After The Wedding

By reenitty

1M 54.2K 530

Menikah dengan calon Kakak iparku sendiri? Ini gila. Kami tidak dekat dan bahkan belum pernah berbicara satu... More

Prolog
1. Awal yang Baik
2. Rumah Kakak
4. Pertemuan
5. Pria Tak Bersalah
6. Masa Lalu Tissa 1
7. Masa Lalu Tissa 2
8. Sinar Yang Gugur (Spesial Raffa)
9. Maaf
10. Terima Kasih
11. Honeymoon pertama
12. Calon Pacar
13. Keposesifan
14. Pria Penguntit
15. Kejutan Kecil
16. Kedatangan Badai
17. Pelarian
18. Pernyataan Cinta
19. Sebuah Sebab
20. Jangan Pergi
21. Terulang
22. Menunggu
23. Akhir
Epilog

3. Cemburu?

52K 2.9K 15
By reenitty

Sebulan sudah berlalu. Selama sebulan inilah hari-hariku terasa bosan dan monoton. Setiap hari aku melakukan hal yang sama.

Pagi aku bangun lebih cepat dari Raffa, kemudian mandi, lalu menyiapkan baju untuknya ke kantor. Kemudian memasak sarapan dan setelah itu menunggunya untuk turun dan sarapan bersama.

Kemudian dia pergi ke rumah sakit dan tak lupa mencium dahiku sebelum pergi. Selama dia bekerja, aku membereskan rumah dan menonton acara tv yang sangat membosankan. Lalu sorenya aku mandi dan menunggunya pulang.

Aku menyambutnya di pintu. Membawa tasnya. Lalu memasak makan malam seraya menunggu dia selesai mandi. Dan setelah itu kami tidur saling membelakangi.

Selama sebulan aku melakukan rutinitas yang lama-lama membuatku penat dan ingin meledak rasanya.

Bahkan kami hanya mengobrol saat pagi di meja makan dan malam sebelum tidur. Itu pun yang kami bicarakan tak jauh dari masalah uang rumah tangga dan pekerjaannya di rumah sakit.

Raffa sama sekali belum menyentuhku. Bukannya aku berharap ia menyentuhku tapi ini sudah sebulan sejak pernikahan. Dalam pernikahan, sebuah hubungan ranjang itu perlu dan wajar. Tapi aku mengerti kenapa dia tak ingin menyentuhku. Aku cukup lega karena hal itu. Kalau dia memang menyentuhku, yang pasti dia tak akan membayangkan diriku, melainkan Kakak.

Aku juga tidak menarik. Hanya seorang wanita berambut panjang sebahu dengan wajah oval, hidung sedikit mancung, bibir kecil, mata bulat, dan kulit putih pucat. Tinggiku hanya 165 cm dan beratku 50 kg. Wajahku biasa-biasa saja. Tidak cantik, tidak juga jelek.

Aku merasa tidak pantas untuk Raffa. Dia begitu sempurna, seperti Kakak. Harusnya dia menikah dan bahagia bersama Kakak bukannya denganku. Mereka adalah pasangan yang klop. Sama-sama memiliki paras yang diatas rata-rata, memiliki otak yang pintar, dan segala macam kesempurnaan lainnya.

Kadang aku iri dengan Kakak yang selalu dibanggakan orangtua ku. Mendapat peringkat pertama dari SD hingga lulus SMA. Kemudian melanjutkan kuliah kedokteran dengan kelulusan IP tertinggi di kampus idaman dan terbaik di Indonesia.

Sedangkan aku? Hanya gadis biasa yang memiliki otak standar. Tidak pernah mendapat pringkat apapun. Aku juga tidak memiliki bakat tersembunyi. Kuliah dengan jurusan perkotaan. Bekerja di kantor pembangunan kota dan menjadi karyawan kecil disana. Aku benar-benar seorang yang biasa-biasa saja.

Tidak memiliki apapun yang bisa kubanggakan. Apa Raffa akan menyesal sudah menikahi gadis bodoh sepertiku?

Suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Acara tv yang sedang tayang sama sekali tidak ku tonton. Aku hanya melamun sedari tadi. Bosan sekali. Aku ingin bekerja. Sudah sebulan aku menjadi pengangguran.

Daripada aku bosan dirumah, lebih baik aku bekerja saja. Lagipula tidak ada hal lain yang harus kulakukan dirumah selain berberes-beres. Aku harus berbicara pada Raffa. Semoga saja dia mengizinkan ku bekerja.

Aku membuka pintu dan terpampang lah wajah lelah Raffa. Aku mengambil tasnya dan dia duduk di sofa sambil meregangkan tubuh.

"Mau makan dulu?" tanyaku seperti biasanya selama sebulan ini.

"Mandi dulu," jawabnya yang memang selalu sama setiap harinya.

Sangat membosankan bukan? Aku dan dia bertingkah seperti robot dan setiap yang kami ucap atau lakukan sudah memang dari sistemnya diatur sama setiap harinya.

Dia berlalu ke kamar dan aku duduk menunggu di ruang makan. Menu yang ku buat selalu berbeda-beda agar dia tidak bosan. Tapi memikirkan masakan apa yang aku masak juga bingung rasanya. Jadi aku membeli majalah kuliner rumahan saat aku ke pasar.

Raffa datang dengan bau harum sabun yang dipakainya. Aku suka wanginya. Bahkan aku selalu membeli sabun yang sama setiap sabunnya itu habis. Jadi dia hanya akan memakai sabun yang kusuka itu dan tidak berganti-ganti.

Aku tersenyum melihatnya menghabiskan makananku. Aku mengikutinya ke kamar dan seperti biasa, Raffa selalu membaca buku kedokteran yang aku tidak tertarik sama sekali.

Aku duduk menyender disampingnya. Menarik selimut sampai pinggangku. Lalu menoleh dan hendak berbicara tentang keinginanku untuk bekerja.

"Kak," panggilku pelan. Sebenarnya aku tidak begitu nyaman memanggilnya dengan embel-embel "Kak".

"Ya, ada apa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang ia pegang.

Aku menarik nafas. "Aku ingin bekerja."

Dia menoleh sebentar. "Kerja? Bukannya uang ku cukup untuk-"

"Bukan itu tujuanku bekerja. Aku hanya bosan dirumah. Tidak ada yang harus ku lakukan selain membereskan rumah. Lagipula aku tidak memiliki teman disini." Aku tertunduk memainkan jariku.

Dia menutup bukunya dan aku bisa merasakan dia sedang menatapku lekat.

"Maaf, aku tadi memotong ucapan Kakak," kataku seperti bisikkan.

"Aku minta maaf karena tidak memikirkan kamu yang bosan dan sendirian dirumah. Baiklah kalau kamu mau bekerja. Aku akan carikan pekerjaan untuk kamu sesuai bidangmu."

Aku menatapnya dengan binar senang. Aku tersenyum lebar dan langsung memeluknya karena saking senangnya. Tapi, sedetik kemudian aku sadar dan segera ku lepas.

"Ma-maaf. Aku hanya terlalu senang," ucapku menunduk malu.

"Tidak apa-apa. Ayo tidur." Dia mematikan lampu tidur di sampingnya.

Aku ikut mematikan lampu dan menaiki selimut sampai leher. Berbaring memunggunginya seperti biasa. Tapi, sesaat nafasku tertahan. Aku merasakan tangan kokoh yang melingkar di pinggangku. Dan nafas berat di belakangku menunjukkan kalau Raffa sedang memelukku.

Kenapa? Terakhir dia memelukku seperti ini saat malam pernikahan kami. Tapi kenapa sebulan ini ia tidur membelakangiku? Sudah ku bilang kan, Raffa ini pria misterius. Aku tidak paham dengan dirinya.

-

Dua hari yang lalu Raffa mengatakan kalau ia sudah menemukan pekerjaan yang cocok untukku di sebuah kantor di tengah kota. Kantor yang didirikan untuk pembangunan kota Jogja ini.

Setelah interview dan perkenalan, aku ditempatkan di bagian sekretaris direktur. Aku sedikit bingung kenapa malah ditempatkan di bagian yang belum pernah ku kuasai. Dan aku baru tahu kalau kantor ini memang sedang mencari sekretaris baru untuk direktur mereka.

Tapi aku kan tidak cantik. Aku juga tidak terampil dalam hal begini. Bisa-bisa aku jadi sekretaris yang buruk untuk seorang direktur. Itu sangat memalukan.

Aku duduk melihat sekelilingku. Lantai ini adalah lantai khusus dan hanya terdapat ruangan direktur, ruang rapat, dan ruang pertemuan. Ada sebagian karyawan yang bekerja di lantai ini. Yaitu yang bagian manajemen.

Mejaku tepat di depan ruangan direktur. Ruangan kedap suara dengan pintu kaca yang buram, sehingga tidak akan ada yang tahu apa yang ada didalamnya.

Aku sudah diajari oleh asisten direktur tadi. Dia mengajariku bagaimana menjadi sekretaris yang bisa berguna dan cukup telaten. Sebenarnya aku memang memiliki predikat karyawan rajin di kantorku dulu, bukannya aku sombong hihi.

Suara langkah kaki membuatku menoleh dan mendapati seorang pria dengan mata tajam sedang berjalan ke arahku dengan tangan memegang jas. Aku terdiam sesaat. Bingung kenapa pria itu jalan ke arahku?

"Apa kamu yang bernama Tissa?" tanyanya dengan datar.

Aku berdiri. "Ah, ya, nama saya Tissa."

"Oh, rupanya Fandi pintar juga memilih sekretaris untukku."

Apa? Sekretaris? Apa pria didepanku ini adalah sang direktur?

"Baiklah, saya harap kamu bisa bekerja sama," ucapnya lalu masuk ke ruangan.

Jadi dia yang namanya Jason Artajaya? Direktur kantor ini? Astaga apa tadi aku seperti orang bodoh yang tak kenal bosku sendiri? Dia pasti berpikir aku ini aneh. Sungguh memalukan.

-

Sudah jam 5 sore dan pekerjaanku sudah selesai hari ini. Cukup rumit juga dan aku harus bergerak cepat. Apalagi menghadapi Jason yang tegas dan dingin. Hari pertamaku bekerja saja dia sudah marah besar padaku karena ada kesalahan pada berkasnya, padahal itu hanya kesalahan kecil. Sepertinya aku harus banyak sabar menghadapinya.

Aku menunggu taksi di lobi tapi tidak ada taksi yang sama sekali lewat. Aneh. Padahal ini kan jam pulang kerja. Harusnya banyak yang lewat.

Sebuah mobil chevrolet berhenti didepanku. Aku menyernyit bingung saat kaca mobil itu terbuka.

"Ayo masuk, saya antar kamu."

Aku menunjukkan diriku sendiri dan menatapnya dengan tatapan betanya.

"Iya, kamu. Ayo."

Dia benar mau mengantar ku? Aku berjalan perlahan.

"Tidak usah, Pak. Terima kasih. Saya bisa naik taksi," ucpku sopan.

"Tidak apa-apa. Anggap saja ini sebagai permintaan maaf saya karena sudah membentakmu tadi." Dia tersenyum tipis.

Permintaan maaf? Aku kira Jason orang yang tidak peduli dengan orang lain. Rupanya dia baik juga sampai mau mengantarku pulang.

"Ayo, kenapa masih disitu?"

Aku langsung berputar arah dan masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang, tepat disampingnya.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku juga merasa gugup dan tidak enak karena dia adalah bosku. Ku akui, Jason masih muda dan tampan. Apalagi dengan kesan wibawa dan ketegasannya. Berbeda dengan Raffa yang memiliki perawakan lembut dan sikap pendiamnya, walaupun pria itu memiliki mata setajam elang.

Aihh, kenapa aku malah membandingkannya dengan suamiku sendiri? Bisa-bisa aku jadi istri durhaka.

Mobil Jason berhenti tepat di depan rumahku. Rumah masih terlihat sepi. Mungkin Raffa masih dirumah sakit.

"Kamu tinggal sendiri?" tanyanya saat aku hendak melepas sabuk pengaman.

"Eh? Oh, saya tinggal bersama suami saya, Pak." Aku tersenyum sopan.

"Suami? Kamu sudah menikah? Oh, pasti saya melewatkan status kamu saat membaca berkas tadi."

Aku mengangguk sopan dan mengucapkan terima kasih padanya. Lalu keluar dan masuk ke perkarangan rumah.

Aku menekan saklar lampu dan kaget melihat Raffa yang duduk di sofa. Dia sudah pulang? Tapi aku tidak melihat mobilnya. Ah, mungkin sudah dimasukkan ke dalam garasi.

"Kamu pulang sama siapa?" tanyanya dengan nada yang kupikir terkesan dingin.

Dia berbicara tanpa menoleh, pandangannya lurus ke depan, menghadap tv yang mati.

"Kakak sudah pulang? Kenapa lampunya tidak dihidup?" Aku menaruh tas ku di meja, lalu duduk disampingnya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu pulang sama siapa?" Kali ini dia menatapku dan matanya yang tajam itu seakan ingin menerkamku. Dia kenapa sih? Marah?

"Aku pulang dengan bosku. Dia menawariku untuk pulang bersama," ucapku pelan.

"Lalu kamu menerimanya? Semudah itu?" Ia meninggikan suaranya.

Sudah kuduga, Raffa sedang marah. Pasti karena aku pulang dengan Jason tanpa memberitahunya.

Aku menghela nafas kasar ketika Raffa meninggalkanku dan masuk ke kamar. Dia kenapa sih? Marah hanya karena aku pulang dengan Jason? Apa dia sedang cemburu? Ah, itu tidak mungkin.

-

Raffa masih belum buka suara. Dia bahkan enggan melihat langsung mataku. Saat aku bicara, dia hanya membalas dengan deheman.

Dan saat ini dia tidur membelakangiku. Raffa benar-benar tidak bisa ku mengerti. Kenapa dia kekanakan seperti ini sih? Aku bingung harus bagaimana lagi.

Aku ikut bergelung dalam selimut, menatap punggungnya dalam diam. Aku merasa sedikit sedih. Apakah pernikahan kami akan begini-begini saja tanpa kemajuan?

Kami seperti dua orang yang tak saling kenal yang berada dalam satu rumah. Kami jarang bicara dan tidak pernah mengobrol tentang diri masing-masing. Pernikahan ini terasa hambar dan menjenuhkan. Apa aku bisa bertahan?

Tiba-tiba Raffa membalikkan tubuhnya dan pandangan kami bertemu. Aku langsung memaling wajah.

"Ka-kamu belum tidur?" tanyaku sedikit gugup karena kaget.

"Belum. Kamu sendiri? Ini sudah malam. Kamu besok harus datang pagi ke kantor," katanya datar, masih menatapku.

"Aku nggak bisa tidur," ucapku jujur sambil menunduk.

Tangannya mengelus pelan kepalaku. Membuatku mendongak dan lagi-lagi matanya itu seperti menyihirku sehingga jantungku berdebar tak karuan.

"Maaf soal sore tadi," ucapnya pelan. Dia menatapku lembut. Dadaku menghangat.

Aku tersenyum dan memberanikan diri memegang pipinya.

"Nggak apa-apa. Aku yang salah. Nggak kasih tahu Kakak kalau aku pulang dengan bosku. Aku minta maaf sudah membuat Kakak marah."

"Bisakah kamu jangan memanggilku Kakak? Aku merasa tidak nyaman. Panggil aku 'Mas'."

Aku sedikit kaget ternyata dia tidak menyukai panggilanku untuknya.

"Hmm, oke Mas Raffa."

Dia tersenyum manis mendengar panggilanku. Astaga, senyumnya itu membuatku ikut tersenyum.

"Hmm, oh? Apa Mas marah sore tadi karena aku pulang dengan bosku?"

Raffa langsung terdiam dan menatapku dalam. Tapi di tatapannya terlihat kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu dan terlihat ragu untuk mengatakannya padaku.

"Kenapa Mas?" tanyaku saat dia tidak menjawab juga.

Aku mulai menebak-nebak. Apa Raffa cemburu atau tidak. Tapi kalau tidak bagaimana? Aku sendiri yang malu kan. Ah daripada aku penasaran. Lebih baik aku tanya.

"Mas... cemburu?"

Mata Raffa langsung membulat dan dia terlihat salah tingkah. Ia membuang wajah tak ingin melihatku. Tuh kan, dia ini misterius sekali.

"Mas, jawab dong."

Raffa beranjak lalu duduk menyender di kepala ranjang. Aku ikut duduk disampingnya. Dia masih diam dan menunduk.

Aku mendekat kearahnya dan menyender di bahunya. Entah dapat keberanian darimana tapi rasanya aku gemas dengan tingkahnya yang misterius ini.

"Ti-tissa..."

Baru kali ini dia menyebut namaku. Aku merasa senang dalam hati.

"Biarkan aku menyender seperti ini," ucapku pelan.

Tangannya mengelus kepalaku lagi. Aku merasa nyaman dan hatiku mulai tenang. Rasanya aku ingin lebih dari ini. Aku ingin menjadi miliknya seutuhnya. Tapi kapan dia akan menyentuhku? Tidak mungkin aku yang mulai duluan kan. Agresif sekali.

"Mas belum jawab. Apa Mas cemburu aku pulang sama bosku?" Aku mendongak dan memberanikan diri menatap matanya dalam.

Sekuat tenaga aku menahan jantungku yang melompat-lompat didalam sana.

Raffa salah tingkah lagi. Jangan-jangan memang benar dia cemburu?

"Kalau... kalau aku memang cemburu?"

Aku mengerjapkan mata tak percaya. Apa aku tidak salah dengar?

"Su-sudahlah. Anggap aku tidak mengatakan apapun."

Dia hendak berbaring kembali tapi segera kutahan dan kupeluk dirinya erat. Aku merasa senang sekali. Biarlah dia menganggapku aneh atau apa. Aku sangat bahagia mendengar realita darinya. Dia cemburu padaku. Apa itu artinya dia mulai membuka hatinya untukku? Semoga saja.

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 234K 43
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.1M 59.3K 76
Perjodohan antar dua keluarga rasanya bukan hal yang tabu. Karena nyatanya berbagai kisah klasik sebuah perjodohan itu sudah ada banyak kisahnya. Lan...
269K 22.8K 78
Cinta hanya untuk manusia lemah, dan aku tidak butuh cinta ~ Ellian Cinta itu sebuah perasaan yang ikhlas dari hati, kita tidak bisa menyangkalnya a...
4.2M 53.8K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...