ke dalam dunia mimpiku.

***

"Selamat pagi, Mrs. Athaya!" Suara dari sahabatku, Thalia, langsung memasuki telingaku saat aku baru saja membuka pintu kelas.

"Pa-gi," balasku sedikit terbata-bata.

Thalia berlari menghampiriku. "Gimana semalem?" tanyanya. Dia menghalangi jalanku.

"Apanya yang semalem?" aku balas bertanya.

"Itu lho... Semalem." Thalia mengerlingkan sebelah matanya ke arahku.

"Wah... Semalem abis ngapain, Leen?" Kali ini, terdengar sahutan dari Kintan. "Wah, wah, wah..."

Oh, ya ampun. Kenapa aku di kelilingi oleh orang-orang yang super aneh seperti mereka ini?

"A-apaan, sih?" Aku menggelengkan kepalaku cepat. "Apaan yang semalem-semalem itu? Gue nggak ngapa-ngapain, kok."

"Eh?" Thalia dan Kintan saling bertatapan selama beberapa detik. "Tapi kata Gavriel, kalian---"

Aku pun sontak menatap Gavriel yang berdiri di belakangku dengan tampang polos. Mataku menatapnya penuh sangsi, seolah meminta pertanggung jawaban darinya.

Gavriel menatapku heran, sedikit menelengkan kepalanya. "Apa?" tanyanya datar.

"Iiih!" Aku memukul lengannya beberapa kali. "Lo ngomong apa ke Thalia sama Kintan, heh? Jangan ngomong yang aneh-aneh napa, sih!"

Gavriel lantas menahan pergerakan tanganku. Dan kemudian, tawa keluar berderai dari mulutnya. "Apaan, sih? Gue cuma ngomong kalau gue kemaren jalan sama lo," ucapnya yang sontak saja membuat pipiku memanas.

"Negative thinking mulu, sih lo jadi anak," timpal Kintan. "Huhhh... Aileen mulai dewasa nih, ya pikirannya."

"Iiih! Ngeselin, ngeselin, ngeselin! Gavriel ngeselin, ih! Gue kesel sama lo, sumpah!"

Gavriel menggenggam kedua pundakku sementara dia berusaha menahan tawanya. Tak lama, senyum penuh godaan terbit di bibirnya.

"Emang otak lo doang, Ai," ejek Gavriel. Dia berjalan menuju bangkunya, meninggalkanku yang masih berdiri di depan kelas, menjadi bahan tontonan di pagi hari oleh teman sekelasku.

"Awas, ya lo nanti."

"Yah, Gav. Nggak dapet jatah lo nanti malem." Sorak-sorakan terdengar memenuhi seisi kelasku karena celetukan salah satu temanku itu.

"Fokus, woi, fokus. Kita udah kelas 12. Jangan mikirin kawin mulu," lagi-lagi terdengar celetukan dari pojok kelas. Suara sorak-sorakan pun terdengar makin heboh.

Aku berjalan menuju bangkuku yang ada tepat di depan meja guru. Mataku sesekali melirik Gavriel yang masih tampak santai dengan celetukan-celetukan itu.

Aku tidak tahu bagaimana caranya Gavriel dapat terlihat santai seperti itu.

Aku duduk di bangkuku dan mengambil buku paket Biologi, berhubung jam pelajaran pertama adalah Biologi dan sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

Tanpa memedulikan hal lain di sekitarku, aku mulai membuka-buka buku paket itu dan membacanya.

Bisa dibilang, aku adalah anak yang sangat memerhatikan perkembangan nilaiku sendiri. Jadi, aku berusaha sekeras mungkin agar nilaiku tidak ada yang turun sedikit pun.

"Eh, Ai. Belajar mulu."

Kecuali untuk dia.

Gavriel duduk di sebelahku, kemudian menarik buku paket Biologi milikku.

"Apaan, sih lo?"

Bagi Gavriel, belajar adalah hal terakhir yang akan dia lakukan saat sedang bosan.

Sungguh. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan otaknya. Karena meskipun dia jarang---bahkan hampir tidak pernah belajar, nilainya selalu mendekati sempurna.

"Udah sini. Gue mau baca lagi," ucapku seraya menarik buku itu dari hadapan Gavriel. "Bentar lagi kita UAS, Gav. Dan sekarang kita udah semester lima. Lo 'kan tau gue nggak mau susah-susah SBMPTN lagi."

Gavriel tersenyum lembut. "Iya, iya, Ai," ucapnya. Dia menidurkan kepalanya di atas meja. Sementara matanya tetap menatapku yang membuatku tidak bisa fokus sedikit pun.

Aku menggerakkan bola mataku risih. Tak bisa aku pungkiri, tatapan intens dari Gavriel masih saja membuat jantungku berdetak tak karuan.

"Ngapain, sih?" tanyaku. Aku menutup buku Biologiku. "Udah sana. Duduk di bangku lo sendiri 'kan bisa, Gav."

"Hm," Gavriel bergumam tidak jelas. "Nanti aja. Gue sedang menikmati hal indah yang terpampang di hadapan gue ini."

Aku pun merasakan pipiku memanas. Senyum salah tingkahku tak bisa aku tutupi lagi. Hal itu sontak saja membuat Gavriel terkekeh pelan.

"Bukan lo," ujarnya yang langsung membuatku terjatuh kembali. "Itu lho. Bu Nia udah ada di depan. Gue mau dadah-dadah dulu sama dia."

Aku mengalihkan pandanganku ke meja guru. Bu Nia, guru Biologiku, sudah duduk di sana dengan senyum geli yang terpampang di wajahnya.

"Pagi, Ibu cantik," sapa Gavriel. Dia mengerlingkan sebelah matanya ke arah Bu Nia.

Aku membuang pandanganku ke arah lain. Dan aku pu merasakan seseorang menepuk puncak kepalaku beberapa kali.

"Gue balik dulu, ya, Ai," ucap Gavriel sebelum akhirnya benar-benar pergi.

Aku hanya diam saja sebagai tanggapannya.

***

Hal yang paling berat di kelasku adalah ketika selesai pelajaran Biologi, masuk ke pelajaran Fisika, dan setelah itu Matematika. Meskipun begitu, untunglah pelajaran Fisika dan Matematika masih dipisahkan oleh jam istirahat.

Bel sudah berbunyi lima menit yang lalu. Dan aku masih di sini, mendengarkan ucapan guru Fisikaku yang sepertinya tidak sadar waktu.

Aku tidak mengerti kenapa ada guru yang seperti ini di dunia.

Bunda Fifi---panggilan akrabnya di sekolahku, masih saja menulis di papan tulis sampai tiba-tiba terdengar seseorang berkata, "udah jam istirahat, Bun."

Itu suara Gavriel.

Terdengar sahut-sahutan dari bangku di pojok belakang kelas. Mereka meneriakkan kata-kata yang sama seperti apa yang diucakan Gavriel.

"Oh, ya? Baiklah. Sampai di sini dulu pertemuan kita kali ini. Selamat pagi."

Untung saja Bunda Fifi mengerti. Dan Beliau pun langsung membereskan bukunya dan keluar dari kelasku.

Refleks, aku mengembuskan napasku penuh kelegaan. Dan aku pun menidurkan kepalaku di atas meja.

"Gila, pusing," gumamku. Aku memejamkan mataku sesaat.

"Kantin, yuk."

Aku membuka mataku dan mengangkat kepala, menatap Thalia yang duduk di sebelahku. Aku pun mengangguk perlahan.

"Eeeeh... Mau ke mana lo?" Gavriel menahan tanganku. "Sini sama gue aja."

"Dih." Aku mengenyahkan tangannya. "Gue sama Thalia aja."

Gavriel menatapku, seolah dia terluka dengan sikapku. "Sama gue aja. Please?" Dan dia pun mengubah tatapannya menjadi tatapan penuh harap.

"Bayarin."

Gavriel berdecak. "Mending gue sama temen-temen gue kalau tau kayak gitu mah." Dia bersedekap dan berjalan menjauh dariku.

"Kenapalah anak satu itu?" gumamku tak mengerti. Aku berdecak beberapa kali. Mataku menatap Gavriel yang berjalan keluar kelas bersama teman-temannya.

"Udah, yuk, Leen. Jangan diliatin mulu Gavrielnya. Nggak bakalan ilang, kok," ujar Kintan tiba-tiba. 

"Siapa juga yang ngeliatin dia," aku mengelak.

"Elo!" balas Kintan dan Thalia bersamaan.

Aku memutar kedua bola mataku. "Udah, ah. Yuk ke kantin. Gue udah laper," ajakku segera, sebelum mereka kembali memojokkanku.

***

"Anjir. Kocak, sih."

"Mangkanya itu. Gue juga nggak ngerti. Bisa-bisanya dia nge-pdkt-in gue, abis itu jadiannya sama cewek lain."

"Lo-nya yang terlalu berharap kali."

"Oke, oke. Gue tau yang nggak di-PHP-in, mah beda."

Aku sontak tertawa menanggapi perkataan Thalia. "Mangkanya, kalau pilih cowok yang bener. Jangan asal suka aja."

"Cih," Thalia dan Kintan berdecih secara bersamaan. "Bukannya sebelum ketemu sama Gavriel, lo juga begitu?"

Aku tertegun sejenak. Kata-kata itu langsung masuk ke dalam hatiku.

Aku tersenyum miris. "Kata-kata kalian bisa pas gitu, ya. Menyakitkan, lho. Kata-kata itu menyakitkan," ucapku.

Dan tepat saat itu, seseorang menepuk pundakku. Aku menolehkan kepalaku dan mendapati seorang cowok tersenyum manis tepat di sebelahku.

"Hai, Leen."

***

Halo!

Eh, iya. Part ini kepotong nggak, sih? Gue liat kepotong. Tapi pas gue liat di work kenapa enggak, yah? Ku pusing mak

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

240K 21.8K 27
(Tidak di revisi) Javnan Kevlar tak pernah tau bahwa datangnya di dunia ini ternyata sebagai penabur luka bagi Bunda. Sebagai gantinya, ia harus mel...
28.1K 4.3K 27
(Jangan lupa Vote, Komentar, dan Follow ^_^) Istrinya pernah bilang, kalau bintang itu memiliki lima sudut penting dan jika satu sudutnya menghilang...
908K 33.4K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
1.1K 94 4
"Aku hanya anak angkat, sedangkan mereka anak kandung papah." Sampai saat ini, Ethan masih bertanya-tanya kenapa Rangga lebih menyayanginya yang not...