A Cup of Cocoa

By Mandascribes

3K 240 109

15+ [Novella] Warning: dark content. Azrael tahu bahwa Carolina pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik... More

Part 1
Part 2
Part 4

Part 3

476 49 36
By Mandascribes

Ketika Carolina duduk di bangku TK, dia pernah mendapat sebuah PR untuk menggambar sesuatu yang membuatnya bahagia. Saat teman-teman seumurannya menggambar benda-benda seperti sepeda dan boneka beruang, dia memiliki objek yang begitu berbeda. Carolina mencampuradukkan gradasi krayon di selembar kertas putih dengan tekun, alhasil mahakaryanya membuat banyak orang tersenyum untuk memberi apresiasi, termasuk para gurunya.

Gambar Carolina dan kedua orang tuanya telah lama terselip oleh magnet di dinding kulkasnya. Terpapar sinar mentari, tersiram tumpahan sirup, terlipat di bagian pinggirnya, tetapi Carolina tetap berhasil mempertahankan potret dambaannya itu selama beberapa tahun dengan berkali-kali mencoba memperbaikinya dengan selotip.
Carolina kecil merasa selalu bangga akan karya seninya itu, mengharap benda itu dapat menyokong pengabulan doanya tiap malam, bahwa saat itu hidupnya tak bisa lebih sempurna lagi bersama kedua orang tuanya.

Namun, objek kebahagiaannya tidak ikut tersenyum untuknya.

Jika gambar itu hidup, kertas itu akan tersobek tepat di tengah-tengahnya, membuat Carolina tak lagi dapat menyatukan senyum dari kedua sudut bibirnya.

Beranikah ibu Carolina berkata bahwa ayahnya pergi demi wanita lain? Hatinya sendiri bahkan terlalu remuk untuk merasakannya. Yang Carolina tahu, dia tak lagi melihat sosok ayahnya semenjak usia sepuluh tahun, dan meskipun dia masih memiliki seorang ibu, Carolina merasa bahwa ibunya pun telah menghilang.

Nyonya Sullivan selalu pergi ke Tuhan-tahu-di-mana dan Tuhan-tahu-dia-melakukan-apa, Carolina pun tak memiliki pilihan untuk mengatur keperluannya sendiri sejak dini. Bahkan, kini pekerjaan ibunya beralih jadi miliknya. Sewaktu pagi dia akan berangkat sekolah dengan bekal sepotong roti kering untuk makan siang, di rumah dia harus membersihkan kekacauan yang dibuat Nyonya Sullivan tiap malam--mabuk-mabukan. Selain harus membereskan bau alkohol sampai dia harus membuang seluruh karpet yang ada di apartemennya, dia harus bersedia menjadi peredam amarah Sang Ibu yang terkadang melontarkan serangan verbal dan fisik padanya. Apa yang bisa diperbuat Carolina muda tidak banyak--hanya menangis di kamarnya yang sudah berbau ganja. Suatu hari dia pernah membuang seluruh simpanan narkoba itu, tetapi luka-luka memar pada tangan dan kakinya menjadi konsekuensi yang diterimanya.

Sesuatu membuat mama Carolina hancur. Sesuatu membuat Beliau yang selama ini merupakan figur wanita nomor satunya menjadi pengancam yang abusif. Carolina merindukan ibunya yang dulu, setidaknya ketika ibunya masih menganggap Carolina sebagai darah dagingnya. Akan tetapi, kini dengan membiarkan dirinya terekspos di  depan mata mamanya saja akan membuat Carolina menjadi target kebencian tanpa ampun.

"Andai saja aku tak harus melahirkanmu. Aku benar-benar muak melihat wajahmu, aku tak ingin melihat refleksi pria brengsek itu tiap kali kau menatapku. Sungguh, aku membencimu Carolina."

Dan Carolina pun sempat membenci dirinya sendiri karena itu--mengapa dia harus memiliki garis rahang dan hidung lurus milik ayahnya? Mengapa dia harus terlahir hingga membuat keluarganya--hal yang benar-benar membuatnya bahagia, lebih menjadi semakin berantakan? Hantaman demi hantaman diterimanya, malam-malam ketika Nyonya Sullivan pulang dari kepergiannya selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, Nyonya Sullivan bahkan pernah berniat kabur walau hanya selama sebulan penuh agar tidak bertatap muka dengan Carolina lagi. Carolina biasanya sudah tak ingat akan kekerasan itu, tahu-tahu dia terbangun di siang hari, kepalanya tertumbuk di lantai dengan darah yang mengucur dari hidung dan gegarnya. Kendati begitu, Carolina pandai menyembunyikan memarnya dan tetap pergi ke sekolah dengan mengenakan sweater ekstra besar.

Kejadian itu menimpanya bertubi-tubi. Ketika dia akan mulai menekuni buku pelajarannya di malam hari sambil meringis kesakitan karena luka di sekujur tubuhnya, lalu dia mendengar pintu apartemennya terbuka dengan bunyi brak kasar, dia tahu bahwa Nyonya Sullivan bakal memburunya saat itu juga.

Pernahkah sekali pun Carolina melawan?

Tidak pernah.

Carolina hanya diam dan memeluk dirinya sendiri di sudut ruangan, untuk kemudian pingsan setelah ibunya memecahkan sebotol bir di atas kepalanya.

"Anak tidak BERGUNA!"

Carolina sampai pernah terlalu sakit untuk dapat beranjak dari apartemennya. Dia merasa bahwa dia bisa mati kapan saja, tetapi dia beruntung ketika Nyonya Sullivan memutuskan untuk pergi meninggalkannya selama beberapa hari, cukup baginya untuk menyembuhkan diri hingga ia bisa kembali bersekolah.

Di lain hari, siklus itu akan berulang kembali padanya. Carolina terbangun di lantai dapur berlumuran serpihan-serpihan kaca, matanya bengkak sebelah sehingga ia kesusahan melihat. Sedikit disingkirkannya beling-beling yang membuat tubuhnya berdarah-darah, dan dia menyeret tubuhnya  mendekati kulkas yang bagian celahnya menyembulkan sehelai kertas yang telah sobek. Diraihnya kertas itu, dan pada parasnya yang pucat dan babak belur, Carolina tersenyum. Tersenyum pada kebahagiaan yang menurutnya masih dia miliki.

Aku masih memiliki mama. Dia akan menyadari perbuatannya. Kapan pun itu.

Carolina mendekap selembar kertas itu di dadanya.

*

Carolina mulai dapat tersenyum dalam tangisnya dan bersyukur dalam dukanya, tidak setelah tali gantung itu menggaet leher ibunya di udara. Merenggut 'kebahagiaan' terakhir yang tersisa bagi Carolina, menutup harapan bahwa ibunya akan bertahan melalui kerumitan hidup yang memilukan. Carolina merasa bahwa kehadirannya di dunia adalah sebuah kutukan, karena ibunya pun tak menginginkannya, dan dia tak bisa membahagiakan mama yang pernah membesarkannya. Semua orang dalam objek kebahagiaannya meninggalkannya sendiri. Seakan kesedihanlah yang selama ini menjadi teman setianya, bahkan melebihi keluarga terdekatnya.

Ayahnya tidak datang ke pemakaman, tidak memberikan belasungkawa, bahkan mengirimkan setangkai bunga pun tidak. Bersamaan dengan kematian ibunya, Carolina menganggap Tuan Sullivan pun telah mati bersamanya.

Carolina tidak mengenal warisan; uang milik ibunya ludes dipakai membeli obat-obatan terlarang. Carolina hanya bisa mengandalkan subsidi pemerintah untuk beasiswa sekolahnya dan sedikit uang jajan. Dulu ketika sekujur tubuhnya masih dipenuhi memar, dia merasa lebih mampu bertahan. Kini, dia merasa terlalu takut sendiri, sehingga dia menciptakan luka buatan di sekujur lengannya. Mengusir segala pilu yang menghantuinya tiap malam, di apartemen yang sama ketika dia menatap jasad Nyonya Sullivan yang menggantung di langit-langit. Ke mana seluruh keluarganya pergi? Dia kadang bertanya pada langit yang sunyi.

Aku tidak berhak hidup ... aku ingin mati, pikir Carolina dalam keputusasaannya yang terdalam.

Dari hiruk-pikuk kota terbesar di seluruh dunia, Carolina mampu mengasingkan dirinya sendiri di dalam kamar flatnya. Tak lagi mengagumi keindahan New York yang akan selalu ramai baik dengannya atau tanpanya; ia begitu merasa insignifikan.

*

"Hahaha ... dasar gadis aneh!"

"Mati saja kau seperti ibumu, pengecut!"

"Mengapa kau tidak bunuh diri saja, tengkorak?"

"Kill yourself."

Koridor sekolah adalah medan perang yang harus dilalui Carolina setiap hari. Penampakan Carolina yang kurus kering membuatnya terus dihina oleh seisi sekolah--julukannya adalah tengkorak berjalan. Sifat Carolina yang selalu pendiam juga membuatnya dijauhi, tak satu pun mau berteman dengannya. Ketika pelajaran berlangsung, Carolina berusaha agar dia dapat duduk di barisan paling belakang agar teman-teman sekelasnya tidak terus-terusan melemparinya dengan kertas dan permen karet. Ketika melalui koridor, Carolina hanya bisa menunduk memeluk buku-bukunya sambil menerima cercaan yang semua orang lontarkan padanya.

Brak!

Tak sadar, Carolina terlalu ceroboh dan tak melihat seseorang di depannya. Gadis kurus berambut brunette itu segera memohon maaf berkali-kali, lalu terhenyak ketika mengetahui seseorang yang ditabraknya. Carolina segera menarik napas.

Jason adalah laki-laki terpopuler di sekolahnya. Posturnya tegap dan berotot, maklum, dia adalah ketua tim football di Stuyvesant High. Para gadis cheerleaders selalu berusaha membuatnya ceria meskipun dia tidak sedang bermain di lapangan. Carolina tidak akan bohong bahwa dia pernah tak sengaja menatap Jason terlalu lama ketika kelas berlangsung, mengagumi bagaimana sinar mentari siang membuat rambut hitam gelapnya begitu berkilau. Jason adalah makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan untuk siapapun selain dirinya yang begitu dekil.

"Kau gunakan atau tidak sih, matamu itu?" Jason membentaknya keras di hadapan teman-teman gank-nya yang berisi sekumpulan laki-laki populer. Carolina kini menjadi pusat tatapan tajam, dan dia hanya bisa menunduk ketakutan.

"Atau jangan-jangan dia sengaja menabrakmu, Jason? Dia naksir mungkin!" Salah satu teman Jason, Bryce, berkelakar. Diremasnya kedua pundak Carolina hingga gadis itu merasa kesakitan. "Hei, aneh, kau sadar kan kalau kau ini ... buruk rupa?"

Jason hanya mendecih melihatnya. "Memangnya siapa yang mau dengan tengkorak berjalan sepertimu? Hahaha," tawanya dengan angkuh.

"M-maaf ... aku tidak bermaksud--"

"MAAF?" Bryce berteriak di hadapannya. Disenggolnya lengan Jason sambil terpingkal. "Jason, dia sepertinya lebih bagus berada di tempat sampah. Apa kita harus memberinya pelajaran?"

Kawan mereka yang lain, Alex, mengangguk-angguk. Mereka semua melayangkan senyuman menyeringai yang semakin lebar ketika Carolina makin terlihat ketakutan. Beberapa mulai memegangi pundaknya dan mengangkat kakinya, seluruh buku Carolina pun berjatuhan. Sementara Bryce sudah membuka tutup tempat sampah besar yang bersandar di sebelah pintu toilet, Carolina meronta dan memekik, "Hentikan!" sebelum tubuhnya akan diaduk di wadah penuh makanan busuk.

"Oh no, guys, Pak Guru datang!" Jason berseru terkejut dan menghempaskan kaki Carolina di lantai begitu saja. Yang lain berbondong mengikuti Jason dan membuat kepala Carolina terantuk di loker besi koridor. Murid-murid lain yang menyaksikan pun berpura-pura masa bodoh dan pergi meninggalkannya sendiri, sementara Carolina hanya tersedu sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit.

Carolina mengepalkan tangan erat begitu dia ditinggalkan sendiri di koridor itu. Bahkan sebelum Pak Guru menanyakan kabarnya, Carolina sudah memelesat dan berlari menembus hujan yang mengguyurnya.

Aku ingin mati.

*

Mobil-mobil yang melintas di bawah terlihat seperti semut-semut kecil, Carolina sudah tak ragu lagi bahwa ketinggian gedung itu amat tepat untuk melayangkan nyawanya. Carolina bernapas menggigil sambil berkedip-kedip, menghindari air hujan merasuki bola matanya selagi dia menikmati keindahan gedung pencakar langit Brooklyn yang begitu megah. Dia melentangkan kedua tangan hingga buku-buku jarinya gemetaran karena dingin bak es yang perlahan membekukannya sembari menatap awan mendung dan kilat yang seakan ingin memecah angkasa.

Semua orang di dunia ini menginginkannya mati. Termasuk teman-teman sekolahnya yang tak luput menghujaminya dengan cemoohan. Carolina tak tahu apa dosa yang telah dilakukannya hingga kehidupan terus menyiksanya dengan penderitaan, tetapi kini Carolina memutuskan bahwa dia akan mengambil 'jalan keluar'.

Carolina menarik napas dalam-dalam di antara gemeletuk giginya. Memusatkan perhatian pada ketinggian gedung suram itu, melihat beberapa pejalan kaki berpayung yang berlalu-lalang di jalanan. Carolina berpikir, setidaknya mereka akan segera menemukan mayatku. Carolina sudah tak memiliki orang yang dia kenal lagi dalam hidupnya, jadi dia juga tidak perlu repot-repot menulis wasiat terakhirnya pada dunia. Carolina memejamkan mata, lalu ia mengangkat satu kakinya ... selamat tinggal, dunia yang kejam.

Carolina sudah akan meloncat bebas, sebelum suara seorang pemuda membuatnya menunda aksinya.

"CAROLINAAA!!!"

Gadis itu meletakkan kakinya kembali dan menoleh dengan ragu, dan di sanalah Carolina mendapatinya: seorang pemuda tampan berambut pirang dengan mata biru terjernih yang pernah dia lihat; pemuda itu bahkan jauh lebih tampan dari sosok Jason sang bintang football sekolahnya. Pemuda itu mengenakan pakaian mantel dari kulit yang begitu tidak umum, yang membuat Carolina tak habis pikir, mengapa pemuda itu mau repot-repot mengejarnya sampai sejauh ini? Carolina malah memiliki anggapan bahwa ia salah seorang rekan Jason yang bermaksud usil padanya. Untuk apa teman Jason ini kemari?

Pemuda itu terlihat tegang ketika Carolina mengamatinya dalam diam. Perlahan dia maju mendekat sambil menunjukkan ekspresi nanar, tak memedulikan keadaannya yang jadi basah kuyup di bawah cuaca dingin New York.

"Carolina ... kumohon, jangan lakukan ini," kata pemuda pirang itu kemudian, kedua matanya menatap dalam pada lubuk hati Carolina.

"Apa aku mengenalmu?" Suara serak Carolina akhirnya terdengar. Wajah gadis itu sudah tidak berekspresi lagi, dia seakan nyaris terlihat seperti mayat hidup. Carolina menghela napas sambil mengigil untuk mengumpulkan nyali terakhirnya untuk berjaga-jaga jika pria itu memang akan memberikan penindasan terakhir untuknya. Setelah semua penindasan yang dialaminya.

Pemuda pirang itu menggeleng. "Mungkin kau tidak mengenalku, tetapi aku mengenalmu." Dia mulai menawari Carolina dengan juluran tangannya, berharap Carolina akan menggapainya. Akan tetapi, Carolina tetap menatapnya bingung.

"Aku tak mengerti," Carolina tersenyum miris. "aku selalu sendiri, tak ada yang peduli padaku. Seluruh dunia telah merenggut apa yang kumiliki. Kini ada orang asing yang ingin menyelamatkanku?" Gadis itu bergeming dari posisinya di ujung atap. "Aku tak yakin denganmu, orang asing."

"Mungkin aku memang orang asing bagimu ...," Carolina dapat menyaksikan kegugupan pemuda yang nampak sangat khawatir itu. "tetapi, sungguh ... aku amat tahu tentang kematian. Itu sangat mengerikan. Apapun yang kau alami selama ini tidak dapat membenarkan aksimu sekarang. Jika kau mau mendengarkanku dulu ... aku berjanji kau tidak akan menderita lagi ...."

Akan tetapi, mendengar itu, Carolina justru tak terima dengannya. "Apapun yang kualami? Kau tidak tahu sama sekali tentangku. Jangan sok tahu!" Carolina mulai terisak, meski luncuran air mata dan hujan yang mengusap wajahnya sudah tidak bisa dibedakan.

Tanggapan Carolina sukses membuat pemuda itu terpegun.

"Kau tidak akan tahu bagaimana rasanya menjadi sepertiku ... seakan dunia ini menyoraki kehancuranku hingga berkeping-keping ... seakan kebahagiaan tidak akan pernah bisa kuraih ... dan aku tak memiliki siapa-siapa untuk dapat kujadikan sandaran." Carolina menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Kau tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya sendiri sebatang kara sepertiku."

"Kau masih terlalu muda!" balas pemuda itu seketika. "Carolina, aku tidak bermaksud meremehkan kesedihanmu. Ketahuilah ... hidup selalu akan menjadi lebih baik. Jika kau ingin mengakhirinya ketika kau belum mencapai kebahagiaanmu, kau hanya akan merasakan penderitaan yang abadi. Kumohon Carolina ...."

"Aku tak memiliki tujuan apa-apa lagi. Dan jika memang kehidupan akan menjadi lebih baik, aku benar-benar tidak peduli. Aku ingin pergi. Sekarang," Carolina memberontak.

"Carolina, kau akan benar-benar menyesalinya. Kau tidak patut menyiksa dirimu seperti ini. Apakah kau tidak percaya bahwa dirimu begitu berharga?" sanggah pemuda itu dengan panik.

Sebenarnya, Carolina hanya tidak pernah mendengar seorang pun mengatakan itu kepadanya. Kalimat yang didapatnya selama ini hanya cercaan menyakitkan, juga perlakuan yang kasar. Siapapun pemuda yang ada di hadapannya itu, Carolina mulai percaya bahwa dia mungkin adalah orang baik-baik. Namun, segalanya sudah terlambat bagi Carolina. Meski ini adalah kesempatan terakhirnya, Carolina bersyukur setidaknya ada satu orang yang peduli padanya, dan dia berharap pernah mengenalnya.

"Maafkan aku," kata Carolina akhirnya, disunggingkannya senyuman yang begitu menyedihkan. Pemuda itu terbelalak bukan main ketika Carolina mengayunkan tubuhnya sendiri ke belakang, tertiup pusaran angin dan terembus jatuh dengan kencang, memelesat bersama rintikan air dengan percepatan yang sama.

"CAROLINAAA ...!"

Pemuda itu menyebut namanya lagi dengan lantang. Carolina hanya melihatnya dari jarak yang semakin jauh. Sambil tidak menghilangkan senyumannya, dia menitikkan air mata dan merasakan bobotnya menembus udara. Jatuh dari ketinggian memberikan sensasi menggelitik di seluruh tubuhnya, setidaknya itu untuk sementara dapat menghilangkan perasaan dingin yang kini membuat jemarinya mati rasa. Toh, Carolina akan segera mati, jadi rasa tak nyaman semenyakitkan apapun dia akan pasrah menghadapinya.

Carolina merasa waktu saat itu bergulir cukup lambat. Dia dapat melihat butiran-butiran air yang jatuh bersamanya di udara, bisa melihat akar-akar petir yang merambat pelan, bisa melihat lantai demi lantai tingkatan gedung yang dilaluinya, lalu ketika dia mulai akan melihat pemuda pirang di tepi atap itu lagi ...

Pemuda itu menyusulnya.

Mantelnya berkibar-kibar saat dia memposisikan dirinya terjun lebih cepat, Carolina menatap iris mata birunya yang terkena silau kilat di langit. Ketika kilat itu mengerjap dan pemuda itu sudah akan meraihnya, dalam waktu sepersekian detik pemuda itu mengingatkannya pada para malaikat. Carolina sendiri belum pernah melihat mereka, tetapi entah mengapa keelokan rupanya sungguh membuat Carolina terpana, bahkan ketika Carolina sudah berada di ambang mautnya. Hampir saja Carolina merasa bahwa waktu sedang dihentikan, ketika pemuda pirang itu akhirnya mendekap wujudnya dan membalik tubuh dengan cepat sehingga posisi Carolina ada di atasnya. Di balik lengan-lengannya yang kuat, Carolina mendekam di balik lehernya sehingga dia tak melihat langit lagi, menyadari tanah yang semakin mendekat ....

BRAKKK!!!!

Hitam. Hantaman keras itu menggetarkan tulang dan persendian Carolina, membuatnya tak sadar untuk beberapa detik lamanya. Carolina mulai lega bahwa kini mungkin saja seluruh tubuhnya telah terluka parah dan dia sedang sekarat dengan tenang. Hal yang mengherankan terjadi selanjutnya, terutama ketika Carolina tidak merasakan sakit sedikit pun kecuali sedikit rasa pusing dan kedinginan akibat dilanda hujan. Walau dia telah jatuh bermeter-meter dari tanah, dia tak merasakan kerasnya jalanan aspal yang sudah pasti akan menghancurkan tengkoraknya, alih-alih, dia merasa berada di atas sesuatu.

Carolina memberanikan diri untuk membuka mata, menyadari kerumunan massa yang mulai mengelilinginya dengan prihatin. Carolina tak sempat berpikir bahwa rencana bunuh dirinya gagal--karena dia terkejut melihat pemuda pirang tadi, yang kini tengah terkulai tepat di bawahnya, menghantam tanah lebih dulu, sukses melindungi tubuhnya dari benturan dahsyat.

Carolina memekik nyaring.

<bersambung>

Continue Reading

You'll Also Like

141K 27.9K 33
Sequel Menjadi Putri Duke Terkutuk. Disarankan untuk membaca itu lebih dulu.
1M 56.4K 106
SEDANG TAHAP REVISI seorang namja cantik dan manis yg kehidupannya sangat menyedihkan karna di jual oleh ayah nya sendiri semata mata hanya demi mend...
66.2K 18.7K 200
"Aku tidak terlahir sebagai orang yang beruntung, aku terlalu kuat." Dalam perjalanan pulang larut malam, Xiao Li menemukan surat permintaan bantuan...
69.3K 4.3K 44
Aku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. A...