Chicken Porridge Love

By inestsabitah

35.5K 776 32

It's all about Dhavi, Nessa, and their weirdo live. It's chicken porridge, it's love. More

Chicken Porridge Love
PART 1 - Beginning?
PART 2 - Sick!
PART 3 - Basketball
PART 4 - We Get It!
PART 5 - Heart Attack!
PART 6 - Birthday!
PART 7 - Survey to Germany
PART 9 - Long Distance 2
PART 10 - Trouble
PART 11 - Weird Holiday!
PART 12 - Such As Kidnapping!
PART 13 - Why Should This Happen?
PART 14 - This Is I Am Now
CPL Big Announcement!
Another CPL Big Announcement
Promoooo!!!!!

PART 8 - Long Distance 1

926 40 2
By inestsabitah

PART 8 

Sekarang udah masuk ke part 8 dimana kisahnya Nessa sama Dhavi yang jauh-jauhan bakalan dimulai. Hope you like it Guys! Happy reading!

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

Nessa POV

 

Saatnya untuk melepas kepergian Dhavi ke Jerman, dan berarti Long Distance Relationship antara aku dengan Dhavi juga dimulai. Terlihat ekspresi khawatir di wajah Dhavi sebelum dia meninggalkanku mengingat aku yang harus berada di kampus dan fakultas yang sama dengan Adams. Aku rasa, Adams adalah ketakutan terbesar Dhavi sejak kami berpacaran. Tapi apa daya, beginilah keadaan yang harus kami hadapi.

“Kamu jangan macem-macem sama Adams ya Nes.” itu adalah kata-kata yang diucapkan Dhavi sebelum dia berangkat ke Jerman. Entah sudah berapa puluh kali dia mengatakan hal itu padaku.

Hanya butuh beberapa bulan aku berteman dengan Adams dan ada satu hal yang aku tau tentang Adams. Dia tidak seburuk yang Dhavi khawatirkan selama ini. Aku dan Adams semakin hari semakin dekat. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu bersikap baik padaku, mengingatkanku akan tugas-tugasku, membantuku bila aku sedang kesulitan dan dia juga selalu menjagaku dari laki-laki yang suka mengajakku kenalan sebarangan. Dia benar-benar laki-laki yang baik aku rasa.

Aku tidak tau perubahan apa yang terjadi padaku setahun belakangan ini. Banyak perubahan antara saat aku SMA dan sekarang, terutama sikap orang-orang padaku. Untungnya perubahan itu perubahan yang positif. Saat aku SMA dulu, tidak ada laki-laki yang mendekatiku langsung. Hanya orang-orang model Dhavi yang berani. Tapi sekarang, hampir setiap hari selalu ada laki-laki yang mencoba mendekatiku dan saat itulah Adams muncul.

****

 Tahun  pertama LDR, semuanya baik-baik saja. Komunikasi lancar, saling terbuka dan selalu berusaha meluangkan waktu untuk berkomunikasi. Dhavi juga sempat pulang ke Indonesia dan mengajakku ke rumah Oma dan Opanya di Solo. Aku bisa merasakan kehangatan keluarganya saat itu dan aku sangat menyukainya. Aku berharap aku bisa menjadi bagian dari keluarga besar itu kelak.

Di tahun ke dua, semua masih baik-baik saja. Hanya saja, kami mulai sibuk dengan tugas kami masing-masing. Dhavi tidak sempat untuk pulang ke Indonesia di tahun ke dua. Tapi kami lebih banyak melakukan video call kebanding voice call atau chatting di tahun ini. Kami juga merayakan lebaran bersama lewat skype. Memang terdengar aneh kalau harus mengalami lebaran bersama seperti itu. Tapi hanya itu yang bisa kami lakukan.

Di tahun ke dua juga Kak Rana melahirkan anak pertamanya dengan Kak Mario. He’s a nice boy, lucu, tenang dan ramah pada semua orang. Namanya Kevin Abraham Marana. Karena di Indonesia tidak begitu biasa menggunakan nama keluarga sebagai nama belakang, maka nama Marana itu dipilih sebagai nama belakang Kevin. Sebenarnya itu adalah singkatan dari nama Kak Mario dan Kak Rana. Memang ide yang sederhana tapi menghasilkan nama yang cukup unik.

Saat Kak Rana melahirkan, kebetulan aku sedang berada di rumah. Sehingga aku bisa menemani Kak Mario menunggu persalinan Kak Rana. Saat itu juga aku dan Dhavi melakukan video call karena Dhavi bertugas menenangkan Kak Mario yang tidak bisa berhenti modar-mandir selama persalinan dan juga Dhavi bilang dia tidak sabar untuk melihat keponakan pertamanya. Such a sweet uncle.

Di tahun yang sama, adikku Zack pergi ke Manchaster untuk melakukan pelatihan sepak bola di sana atas rekomendasi Dhavi. Dhavi yang menemani Zack selama dia menjalani tes masuk sampai dia benar-benar masuk ke pelatihan itu. Aku harap Zack bisa menggapai cita-cita yang dia pilih sendiri dan aku juga berharap dia bisa menjadi anak yang lebih baik dan juga bisa dipercaya.

Memasuki tahun ke tiga, tidak tau kenapa perasaanku menjadi kurang enak. Tidak seperti biasanya aku selalu bisa santai menghadapi LDR ini. Tahun ini Dhavi juga tidak pulang ke Indonesia karena dia harus mengejar target agar dia bisa mendapat kesempatan untuk melanjutkan spesialis dengan kilat. Tahun ini Dhavi benar-benar sibuk, kami tidak melakukan banyak komunikasi seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya beberapa kali saat dia benar-benar sedang tidak ada tugas.

****

Masih di tahun ke tiga. Saat masa liburan tiba, seperti biasa aku pulang ke rumah. Aku menghabiskan waktu liburanku dengan keluargaku dan juga sahabat-sahabatku.

Aku memutuskan pergi ke toko buku yang biasa aku datangi bersama Dhavi saat sedang tidak ada janji dengan orang lain. Aku pergi ke sana sendirian karena aku pikir hanya sebentar karena buku yang kucari cukup mudah untuk didapat.

“Nessa.” Seseorang memanggilku tepat dibelakangku. Aku merasa seperti mengenal suaranya tetapi aku tidak begitu yakin kalau tebakanku akan benar.

Aku membalikkan badanku dan ya, benar itu Tara. Tepat seperti dugaanku. Dia pulang ke Indonesia liburan kali ini. Dia terlihat berbeda, lebih cantik dan lebih dewasa. Semoga saja dendamnya padaku sudah pudar seiring waktu.

“Hai Tara. Apa kabar?” aku menjulurkan tanganku dan memberikan Tara senyuman terbaikku.

“Baik. Lo sendiri gimana? Sendirian aja?” sepertinya dendamnya mulai luntur. Dia menjadi lebih ramah padaku.

“Baik Alhamdulillah. Iya sendiri aja. Lo sendiri atau?”

“Gue sendiri juga kok. Eh gue mau tanya deh.” Tara mengajakku duduk di kursi yang ada di toko buku tersebut. Sepertinya ada hal yang penting yang akan dibicarakan Tara dan aku rasa aku siap mendengarkannya.

“Lo masih sama Dhavi gak sih?” loh? Kok nanyanya gitu sih?

“Masih Tar. Kenapa?”

“Oh kirain Dhavi udah jadian lagi sama Katie.” Katie? Siapa itu? Dhavi tidak pernah menceritakan tentang seseorang yang bernama Katie. Dia siapa?

“Katie siapa deh Tar? Gue gak tau.” Tara menantapku aneh dan tatapannya seperti berisi pesan ‘loh kok dia gak tau Katie? Apa banget sih nih cewe’.

“Lo gak tau Katie? Katie tuh kayak temen deketnya Dhavi gitu deh. Gue aja tau. Masa lo enggak sih.” Temen deketnya Dhavi? Kenapa dia gak pernah cerita.

“Nih fotonya.” Tara menunjukkanku sebuah foto yang berisi foto Dhavi dengan seorang perempuan bule yang cantik dengan mata biru indahnya dan rambut pirangnya yang dibiarkan terurai. Dia cantik, bahkan sangat cantik. Mereka terlihat sangat akrab di foto itu. Mereka terlihat cocok.

“Lo beneran gak tau Nes?” aku hanya menggeleng pelan menanggapi Tara.

“Oh yaudah sabar aja ya Nes. Gue mesti cepet-cepet pulang nih. Duluan ya Nes. See you.” Tara meninggalkanku dan sempat memberikanku senyuman dan lambaian tangan.

Siapa itu Katie? Kenapa aku bisa tidak tau sama sekali tentang dia. Tara bilang itu teman dekat Dhvi. Tapi kenapa Dhavi tidak pernah menceritakannya padaku? Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi setelah bertemu dengan Tara. Apa benar firasatku selama ini?

Aku membuat janji dengan Lena dan Nadine di Cafè dekat toko buku untuk makan siang sambil mengobrol bersama melepas rindu meskipun baru dua hari yang lalu kami bertemu.

“Nes, lo kenapa sih? Itu dimakan kali jangan dimainin mulu.” Lena menyadarkanku dari lamunanku. Aku hanya memainkan makananku dan pikiranku hanya terisi dengan foto Dhavi dan Katie, kata-kata Tara dan nama Katie.

“Hmmm. Gapapa kok. Cumannnn –“

“Cuman kenapa?” tanya Nadine yang mulai ingin tau karena mungkin dia sudah mulai khawatir melihat tingkah lakuku.

“Cuma kepikiran sama Dhavi aja. Dia belom melfon gue sama sekali udah hampir seminggu.”

“Hah? Seminggu? Waduhhhh. Pasti dia udah ada yang lain tuh kalo begitu ceritanya.” Lena memang masih sama seperti dulu, gemar memanas-manaskan keadaan. Justru dengan mendengar omongannya membuatku semakin memikirkan Dhavi dan Katie.

“Heh! Sembarangan aja lo kalo ngomong. Apa-apaan sih lo len.” Nadine berusaha untuk menghentikan Lena yang membuatku tidak bisa berhenti untuk memikirkan perkataannya.

“Ya lo aja lah yang nelfon dia. Gak usah nungguin dia nelfon. Keburu kangen banget loh nanti.” Iya sih tapi kan. Aku menarik nafasku dalam-dalam untuk menenangkan perasaanku.

“Gue takut dia sibuk Nad.”

“Ya lo liat world clock dulu lah Nes. Tunggu pas waktunya kira-kira lagi senggang baru nelfon.” Aku tidak tau apakah aku akan mengikuti saran Nadine atau tidak. Aku benar-benar ragu.

“Dia suka gabisa ditebak waktu senggangnya Nad.”

Sesampainya di rumah, aku terus memikirkan saran dari Nadine untuk menelfon Dhavi. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam waktu Jerman dan biasanya Dhavi sudah membereskan tugasnya dan bersiap untuk tidur.

Aku memberanikan diri untuk menelfon Dhavi dan berharap dia belum tertidur. Terdengar nada tunggu yang cukup lama sampai akhirnya seseorang mengangkat telfonnya. Terdengar suara riuh di sekitar tempat di balik telfon. Riuh seperti sedang ada sebuah pesta yang ramai dan besar.

“Hello.” Ya Tuhan! Kenapa suara perempuan? Terdengar suara perempuan yang lembut dari balik telfon. Suara perempuan bule yang masih muda. Mungkin seumuran dengan Dhavi.

“Mmmm. Hai. Can I talk to Dhavi?” tanyaku yang masih ragu dengan siapa aku berbicara.

“I’m sorry. He’s still sleeping now.” Setelah menjawab pertanyaanku, Aku bisa mendengar perempuan itu sedang asik mengobrol dengan perempuan lain di balik telfon untuk beberapa saat.

“Hai Katie. How’s the party? Do you like it?” Katie? Ini Katie atau dia yang Katie?

“I love it so much. It’s amazing party.”

 

“Wow. Thank you. How about Dhavi? Is he enjoy the party?”

 

“Ya. I think so. He’s still sleeping now. Maybe he’s too tired. It’s too huge.”

Jadi, Dhavi ada di sebuah pesta. Pesta macam apa yang dia datangi? Ini jam 1 malam di Jerman dan dia masih ada di pesta. Dan dia tertidur karena dia terlalu lelah dengan pestanya. Apakah dia mabuk-mabukan di sana? Apakah Dhavi melakukan suatu hal yang buruk?

“Mmmm. Sorry.” Aku benar-benar ingin tau yang sebenarnya terjadi di balik telfon ini.

“Are you Katie?”

 

“Yes I am.” Ini Katie. Ya Tuhan! Berarti Dhavi tidur sama Katie. Karena dia yang mengangkat telfonku. Apakah Dhavi separah itu?

 

“Are you and Dhavi in a party now?” perasaanku mulai tidak tenang.

 

“Yes we are.”

 

“What kind of party is that?”

 

“Kind of Pool Birthday Party.” Hah? Pool birthday party? Setahuku, di pesta semacam itu menggunakan dresscode bikini. Dan berarti semua perempuan yang diundang kesana menggunakan bikini. Aku rasa 60% dari tamu undangannya adalah perempuan karena aku bisa mendengar suara mereka lewat telfon.

“Oh. Okay. Thank you so much. Bye.” Tanpa mengeluarkan kata-kata lain aku menutup telfonnya.

Berarti benar apa yang dikatakan Tara kalau Katie adalah teman dekat Dhavi. Bahkan sangat dekat sampai mereka tidur bersama. Kenapa Dhavi bisa berubah menjadi seperti ini?

Aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi. Ini terlalu menyakitkan untukku. Laki-laki yang selama ini aku percaya telah menghancurkan kepercayaanku. Aku tidak habis pikir dengan apa yang Dhavi lakukan padaku. Kenapa dia berubah seperti ini?

****

Dhavi POV

 

Kepala gue kerasa berat dan pusing banget. Mungkin karena gue terlalu banyak tidur di pesta waktu itu. Dan gara-gara pesta waktu itu gue harus kehilangan handpone gue. Gue sampe sekarang masih belom punya waktu buat beli handpone baru atau sekedar jalan-jalan ke mall atau ke taman. Gue juga gak tau udah berapa lama gue gak nelfon Nessa, mungkin sebulan atau bahkan lebih? Gue udah terlalu kangen sama Nessa. Karena gue terlalu sibuk, sampe-sampe gue lupa sama yang lainnya selain tugas gue.

Setelah gue nyelesaiin tugas gue dan nglaporin tugas itu ke dosen gue, gue langsung insiatif buat beli handpone  baru buat nelfon Nessa. Untungnya gue hafal nomer handpone Nessa, jadi gue gak usah ribet nanya-nanya ke temennya dulu nomer Nessa berapa.

Gue langsung nelfon Nessa pake nomer gue yang baru karena gue rasa dia harus banget tau nomer baru gue dan gue harus banget nelfon dia karena gue udah terlalu kangen sama dia. Gue harus nikmatin nada tunggu yang agak lama sebelum Nessa angkat telfon gue.

“Iya halo.” Wah suaranya ngangenin banget sih. Akhirnya bisa denger suara dia juga setelah sekian lama gak nelfon. Sekian lama, kayak dangdut aja sih.

“Hai Nessa. Ini aku. Ini nomer baru aku.”

“Hah? Siapa?” loh kok gitu suaranya. Dia kedengeran bingung gitu sih.

“Aku Dhavi.”

“Dhavi? Mmmm maaf Dhav aku lagi sibuk. Aku lagi ada urusan. Bye.” Lah? Kenapa ditutup sih? Nessa langsung nutup telfon gue gitu aja. Gak biasanya dia begini ke gue. Ada apa sih sama Nessa? Gue kan pengen ngobrol sama dia. Gak tau apa kalo gue kangen banget sama dia.

Besoknya gue coba telfon Nessa lagi dan gak diangkat. Besoknya lagi juga dan tetep gak diangkat sama Nessa. Gue udah nyoba buat nelfon Nessa selama seminggu dan Nessa gak angkat telfon gue sama sekali. Gue mutusin buat nelfon Ghani, kali aja dia tau Nessa kenapa gak angkat telfon gue.

“Hai Dhav. Apa kabar lo?” tetep semangat kayak Ghani yang dulu.

“Baik baik Ghan. Lo sendiri gimana?”

“Baik juga Dhav. Ada apa nih nelfon?”

“Gue Cuma mau tanya. Nadine pernah cerita ke lo gak soal Nessa belakangan ini kenapa?” semoga aja gue dapet petunjuk abis nelfon Ghani.

“Mmmmm. Pernah sih.” Nah kan dia tau.

“Terus? Kasih tau gue dong. Gue lagi bingung nih soalnya Nessa gak angkat telfon gue udah seminggu ini.”

“Kalo gak salah sih. Nessa lagi marah sama lo Dhav. Tapi gue juga gak tau kenapa.” Nessa marah? Kenapa? Salah gue apa.

“Gue harus minta tolong Nadine deh Ghan. Soalnya kayaknya Nessa gak akan angkat telfon gue.”

“Ya udah. Besok kebetulan Nadine katanya mau main sama Nessa sama Lena. Lo nelfon pas mereka ketemu aja deh Dhav. Tapi –“ kenapa lagi nih?

“Tapi kenapa?”

“Lo mendingan telfon Nadine dulu sebelum ke Nessa. Takutnya ada masalah besar dan lo harus clearin semuanya sama Nadine dulu. Khawatir dia gak mau bantuin lo.” Masalah besar? Gue jadi takut gini sih dengernya.

“Masalah gimana maksut lo Ghan?”

“Ya gue juga gatau masalahnya apa. Cuman takunya aja Dhav.” Iya sih gue juga gatau daripada gak dibantuin sama Nadine.

“Oke deh Ghan. Thanks ya. Gue izin nelfon pacar lo ya.”

“Haha. Pake izin segala. Sama-sama Dhav. Good luck ya Dhav.”

Gak lama setelah gue mutusin telfon gue sama Ghani, gue langsung nelfon Nadine. Nadine selalu pake nada yang gak enak setiap gue nannya ke dia. Dia juga gak biasanya begini ke gue. Kayaknya bener kata Ghani kalo ada masalah besar. Tapi Nadine juga gak mau bilang masalahnya apa ke gue. Dia mau gue ngomong langsung ke Nessa. Nadine bilang, besok pas dia ketemu Nessa dia bakalan ngasih telfonnya ke Nessa. Gue bener-bener pengen tau ada apa sebenernya.

****

Hari ini gue harus nunggu sms dari Nadine dan saat sms dateng gue harus langsung nelfon ke nomer Nadine. Gak lama setelah waktu yang dijanjiin handpone gue bunyi dan ada sms dari Nadine.

Nadine Rigita :

Lo bisa nelfon sekarang Dhav.

 

Dan gak pake mikir lagi gue langsung nelfon Nadine

“Halo.” Gue tau banget itu masih Nadine yang angkat.

“Halo Nad ini gue Dhavi.” Langsung kedengeran ada orang yang lagi ngobrol di balik telfon dan gue rasa Nadine lagi ngobrol sama Nessa deh. Suaranya lumayan kedengeran jelas.

“Nessa. Ada yang mau ngomong sama lo.”

“Siapa?”

“Dhavi.”

“Hah? Ngapain sih dia? Ah enggak ah.”

“Lo harus ngomong sama dia!”

“Enggak Nad. Gue gak mau.”

“Nessa lo gak boleh gitu. Lo harus selesaiin ini semua. Lo mau begini terus? Kejar-kejaran sama dia? Dia pacar lo Nes.”

“Tapi kan –“

“Gak ada alesan Nessa.”

Semua hening dan gue harap Nessa mau ngomong sama gue. Gue jadi makin takut sebenernya ada apa sama Nessa. Gue bener-bener gak tau apa-apa.

“Halo.” Ini suara Nessa. Syukur deh dia mau ngomong sama gue.

“Nessa, kamu kenapa?” gue takut dia nolak cerita yang sebenernya ke gue.

“Aku gak bisa cerita sekarang Dhav.” Tuh kan bener dugaan gue.

“Oke gapapa. Gimana kalo nanti malem? Kamu angkat telfon aku ya jam 7 malem waktu Indonesia. Gimana?” semoga dia mau. Semoga mau Ya Tuhan. Gue udah gatau lagi mesti nahan kepo gue kayak apa.

“Oke nanti malem aku angkat telfon kamu.” Syukurlah. Akhirnya dia mau juga bikin janji angkat telfon gue nanti malem. Kenapa mau telfonan sama pacar sendiri harus janjian sih?

“Maafin aku.” Gatau kenapa gue rasa gue harus ngomong gitu. Gue rasa Nessa gak akan begini kalo gue gak salah apa-apa ke dia.

****

Saking gak sabarnya, gue sampe pasang alarm jam 7 malem waktu Indonesia biar gue gak telat nelfon Nessa. Gue nungguin terus sampe akhirnya alarm gue bunyi dan gue langsung buru-buru nelfon Nessa. Masih sama kayak biasanya, nikmatin nada tunggu yang agak lama. Nessa gak mungkin gak jawab telfon gue. Dia udah janji bakal jawab.

“Halo.” Akhirnya diangkat juga sama Nessa.

“Hai Nes. Kamu kenapa sih? Ada masalah sama aku?” gatau kenapa gue malah jadi deg-degan gini.

“Katie itu siapa Dhav?” kok nanyain Katie sih?

“Temen aku. Kenapa deh?” kenapa nanyain dia sih?

“Temen? Temen deket? Deket banget? Calon pacar ya?” hah? Apaan calon pacar sih? Yah iya gue lupa buat cerita soal Katie. Pasti Nessa udah denger dari orang lain deh soal Katie. Pasti salah paham deh soalnya Nessa jawab gue pake nada yang udah mulai gak santai.

“Kok gitu sih nanyanya? Cuma temen biasa Nes.”

“Temen biasa? Hah? Tadinya aku juga gak percaya sama Tara. Tapi ternyata dia bener.” Tara? Ngomong apaan tuh cewe ke Nessa. Kenapa harus Tara yang bikin Nessa tau tentang Katie sih? Kenapa harus dia?

“Kok kamu jadi percaya sama Tara sih Nes?”

“Kan aku udah bilang. Tadinya aku percaya. Tapi ternyata dia bener. Kok kamu berubah sih Dhav. Kamu udah enjoy sama pergaulan Jerman ya?” aduh. Apaan lagi nih? Gue gak ngerti sama omongannya Nessa.

“Aku berubah gimana sih? Maksut kamu apa aku gak ngerti.”

“Kamu pernah dateng ke ulang tahun temen kamu kan? Kind of pool birthday party? Yang bikin kamu sampe kecapean jam 1 malem masih ada di sana.” Jadi semua masalah ada di pestanya. Okay fine!

“Itu Cuma pesta ulang tahun biasa Nes.”

“Pesta biasa kamu bilang? Pool birthday party kamu bilang biasa? Sampe jam 1 malem kamu bilang biasa? Emang aku gak tau apa pesta macem itu kayak gimana. Aku emang cupu, tapi aku gak senorak itu kali Dhav.” Ya Tuhan! Harus gimana lagi gue ngejelasin semuanya ke Nessa.

“Itu beneran Cuma pesta biasa Nes. Aku gak ngapa-ngapain disana.” Gue selalu takut kalo Nessa udah marah sama gue. Selalu nyeremin.

“Oke Cuma pesta biasa. Kamu check panggilan masuk di handpone kamu gak sih pas kamu bangun?” panggilan masuk? Handpone aja gak tau dimana.

Handpone aku ilang Nes malem itu. Makanya ini aku beli handpone baru sama nomer baru.”

“Nah kan. Aku tuh nelfon kamu malem itu. Kamu gak tau handpone kamu dimana? Coba tanya sama bedmate kamu malem itu si Katie handpone kamu ada di mana!” hah? Bedmate? Gue kan gak tidur bareng Katie. Gue makin gak ngerti sama omongannya Nessa. Aduh, gue ngerasa bodoh banget nih kalo udah begini.

Bedmate? Maksut kamu apa sih Nes? Kok jadi gini ngomongnya.”

“Udah deh kamu gak usah sok gak ngerti gitu. Aku nungguin kamu nelfon aku tapi kamu gak nelfon-nelfon aku. Aku gak nelfon karena aku takut kamu sibuk dan aku gak mau ganggu. Tapi pas aku nelfon kamu, kamu malah lagi asik dateng ke pesta dengan full of girls wearing bikini as the dresscode dan lagi asik tidur-tiduran sama Katie.” Ya ampun. Kenapa semuanya jadi gini sih? Nessa salah paham.

“Nes, gak gitu kejadiannya.” Gue udah terlalu panik ngadepin ini semua.

”Udah lah Dhav aku udah capek ngadepin semuanya. Kamu pikir gampang ngadepin LDRan gini? Apalgai kalo inget aku punya pacar ganteng, pinter, baik ke semua orang. Kamu pikir ini gampang? Aku udah capek Dhav sama semua ini. Aku Cuma butuh kita komunikasi aja Dhav, tapi kamu gak pernah punya waktu buat itu. Aku berasa jomblo tau gak sih.” Gue bisa denger suara Nessa mulai terisak dari balik telfon. Gue gak tau lagi harus bilang apa. Semua keluhan Nessa bikin gue mikir keras.

“Aku emang gak sesexy cewe-cewe yang ada di Jerman Dhav. Aku gak secantik mereka. Aku gak sepeinter temen-temen kamu di sekolah. Aku juga gak lebih baik daripada mereka. Tapi kan aku ini pacar kamu Dhav.” Ya Tuhan! Kenapa Nessa mikirnya jadi gini sih?

“Nes. Kok kamu ngomongnya gitu sih?” gue bisa denger tangisan Nessa yang makin kenceng di balik telfon dan kayak biasanya gue selalu bingung kalo nanggepin cewe yang lagi nangis.

“Ya udah lah Dhav. Kalo emang kamu udah gak punya waktu lagi dan kamu udah bosen sama cewe model aku yang gak ada lebihnya. Mendingan kita udahan aja deh Dhav. Aku capek.”

Udahan aja? Maksutnya apaan nih? Putus? Nooo! 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

TO BE CONTINUED

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hiiiii! Don't forget to give your vote and comment! See ya on next part!

Continue Reading

You'll Also Like

1M 45.2K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
720K 67.4K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.βžβ–«not an...