SOUTHERN ECLIPSE

By asabelliaa

2.6M 265K 35.5K

"Lun, akan saya ceritakan padamu tentang sebuah kisah." "Tentang apa?" "Tentang Bulan dan Matahari yang tak i... More

1. Dari Penulis (Wajib Baca)
2. SUN & MOON
3. THE MOON
5 - WAXING GIBBOUS
6 - ROTATION
7 - A STEP CLOSER
8- GRAVITATION
9 - SIGNS
10. UNIVERSE
11- STILL
12. WARNING
13. ALMOST
14. THE LAST LIGHT
15 (-o-)
16 - SKY
17 (-o-)
18 - PERFECT ECLIPSE
19 - OLD CRESCENT
20 - (-o-)
21 - LEAVING THE DARK
22 - BACK TO (NEW MOON)
23 - ROTATION
24 - ORBITS
25 - LIGHT
26 - CORONA (ending)
27- LAST CYCLE (Epilog)
SOMETHING
SE NEW VERSION (COVER+INFO PO)
EXCLUSIVE PRE-ORDER (12-15 Mei)
Pre order- cuman 3 hari!
KETINGGALAN PO? Ikutan PO 2 kuy!
Southern Eclipse (Toko Buku)
Dapatkan Southern Eclipse (Terbatas)
M&G Launching SE (Vote yuk!)
Jabodetabek? KETEMUAN YUK!

4. FIRST QUARTER

113K 11.8K 1.5K
By asabelliaa

Kegaduhan pagi hari ini disponsori oleh kelas Albi yang memang cukup mengundang siswa dari kelas lain untuk berbondong-bondong datang ke sana. Aku baru saja datang, dan melihat koridor di depan kelas Albi begitu ramai. Kelasku dan Albi hanya berjeda tiga kelas, jadi aku bisa melihat jelas bagaimana ramainya keadaan di sana.

Ribka tiba-tiba saja muncul, kehadirannya tak kuduga datang dari arah kerumuhan itu. Sepertinya dia habis melihat. Saat kusadari Ribka akan menghampiriku, aku segera membelokkan badan menuju ke kelas tetapi dia lebih cekatan untuk menahan lenganku.

"Eh-eh, Lun tunggu dulu!"

Aku mencoba melepaskan. "Apa lagi, sih, Rib?"

"Ish, juteknya dikurang-kurangin dong. Emang kamu nggak penasaran sama yang lagi heboh?"

Sebenarnya, iya.

"Enggak," jawabku datar, mencoba untuk masuk lagi tapi Ribka masih menahan lenganku.

"Albi dikerjain tauk."

Aku terdiam sejenak, seharusnya aku sudah bisa menebak. Tapi, aku tetap mengerutkan kening, reaksi spontan dari rasa penasaranku tentang detail eksekusinya. "Di kerjain gimana?"

"Ada yang masukin cumi-cumi ke lacinya, terus baut-baut yang ada di kursinya dibuat kendor gitu deh. Jadi, pas Albi duduk sempet jatuh. Lucu tapi kasian." Ribka tampak membayangkan, aku yakin ia tidak melihat kejadian itu, dia hanya mendengar cerita dari beberapa saksi mata.

Oh, jadi ini yang dilakukan Ara semalam.

Aku tak banyak bereaksi. "Yaudah, sih. Nggak penting juga," ucapku sembari melangkah lagi menuju kelas.

Tetapi, sialnya Ribka masih menahan lenganku. Aku baru berbalik, berniat untuk protes ketika tiba-tiba saja mataku tak sengaja menangkap mata hitam gelap milik Albi. Dia awalnya sedang ingin berjalan melewatiku tapi entah mengapa ia berhenti. Aku bisa melihat jelas napas Albi naik turun, dia tampak begitu kacau, marah, kesal dan saat kami bertemu pandang, bibirnya seperti ingin mencoba mengatakan sesuatu, rahangnya mengereas, tapi pada akhirnya ia mengalihkan pandangan lebih dulu. Lalu, kemudian melanjutkan langkahnya.

Aku mengerutkan kening samar, heran sekaligus bingung. Kenapa tatapannya seperti itu? Seperti ada yang begitu ia ingin ucapkan padaku, seperti ada yang ingin ia lampiaskan. Tapi apa?

"Lun," Ribka sedikit menyenggolku, suaranya terdengar seperti bisikan.

Aku menoleh. "Apa?"

"Fix. Dia masih ada rasa ke kamu."

Dan, entah mengapa hatiku kecilku seperti membenarkan kalimat itu.

Tidak mungkin!

*****

Aku bukanlah murid yang terlampau pintar, tapi aku beruntung karena selalu masuk peringkat 5 besar, jadi aku bisa mendapat kesempatan untuk ikut seleksi beasiswa yang memang sudah diadakan sejak kelas XI, karena sekolahku merupakan sekolah swasta, jadi mereka punya perencanaan sendiri untuk siswa-siswa yang berprestasi. Dan jika aku lolos, maka saat kelas XII nanti, aku akan dipindahkan ke kelas khusus untuk persiapan yang lebih matang.

Sekolahku bekerja sama dengan beberapa negara terbaik di Asia selama beberapa tahun terakhir. Suatu keuntungan bagi tahun angkatanku karena jumlah calon penerima sedikit diperbanyak, dan aku sangat menginginkan bisa kuliah di luar negeri. Lebih tepatnya, karena aku sangat ingin menginggalkan rumah.

Hanya ini satu-satunya jalan untuk pergi menjauh dari keadaan rumah yang sudah tak sehangat dulu lagi. Jadi, aku akan lebih keras pada diriku sendiri dalam hal akademik.

Semestinya, aku bisa tetap belajar jika Ribka dan Anik tidak mengoceh di depanku. Entah apa yang mereka bahas. Aku jadi menutup bukuku dan berniat untuk membeli minuman atau beberapa cemilan di kantin, saat akan berdiri, tiba-tiba saja mataku tertuju pada sosok cowok yang baru keluar dari kelas koridor IPA yang memang berhadapan dengan koridor IPS.

Aku bisa dengan jelas melihat seorang cowok yang sedang memegang buku agenda biru yang terasa begitu familiar. Otakku dengan cepat mengingat kejadian semalam. Lebih tepatnya saat aku melupakan untuk memberi lembaran dari puisinya.

Entah apa yang menggerakkan langkahku begitu cepat melesat keluar kelas hanya untuk mengejar seorang Ara Pahlevi. Aku bahkan tak pernah mengejar Albi selama kami pacaran dulu.

"Ara! Tunggu!" Kakiku melangkah lebih cepat untuk mengejar punggungnya.

Cowok itu mendengarku, tapi dia terus berjalan. Anehnya, dia makin mempercepat langkhanya. Kesal karena merasa diabaikan. Aku berlari hingga tanganku spontan menyentuh punggungnya.

"Jangan sentuh!" bentak Ara serentak dengan berbaliknya tubuh tinggi cowok itu. Sebuah tatapan setajam elang langsung menyambutku.

Aku tersentak bercampur malu. "Eh, sorry."

"Ada apa? Kenapa kamu mengikuti saya?" tanyanya tampak begitu dingin.

Bukannya menjawab, aku justru larut dalam keheranannku.

Besok saat di sekolah, jangan kaget.

Kalimat itu kembali menggema di telingaku. Nyatanya. Sekarang aku kaget.

"Saya bukan lukisan yang bisa dipandangi seenaknya," ucapnya tampak begitu ketus.

Aku mengerutkan kening, heran dengan sikap cowok ini. Lama-lama aku kesal juga, dan memilih untuk merogoh saku seragamku lalu meremas kertas puisi miliknya, lalu spontan saja kulemparkan remasan itu ke dadanya. "Lain kali nggak usah kepedean!" Aku langsung berbalik setengahnya, melangkah dengan diiringi umpatan.

Belum sampai langkah ke-lima, aku mendengar sebuah langkah yang mengikuti di belakang, disertai dengan sebuah suara. "Luna."

Bodohnya aku berbalik. Napasku naik turun. Dia tampan dengan kacamata yang bertengger pada wajahnya, tampak begitu smart, tapi sayangnya, aku sedang kesal padanya.

"Apa?"

Cowok itu menghela napas, mencoba untuk tetap tenang. Wajahnya tampak datar, dia menatapku selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata. "Apa kamu kaget?" tanyanya dengan suara rendah. Aku tenggelam dalam kebingungan. Aku tak tahu harus menjawab apa, dia memang seperti manusia aneh yang punya dua sifat berbeda. Aku hanya menatapnya sembari menaikan kedua bahu samar. Ara membuang napas lagi, lalu berucap. "Sebaiknya kamu tidak mendekati saya saat siang hari," ucapnya dengan nada datar namun mengandung peringatan.

"What?" Siapa juga yang mau mendekatinya?

"Jadi, bisakah kamu menjauhi saya saat siang hari?"

"Kamu kok aneh, sih?"

"Maka dari itu, jangan pernah mendekat."

Dan, aku tidak bisa menjawab lagi karena Ara sudah dengan cepat membalik tubuhnya dan berjalan dengan langkah cepat. Menghilang dibalik kerumunan orang-orang. Sementara aku di sini, terdiam. Bingung akan sifatnya.

Sebenarnya? Siapa yang gila?

*****

"Pulang bareng?"

Kali ini aku terkejut sepenuhnya. Mataku melotot. Ingin rasanya aku mencubit pipiku sendiri untuk sekedar memastikan bahwa ini bukan mimpi. Bayangkan saja, aku baru lima detik keluar dari kelas dan Albi sudah tiba-tiba saja berdiri di depanku. Seperti de-javu, saat kami berparacan, ini mungkin merupakan hal yang bisa membuat pipiku memerah. Tapi, sekarang? Entah kemana menguapnya perasaan itu, mungkin sudah habis terkisis atas kekecewaanku padanya.

"Gimana?" tanyanya lagi saat aku belum memberi jawaba.

"Rumah kita tidak searah." Sebenarnya itu penolakan halus, aku mulai berjalan tapi Albi menyamai langkahku.

"Kebetulan aku ingin pergi ke rumah seorang teman yang dekat dengan rumahmu." Dia berdusta, aku tahu betul itu.

"Tidak, Albi. Aku juga bakal sampai di rumah, meski nggak diantar sama kamu." Sebisa mungkin aku tak meoleh untuk melihatnya.

Hati, tolong jangan lemah. Tolong jangan luluh lagi. Tolong jangan jatuh lagi.

"Aku naik mobil, kamu nggak akan kepanasan." Salah satu yang kubenci darinya sekarang, dia berubah menjadi sombong.

"Biarpun kamu naik pesawat, aku tetap nggak mau."

Aku berusaha mepercepat langkahku tapi dengan gesit Albi menahan pergelangan tanganku. "Kenapa, Luna?"

Sudut hatiku terasa ngilu tepat ketika akhirnya aku menoleh, mata kami bertemu dan dunia seakan membeku. Aku mencerna kembali pertanyaannya, melihat raut wajahnya saat ia bertanya begitu, semuanya ingatan itu menguap kembali. Saat dimana hubunganku dan Albi renggang.

"Albi lepas!."

"Nggak! Sebelum kamu jawab!" Dia tampak menuntut.

"Kamu ini kenapa? Nggak ada yang perlu dijawab lagi!"

"Kamu yang kenapa Luna? Kamu yang menjauh, kamu yang memutuskan hubungan kita. Dan, kamu jadiin aku musuh."

"Apa masalahnya Albi? Toh, baru seminggu kita putus kamu sudah punya cewek baru. Bahkan berganti-ganti." Sebenarnya aku malas mengatakan ini, aku mengutuk diriku sendiri karena telah lepas kendali. Tapi, serius, aku memang terluka saat itu.

Albi meremas tanganku, aku ditarik mundur hingga mata kami berjarak makin dekat. Ia bahkan tak peduli saat aku meringis kesakitan.

"Itu pelampiasan. Itu karena aku sakit hati!"

Sekuat tenaga aku melepaskan cengkaram itu, dan akhirnya terlepas.

"Sesakit apa?!" Aku membentaknya. "Apakah lebih sakit dari tinggalkan oleh seorang Ibu? Apa sesakit aku diabaikan oleh kamu? Di saat aku butuh seseorang untuk mendukung. Kamu bahkan sibuk dengan kegagalan yang sebenarnya masih bisa kamu kejar lagi. Tapi, bagaimana dengan kematian? Ibu aku nggak akan pernah hidup lagi, Bi. Dan, kenangan itu tetap abadi dengan kamu yang menghilang saat aku bener-bener butuhin kamu!" Tanpa terkendali lagi, air mataku jatuh. Luka yang ada di lubuk hati kembali terbuka, begitu perih, begitu ngilu.

Albi terdiam. Begitupun diriku. Aku memejam sebentar, mengusap air mataku dengan punggung tangan secara kasar. Tanpa menunggu lagi, aku melangkah dengan cepat, menjauh dari Albi, menjauh dari kesakitan.

Saat baru berbelok, langkahku tiba-tiba berhenti ketika nyaris bertabrakan dengan sosok yang tak duga. Aku terkejut, dan dengan cepat membuang muka sembari mengusap air mataku dengan punggung tangan. Lalu, tanpa menunggu detik, aku dengan cepat melaluinya.

Aku sangat malu.

Astaga! Kenapa harus Ara Pahlevi.

*****

Selesai makan malam. Ayah berpamitan keluar ke rumah adiknya, kebetulan aku punya paman di sini. Jadi, saat pertama kali pindah dari Bogor, sekitar empat tahun lalu, kami banyak dibantu oleh paman terlebih dalam mengenali tempat-tempat penting di Makassar. Aku bersyukur karena itu artinya dia tidak akan mabuk malam ini. Aku senang saat berada di rumah sendiri. Aku bisa bebas melakukan apapun. Memasak, menonton film kesukaan, membaca dengan tenang. Atau, membongkar lemari pakaian Ibu sampai larut malam. Biasanya, aku memilih-milih baju Ibu yang kiranya masih bagus dan bisa kupakai. Ukuran dan bentuk tubuhku tidak beda jauh dengan Ibu.

"Lunaaa! Lunaaaa......"

Ketukan pintu terdengar penuh semangat. Dari suara dan irama ketukannya aku sudah tahu bahwa Febi merupakan pencipta keributan itu.

"Kenapa, Kak Feb?" Aku membuka pintu, langsung menemukan wajahnya yang sedang berseri-seri.

Aku dan Febi lumayan saling kenal, dulu saat dia masih sekolah, sering main bersamaku, sekarang dia sudah kuliah dan kurasa dunia kami sudah berbeda. Tapi, Febi tidak banyak berubah. Aku masih hafal betul tingkahnya. Jika sudah menghampiriku seperti ini. Pasti ada sesuatu yang ia inginkan.

"Temenin ke The Level, yuk." Sudah kuduga Febi akan mengajakku keluar, lagi.

"Hah, yang dekat Losari itu? Untuk apa?"

"Pacarku Nge-DJ malam ini. Aku nggak mungkin dikasi ijin tanpa ngajak teman cewek."

"Lah, kok aku?" Aku heran. Padahal aku ini masih SMA. Dia sudah kuliah semester 2. Bukannya dia harusnya lebih memiliki stok teman lebih banyak?

"Aku sudah terlanjur bilang sama Papah kalau aku bakalan ngajak kamu."

"Gimana ya, Kak? Besok aku sekolah masuk pagi. Ayah juga tidak ada di rumah. Aku kayaknya nggak bisa." Alasan ini kuharap mampu untuk mematahkan hastratnya.

Febi mengibaskan tangannya ke udara. "Alah, ini cuman sampai jam 12, bukannya kamu biasanya bisa tidur lebih malam karena tugas? Nanti aku yang telfon Papahmu. Kalau sama aku, pasti papahmu setuju. Plis, Luna..." Febi menyatukan kedua tangannya. Memasang wajah semelas mungkin di depanku.

Aku mengusap wajah. Sepertinya Febi ini memang selalu menang. Mungkin juga aku perlu sedikit hiburan. Kudengar The Level tempat yang seru untuk nongkrong. Ya, kurasa diriku sendiri butuh memang butuh hal-hal semacam ini sekali-sekali.

Aku menatap Febi, menghela nafas pasrah. "Aku harus pakai baju apa?"

*****

Dress selutut milik Febi ini benar-benar membuatku tidak nyaman. Sejak tadi aku sudah tidak percaya diri dengan pakaian ini. Aku tidak pernah berhenti gelisah. Bahkan ketika mobil Febi terparkir di depan The Level. Lokasi The Level cukup strategis, berada di pinggir jalan raya, berhadapan langsung dengan pantai losari, ada sebuah balkon lantai 2 yang kelihatannya cukup nyaman untuk ditongkrongi.

Aku paham betul saat masuk, Febi langsung menghambur bersama teman-temannya. Aku dikenalkan dengan beberapa orang temannya yang mayoritas sudah berkuliah. Febi mengenalkanku sebagai sepupunya untuk melindungiku dari ulah usil teman-teman prianya.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Febi mengajakku ke acara sejenis ini. Meski lebih terlihat bahwa dia hanya memanfaatku agar bisa keluar malam, aku tak pernah peduli. Karena, pada dasarnya aku suka mengamati.

Febi menyuruhku memesan apapun yang kumau, sementara dia sibuk bergelanyutan di leher pacarnya yang sebentar lagi akan tampil. Pacar Febi tampan, bahkan sangat tampan. Dia cukup terkenal dengan nama panggungnya DJ Erza. Teman-teman di sekolah sering membicarakan tentang Erza, mereka sering pamer foto mereka bersama Erza. Bagaimana jadinya kalau teman-temanku tahu bahwa aku dan Erza sudah saling mengenal sejak lama. Sejak ia berpacaran dengan Febi satu tahun lalu.

Tidak semua hal harus selalu dipamerkan. Pamer itu tidak akan membuatmu lantas terlihat lebih keren. Kamu tidak pernah tahu bahwa ada segilintir orang yang bukannya terkagum atas apa yang kamu pamerkan, tapi mereka justru menertawakanmu. Seperti aku yang menertawakan teman-temanku yang hobi pamer di sekolah.

Selalu rendah hati. Tetap tenang. Jangan membuat dirimu seolah-olah ingin dinilai. Jadilah apa yang membuat dirimu nyaman. Itu adalah keren yang sesungguhnya.

"Kak Feb, aku ke sana ya?" Harus kukeraskan suaraku sembari menunjuk ke area balkon yang sudah mulai sepi. Orang-orang sepertinya sudah masuk karena acara puncak akan di mulai.

Febi mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Tak lama setelahnya sosoknya sudah menghilang dibalik kerumunan yang bermandikan cahaya, beriramakan musik EDM yang menghentakkan malam. Aku tidak tertarik dengan musik sejenis itu, lebih tepatnya aku tidak tertarik dengan keributan semacam itu. Maksudku, bagaimana bisa mereka menganggap tempat yang penuh dengan teriakan, gelak tawa, umpatan kotor, detingan gelas minuman beralkohol itu sebagai Surga?

Kini aku sendiri, berada di luar. Kursi dan meja masih dipenuhi abu rokok dan gelas-gelas kosong. Pelayannya pasti akan sangat kewelahan membereskan kekacauan. Kutebak pasangan muda-mudi yang tadinya beromantis-romantis di tempat ini pasti kini sedang berkeringat di dalam, tenggelam bersama irama musik hasil remix dari sang DJ.

Aku menarik nafas, kedua tanganku menyentuh bibir balkon yang dingin. Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah jalan raya. Jalan raya yang masih lumayan ramai padahal sudah hampir jam 10 malam. Daerah ini merupakan pusat kota, jadi wajar kalau selalu ramai.

Mengamati, lagi-lagi itu yang kulakukan. Dari atas sini aku bisa melihat banyak hal. Tukang becak yang tertidur di becaknya. Penjual pisang epe' yang masih setia menunggu jualannya. Pengamen jalanan yang sedang berjalan ke sana kemari sambil membawa gitar tua. Penjual balon, minuman, dan lain semacamnya.

"Saya lihat dari bawah, saya kira itu bukan kamu. Tapi ternyata memang kamu."

Aku langsung menoleh dan nyaris saja jantungku copot ketika melihat sosok Ara di sini. Rasanya seperti mimpi, tapi dia datang dengan senyum manis mempesonanya, membuatku seketika lupa bahwa betapa menyebalkannya dia tadi siang.

"Ngapain kamu di sini?" tanyaku ketus, mencoba berbalik lagi, menatap pemandangan suasana jalan di daerah Losari.

Tiba-tiba saja Ara sudah berdiri di sampingku, dia menyangga lengannya ke pagar balkon. Aku bisa mendengarnya menarik napas. Dia menoleh padaku dengan memiringkan sedikit kepala. "Sebenarnya, saya tidak sengaja melihat kamu dari bawah. Dan sekarang, saya yang justru heran, kenapa kamu ada di sini? Hm, I mean. This place, sama sekali tidak cocok untuk kamu." Ara menoleh ke kanan dan kiri, tampak menilai.

Aku tertawa hambar. "Udah, deh. Nggak usah sok deket dan pura-pura amnesia tentang seberapa ngeselinnya kamu tadi siang?"

Aku justru mendengar dia menertawakanku. "Mianhae. I've told you, jangan kaget."

Kali ini aku berani menoleh, menatapnya. "Sebenarnya kamu kenapa, sih? Aneh. Nggak jelas."

Dia mengangguk santai. "Kamu orang ke seribu yang bilang akan hal itu."

Entah kenapa jawaban itu justru membuatku penasaran. "Maksud kamu?"

Tiba-tiba dia tersentak dan menggeleng. "Ah, tidak apa-apa." Ara tiba-tiba saja merogoh ponselnya dan menyodorkan benda itu kepadaku. "Saya minta nomor kamu."

"Hah?" Aku melongo heran.

Ara mengangguk antusias. "Bekerja sama."

"Dalam hal apa?"

"Bahasa. Saya masih sulit memahami bahasa orang-orang Makassar. Jadi, saya akan bertanya pada kamu nantinya. Dan, saya juga akan bersedia mengajari kamu bahasa Korea atau hal-hal tentang Korea."

Aku terkekeh hambar. Melipat kedua tangan sembari menatapnya menilai. "Kamu serius?"

"Serius. Tapi, perjanjiannya sederhana. Kita melakukan kerjasama ini hanya saat malam hari." Ara memasukkan tangannya ke dalam jaket.

"Memangnya? Siang hari kenapa?" tanyaku heran sembari mengambil ponselnya.

Ara terdiam sejenak, lalu menunduk, bisa kulihat dia menjilat bibir bawahnya sebelum akhirnya berucap. "Jika sudah saatnya, akan saya beritahu," ucapnya penuh kemisteriusan. "Ohya, beberapa waktu lalu, kamu kelihatan menangis. Itu kenapa?"

Sialan. Kenapa dia mengungkit hal itu.

Aku langsung menggeleng. "Nggak apa-apa."

Dia tidak berbicara lagi setelahnya meski aku tahu dia mungkin masih penasaran. Aku memilih untuk langsung saja menuliskan nomor ponselku di HPnya.

Sesekali aku mengamati wajahnya.

Ada sesuatu yang aneh dari cowok ini, dan dasar diriku seakan haus akan dorongan untuk mencaritahu. Aku tidak pernah sepeduli ini terhadap sesuatu, tapi Ara seperti mengalirkan daya tarik sendiri untuk terus berhasil membuatku masuk ke dalam jalannya.

Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya.

Dan, semoga ini bukan sebuah keputusan yang kusesali nanti akhirnya.

-bersambung-

Beuhhh, feels like I write a new novel! Hahaha.

Hope u guys still enjoy the story!

See yaa in the next chapter and dont forget to vote and give some reviews for this bab.

So, during reading this story, siapa yang kalian bayangin sebagai visual Ara, Greyson? Baejin or, punya visual sendiri? Write here please...

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 105K 57
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
391K 40.5K 18
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...
400K 14.2K 29
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
789K 60.1K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...