Geandert [Completed]

By kainansetra

126K 7K 592

[PART 27-28 DI PRIVATE] "Seharusnya cukup pertemanan tanpa harus melibatkan perasaan." - Aileen. "Gue akan me... More

Prolog
1. Elyshia Nesya Percival
2. Aileen Saralee Adinata
3. Masa Lalu
4. Cinta Begini
5. Who's that?
6. All I ask
7. Pupus
8. Cinta Kau dan Dia
9. Teror
10. Terjebak
11. Senja dan Malam
12. Anonymous
13. Setitik Rasa
14. Cheese cake
15. Kehangatan
16. Egois
17. Hari ini datang
18. Berubah
19. Surat Kaleng
20. Pengakuan
21. Rival
22. 20-22/11/2015.
23. Sebuah Jebakan
24. Tolong
25. Kaisan Arsya Percival
Announcement
27. Love you, Goodbye
28. Let Me Love You [END]
EXTRA PART
EXTRA PART [ii]: SURPRISE!

26. Arsya dan Rival

3.5K 203 23
By kainansetra

Langit hitam mulai terlukis sempurna di atas sana. Rembulanpun mulai menampakkan senyuman indahnya. Begitu pula dengan ribuan bintang yang seolah menempel di langit hitam itu.

Bulan bisa tersenyum, namun tidak dengan pria tua yang kini tersungkur lemah di atas rerumputan. Di atas pria itu ada seorang lelaki. Lelaki itu masih mengenakan kemeja kerjanya yang saat ini sudah berlumuran darah.

Dia adalah Rival.

Sekali lagi Rival menusuk perut pria di bawahnya. Kemudian dia tertawa puas sembari menendang kuat perut korbannya yang sudah tidak berdaya.

Pria itu menatap Rival dengan pandangannya yang mulai kabur, lalu dia meludahi wajah Rival. Membuat Rival membulatkan kedua matanya sembari mengangkat kembali pisau tajamnya ke udara dan menusukkan pada mulut pria itu.

"Jangan pernah macem-macem sama gue, parasit!" teriak Rival mencabut pisaunya dari mulut pria tadi.

Rival menarik dasi kerjanya. Lalu dia membuka kasar kancing kerah kemejanya. Lelaki itu menjilati darah segar di jari-jarinya.

Darah pria yang baru saja dia bunuh.

Rival memang sangat mengerikan ketika dia merasa tidak suka dengan seseorang.

Hal apapun akan Rival lakukan untuk menghancurkan atau bahkan mengakhiri hidup seseorang, jika dia merasa orang tersebut adalah masalah untuknya.

Rival tersenyum sinis sembari menatap pria di bawahnya. Kemudian dirinya beranjak pergi meninggalkan mayat itu tergeletak begitu saja dengan kepuasan di hatinya.


Baru beberapa langkah Rival berjalan langkahnya kembali terhenti.

Lelaki itu mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, rasa pusing menghinggapi kepalanya. Rasanya, saat ini kepalanya terasa seperti dihantam oleh balok besar. Lelaki itu mencengkram erat rambutnya. Rival benar-benar tidak tahan.

Tubuh Rival tersungkur di atas tanah.

Pisau yang semula dia genggam kini sudah tergeletak di sampingnya. Rival teriak kesakitan, cengkraman tangannya semakin kuat.

Perlahan tapi pasti tubuh lelaki itu mulai terlihat normal kembali. Rival sudah tidak bergetar seperti sebelumnya.

Lelaki itu terdiam sejenak. Wajahnya sangat kebingungan, melihat keadaan di sekitarnya.

Rival tersentak kaget melihat sebuah pisau yang sudah berlumuran darah di dekatnya. Sepertinya dia tidak ingat tentang apa yang baru saja dia lakukan.

Ponsel Rival bergetar. Nama Advent terpampang jelas di layar ponselnya.

"Arsya, dimana kamu?" kata seseorang di ujung telfon.

Mungkin kalian bingung mengapa Rival dipanggil Arsya. Sebetulnya, Rival dan Arsya adalah orang yang sama.

Hanya saja kepribadian mereka jauh berbeda.

Arsya adalah kakak laki-laki Nesya.

Sudah lama sekali ia mengidap penyakit Dissociative Identity Disorder (DID) atau kepribadian ganda.

Rival adalah kepribadian Arsya yang lain. Kepribadian itu sangat bertolak belakang dengan sifat asli pemilik tubuh itu, yaitu Arsya.

Arsya adalah seorang pemuda dengan kepribadian yang sangat baik, penyayang, dan selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara Rival? Jangankan dekat dengan Tuhan, untuk berwudhu saja mungkin dia tidak bisa.

Berbeda dengan sifat Arsya yang begitu penyayang dan selalu sabar, Rival sangat tidak bisa mengontrol emosinya dan terkesan seperti seorang psikopat yang begitu menyeramkan.

Arsya mengangkat telfon genggamnya seraya mendekatkan ke telinganya. Kemudian lelaki itu mengedarkan pandangannya.

Arsya tidak mengenali tempat ini. "Rival, lo udah kelewatan." gumam Arsya di dalam hatinya.

"Saya tidak tahu di mana saya berada, Pak." jawab Arsya memijit pelan keningnya.

Advent tertegun. Sebetulnya dari awal pria itu sudah berada di tempat yang sama dengan Arsya atau Rival.

Pria itu juga menyaksikan dengan kedua matanya, bagaimana kejamnya Rival menghabisi nyawa seorang pria paruh baya.

Advent juga melihat saat Rival kesakitan dan kemudian tatapannya berubah kembali menjadi Arsya yang dia kenal.

"Tolong saya, Pak." kata Arsya membuyarkan lamunan Advent.

Advent memutuskan panggilannya dengan Arsya. Lalu pria itu berjalan menghampiri Arsya yang terlihat sangat kebingungan.

Arsya menautkan kedua alisnya saat dia melihat Advent. Bagaimana bisa pria ini tahu di mana keberadaannya saat ini? Pikir Arsya.

"Saya sudah melihat semuanya, Arsya." Advent menghentikan langkah kakinya, pria itu memberi jarak antara dirinya dan Arsya.

"Saya bisa jelaskan, Pak." jawab Arsya panik.

Advent menatap Arsya ragu, lalu pria itu melangkah kembali menghampiri Arsya. Sebelumnya, Advent menyingkirkan dahulu sebilah pisau yang tadi Rival pakai.

Advent mendengus pelan, "Sudah berapa lama kamu punya kepribadian ganda seperti itu?" tanya pria itu mendudukan tubuhnya di samping Arsya.

"Sejak saya SMP." jawab Arsya.

"Orang tua kamu tau?"

Arsya menggeleng lemah. Dia tidak berani menceritakan tentang penyakitnya ini pada keluarganya. Satu hal yang dia takuti. Arsya takut penyakit jantung Ayahnya kambuh saat dirinya menceritakan tentang hal ini.

"Apa yang telah Rival lakukan di tempat ini?" tanya Arsya.

Advent menunjuk seorang pria yang kini sudah terbujur kaku.

Kakak laki-laki Nesya itu langsung mengikuti arah tunjuk Advent. Arsya membulatkan kedua matanya. Dia menarik dalam-dalam nafasnya sembari memejamkan erat kedua matanya.

Rival benar-benar sudah kelewatan! Geram Arsya didalam hati.

"Jadi, kepribadianmu yang lain bernama Rival?"

Arsya menganggukkan kepalanya, lalu lelaki itu menghadapkan tubuhnya pada Advent, "Pak, jika suatu saat Anda bertemu dengan Rival, tolong Anda segera menjauh dari Rival. Dia sangat berbahaya sekali. Rival bisa menghancurkan dengan mudah hal yang menurutnya sebagai pengganggu."

Advent menatap Arsya mengerti. Pria itu bisa merasakan kalau Arsya tengah diliputi rasa bingung, marah dan panik.

"Rival itu monster." lanjut Arsya, menundukkan kepalanya, "Saya tidak tahu mengapa dia bisa ada di dalam tubuh saya."

Advent mengangguk, "Kau sudah mencoba untuk menghilangkannya?"

"Saya sudah sering ke psikiater, tapi belum ada satu pun dari mereka yang berhasil menghilangkan Rival."

"Saya akan mencoba membantumu mengeluarkan Rival."

"Jangan!" sanggah Arsya, membuat kedua alis Advent terpaut.

"Kenapa?"

"Setiap ada seseorang yang berusaha menghilangkannya. Rival akan membunuh orang tersebut. Sama seperti pria itu.." Arsya menatap bersalah pria yang Rival bunuh beberapa saat lalu.

"Dia psikiater saya beberapa hari lalu." lanjut Arsya.

***

"Ayah, temen Arin mau dateng." Arin berjalan menghampiri Advent yang sedang serius membaca koran di halaman rumahnya.

Gadis itu menggelayut manja di tangan Ayahnya, "Ayaah, Ayah ngga denger ya Arin ngomong apa?" ucap gadis itu lagi.

Advent tersenyum sambil melipat koran hariannya. "Ayah dengar, sayang." jawab pria itu mengusap lembut kepala anaknya. Arin menyeringai, "Siapa tadi yang mau datang?" tanya Advent.

"Temen Arin, yah."

"Temen apa temeen. Pacar Arin kali." ujar Advent meledeki putrinya.

"Apasih Ayah hahaha."

Selanjutnya, kedua pipi Arin semakin memanas saat Ayahnya selalu meledeki dirinya tentang seseorang yang akan datang kerumahnya. Tak lama kemudian, ponsel Arin berdering. Arin memberikan isyarat kepada Ayahnya kalau dirinya ingin berjalan keluar.

"Haiii." sapa Arin ceria melihat seorang lelaki yang tengah tersenyum di depan pintu rumahnya.

Cuaca hari ini sangat tidak mendukung. Sejak pagi, hujan telah mengguyur kota Jakarta. Namun lelaki itu tetap menepati janjinya untuk membantu Arin mengerjakan tugasnya.

"Ayo masuk." ajak Arin menarik tangan lelaki itu.

"Ada Ayah lo?"

Arin mengangguk, "Kenapa emang?" tanya Arin.

"Ya gapapa sih."

"Kirain takut hahaha. Tenang aja, gue udah bilang kok."

Mereka berdua berjalan masuk kedalam rumah Arin yang begitu mewah, "Ayah kenalin ini temen aku."

Advent membalikkan tubuhnya, dan saat itu juga dia merasakan kalau darahnya berhenti mengalir. Ini bahaya. Gumam Advent.

Wajah itu, wajah Arsya. Namun tatapannya.. Tatapan Rival si monster.

"Yah? Kok bengong?"

Advent menelan air liurnya, dengan ragu lelaki itu berjalan menghampiri anaknya, "Siapa namanya?" tanya Advent memastikan.

"Rival." jawab Rival menjabat tangan Advent seraya tersenyum sinis.

Sepertinya Rival sudah tau kalau Advent memiliki rencana untuk menghilangkannya dari tubuh Arsya.

"Yaudah yah, Arin keatas dulu ya." ucap Arin beranjak pergi meninggalkan Ayahnya yang masih diam.

"Tunggu." kata Advent tiba-tiba.

Arin memutar tubuhnya, sementara Rival menunggu kalimat selanjutnya yang akan terlontar dari mulut Advent. "Kenapa, Yah?" tanya Arin bingung.

Advent berjalan menghampiri mereka berdua, kemudian pria itu memisahkan tangan Arin dan Rival yang sebelumnya saling terpaut.

"Keluar dari rumah saya." perintah Advent tiba-tiba.

Rival tertawa kecil, dia sudah tau pasti dirinya akan diusir dari rumah ini.

"Ayah apaan sih?!"

Advent melirik Arin sekilas lalu pria itu kembali menatap tajam Rival yang kini tengah memandang remeh dirinya, "Keluar!" teriak Advent.

"Ayah!"

Rival menggenggam tangan Arin, "Sst jangan nge-bentak ayah lo."

"Tapi Val—"

"Anda mengerti bahasa Indonesia 'kan? Keluar dari rumah saya. Sekarang!"

"Tenang, O0m. Saya akan keluar dari sini." Rival menatap Advent dengan tatapannya yang menantang, "Gue pulang dulu rin." lanjut Rival pada Arin.

"Diluar hujan, Val."

"Gue kan bawa mobil, tenang aja." jawab Rival tersenyum.

Dengan langkah santainya Rival berjalan keluar dari rumah Arin. Lelaki itu bersiul senang dengan kedua tangannya yang dia masukkan kedalam saku celananya. dia berhasil melihat dengan jelas bagaimana wajah Advent.

Langkah selanjutnya hanya tinggal menjadikan pria itu kambing hitam gue, gumam Rival di dalam hatinya.

"Ayah! Aku nggak suka Ayah usir Rival kayak gitu! Apa salahnya sih kalau aku mau belajar sama Rival? Toh dia anak yang terpelajar. Ayah kelewatan! Diluar hujan yah, kalau dia kenapa-kenapa gimana?!"

Advent menarik dalam nafasnya, pria itu menatap lurus kedua mata anaknya. "Ayah nggak suka sama lelaki itu." Advent memegang kedua bahu anak gadisnya, "Dia nggak baik untuk kamu." Lanjutnya.

"Tapi aku sayang sama Rival, Aylah!"

"Nak, Rival bukan lelaki yang baik. Dia tidak seperti yang kamu kenal. Percaya sama Ayah." Tutur Advent meyakinkan.

"Engga, Yah!" gadis itu melepaskan kedua tangan ayahnya yang sebelumnya berada di pundaknya, "Ayah salah! gimana bis Ayah nilai Rival ngga baik padahal kalian baru bertemu!" Lanjut Arin, menitihkan air mata.

Advent menatap iba anaknya kemudian dia memeluk tubuh mungil Arin, "Ayah ngerti kamu marah sama ayah. Tapi ini demi kebaikanmu nanti, sayang."

"Engga! Ayah jahat! Ayah egois! AKU BENCI AYAH!" Arin berlari masuk kedalam kamarnya. Meninggalkan Advent yang hanya bisa menghembuskan nafasnya lemah.

Pria itu teringat dengan ucapan Arsya malam itu, "Pak, jika suatu saat Anda bertemu dengan Rival, tolong Anda segera menjauh dari Rival. Dia sangat berbahaya sekali. Rival bisa menghancurkan dengan mudah hal yang menurutnya sebagai pengganggu. Rival itu monster."

***

Beberapa saat yang lalu Arsya sudah kembali, kembali ke dalam tubuhnya. Rival sudah menghilang saat dirinya terbentur dinding kamarnya. Sakit memang, tapi setidaknya tubuh itu sudah tidak dikuasai lagi oleh Rival si monster.

Arsya berjalan menuruni undakan tangga rumahnya sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Lalu lelaki itu membuka pintu kulkas seraya mengambil sekotak kopi dari dalamnya.

Arsya berjalan kembali menghampiri Ayahnya di ruang kerjanya.

"Assalamu'alaikum, Yah." salam Arsya membuka pintu ruangan itu.

Seorang pria yang terlihat sangat lelah tersenyum pada Arsya, "Loh, Uah, itu 'kan udah jadi tugas Abang. Ayah gausah kerjain, biar Abang aja yang selesain." Arsya berjalan menghampiri Ayahnya seraya membereskan tumpukan berkas perusahaannya.

Sejak satu tahun yang lalu perusahaan keluarga Arsya sudah diambil alih oleh Arsya sendiri. Ayahnya hanya tinggal duduk manis menunggu hasil-hasil yang dikerjakan oleh Arsya dan para bawahannya.

Tapi, tidak ada yang mengetahui tentang hal ini.

Bahkan Nesya pun tidak tahu menau kalau Arsya sekarang yang menjalani perusahaan tersebut. Yang Nesya tahu, selama ini Abangnya hanya belajar di kampus. Namun faktanya tidak.

Arsya sudah berhenti dari kampus sejak penyakit ayahnya kambuh, dan lelaki itu memilih untuk melanjutkan pekerjaan ayahnya di perusahaan milik keluarganya.

"Ayah hanya ingin melihat apa yang kamu kerjakan, Bang."

"Tapi muka Ayah udah pucat banget tuh. Istirahat aja sana."

Tok tok tok

Arsya menoleh kearah pintu saat ketukan itu terdengar, "Ayaah, ini Nesyaa." teriak Nesya dengan suara cemprengnya.

Arsya menggelengkan kepalanya kemudian lelaki itu membukakan pintu untuk adiknya, "Lah Abang ngapain di ruang kerja Ayah?" tanya Nesya bingung.

"Emang kenapa? ngga boleh?"

"Ya gapapa sih asal Abang ngga ganggu kerjaan Ayah aja!"

Arsya tertawa seraya menjitak kepala adiknya, "Dasar bocil." kata Arsya.

"Yah, tuh liat Abang yah! Masa Nesya dikatain bocil mulu, padahal kan Nesya udah gede! Udah mau SMA!"

Ayah Nesya dan Arsya tertawa melihat kelakuan anaknya. Pria itu beranjak dari kursinya kemudian berjalan menghampiri Arsya dan Nesya, "Di luar aja yuk, Nak. Tinggalin abang Arsya di ruangan ini." kata pria itu.

"Yhaa, udah sana keluar lo bocil." ledek Arsya.

Nesya mengerucutkan bibirnya kesal, "Emang kenapa kok bang Arsya di tinggalin disini?" tanya Nesya.

"Biarin aja, nanti juga ada tikus yang makan abangmu."

Nesya tertawa kencang, "Tikus ngga akan suka, Yah, sama daging abang."

"Daging abang manis loh, Sya. Enak."

"Iuh."

***

Pagi telah tiba saat Rival kembali mengambil alih tubuh Arsya. Kini lelaki tampan itu sedang bercermin sembari membetulkan letak dasi kerjanya.

Rival mendekatkan wajahnya di cermin, kemudian dia tersenyum sinis sambil mengusap alis tebalnya.

"Hari ini gue akan jadi sutradara drama yang hebat." ujar Rival, lalu bersiul santai sambil melipat lengan kemejanya.

Ah, ada yang kurang. Pikir Rival.

Lelaki itu harus menyampaikan sebuah pesan terlebih dahulu pada Arsya. Rival menghidupkan ponselnya, kemudian dia menghidupkan video recorder.

"What's up mas bro!" Rival tersenyum sinis sembari mengangkat tangan kanannya.

"Eh salah ya, Assalamu'alaikum Arsya, hahaha!"

"Hari ini gue bakal bantuin menuhin keinginan lo yang ngga akan pernah bisa lo lakuin." Rival menaikkan sebelah alisnya, "Gue akan bantuin lo singkirin saingan perusahaan bokap lo. Yap! Gue bakal ngehancurin Adinata Group."

Adinata Group adalah perusahaan asuransi milik Daddy Aileen. Sudah cukup lama perusahaan keluarga Arsya dengan keluarga Aileen selalu bersaing ketat.
Namun hubungan kekeluargaan antara dua perusahaan itu masih sangat erat. Tidak pernah ada perselisihan.

Tapi.. tidak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di esok hari. Entah apa yang akan Rival lakukan pada perusahaan itu.

"Lo tau siapa yang akan gue gunain buat jadi kambing hitamnya?"

"Gue ngga akan kasih tau sekarang, tapi tenang, Sob, lo akan tau jawabannya sebentar lagi." Rival tersenyum sini sembari menaikkan sebelah alisnya, "Tapi, sori nih. Gue minjem nama lo sebentar buat singkirin saingan lo itu." lelaki itu mengedipkan sebelah matanya lalu menghentikan video recorder tersebut.

Arsya pasti akan terkejut saat menonton video singkat itu di ponselnya.

***

"Mana barang yang saya pesan, Vent? Sudah dua hari belum datang." Adi terlihat sedikit bingung, sedari tadi Daddy Aileen itu hanya berjalan kesana kemari sembari menelfon Advent.

Pasalnya, barang yang sudah dia pesan sejak dua hari lalu tidak kunjung datang. Padahal besok barang itu akan dia pakai untuk keperluan perusahaannya.

"Belum sampai juga? Saya sudah mengirimkannya. Di."

"Tapi belum datang, anda gimana sih?!"

Advent tertegun, tidak seperti biasanya Adi menaikkan nada suaranya saat mereka berdua sedang berbicara.

Advent, Adi, dan Arsya adalah tiga pemimpin dari perusahaan yang berbeda jenis namun saling menguntungkan.

Advent adalah pemilik Sevhansson company. Perusahaan tersebut adalah perusahaan dibidang elektronik dan furniture.

Adi adalah pemilik Adinata Groups, atau yang sering dikenal sebagai perusahaan asuransi terbesar di Asia Tenggara.

Sementara Arsya adalah anak dari pemilik Percival Groups, sebuah perusahaan yang menggeluti di bidang travel dan pertambangan.

Mungkin tadi kalian bingung mengapa Rival berkata kalau Adinata company adalah saingan terberat Percival groups? Hal itu dikarenakan, ayah Aileen sudah mulai melebarkan sayap perusahaannya di bidang travel. Mereka sudah mulai membuka beberapa perjalanan ke luar negeri.

"Anda memarahi saya?" tanya Advent.

"Jelas! Saya sangat memerlukan barang itu!"

"Tapi sorry, Di, itu bukan kesalahan saya, barang sudah saya kirim dari dua hari lalu, dan anak buah saya juga bilang kalau barang tersebut sudah sampai di perusahaan Anda."

Kedua alis Adi saling terpaut, bagaimana bisa?

"Ada bukti?" tanya Adi.

"Ada."

"Tapi saya serius, Vent, Demi Tuhan, barang itu belum saya terima."

"Anda jangan bawa-bawa nama Tuhan kalau sedang berbohong, Di."

"Saya tidak berbohong! Anak buah anda yang berbohong!"

"Kau menyalahkan anak buah saya?"

Adi terdiam. Dia memijit pelan keningnya, "Oke gini, saya pastikan esok hari barang yang anda pesan akan tiba." ujar Advent.

"Saya pegang omonganmu."

Tuut tuut tuut

Adi memutuskan panggilan telfon mereka berdua.

***

Kebakaran melanda Adinata Groups pagi ini. Api berkobar dari arah sayap kiri perusahaan tersebut. Sebelum api menyebar luas, terdengar bunyi ledakan yang cukup kuat. Sampai saat ini terhitung ada dua puluh korban jiwa dan seratus pegawai yang luka-luka. Belum ada kepastian dari pihak polisi, tentang apa penyebab kebakaran di Adinata Groups.

Hampir seluruh stasiun TV menyiarkan siaran yang sama seperti berita itu.

Pagi ini tepat pukul empat pagi di perusahaan Daddy Aileen terjadi kebakaran. Saat dikabarkan ada ledakan, Adi sedang berada di rumahnya. Betapa terkejutnya pria itu saat mengetahui kalau perusahaan yang dia bangun dari angka nol itu hangus terbakar.

Kini pria itu sedang berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan tentang kebakaran tersebut.

"Kami menemukan barang ini." seorang polisi berkepala botak itu memberikan barang elektronik yang sudah hangus terbakar.

Adi mengamati secara detail barang tersebut.

"Setelah kami melakukan penelitian, kami menyimpulkan bahwa kebakaran yang terjadi di perusahaan bapak di sebabkan oleh alat ini."

Adi hanya terdiam. Di dalam hatinya pria itu mengeluarkan beribu-ribu sumpah serapah.

"Barang ini Anda beli dimana?"

"Saya membelinya di Sevhansson company."

Polisi itu menganggukan kepala bundarnya, "Perusahaan elektronik terbesar itu bukannya berhubungan baik dengan perusahaan Anda?" tanya polisi itu.

Adi mengangguk.

"Bisakah saya mintai keterangan dengan pemilik perusahaan itu?"

"Silahkan."

Polisi tadi langsung menyuruh bawahannya untuk segera berangkat menuju rumah Advent selaku pemilik Sevhansson company. Kemudian pria itu membuka berkas-berkas mengenai dua perusahaan besar itu.

"Apakah Anda memiliki masalah dengan Mr.Advent?"

Adi mengingat kejadian kemarin. Saat dirinya sempat berdebat dengan Advent tentang barang yang ia pesan tak kunjung datang. "Kemarin saya sempat bertengkar dengan dia."

"Kalau boleh saya tahu, mengenai apa?"

"Tentang barang itu." jawab Adi menunjuk barang elektronik yang diduga penyebab kebakaran di perusahaannya.

"Saya memarahinya karena barang itu belum sampai di perusahaan saya. Sementara saya sangat membutuhkan barang itu untuk traveling clien saya esok hari."

Kening polisi dihadapan Adi mengernyit. Dia merasa ada unsur kesengajaan di dalam kasus ini. "Oke baik Mr.Adi, saya akhiri penyelidikan hari ini. Besok silahkan Anda menemui kami, jika Anda menemukan sesuatu yang berguna untuk penyelidikan kasus kebakaran di perusahaan Anda."

***

"Saya turut berduka tentang musibah yang menimpa perusahaan Anda, Mr.Adi."

"Terimakasih, Sya." Adi membalas jabat tangan lelaki dihadapannya.

Adi tidak menyadari kalau yang kini berada di depannya adalah Rival.

Rival yang sedang menyamar menjadi Arsya. Lelaki tampan itu sedang melakukan rencana besarnya untuk memanfaati kasus yang sedang menimpa Adi.

Ah tidak.

Sebetulnya sejak awal, Rivalah yang berulah. Advent tidak pernah berbohong dengan Adi. Dan anak buah Advent juga tidak pernah berbohong dengannya.

Advent benar-benar sudah mengirimkan barang itu pada Adinata Groups, dan sudah diterima langsung oleh pegawai Adinata. Advent memiliki bukti, jika barang itu sudah sampai di konsumennya.

Tapi sebenarnya, bukan pegawai Adinata yang menerima barang itu. Melainkan Rival. Rival yang menyamar menjadi pegawai Adinata untuk menerima barang elektronik pesanan Adi.

Setelah barang tersebut berada di tangannya, Rival langsung melancarkan aksinya.

Lelaki itu menyelundupi sebuah bom yang sangat kecil kedalam barang tersebut. Sepertinya pihak kepolisian pun tidak menyadari kalau ada bom di barang itu.

Rencana Rival yang pertama sudah berhasil, yaitu menghancurkan perusahaan Adi. Hanya satu rencana lagi yang harus dia lakukan,

Menghabisi nyawa Advent yang sudah mengetahui tentang keberadaan dirinya ditubuh Arsya.

"Sudah sejauh mana penyelidikan kasus kebakaran itu?"

"Polisi sudah tau penyebab kebakaran ini."

"Oh ya?" tanya Rival.

Adi mengangguk, "Ada barang yang saya beli di Advent. Dan kata polisi, barang itu penyebab kebakarannya." jawabnya.

Rival memasang ekspresi kaget di wajahnya. Hanya untuk pencitraan. "Kalau memang benar itu sangat bahaya."

"Maksud Anda?"

"Sudah berapa lama anda membeli barang di Mr.Advent?"

"Wah, sudah tidak bisa dihitung, Sya. Sudah lama sekali."

"Dan baru kali ini ada kesalahan?"

Adi mengangguk. Rival memajukan tubuhnya, "Apa Anda memiliki masalah dengan Mr.Advent?"

Adi tertawa kecil, "Pertanyaanmu sama persis dengan polisi tadi." Adi menyesap kopi hangatnya, "Kemarin saya sempat berdebat dengan Advent." lanjutnya.

Rival mengangguk-anggukan kepalanya, "Apa Anda mengucapkan sebuah kalimat yang bisa membuat Mr.Advent tersinggung?" tanya Rival santai.

Adi mengingat sejenak tentang perdebatannya dengan Advent semalam. "Sepertinya ada."

"Sudah saya duga."

"Ada apa?"

"Sepertinya Mr.Advent sengaja memberikan kepada anda barang yang sudah rusak."

Adi tertawa renyah seraya menyandarkan tubuhnya di sofa cafe, "Ngaco kamu."

"Yang saya dapat setelah Anda menceritakannya pada Saya seperti itu." Rival melipat lengan kemeja kerjanya, "Mr.Advent tersinggung dengan perkataan yang Anda ucapkan sehingga dia mengirimkan Anda barang yang rusak." lanjut Rival mengulang ucapannya tadi.

Adi terdiam sejenak. Ada benarnya juga ucapan Arsya, pikirnya.

Tapi kalau hal itu memang benar, Advent sudah kelewatan. Hanya dengan satu kalimat kasar, dia sampai tega menghancur leburkan perusahaan Adi.

***

Pagi ini Adi sedang di dalam perjalanan menuju kantor polisi. Semalam pria itu benar-benar memikirkan omongan Rival tentang Advent, bagaimana liciknya Advent selama ini. Persahabatan mereka hancur hanya karena barang elektronik itu.

Kerugian yang Adi dapatkan begitu besar. Belum lagi dia harus membayar asuransi pegawai-pegawainya yang tidak selamat ataupun mengalami luka-luka. Untung saja Istri dan Anaknya begitu mengerti tentang keadaan keuangannya saat ini.

Mobil Adi berhenti tepat di depan kantor polisi. Pria itu langsung berjalan masuk ke dalam bangunan besar bercat coklat susu itu. Polisi yang kemarin meminta keterangan pada Adi, mempersilahkan pria itu untuk duduk.

Polisi itu menjabat tangan Adi, "Selamat siang, Mr.Adi."

Adi mengangguk sambil tersenyum, "Apakah Anda mendapat petunjuk?" tanya polisi itu.

"Tidak, saya kesini ingin menuntut Raden Advent Sevhanie atas tuduhan pembunuhan berencana." jawab Adi.

Polisi dihadapannya sedikit tersentak kaget, "Apakah Anda memiliki bukti?" tanya polisi itu.

"Ya." Adi memberikan sebuah flashdisk kepada polisi itu.

Flashdisk tersebut berisikan beberapa bukti tentang bagaimana Advent merencanakan untuk membakar Adinata Groups.

Jangan tanyakan bagaimana Adi mendapatkan bukti tersebut. Siapa lagi kalau bukan Rival yang memberikannya.

Lelaki itu memang sangat licik.

Polisi itu memandang Adi sejenak, kemudian dia mengambil flashdisk yang Adi berikan.

"Baik, saya akan menyelidikinya segera."

Tidak ada yang menyangka kalau pertemuan singkat itu membawa malapetaka bagi Advent dan keluarganya. Beberapa hari setelah Adi memberikan flashdisk itu pada pihak kepolisian, beberapa polisi mendatangi rumah Advent. Pria tampan itu di mintai keterangan di kantor polisi.

Tidak hanya itu. Kemarin, Advent baru saja menyelesaikan sidang ke tiganya di pengadilan. Dia ditemani oleh pengacara hukumnya. Dan saat itu juga hakim memutuskan hukuman mati kepada Advent. Berita itu sudah tersebar luas di seluruh Indonesia, bahkan hingga ke Amerika.

Keluarga Advent yang menghadiri sidang hari itu begitu kaget. Terlebih dengan Rina, istri Advent. Wanita itu begitu histeris saat mengetahui kalau suaminya akan dikenai hukuman mati. Veno dan Arin tidak kalah kagetnya, tapi dua anak SMP itu hanya bisa terpaku di tempatnya.

Hari ini adalah hari terakhir di mana Advent bisa menghirup udara segar dunia. Kini pria malang itu sudah berada di tengah lapangan dan di kelilingi oleh sepuluh orang penembak jitu.

Kepala Advent ditutupi oleh sebuah kain. Rina berdiri sembari menangis histeris melihat detik-detik suaminya akan di eksekusi.

Dan setelah itu.

DORR!

Sebutir peluru berhasil menembus jantung Advent.

- Flashback off.

***

"Itu semua karena Abang lo Nesya!" Arin menekan kedua pipi Nesya.

Nesya menangis sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, gadis itu masih tidak percaya kalau kaka kandungnya memiliki kepribadian lain di dalam tubuhnya.

"Keluarga gue hancur setelah itu. Ibu gue bunuh diri. Perusahaan gue bangkrut. Cuma gue sama Veno yang masih bertahan." Arin mengingat kejadian saat itu, saat dirinya dan Veno tidak memiliki apapun untuk dimakan.

"Gue ngga ngerti apa mau Rival. Dia masih bantuin gue bangun dari keterpurukan, padahal keterpurukan itu dia yang buat." lanjut Arin.

"Apa gue tanya langsung aja ke dia?" Arin tersenyum sinis. Ide bagus untuknya memberi tahu pada Rival tentang kondisi Nesya saat ini.

Arin mengeluarkan kembali ponselnya. Dia membuka aplikasi line seraya mencari kontak Arsya. Lalu gadis itu menekam option Video Call, dan dia langsung tersambung dengan Arsya.

"Arin?"

Arin tersenyum senang mengetahui kalau Arsya yang mengangkat Video Callnya.

Gadis itu melirik sekilas ke arah Nesya yang masih terpaku ditempatnya. "Hai, Sya." jawab Arin.

Arsya tersenyum, kedua mata pria itu sedikit membengkak. Sudah beberapa hari ini dia mencari-cari keberadaan adiknya namun dirinya tak kunjung menemukan adik semata wayangnya itu.

"Gue kira Rival haha."

Kening Arsya mengernyit saat dirinya mendengar Arin menyebutkan nama Rival tiba-tiba, "Kenapa, Rin?" tanya Arsya.

"Engga, gapapa. Gue cuma mau ngasih tau doang ke Rival tentang tamu spesial gue."

"Tamu spesial?"

Arin mengangguk, "Tapi gapapa. Gue yakin ekspresi muka lo berdua sama saat tau siapa tamu special gue."

"Siapa?" tanya Arsya penasaran.

Arin mengalihkan ponselnya ke wajah Nesya yang sudah begitu pucat.

"NESYA?!"

"Abang..." Nesya menangis sejadi-jadinya.

"Arin! Lo apain ade gue?!"

"Ngga di apa-apain kok. Ade lo aja yang bego, masa gampang banget di tipu hahaha."

"Abang tolongin Nesya sama Aileen keluar dari sini." kata Nesya.

"Aileen?"

"Bang! Bantuin kita keluar dari tempat biadab ini!" sungut Aileen.

Arsya membulatkan matanya saat dirinya melihat kondisi Aileen yang lebih parah dibandingkan dengan Nesya

"Arin, lo udah kelewatan!"

"Kelewatan? Salahin si Rival kalau lo mau ngomong kayak gitu."

Arsya terdiam, lelaki itu menarik dalam nafasnya. "Apa yang Rival lakuin ke keluarga gue jauh lebih parah dari ini." lanjut Arin.

"Tapi lo gak harus bawa Ade gue sama Aileen! Lo bisa bunuh gue, Rin, tapi jangan pernah lo sentuh ade gue!"

"Tuh denger, Sya, gue diijinin buat bunuh abang lo." kata Arin pada Nesya.

"Engga, Rin. Arin jangan bunuh bang Arsya. Abang Nesya gasalah."

"Bener! Bang Arsya nga salah! Gaada yang mau punya kepribadian ganda psikopat kayak gitu, Rin." celetuk Aileen

Arsya terdiam di tempatnya,

Jadi, mereka udah tau tentang penyakitnya? Pikir Arsya.

"Halah drama banget lo semua!" teriak Arin.

"Rin! Jangan pernah lo sentuh Nesya sama Aileen lagi!"

Arin menaikkan sebelah alisnya, kemudian gadis itu tertawa meremehkan ucapan Arsya.

"Sya, kamu bertahan disitu ya, Dek. Lo juga, Leen. Bentar la—"

Panggilan berakhir.

Arin memutuskan Video Call-nya dengan Arsya.

°°°°

A.n BOOM! Hai hai haai, maaf aku baru bisa update lagi.

Gimana part ini? Pusing ngga? Complicated banget ngga sih? Jujur, aku aja pusing nulisnya hahahaha.

Dua part lagi Geandert abis loh:'

ngga kerasa sekaligus ngga nyangka juga akhirnya cerita pertamaku sedikit lagi tamat HOHOO.

Yasudah, jangan lupa untuk Vote and Comment ya guys.

Alasyuuu;3

Salam,

eera.

Continue Reading

You'll Also Like

490K 34.7K 24
[SPIN OFF ALDARA] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Sebagian cerita sudah di un publish] (Karakter, tempat dan insiden dalam cerita ini adalah fiksi) Sarah...
24.5K 2.1K 5
[SEBAGIAN PART DI PRIVATE, FOLLOW SEBELUM BACA!] 17+ KONFLIK RINGAN 🧸 Gibran Sebastian, hidupnya menjadi hancur semenjak kepergian ibunya. Ayahnya y...
471K 81K 43
Tentang Kennan laki-laki yang terjebak dalam trauma kecelakaan beberapa tahun silam. Tentang Kennan yang memperjuangkan perasaan dan kebebasannya, da...
347K 17.2K 32
"Laka Airlangga Putra. Kalau anda mencari pemuda yang suka bikin celaka, temuilah Laka! Maka anda akan celaka dengan cara Laka sendiri. Mau ditonjok...