ALUNA UNTUK BARA

By niken_arum

519K 34.3K 1.2K

Konon katanya, pertemuan tanpa sengaja lebih dari tiga kali adalah sebuah pertanda. Pepatah itu diyakini oleh... More

Bab 1. Crush On You
Bab 2. Weird
Bab 3. Counting Every Minutes
Bab 5. Confession
Bab 6. A Visit
Bab 7. First
Bab 8. Silent Moment
Bab 9. The Eternal War
Bab 9. Spy
Bab 10. Thin Shadow
Bab 11. Curiosity
Bab 12. Reveal
Dare

Bab 4. The Flashback

45.9K 2.7K 85
By niken_arum

Menatap Aluna menghilang masuk ke halaman rumah kos. Bara masih mematung di depan pagar untuk beberapa saat. Dia termenung dan baru berbalik setelah bunyi klakson sebuah sepeda motor dari ujung jalan terdengar.

Bara berjalan keluar menuju jalan utama dan masuk ke mobilnya. Dia kembali termenung. Tangannya memegang kemudi mobilnya erat dan pikirannya melayang ke masa 5 tahun lalu. Waktu yang sangat lama. Seharusnya cukup untuk mengobati hati seseorang yang terluka.

Flashback on

Bara meraih tangan ibunya, Hera Borgoiba dan menggenggamnya erat. Tangan ibunya yang biasanya kuat dan hangat kini terasa dingin dan penuh dengan pembentengan diri. Mereka berdua menatap Soni Borgoiba, pria 60 tahun yang masih terlihat tampan tiada cela dan gagah. Pandangan Bara dan ibunya berpindah pada sosok wanita dengan hidung mbangir dan kecantikan wajah khas wanita baik-baik bernama Adira Damayanti. Wanita itu duduk bersimpuh di depan mereka dengan wajah banjir air mata.

Kejadian yang klise baru saja terjadi. Kejadian yang banyak terjadi di dunia ini. Kejadian yang nyaris seperti sebuah sinetron yang menjelma ke dunia nyata.

Bara mengusap wajahnya dan menghela napas pelan.

"Tidak ada niat berkhianat? Terbawa suasana? Baiklah. Aku rasa itu alasan yang cukup. Urus semua oleh kalian sendiri dan jangan pernah terlihat lagi di dekatku."

"Bara, aku tidak mau berpisah denganmu."

Bara menatap lekat Adira yang selalu bertutur kata santun itu.

"Dan sangat kejam memisahkan ayah dan anak."

Hening. Bara akhirnya membimbing ibunya keluar dari ruang tengah keluarganya. Meninggalkan ayahnya yang terdiam membisu. Meninggalkan Adira, wanita yang menjadi kekasihnya sejak 2 tahun lalu. Wanita yang bahkan masih dicumbunya dengan ciuman ciuman panas dua hari lalu. Meninggalkan dua orang yang menjadi bagian paling dekat dengan dirinya selama rentang waktu yang tidak sedikit. Bara ingin bersikap sopan, namun urung ketika kebenaran itu terkuak menyakitkan. Janin berusia 10 minggu sedang tumbuh dalam rahim Adira.

Beberapa minggu lalu Bara memulai kecurigaannya atas sikap Adira yang sering menelpon seseorang secara diam-diam. Kekasihnya itu terlihat semakin gelisah dari hari ke hari. Dan tiba-tiba saja mengajukan sebuah pernikahan padanya sementara selama ini Adira selalu menjadi pihak yang meminta waktu untuk menunda pernikahan.

Dan semua terkuak hari itu. Tentang hubungan mereka. Adira dan ayahnya yang konon terbawa suasana saat melakukan perjalanan bisnis ke Thailand dan menghasilkan calon bayi itu. Bara memutuskan itu adalah sebuah akhir. Dia tidak ingin mengatakan apapun atas dalih kekecewaan yang dalam. Dia merasa dikhianati dengan biadab oleh ayahnya dan Adira, sang sekertaris di perusahaan keluarga yang sekaligus kekasihnya. Orang-orang yang dia percaya.

Bara dan jiwa muda yang masih menggampangkan sesuatu. Dia memutus pembicaraan. Menolak berbicara pada ayahnya sejak kejadian itu. Dia meneguhkan hatinya bahwa dia bisa melewati itu semua. Namun sepertinya takdir yang tertulis di tangannya tidak seperti yang dia bayangkan. Ibunya, orang yang dia harapkan akan bersamanya untuk saling menguatkan, justru semenjak hari itu berubah menjadi orang yang seakan tidak Bara kenal. Ibunya menutup mulut dan menjadi penyendiri. Dia mengurung diri di kamar dan secara ekstrim mulai menarik diri dari pergaulan keluarga dan pergaulan sosial.

Bara merasa dia sudah kehilangan dunianya. Sejak hari itu dia menjalani hidup hanya karena nyawa masih melekat di raganya. Dia tidak bergairah. Yang dia tahu adalah bekerja. Kembali ke rumah. Dan sunyi yang tanpa warna.

Flasback off

Bara mengangkat kepalanya dan menyugar rambutnya perlahan. Dia mengusap wajahnya dan mengerjap. Bara menyalakan mobil dan melajukannya pelan. Sepanjang jalan dia terus berpikir, dia tidak memiliki apapun selain harta yang berlimpah. Yang dia miliki adalah hidupnya yang sunyi. Ibunya yang tak kunjung mau membuka mulutnya walau untuk sekedar menyapanya atau menanyakan keadaannya. Wanita itu sibuk dengan pikirannya sendiri yang terluka dan tak kunjung sembuh.

Kalau ada yang Bara syukuri hingga detik ini adalah dia memiliki Renan sebagai sahabat yang sudah seperti saudara. Ketika dia lengah dan kehilangan kendali meneguhkan hati, Renan yang pertama dan satu-satunya yang hadir di depannya. Memberinya bogem mentah dan menangis bersama. Bara masih ingat ketika dia menyerah dan mencoba mengakhiri hidupnya, Renan adalah teman yang berhasil mengetuk hatinya untuk tidak melakukan itu.

Perjalan dari ujung utara Jakarta ke ujung selatan. Diselingi kemacetan yang pada akhirnya sudah menjadi makanan sehari-hari. Dan Bara yang mendapati sebuah kenyataan bahwa gadis bernama Aluna itu memilih tidak menanggapinya dengan serius membuat jiwa berburu Bara menggelegak.

Satu jam lebih perjalanan yang melelahkan. Bara memasuki komplek Pondok Indah dan sesaat kemudian mobilnya masuk ke garasi dengan mulus. Bara keluar dari mobil dan berjalan ke arah teras rumah. Dia mengamati rumahnya sejenak. Pada jam seperti itu, asisten rumah tangga menyalakan semua lampu. Tanpa kecuali. Itu yang biasa ibunya lakukan dulu.

Bara masuk ke rumah dan mengangguk pada salah satu asisten rumah tangga yang menghampirinya.

"Mas, ibu masak."

Bara yang berjalan sambil membuka kancing jaketnya berhenti melangkah. Dia menatap asisten rumah tangganya dan merasa dia salah dengar.

"Masak? Mama keluar kamar?"

"Iya Mas."

Bara memberi kode kepada asistennya untuk mengikutinya. Mereka melaju langkah menuju ruang makan. Dan Bara tertegun ketika melihat aneka makanan yang tersaji di meja. Makan malam yang lengkap. Makanan yang beda dari biasanya. Bara bisa segera tahu, semua yang memasak adalah ibunya karena ada sup jamur di atas meja. Dan sup seperti itu sudah sangat lama tidak ada di meja makan. Lima tahun Bara tidak pernah melihat sup seperti itu. Sup jamur hitam resep khas ibunya.

"Mama dimana sekarang?"

"Di kamar."

Bara berjalan keluar dari ruang makan. Asistennya terus mengikutinya. Mereka menaiki tangga dan berjalan di sepanjang lorong. Mereka menuju sebuah kamar dan berdiri terpaku di depan pintu.

"Ibu juga menyalakan lampu."

"Huum." Bara menatap pintu lekat dan dia segera meyakini bahwa ibunya tidak mengunci pintu seperti biasanya. Bara mendorong pintu itu pelan. Dia membuka pintu itu sedikit hingga bisa melihat sosok ibunya yang duduk di ranjang dan sedang membuka-buka sebuah album foto.

"Mama minum obat dengan benar?"

"Iya Mas. Saya mengantarkan sarapan tadi pagi. Biasanya saya letakkan di meja itu. Tapi tadi pagi ibu bilang bawa masuk saja. Dan saya membantunya menyiapkan obat." Asisten Bara menunjuk sebuah meja di dekat pintu.

"Oh."

Mereka berbicara dengan berbisik.

"Saya ke bawah dulu Mas."

"Huum. Terima kasih Mbak."

"Sama-sama Mas."

Bara menatap asisten rumah tangganya hingga menghilang di belokan. Bara lalu terpaku dan bingung pada dua pilihan. Apakah dia bisa menemui ibunya sekarang? Apakah nanti mereka tidak canggung? Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Atau dia harusnya ke bawah dan makan? Ibunya tiba-tiba memasak. Ada apa?

Lelah berperang batin, Bara akhirnya mendorong pintu kamar ibunya perlahan.

"Ma..." Bara melongok ke kamar ibunya dan menangkap sebuah ponsel di samping ibunya. Jadi, ibunya juga sudah memakai ponselnya lagi? Ponsel itu tampak sangat kuno karena itu ponsel ibunya sejak 5 tahun lalu.

"Bara. Masuk."

Bara tertegun. Suara merdu ibunya bagaikan air yang mengguyur tubuhnya di hari yang panas. Bara menghampiri ibunya dan duduk di sampingnya. Dia ingin menangis, tapi dia sadar dia tidak boleh melakukannya.

"Sudah mandi?"

Bara memeluk ibunya lembut dan tangan wanita itu segera mengusap pipinya. Bara menggeleng.

"Mandi terus makan."

"Huum." Bara mengangguk dan menatap album foto yang dibuka oleh ibunya. Foto masa kecilnya hingga dia remaja.

"Dokter Yapto datang kan Ma? Aku sempat menelponnya, tapi tidak bisa bicara banyak."

"Datang. Dia mampir ke kantormu tadi siang dan urung menemui kamu. Dia bilang kamu ada tamu. Gadis."

"Oh." Bara mengangguk dan segera tahu bahwa yang dibicarakan oleh dokter Yapto ke ibunya adalah Aluna.

"Kapan dibawa ke rumah ini?"

"Eh?" Bara menatap ibunya lembut. Dia masih tidak mempercayai pendengaran dan penglihatannya.
Mamanya balas menatap Bara dengan tatapan ibu yang rindu pada anaknya.

"Sehat dulu Ma. Bagaimana kaki Mama?"

"Besok dokter Yapto ke sini bawa ahli akupunktur. Mama baik-baik saja. Dan...maafkan Mama ya. Mama..."

Bara menggeleng dan mencium kening ibunya dalam.

"Tidak usah bicara apa-apa Ma. Aku mengerti."

"Huum. Mama tahu. Kau anak yang kuat. Terima kasih sudah menunggu selama ini."

"Huum." Bara mengangguk. Dia tidak sanggup berkata-kata lagi.

"Makan sana."

Bara merasakan lengannya ditepuk dengan lembut oleh Mamanya. Bara mengangguk dan sekali lagi mencium kening ibunya dalam.

"Nanti aku bawa dia kemari Ma." Bara beranjak dan melangkah menjangkau pintu. Dia menoleh sekali lagi ke arah ibunya dan tersenyum. Dia tidak sedang bermimpi. Ibunya terlihat sehat dan tersenyum ke arahnya.

Berjalan di sepanjang koridor menuju kamarnya. Bara meminta asistennya yang melintas untuk menghangatkan sup buatan ibunya lalu dia masuk ke kamarnya. Sambil melepas jaketnya, Bara berpikir tentang bahwa dia sudah membuat janji pada ibunya.

Bara terpaku di depan pintu.

"Bagaimana membawanya? Aluna bahkan sudah mematikan langkah sementara aku baru saja memulai."

Bara menghela napas. Dia memiliki segudang maklum untuk gadis itu. Dia bukan wanita kalangan atas yang terbiasa dengan hidup dan segala kemewahannya. Dan Aluna jelas bukan wanita yang mencari kemewahan seperti miliknya dari seorang pria. Gadis itu kebingungan dengan kenyataan yang dia hadapi sekarang dan itu mengaburkan kesungguhan yang Bara tunjukkan padanya.

Bara merogoh ponselnya. Dia menuliskan sebuah pesan. Tapi kemudian menghapusnya. Begitu hingga berulang kali. Bara melangkah ke ranjangnya dan duduk termenung. Aluna bukan tipe wanita yang akan luluh dengan hadiah-hadiah mahal atau gombalan ala pria.

"Aaaaargh..." Bara menyugar rambutnya keras. Dan dia tertegun sejenak. Dia menepuk dadanya pelan dan merasakan rindu pada gadis itu.

Sebuah hari yang panas dan penat di Jakarta. Dan Bara merasakan dia bingung bagaimana harus bersikap pada Aluna dan membuktikan bahwa dia tidak sedang bermain-main.

*

Belum konflik ya. Pelan-pelan saja.

👑🐺
MRS BANG


Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 303K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
803K 51.9K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
2.5M 38.4K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
371K 1.5K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!