ALUNA UNTUK BARA

By niken_arum

519K 34.3K 1.2K

Konon katanya, pertemuan tanpa sengaja lebih dari tiga kali adalah sebuah pertanda. Pepatah itu diyakini oleh... More

Bab 1. Crush On You
Bab 2. Weird
Bab 3. Counting Every Minutes
Bab 4. The Flashback
Bab 5. Confession
Bab 6. A Visit
Bab 7. First
Bab 8. Silent Moment
Bab 9. The Eternal War
Bab 9. Spy
Bab 10. Thin Shadow
Bab 12. Reveal
Dare

Bab 11. Curiosity

27.4K 2.2K 48
By niken_arum

Dua pria yang saling tatap satu sama lain dengan isi pikiran yang sepertinya saling tolak menolak.

Renan menatap Bara jengah. Lalu terlihat menghela napas panjang dan menyugar rambutnya.

"Kamu mencintai dia atau tidak?"

Renan menegaskan pertanyaannya.

"Aku jatuh cinta."

"Pure jatuh cinta pada pandangan pertama atau alam bawah sadar mu menyuruhmu mendekati dia karena kau menaruh kecurigaan bahwa Aluna adalah bagian dari keluarga Sandjaya?"

"Itu juga. Aku melakukan itu sejak pertama kali melihat dia. Maksudku, terbersit pemikiran seperti itu."

"Wah...gimana kalau Aluna tahu?"

"Dia tidak percaya cinta pada pandangan pertama."

"Manusia punya pemikiran masing-masing. Abaikan dulu bagian itu, Bro. Kamu sadar ga Tuan Borgoiba? Kamu akan berada dalam kebingungan atas perasaanmu sendiri. Apalagi kalau kecurigaan mu benar."

"Aku jatuh cinta."

Bara mengulangi kata-katanya dan menangkupkan tangannya.

"Ada dua kemungkinan yang kamu pikirkan."

Bara mendongak menatap Renan. Alisnya terangkat. Renan memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan menatap Bara dengan mata penuh kecurigaan.

"Satu. Kamu jatuh cinta dan lalu benar-benar mencintainya. Aku bisa memaklumi itu sekalipun semua rasanya terlalu cepat."

Bara mengangguk-angguk. Dia tidak terlihat ingin menyela perkataan Renan.

"Dua. Kamu dan alam bawah sadar mu memiliki tujuan khusus. Itu juga ada dua kemungkinan."

"Huum."

"Ingin memakai Aluna untuk menyatukan dua keluarga atau ingin memakai Aluna menghancurkan keluarga Sandjaya."

Bara mengangguk. "Persis."

"Gila! Lalu dimana kamu berada sekarang? Ketulusan atau balas dendam?"

Bara terdiam. Renan paling tahu dirinya. Sahabatnya itu dengan mudah menebak semua yang ada di kepalanya sekarang.

"Aku mencintainya. Aku harap itu cukup."

"Cukup? Kamu yakin tidak akan bingung nanti?"

"Belum tentu Aluna adalah Sandjaya."

"Kamu buta apa gimana?" Renan menyugar rambutnya dari belakang kepala. Dia berjalan ke arah jendela dan menatap gedung-gedung tinggi di kejauhan. "Usia mereka memang berbeda. Tapi Rosita Sandjaya dan Aluna Borgoiba bagai pinang dibelah dua, Tuan Barawala."

Bara tertegun. Renan memang benar. Mereka memang memiliki kemiripan yang tak terbantahkan. Kemiripan yang mencolok.

Bara baru akan membuka mulutnya ketika Renan mengangkat tangan dan memberi kode pada dirinya untuk diam.

"Kalau istrimu benar adalah Sandjaya maka sekali saja dia jatuh ke tangan mereka, kamu akan sangat kesulitan menemui dia. Kita sama-sama tahu bagaimana Sandjaya."

Bara tatap terdiam.

"Pernikahan bukan ajang coba-coba, Bro. Aku bilang begini karena aku sudah menganggap kamu sebagai saudara. Jangan membiarkan semua berjalan tanpa kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jangan sekalipun menjadikan situasi ini sebagai kelak aku akan tahu perasaanku. Biarkan takdir yang mengatur. Tidak Bara. Kita tidak pernah menggunakan pemikiran seperti itu sampai kita benar-benar tidak bisa apa-apa lagi."

Bara termenung. Renan benar. Mereka tidak pernah berkata biarkan takdir yang mengatur dalam setiap langkah hidup mereka. Mereka memilih bersusah payah berusaha dan baru akan membiarkan Tuhan benar-benar mengulurkan tanganNya untuk ikut campur ketika mereka sudah tidak menemukan jalan.

"Bukan berarti kita tidak membutuhkan Tuhan kita Bara. Tapi ini lebih pada kita manusia yang pantang menyerah dan memilih mati-matian berusaha. Dan aku tegaskan sama kamu ya...ini tidak sesederhana apa yang kita pikirkan."

"Ini memang tidak akan menjadi sederhana kalau benar Aluna adalah Sandjaya."

"Kamu hanya perlu meyakinkan hati. Tentang perasaanmu sebenarnya."

Bara membuang napas. Dia mengangguk namun tidak menjawab apa yang membuat Renan begitu penasaran. Karena Bara merasa dia tidak memiliki jawaban itu sekarang. Yang dia tahu adalah bahwa dia mencintai istrinya terlepas dari kecurigaannya yang bahkan juga menjadi kecurigaan ibunya.

"Aku balik dulu."

Bara mendongak ke arah Renan yang menatap jam di tangannya. Dan Bara mengangguk namun dia tidak berdiri. Dia hanya memutar kursi kerjanya dan menatap langkah Renan yang menghampiri pintu dan menghilang di baliknya.

Bara kembali memutar kursi kerjanya dan menatap gedung-gedung perkantoran dari kejauhan. Apa yang Renan katakan adalah juga hal yang mengganggu pikirannya sejak pertama bertemu dengan Aluna. Renan tidak pernah menyinggung hal itu walaupun Bara yakin bahwa Renan memiliki kecurigaan yang sama dengannya dan ibunya. Renan adalah jenis sahabat yang ketenangannya adalah penyeimbang bagi Bara. Dia adalah sahabat yang tidak akan melewati batasannya untuk sebuah masalah sekalipun dia penasaran. Mereka membicarakan hal itu karena Bara meminta pendapatnya.

Bara menoleh. Ketukan pintu ruang kerjanya disusul Agustin yang masuk membawa seorang perempuan dengan tampilan khas seorang sekertaris membuat Bara mengangguk.

"Saya akan memulai cuti saya besok Pak Bara. Saya sudah  menghubungi bagian personalia. Ini surat untuk Bapak tandatangani dan ini Agni yang akan mengantikan saya untuk sementara waktu."

Bara mengangguk dan menandatangani surat yang diletakkan oleh Agustin ke mejanya.

"Semoga semua lancar sampai kelahiran anakmu Agustin."

Terimakasih Pak."

"Agni kau bisa mulai kerja besok."

"Baik Pak."

Wanita bernama Agni itu mengangguk dalam.

"Baiklah. Silahkan pulang sekarang. Maaf sedikit terlambat."

"Tidak apa-apa, Pak. Kami permisi."

Bara mengangguk. Dua sekertaris nya itu segera keluar dari ruangannya. Nyaris jam empat sore. Bara beranjak dan mengganti bajunya di ruang istirahat. Dia keluar beberapa menit kemudian. Mobilnya melaju meninggalkan Borgoiba Group yang nyatanya masih ramai dengan orang-orang yang memilih berada di gedung itu hingga larut untuk menyelesaikan proyek masing-masing.

Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia berbelok dan melaju menuju rumahnya karena tidak harus menjemput Aluna yang berpamitan bahwa dia akan pulang terlambat. Berulang kali Bara menelan ludahnya susah payah dan membiarkan pikirannya penuh dengan berbagai macam teori.

Bahkan hingga Bara sampai ke rumahnya dan memasukkan mobilnya ke garasi.

"Huuuh..."

Bara masuk ke rumah dan disambut Mbak Yanti yang kelihatan aneh.

"Ada apa Mbak?"

"Itu loh Mas. Non Aluna."

"Aluna udah pulang?"

"Iya Mas, tapi tangannya memar. Saya tanya tapi bilangnya ga kenapa napa Mas."

"Memar?" Bara bergegas menuju kamarnya. "Tolong buatkan teh lemon ya Mbak."

"Panas atau dingin Mas?"

"Anget Mbak."

"Baik Mas."

Bara mendorong pintu kamar perlahan dan mendapati Aluna yang mendongak ke arahnya.

"Mas. Huum...mau langsung mandi atau..."

Bara mengamati tangan Aluna dan meraihnya. Dia menekan memar yang ada di tangan Aluna pelan namun itu cukup membuat Aluna meringis. Dia tidak ingin istrinya itu berbohong tentang penyebab lukanya karena itu dia memilih mengintimidasi Aluna sejak dia masuk ke kamar mereka.

"Ini kenapa?"

"Kepentok lemari buku anak-anak, Mas."

"Huum. Yakin?" Bara menatap Aluna tanpa ekspresi. Bara tahu istrinya bukan perempuan yang pintar mengarang dan berekspresi dengan kebohongan. Aluna menunduk cepat dan mengamati memar di tangannya.

"Tadi...huum..."

"Tadi apa? Kenapa?"

Aluna menggeleng dan mencoba menarik tangannya namun Bara tetap memegang tangannya erat. Tatapannya juga masih sama.

"Mbak Adira ke sekolah."

"Huuum. Aku akan mengurusnya besok." Bara mencium pipi Aluna lembut.

"Ga perlu Mas. Dia hanya emosi. Nanti juga reda."

"Aku tetap akan mengurusnya besok."

Terdengar pintu diketuk dan Mbak Yanti masuk dengan segelas teh lemon hangat.

"Ga usah bilang Mama ya Mbak."

"Iya Non."

Bara terdiam dan menerima teh lemon dari Mbak Yanti yang segera keluar dari kamar mereka. Bara mengulurkan teh itu pada Aluna dan Aluna menerimanya sambil sambil tersipu.

"Huum. Ga jadi pergi?"

Aluna menggeleng. Mereka terdiam. Aluna menyesap tehnya pelan sementara Bara terus mengamati memar di pergelangan kiri tangan Aluna.

"Apa Mbak Adira selama ini seperti itu?"

Bara menggeleng.

"Kemarin adalah yang pertama dia datang lagi ke rumah ini. Selebihnya semua diurus di kantor oleh staf."

"Huum. Aneh sekali. Setelah sekian lama..."

"Huum."

"Dia cemburu."

Bara yang sedang meniup pergelangan tangan Aluna berhenti. Namun dia segera melakukan kegiatannya lagi. Aluna menatap Bara sambil sesekali menyesap tehnya.

"Dia memang harus cemburu karena kau secantik ini."

Bara mendongak dan mencuri sebuah ciuman kecil di bibir Aluna membuat Aluna mengangkat gelas tehnya tinggi-tinggi.

"Mas. Hissh..."

Mereka tertawa pelan. Aluna meletakkan gelas teh ke atas nakas dan memeluk Bara erat.

"Mas...ga usah diperpanjang ya."

"Dia akan terus seperti itu."

"Ya aku kan masih bisa ngadepin."

"Huum."

Aluna menghela napas pelan dan melepaskan pelukannya.

"Mandi ya..."

"Yuk..."

"Hmm?" Aluna urung berdiri dan menatap Bara yang tersenyum jahil.

"Belum mandi kan?"

Aluna menggeleng. Dan menjerit ketika Bara menggendongnya masuk ke kamar mandi. Berakhir terduduk di atas wastafel dan membiarkan Bara mengusiknya dengan tak sabaran. Rasa malu itu menguap dan menipis hari demi hari apalagi ketika Aluna merasa bahwa mereka memang dimabuk cinta.

Aluna memejamkan mata ketika Bara melucutinya dan membawanya ke bawah guyuran shower.

Aluna mencengkeram pinggang Bara ketika dirinya merasa tiba-tiba lemas. Ciuman yang bertubi-tubi dari Bara jelas membuatnya seperti itu. Ditambah dengan Bara yang melenguh pelan membuat Aluna yakin bahwa Bara akan kesulitan menopangnya.

Bercinta dibawah guyuran shower. Itu hampir selalu ada dalam sebuah film romantis. Aluna hanya tidak menyangka bahwa semua akan sehebat itu.

Posisi yang sangat erotis. Perpaduan air dingin yang mengguyur tubuh yang memanas. Aluna menggigit bahu Bara ketika Bara memasukinya lembut. Bara menopang kaki Aluna dengan tangannya yang kokoh. Mereka merasakan itu. Sebuah kesulitan karena posisi mereka. Namun itu justru membuat Bara menggeram dan memejamkan mata. Melesak dalam dan tertahan.

Terlonjak hebat dan memejamkan mata ketika merasakan lesakan yang bahkan mencapai ujungnya. Dan mereka memilih melakukannya dengan cepat atau mereka bisa benar-benar gila.

Dan membersihkan tubuh dengan cepat karena menyadari tubuh mereka yang tiba-tiba saja sudah kedinginan. Mereka berakhir di ranjang setelah mengganti baju. Aluna bahkan memakai sepasang kaos kaki dan menarik selimut sebatas dadanya.

Dan berdiam diri. Melamun sambil memejamkan mata. Dua raga dengan isi kepala yang nyaris sama. Tentang sebuah kecurigaan terkait status Aluna. Di kepala Bara seakan melekat erat rasa penasaran itu. Apakah Aluna adalah seorang Sandjaya yang di mata khalayak ramai dipandang sebagai musuh bebuyutan dari Borgoiba?

Aluna memeluk Bara erat. Menjatuhkan kepala ke bahu suaminya itu dan membaui aroma cologne kayu kayuan yang baru saja dipakai oleh Bara.

Aluna memejamkan mata. Pikirannya penuh dengan  kejadian siang tadi di sekolah dan tentang dirinya yang urung menelepon nomor Rosita Sandjaya yang ada di kartu nama yang kemarin dia dapatkan.

"Mas..."

Aluna berbisik lirih. Dan dia tidak mendengar jawaban dari Bara. Aluna mendongak pelan dan mendapati Bara yang memejamkan mata. Napas halusnya terdengar. Aluna menatap Bara sangat lama.

Dia jatuh cinta dan mencintai pria itu. Seharusnya itu sudah cukup.

Tidak perlu rasa penasaran itu. Toh, tidak banyak yang dia ingat dari masa lalunya yang seakan terhenti di umur 3 tahun. Lalu tahun-tahun selanjutnya yang diisi dengan hidupnya yang biasa saja. Dia hanya gadis biasa. Anak pungut yang mendapatkan banyak cinta dari kedua orangtua angkatnya.

Masa lalunya adalah kegelapan. Seperti, anak 3 tahun yang tidak akan bisa mengingat masa ketika dia berumur 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun. Aluna tahu dia adalah orang lain pada umur itu. Dan dia tidak mengingatnya. Tentang kehidupan di usia itu.

Dan mungkin dia tidak perlu penasaran dan memilih menjadi egois atas apa yang sudah dijalaninya sekarang.

Takdirnya. Seorang Barawala Borgoiba.

*

Semudah itu? Tentu tidak. Ada bagian-bagian yang tidak akan dilupakan oleh alam bawah sadar kita tentang masa lalu. Jadi, sampai jumpa reader-nim.

👑🐺
MRS BANG

Continue Reading

You'll Also Like

7M 48.1K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.5M 31.3K 29
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...
3.5M 253K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
260K 766 15
cerita pendek dewasa seorang gadis yang punya father issues