Geandert [Completed]

By kainansetra

126K 7K 592

[PART 27-28 DI PRIVATE] "Seharusnya cukup pertemanan tanpa harus melibatkan perasaan." - Aileen. "Gue akan me... More

Prolog
1. Elyshia Nesya Percival
2. Aileen Saralee Adinata
3. Masa Lalu
4. Cinta Begini
5. Who's that?
6. All I ask
7. Pupus
8. Cinta Kau dan Dia
9. Teror
10. Terjebak
11. Senja dan Malam
12. Anonymous
13. Setitik Rasa
14. Cheese cake
15. Kehangatan
16. Egois
17. Hari ini datang
18. Berubah
19. Surat Kaleng
20. Pengakuan
22. 20-22/11/2015.
23. Sebuah Jebakan
24. Tolong
25. Kaisan Arsya Percival
26. Arsya dan Rival
Announcement
27. Love you, Goodbye
28. Let Me Love You [END]
EXTRA PART
EXTRA PART [ii]: SURPRISE!

21. Rival

2.7K 182 23
By kainansetra

PENYAMUN (5)

Agra: Bsk jgn lupa bawa alat musik.

Adskhan: Anjir! Untung lo ingetin, Gra.

Angga: Lo pada bawa apaan?

Adskhan: Paling gue bawa gitar.

Agra: Gue palingan angklung. Betak dari ruang musik hahaha.

Adskhan: Parah!

Angga: Ketauan Hamid mampus lo, Gra.

Agra: Kagalah, selow ae. Gue betak bentaran doang si. Ntar kalo inget gue balikin.

Read by 3

Aiden: D p n?

Angga: ngetik apa sih lo

Aiden: ada apaan

Angga: Lagian sih, bocah nulis di singkat2 segala. Dikata sms kali. Ini pan line, bayarnya make kuota kaga perhuruf kyk sms.

Aiden: Susu gue kek. Komen aja lo, kek orang2 di facebook.

Agra: Susu apaan lagi anjir wkwk.

Aiden: Suka suka

Agra: et iyaa

Read by 4

Raymond: 16 ur

Agra: Eh ada Al Ghazali anaknya Rafi Ahmad.

Angga: Itu Rafathar, bodoh.

Agra: Lah udah ganti nama emang?

Raymond: Anjrit Al Ghazali.

Aiden: Bukan Rafathar ege ngga. Si ituan namanya, siapa dah, gue lupa lagi.

Angga: Bener tole, Rafathar.

Aiden: Setau gue namanya Gigi dah.

Angga: Itu istrinya, pinter!

Adskhan: Lolot.

Raymond: Dongo :)

Agra menghapus Aiden dari group.

Angga: Sadis lo gra wkwk

Agra: Lagi, gue punya temen ngapa kaga ada yang bener si.

Raymond: Aku bener kok kk Agra;)

Agra: Najis! Bener2 idiot lo mah.

Adskhan: Eh si Deden nge pc gue minta di re-inv ke group.

Raymond: Kaga usah, diemin aje. Stress dia tuh, gara2 abis putus.

Angga: Parah parah wkwk. Biarin aja khan, besok aje lo inv nya.

🎭🎭🎭

Nesya berjalan ceria, menuruni belasan anak tangga untuk menuju ruang makan. Di punggungnya sudah terdapat tas biru tosca miliknya. Bahkan gadis itu sudah mengenakan sepatu sekolahnya. Nesya benar-benar siap untuk pergi ke sekolah.

Mengetahui suasana ruang makan yang sepi sudah tidak asing lagi baginya. Orang tuanya belum kembali sejak Dia tiba di Jakarta. Gadis itu selalu menanyakan kemana pergi orang tuanya pada Arsya. Dan seperti biasa, Jawaban Arsya adalah ada urusan di luar negeri.

Senyum ceria gadis itu kembali terukir saat dia mendapati Arsya tengah mengoleskan selai di selembar roti. Lelaki itu mengenakan polo t-shirt hitam serta celana selutut. Wajahnya tampak cerah, sepertinya dia baru saja mandi.

"Pagi, Abaang." Sapa Nesya mengecup lembut pipi abangnya.

"Pagi, Dek." Jawab Arsya mengusap puncak kepala Nesya.

Gadis itu tersenyum lalu menarik kursi di sebelah Arsya, "Nanti abang kuliah jam berapa?"

"Hmm," Arsya mengangkat tangannya ke udara, melihat jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya, "Jam sembilan abang berangkat." tanya lelaki itu.

Nesya menganggukkan kepalanya seraya mengambil selembar roti, lalu mengoleskan selai diatasnya, "Bang," gadis itu menghentikan aktifitasnya.

"Apa?"

"Nesya bawa mobil sendiri boleh ngga?"

Arsya tersenyum manis pada adik semata wayangnya itu, lalu semenit kemudian senyumnya berganti dengan wajah datar, "Nggak." Jawabnya tegas.

"Yaaah Abang maah.."

"Engga, Dek, engga."

"Emangnya kenapa?" tanya Nesya memasang wajah melas.

"Abang bisa nganterin kamu, Sya."

"Yaudah deh.." kata Nesya setengah hati.

Gadis itu ingin sekali berkendara sendiri ke sekolahnya. Tapi tak pernah ada satupun keluarganya yang mengabulkan keinginannya itu. Padahal, di garasi rumahnya ada mobil yang sengaja dibeli untuknya. Tapi percuma, Nesya tidak boleh mengendarainya.

"Berangkat sekarang yuk?" kata Arsya tiba-tiba.

Nesya mengangkat rotinya ke udara, menunjukkan selembar roti yang bahkan belum selesai ia oleskan selai diatasnya, "Nesya belum selesai, Bang. Tapi gapapa deh. Ayo kita berangkat, Nesya sarapan di mobil aja." Jawab Nesya.

"Ada yang ketinggalan ngga?"

Nesya berpikr sejenak, "Astaga!" gadis itu menepuk kencang keningnya, "Nesya lupa sesuatu!" lanjutnya.

Arsya menggelengkan kepalanya seraya berdecak heran, "Tuh kan, yaudah sana ambil."

Nesya menyeringai kuda, "Bentar ya, Bang, Nesya keatas dulu. Abang tungguin Nesyaa, sebentaaar aja." Kata Nesya lalu berlari cepat meninggalkan Arsya.

"Heh jangan lari, Dek! Nanti kamu jatuh!" teriak Arsya, "Abang ke depan duluan yaa." Lanjutnya lalu mengecek ponselnya sekilas, dan kemudian melenggang pergi menuju garasi rumahnya.

🎭🎭🎭

Nesya melepaskan sabuk pengaman yang dia pasang di depan tubuhnya. Kemudian gadis itu mengecek penampilannya di cermin yang selalu dia bawa.

"Kenapa sih bang? Nesya aneh ya?" tanya Nesya pada Arsya yang tengah tertawa menatapnya.

"Engga kok."

"Terus kenapa Abang ketawa?" 

Arsya tertawa lagi, "Gapapa. Udah sana, masuk." Jawab lelaki itu mengacak rambut adiknya.

Nesya mengerucutkan bibirnya kesal, lalu ia mencium punggung tangan Arsya. Lelaki itu menahan sebentar tangan adiknya.

"Jangan lupa makan nasi, jangan makan yang macem-macem, banyakin minum air putih, jangan nakal, jangan lupa sholat, dan jangan lupa bahagia." Tutur Arsya seraya mengecup kening adiknya.

"YES, SIR!" Nesya memberi hormat pada Arsya, kemudian gadis itu membuka pintu mobilnya dan berjalan santai memasuki sekolahnya.

Hati, hari ini kamu harus kuat, oke? Ngga boleh mikirin masalah kemarin. Let's gone be bye gone. Yang lalu biarlah berlalu. Kamu harus siap. Masih banyak hal yang harus kamu lakukan di depan sana. Jangan terpaku sama masalah kemarin. Semangat Nesya!, gumam Nesya di dalam hati.

"Dianter sama Abang, Sya?"

Nesya menoleh kaget saat suara itu menyapanya. Membuat Rio tertawa renyah melihat ekspresi wajah Nesya yang polos,

"Eh? Rio dari tadi disini?"

Rio memutar malas kedua bola matanya, "Makanya, jangan ngelamun mulu, Nesyaa." ujar lelaki itu mengacak rambut Nesya.

"Engga kok!" sanggah Nesya tak setuju, "Nesya ngga melamun!" lanjutnya.

"Ah masaa.." jawab Rio menyolek pinggang Nesya.

"Serius tau!"

Rio tertawa, lelaki itu terus melakukan aksinya menggelitiki pinggang Nesya.

TIIIIN!

"Awas, Sya!" teriak Rio sembari menarik Nesya ke dalam pelukannya.

Sebuah mobil melaju begitu cepat melewati Nesya dan Rio. beruntunglah Nesya karena Rio sigap, kalau tidak bisa tertabrak dia!

"Lo gapapa?" tanya Rio pada Nesya.

Gadis itu mengangguk lemah. Kedua mata Nesya masih terpaku memandang mobil tadi yang kini berhenti tak jauh darinya.

"Ck, siapa si tuh, norak banget. Baru bisa bawa mobil kali ya?" sengit Rio.

Seorang laki-laki keluar dari mobil tersebut. Diaa mengenakan kacamata hitam dengan jas sekolah yang hanya disampirkan di bahu tegapnya. Laki-laki yang sangat tidak asing lagi bagi Nesya.

"Rayap." gumam Nesya lirih saat lelaki itu menoleh kearahnya seraya menaikkan sebelah alisnya.

Rio menatap kesal Raymond yang tengah menatapnya sinis, "Ayo, Sya." kata lelaki itu, menggenggam tangan Nesya dan membawa gadis itu pergi dari pandangan Raymond.

🎭🎭🎭

"Ayah! Aku nggak suka ayah usir Rival kayak gitu! Apa salahnya sih kalau aku mau belajar sama Rival? Toh dia anak yang terpelajar. Ayah kelewatan! Di luar hujan, Yah, kalau dia kenapa-kenapa gimana?!"

Advent menarik dalam nafasnya, pria itu menatap lurus kedua mata anaknya. "Ayah nggak suka sama lelaki itu." Advent memegang kedua bahu anak gadisnya, "Dia nggak baik untuk kamu." Lanjutnya.

"Tapi aku sayang sama Rival, ayah!"

"Nak, Rival bukan lelaki yang baik. Dia tidak seperti yang kamu kenal."

"Engga, Yah!" gadis itu melepaskan kedua tangan ayahnya dari di pundaknya, "Ayah salah! Ayah nggak kenal Rival! Rival orang baik yah." Lanjutnya seraya menitihkan air matanya.

Advent menatap iba anaknya sembari memeluk tubuh mungil anak gadisnya itu, "Ayah ngerti kamu marah sama Ayah. Tapi ini demi kebaikanmu nanti, Sayang." Ujarnya mengusap puncak kepala gadis itu.

"Engga! Ayah jahat! Ayah egois! AKU BENCI AYAH!"

Peluh mengalir dari kening seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Tangannya mengepal kuat menahan emosi yang dia pendam. Lagi-lagi kejadian itu kembali terulang di mimpinya.

Mimpi itu seolah mengingatkan dirinya tentang ketidaksukaan Ayahnya pada Rival.

Arin mengatur nafasnya seraya mengusap keringatnya yang mengalir, "Mimpi itu lagi." Gumamnya mengingat kembali apa yang baru saja dia mimpikan. "Kenapa kejadian itu selalu keulang di mimpi gue?"

Arin termenung.

Sekeping film kembali terputar dibenaknya. Saat dirinya berbahagia bersama Rival, masa-masa yang masih melekat di pikiran gadis itu. Hingga suatu hari saat Rival sedang meminta izin pada Advent—ayah Arin- lelaki itu diusir dari rumahnya. Arin tidak mengerti apa kesalahan Rival sampai-sampai lelaki itu di usir dengan cara yang tidak pantas menurutnya.

Sejak saat itu Arin menjadi sangat benci pada Ayahnya. Benci sekali.

Tapi kebencian itu tidak berlangsung lama. Sebab seminggu setelah kejadian itu Ayahnya ditangkap oleh pihak kepolisian, karena sebuah kasus yang ia sendiri tidak mengerti.

Bukan hanya ditangkap, setelah menjalani beberapa sidang, ayah Arin mendapat putusan dari hakim. Sebuah keputusan yang membuat keluarganya hancur.

Yaitu hukuman mati.

Keluarga Arin benar-benar hancur saat itu. Dua hari setelah ayahnya di eksekusi, Arin menemukan ibunya menggantung diri di kamar.

Rasa penyesalan benar-benar menghinggapi hati gadis itu. Bagaimana tidak, saat ayahnya di eksekusi, Arin belum sempat mengucapkan kata maaf pada ayahnya. Miris sekali bukan?

Lamunan Arin terbuyar saat dia mendengar seseorang menggedor kencang pintu kamarnya, "Bangun! Lo ngga mau sekolah?" teriak seseorang di balik pintu kamar Arin.

"Iya, ini udah bangun." Jawab Arin santai lalu menguap.

"Cepetan! Gue nggak mau terlambat gara-gara bangunin lo doang!"

Arin mendengus kesal, dengan langkah gontai gadis itu membuka pintu kamarnya, "Lo jalan duluan aja. Gue bareng sama Aiden."

"Ngomong kek dari tadi! Buang-buang waktu gue doang lo!" jawab lelaki itu seraya menoyor kening Arin.

🎭🎭🎭

Aiden: gue udh di dpn.

Senyum Arin mengembang saat gadis itu membaca pesan dari Aiden. Sekali lagi dia memeriksa penampilannya di cermin besar.

Perfect! kata gadis itu.

Arin berjalan cepat menuruni anak tangga rumahnya, kemudian gadis itu tersenyum manis pada Aiden yang sedang bersandar di mobil mewah yang di kenderainya sembari menatap lekat kedua mata gadis itu.

"Pagi, Ganteng." Kata Arin mengecup lembut pipi Aiden.

Aiden tersenyum simpul, senyum yang sepertinya tidak tulus dari hatinya. Hanya sebuah formalitas mungkin? Atau hanya ingin menyenangkan hati Arin?

"Pagi." Jawab Aiden singkat.

Aiden membukakan pintu mobil untuk Arin, lalu lelaki itu masuk kedalam mobilnya dan mulai mengendarai mobil tersebut, "Udah sarapan belum?" tanya Arin sembari membuka tas sekolahnya.

"Belum." Arin mengeluarkan kotak makannya yang berisi beberapa roti lapis, "Gue suapin ya?" kata Arin.

"Ngga usah." Jawab Aiden tetap fokus pada jalan di depannya.

Arin cemberut kesal dengan sifat Aiden yang dingin. "Emangnya kenapa?"

Aiden menggelengkan kepalanya, "Ngga laper. Udah, lo aja yang makan." Jawab lelaki itu menambah kecepatan mobilnya.

"Kok gitu si.. yaudah deh." kata Arin kecewa lalu memasukkan kembali kotak makannya ke dalam tas.

"Aiden.." ujar Arin sembari bermanja di tangan kiri Aiden.

"Hm."

"Malming jalan yuk?"

Aiden diam sejenak, "Ngga bisa, gue banyak tugas." jawabnya santai membuat Arin melepas tangannya kesal dari tangan Aiden.

"Sok sibuk banget sih lo!"

"Emang sibuk, Rin."

"Halah." Arin membuang pandangannya dari wajah Aiden.

Lelaki itu menghembuskan nafasnya lemah, "Mau jalan kemana?"

Hati Arin bersorak gembira, susah payah ia menutupi kebahagiaannya itu dengan menatap ke luar kaca.

Ia ingin bersikap sok jual mahal. dasar Arin.

"Mau jalan kemana, Arin." kata Aiden lagi.

Arin mengangkat kedua bahunya, seolah gadis itu mengatakan kata gatau.

"Salah mulu dah gue. Sabar gue mah sabar."

Membuat Aiden merasa frustasi memanglah keahliannya. Tapi sebetulnya, sejak tadi gadis itu sedang memikirkan kemana dia akan mengajak Aiden pergi.

Tepat saat Arin memikirkan hal itu, kedua matanya mengunci sebuah wajah seseorang. Wajah itu sangat dikenalnya. Seorang pria dengan wajah tampannya yang sedang bersandar di mobil itu adalah masa lalu Arin yang sangat ia rindukan.

Sebetulnya Arin seringkali bertemu dengan lelaki tadi. Namun sayang, sudah tidak ada lagi cinta yang berada diantara mereka.

"Rival?" gumam Arin lirih menatap lekat lelaki yang baru saja di lewatinya.

🎭🎭🎭

Bel pelajaran ketiga sudah dimulai.

Kelas Aiden mulai terdengar gaduh. Mereka semua sedang repot mempersiapkan alat musik yang sudah diperintahkan oleh Eka—Guru kesenian- seminggu yang lalu.

Hari ini adalah hari di mana mereka menunjukan bakat masing-masing dalam bidang musik. Berbagai jenis alat musik sudah siap untuk dimainkan.

Tidak seperti kelompok yang lain, kelompok Aiden malah terlihat sedang bercanda gurau.

"Lo bener bener ngebetak dari ruang musik, Gra?" tanya Angga serius sambil memandang tak percaya angklung di samping Agra.

"Iyelah! Yekali gue beli bakal ginian doang." Agra mengangkat angklungnya ke udara, "Dari pada beli, mendingan duitnya gue beliin kaset PS, ya ngga, Den?" lanjutnya.

"Setuju gue." jawab Aiden.

Angga menggelengkan kepalanya heran. Kemudian lelaki itu beralih menatap Raymond yang sedang asik mengobrol bersama Adskhan.

"Piano lo mana, Ray?" tanya Angga.

Raymond menyengir kuda. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, membuat semua sahabatnya memandang ke arah dirinya.

"Nih, piano gue." jawab Raymond ragu sembari mengangkat satu kaleng biskuit yang sudah kosong.

Plak!

Plak!

Plak!

Plak!

Empat tamparan berhasil mendarat sempurna di tengkuk Raymond. Bisa dipastikan saat ini tengkuk lelaki itu terasa panas, dan mennciptakan warna merah di atasnya.

"Piano dari mana anyink." celetuk Agra.

"Sejak kapan njir piano jadi bulet begitu!" sungut Aiden.

Raymond mengusap tengkuk lehernya, "Yaa lo pada mikir aja dah, yakali gue bawa bawa piano yang segede gaban begitu ke sekolahan! Gila kali ye, dikata gue samson!" tandas Raymond tidak mau kalah.

"Halaah alasan!" sungut Adskhan menampar kembali tengkuk leher Raymond.

"Lo kan bisa minjem ke ruang musik, Ray." ujar Angga.

"Y-ya.." ucap Raymond gagu.

"Mampos gagu!"

"Kebanyakan alesan sih idup lu, kena laknatullah 'kan tuh! Rasain!"

"Astaghfirullah, astaghfirullah." jawab Raymond sembari mengusap dada bidangnya.

Sementara itu, di seberang kelompok Raymond, Aileen dan kawan kawannya terlihat sedang menertawai kebodohan Raymond yang begitu menggelikan. Bagaimana bisa lelaki itu membawa sebuah kaleng sementara di ruang musik banyak sekali alat yang bisa dia gunakan untuk praktek nanti.

"Gebetan lo ngapa begitu sih, Sya!hahaha." kata Aileen tertawa geli melihat kaleng Raymond yang kini menggelinding entah kemana, menimbulkan bunyi plentang plentong yang sangat gaduh.

Nesya menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli.

"Kocak anjir, dari piano kenapa jadi ke kaleng begitu." kata Fara tertawa juga.

"Apalagi mukanya si Raymond, kocak banget sumpah kalo lagi gagu kaya tadi." celetuk Alyssa, lalu tertawa kencang melihat Raymond yang sedang mengejar kalengnya yang tidak berhenti menggelinding.

"Asli, hahahaha. Udah kayak ikan koi anjrit." Aileen tertawa sambil menutup mulutnya,

"Lo kenapa bisa suka sama dia sih, Sya?" tanya Aileen di sela-sela tawanya.

"Cinta ngga butuh alasan, Leen." jawab Alana bijak.

"Yomaaaan!" ucap Aileen, Fara, dan Alyssa berbarengan.

Sementara Nesya? Gadis itu hanya tertawa kecil mendengar kelakuan temannya. Pasalnya, keempat sahabatnya itu belum mengetahui perubahan sikap Raymond pada dirinya.

Tawa Aileen benar-benar kencang melihat kaleng Raymond yang kini dijadikan topi oleh Adskhan.

Sebetulnya tanpa gadis itu sadari, seorang laki-laki yang kini tengah duduk di samping Adskhan sedang memperhatikannya sambil tersenyum simpul saat tawa gadis itu terlukis.

Aileen berhenti tertawa. Gadis itu memutar malas bola matanya saat tatapannya bertabrakan dengan mata coklat Aiden.

"Ew." gumam Aileen dalam hati.

🎭🎭🎭

Saat ini Arin sedang duduk sembari menyandarkan tubuhnya di kursi sebuah cafe.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari satu jam yang lalu. Kini jantung gadis itu sedang berdebar tidak karuan. Sebab beberapa saat lagi seseorang yang sedari tadi ditunggunya akan sampai.

Hanya satu yang gadis itu takuti, Arin takut orang tersebut akan kembali membentaknya.

Suara bel yang berbunyi di pintu cafe membuat jantung Arin berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Seseorang yang tadi pagi dia lihat kini tengah berjalan menghampirinya. Tidak ada senyum yang menghiasi wajah lelaki itu. Hanya wajah dingin dengan rahang yang selalu mengeras dan kedua mata tajamnya yang seolah menambah ketegasan di wajah lelaki itu.

"Udah lama?"

Arin menggeleng, "Be-belom kok, Val." jawab Arin berbohong.

Rival mengangguk tak berdosa padahal dia sendiri tahu kalau dirinya sudah terlambat hampir satu jam.

Lelaki itu mengangkat tangannya ke udara, memanggil pelayan cafe dan kemudian memesan minuman untuknya.

"Val," ucap Arin ragu-ragu.

"Hm?" jawab Rival yang tengah sibuk dengan ponselnya.

"Semalam Ayah datang ke mimpiku." kata Arin mengingat kembali sekeping film yang muncul dibenaknya.

Rival ber-oh ria sambil menganggukkan kepalanya, "Terus?" tanya Rival menaikkan sebelah alisnya.

"A-aku.."

"Kenapa?"

"ng..nggak jadi."

Rival meletakkan kasar ponselnya, "Lo nyembunyiin sesuatu dari gue?"

Arin menggeleng cepat, "Engga kok."

"Bohong!" bentak Rival.

Ini yang Arin tidak suka. Rival yang sekarang benar-benar tidak seperti Rival yang dia kenal dulu. Rival yang sekarang terkesan sangat arogan dan membuatnya selalu merasa tertekan saat berdekatan dengan lelaki itu.

"Engga, Val. Serius."

"Halah!"

"Val! Kontrol diri kamu plis, Aku gak suka kamu kaya gitu! Sekarang aku ngerti kenapa dulu Ayah bener-bener nentang hubungan kita! Dan kamu tahu? Aku nyesel, ngga dengerin omongan ayah!"

Rival tertawa renyah kemudian lelaki itu berjalan menghampiri Arin dan menjambak rambut gadis itu, "Nyesel lo bilang?"

"Gue yang bantuin lo bangun dari keterpurukan lo, Jalang! Kalau ngga ada gue, mungkin sekarang lo jadi gelandangan!"

Arin meringis kesakitan. Rasa malu menghinggapi gadis itu, sebab kini semua orang tengah memandang kearahnya.

Memang betul apa yang baru dikatakan Rival. Sejak kematian kedua orang tua Arin, hidup Arin kacau balau. Dan Rival lah yang membantu Arin membangun kembali perusahaan Ayahnya yang dulu sempat hancur berantakan.

Berkat Rival juga, Arin menjadi tahu siapa yang membuat Ayahnya sampai di kenakan hukuman mati.

Arin mendorong kasar tubuh Rival, membuat lelaki itu terdorong hingga membentur tiang. "Ma-maaf, Val.." kata Arin ketakutan.

Rival bangkit, lelaki itu memijit keningnya perlahan. Kepalanya merasakan sakit yang luar biasa. Arin mengernyitkan keningnya bingung saat melihat Rival yang terlihat begitu kesakitan hingga urat-urat di leher lelaki itu menonjol.

Beberapa saat kemudian, Rival terlihat kembali seperti semula. Pandangan lelaki itu langsung bertemu dengan tatapan khawatir Arin.

"Arin?" kata Rival bingung sembari menyapu pandangannya ke seluruh penjuru cafe tersebut,

"Gue dimana?"

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
347K 17.2K 32
"Laka Airlangga Putra. Kalau anda mencari pemuda yang suka bikin celaka, temuilah Laka! Maka anda akan celaka dengan cara Laka sendiri. Mau ditonjok...
87.9K 10.5K 38
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Hidup aku rapuh ketika terdiagnosa kanker hati tiga tahun yang lalu. Dua tahun yang lalu pacarku memutuskan hubungan dengan...
24.5K 2.1K 5
[SEBAGIAN PART DI PRIVATE, FOLLOW SEBELUM BACA!] 17+ KONFLIK RINGAN 🧸 Gibran Sebastian, hidupnya menjadi hancur semenjak kepergian ibunya. Ayahnya y...