Bunga Iris dan Takdir

Da hanyapisang

77.4K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... Altro

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Bendera Perang?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Kesan Pertama?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Tawaran Perdamaian?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Sialan?
Berbicara?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Power Bank?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Hah!
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Hangat?
Pulanglah?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Bagaimana?

1.2K 209 29
Da hanyapisang

Tell me where our time went
And if it was time well spent
Just don't let me fall asleep
Feeling empty again

(Pressure, Paramore)

--------------------------------------

Lagi-lagi ponselku bergetar karena panggilan masuk dari Jisoo.

Dan lagi-lagi aku mengabaikannya, tidak mengangkat panggilan darinya sejak beberapa hari yang lalu.

Maafkan aku Jisoo. Menurutku sekarang belum saatnya aku berbicara denganmu. Aku masih harus memikirkan dulu apa yang harus kulakukan terhadapmu, sehingga ketika aku menemuimu lagi aku bisa memberimu sikap yang pasti. Aku tidak mau menggantungmu ataupun memberikan harapan palsu padamu dengan kebaikanku.

Setidaknya itulah yang dikatakan Seungcheol beberapa hari yang lalu ketika aku bercerita mengenai masalahku dan Jisoo padanya. Seungcheol membebaskanku untuk memilih apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Tetapi dia juga mengatakan bahwa akan lebih baik jika aku tidak bersikap seolah memberi Jisoo harapan yang tidak bisa aku penuhi. Aku harus tegas untuk kebaikan Jisoo, dan juga untuk kebaikanku sendiri.

Masalahnya adalah sekarang apa yang harus aku lakukan?

Yang aku mau adalah Jisoo kembali beraktivitas dan memulai rutinitasnya seperti dulu. Belajar, tinggal di asrama lagi, dan bermain bersama teman-temannya, yang kuharap dengan Jisoo menghabiskan waktu bersama mereka, luka karena ditinggal kakak perempuannya perlahan akan memudar.

Aku ingin memberikan dukungan dan penghiburanku kepada Jisoo supaya dia bisa menjalani hidupnya lagi dengan ceria dan keluar dari penjara yang dibuatnya sendiri. Hanya saja aku tidak ingin melakukan hal itu dengan bayang-bayang kakak Jisoo yang ada padaku. Aku ingin melakukan peran itu sebagai Yoon Jeonghan. Yoon Jeonghan yang adalah teman satu asrama dengannya, teman satu klubnya, teman baiknya, dan bukan pengganti kakaknya ataupun pengganti siapapun.

Apa yang harus aku lakukan untuk Jisoo?

"Kenapa kau terlihat lesu?"

Tanpa mendongakkan kepalaku, aku tahu siapa pemilik suara itu.

Kwon Soonyoung, yang setelah bertanya  kemudian ikut duduk di lantai di sampingku, di pojok ruang kelas koreografi dengan posisi bersandar ke dinding.

"Tidak ada apa-apa," jawabku sambil tersenyum lemah padanya.

Mungkin karena melihat wajah suramku, Soonyoung tidak mengatakan apapun dan hanya menepuk pundakku pelan seperti sedang menguatkanku. Setelah itu, kami sama-sama terdiam, larut dengan pikrian masing-masing.

Kebisuan terus terjadi di antara aku dan Soonyoung, sementara satu persatu peserta kelas koreografi mulai meninggalkan ruangan sampai hanya menyisakan beberapa orang yang masih mengobrol, termasuk Wen Junhui dan Xu Minghao yang saat ini berada di seberang sisi lain ruangan. Kalau saja bisa aku ingin sekali membuat waktu berhenti sejenak sehingga aku dapat beristirahat sebentar dari segala macam pikiran yang membebaniku saat ini.

Aku menyandarkan belakang kepalaku ke dinding dan memejamkan mata, mencoba menghilangkan bayangan sedih Jisoo di dalam benakku.

"Jeonghan?" kudengar Soonyoung menggumamkan namaku.

"Ya?"

"Terima kasih."

Meskipun tahu apa maksudnya, aku pura-pura tidak mengerti. "Untuk apa?"

"Untuk bantuanmu terhadap hubunganku dan Jihoon," ujar Soonyoung dengan suaranya yang pelan hampir seperti bisikan. "Jika kau tidak melakukan apa yang kau lakukan dua hari yang lalu di kafetaria, mungkin sekarang aku dan Jihoon masih akan saling diam... atau lebih tepatnya dia masih akan menghindariku."

"Tidak masalah," aku mengangkat pundak, menunjukkan padanya bahwa apa yang kulakukan bukanlah suatu hal yang besar. "Aku juga melakukannya untuk diriku. Paling tidak sekarang karena Jihoon tidak lagi tidur di kamarku, aku bisa menikmati tempat tidurku sendiri."

Soonyoung tertawa, menganggap bahwa apa yang aku katakan barusan hanyalah sebuah guyonan. Padahal sebenarnya aku sangat serius dengan ucapanku.

Dengan Jihoon mulai tidur di kamarnya, aku bisa tidur di tempat tidurku sendiri. Dan dengan aku tidur di tempat tidurku sendiri, itu berarti aku tidak perlu mencemaskan tangan Seungcheol yang dengan nakalnya selalu menemukan tempat-tempat yang tidak seharusnya dia berada.

"Apa kau dan Jihoon sudah kembali seperti dulu?" tanyaku, membuka mata dan menoleh untuk menatap langsung wajah Soonyoung.

"Kalau yang kau maksud 'dulu' adalah dia masih sering jutek dan galak padaku, hubungan kami memang sudah kembali seperti dulu," sahut Soonyoung dengan rona merah yang samar-samar muncul di pipi dan telinganya. "Aku tidak mengeluh dengan hubungan yang seperti itu. Aku lebih menikmatinya daripada jika dia mendiamiku..." Soonyoung lalu memberiku senyuman lebarnya sebelum melanjutkan, "Bagiku seorang Lee Jihoon terlihat semakin imut saat dia sedang galak padaku, apalagi jika itu untuk menutupi rasa malunya."

Tidak tahu harus membalas seperti apa pernyataan Soonyoung barusan, aku hanya memutar bola mataku sebagai respons. Soonyoung memang seorang masochist sejati jika berhadapan dengan Jihoon yang seorang tsundere tingkat dewa.

"Kalian tidak pulang?" tiba-tiba suara lantang Jun terdengar seperti ditujukan untuk kami.

Aku dan Soonyoung sama-sama mengalihkan pandangan ke arah Jun yang sedang berjalan menghampiri kami, dengan Minghao yang mengekor tidak jauh di belakangnya. Mereka terlihar sudah selesai membereskan barang-barang dan bersiap untuk pergi.

"Aku masih ada latihan klub setelah ini," jawab Soonyoung setelah mereka berdua berdiri tepat di depan kami.

"Kau tetap datang ke klub yang tidak ada gunanya itu?" Minghao mengernyitkan kening tidak setujunya pada Soonyoung. "Bukankah aku sudah menyarankan supaya kau memanfaatkan bakat kerenmu untuk sesuatu yang lebih menguntungkan?"

"Aku sedang mencoba memanfaatkan bakatku dengan bergabung ke klub," protes Soonyoung. "Lagian pementasan tidak akan lama lagi, jadi aku harus rajin datang untuk latihan."

Jun mendecakkan lidahnya. "Dengan bakat sepertimu, kau hanya butuh dua kali latihan untuk menguasai peranmu sebagai penari latar yang hanya muncul di satu scene."

"Aku adalah laki-laki yang bertanggung jawab," Soonyoung membusungkan dadanya dan menepuknya penuh bangga. "Sekali aku memutuskan sesuatu, aku akan terus berusaha menyelesaikannya sampai akhir."

Jun dan Minghao hanya saling bertatap, benar-benar tidak bisa berkata-kata melihat tingkah Soonyoung.

"Kalian mengajar lagi hari ini?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

Minghao menganggukkan kepalanya dengan semangat. "Sekarang aku juga sudah resmi menjadi pekerja paruh waktu di sana dan tidak hanya jadi asisten Jun."

Aku dan Soonyoung sama-sama berseru senang dan mengucapkan selamat pada Minghao. Bagaimanapun bayaran pekerja paruh waktu dan asisten pekerja paruh waktu tetaplah berbeda.

"Apa kau sedang menunggu Seungcheol untuk pulang bersama seperti biasanya, Jeonghan?" tanya Minghao.

"Tidak," jawabku. "Aku ada janji dengan orang lain."

Hari ini Seungcheol bilang sedang ada urusan dengan Mr. Shin, makanya dia langsung pulang setelah kelas melukis selesai.

"Jeonghan!"

"Nah! Itu dia orangnya," tambahku sambil memberikan tanda 'oke' ke arah laki-laki yang baru saja menyerukan namaku dari ambang pintu ruang kelas koreografi.

"Kau akan pergi ke suatu tempat dengan Jihoon?" tanya Soonyoung dengan nada tertarik.

Jujur saja aku butuh refreshing, karena itu aku sengaja mengajak Jihoon untuk menemaniku pergi ke toko musik.

"Ya," jawabku membenarkan sambil mulai memasukkan botol minum dan handukku ke dalam ransel. Tidak sulit untuk bisa menebak akan ke mana arah pertanyaan Soonyoung.

Dengan senyum lebarnya Soonyoung meraih lenganku dan sedikit menggoyang-goyangkannya. "Apa aku boleh ikut kalian?"

Tepat seperti dugaanku.

"Bukannya tadi kau bilang ada latihan klub?" tanya Minghao mengingatkan.

"Tidak masalah," tukas Soonyoung cepat. "Aku bisa bolos untuk hari ini."

"Dan kau baru saja bilang dengan bangganya kalau kau adalah orang yang bertanggung jawab," Jun tertawa mengejek. "Di mana letak tanggung jawabmu?"

Soonyoung mengerucutkan bibirnya. "Ini adalah urusan lain dan lebih berprioritas tinggi."

Mengabaikan Jun yang masih tertawa kecil, Soonyoung melihatku dengan tatapan mata memohonnya. "Jeonghan, izinkan aku iku kalian, kumohon..."

Aku menghela napasku. Tidak mungkin aku bisa menolak ketika Soonyoung sudah seperti ini. "Semuanya terserah pada Jihoon."

"Yeay!" pekik Soonyoung senang, seolah-olah dia sudah sangat yakin kalau Jihoon akan mengizinkannya ikut bersama kami.

***

"Sekarang ke mana kita akan pergi?" tanya Soonyoung saat kami bertiga, aku, Jihoon, dan dirinya, keluar dari toko musik.

"Makan," jawabku. "Aku lapar."

"Aku juga," Jihoon menyetujui.

"Baiklah," Soonyoung mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi mau makan apa kita?"

"Mau makan ke restoran cepat saji?" tawar Jihoon

"Aku mau," Soonyoung menanggapi dengan antusias. "Ayam goreng di restoran cepat saji adalah salah satu makanan favoritku. Sudah lama sekali aku tidak memakannya."

"Kalau kau, Jeonghan?" Jihoon bertanya padaku.

Sejujurnya aku juga sudah lama tidak makan makanan seperti junk food, mengingat makanan di kafetaria asrama harus memenuhi sarat gizi dan nutrisi yang sudah ditentukan oleh pihak pengelola. "Aku ikut kalian saja."

Soonyoung mengedarkan pandangannya ke sekeliling sebelum akhirnya menunjuk sebuah bangunan restoran cepat saji yang cukup terkenal, tidak jauh dari tempat kami berdiri. "Kita makan di sana?"

"Boleh," jawabku dan Jihoon, tidak sengaja secara berbarengan.

Kami bertiga berjalan menuju restoran cepat saji tersebut dengan formasi Soonyoung yang terus saja menempeli Jihoon yang berusaha menjauhkan diri darinya. Sementara aku dengan pasrah mengikuti tepat di belakang mereka.

"Kwon Soonyoung, kau menjauhlah!" geram Jihoon sambil mendorong Soonyoung ke samping. "Kau berjalan terlalu dekat!"

Kenapa aku merasa sepeti orang ketiga di antara mereka?

Di dalam restoran, suasana cukup ramai. Kami bertiga harus mengantri sekitar empat antrian untuk bisa memesan makanan. Dan setelah giliran kami tiba, aku memesan beef burger, kentang goreng, dan segelas diet coke. Jihoon memesan menu yang sama denganku, sedangkan Soonyoung, dia memesan satu bucket besar ayam goreng, spaghetti, dan sebotol air minal.

"Di mana kita akan duduk?" tanya Soonyoung celingukan mencari meja yang kosong.

Jihoon menunjuk dengan dagunya. "Kita duduk di sana saja."

Setelah itu, dengan membawa nampan makanan kami, aku dan Soonyoung mengikuti Jihoon menuju meja kosong di pojok ruangan dan mendudukkan diri masing-masing. Seperti biasanya, Soonyoung  dan Jihoon duduk bersebelahan dengan aku yang duduk di kursi di depan mereka.

"Kapan-kapan kita harus pergi ke toko musik lagi," ujar Soonyoung sebelum menyuapkan ayam goreng ke dalam mulutnya. "Tadi benar-benar menyenangkan."

Tidak ada tanggapan dariku maupun Jihoon. Aku terlalu sibuk memakan burgerku sementara Jihoon mulai mencocolkan kentang gorengnya ke dalam saus tomat.

"Jeonghan? Soonyoung? Jihoon?"

Gerakan makan kami bertiga serempak terhenti sebelum menoleh ke sumber suara. Entahlah kenapa di banyak tempat yang ada di Seoul, kami harus bertemu dengan mereka di sini.

Seungkwan. Dan juga...

Seungcheol?

Sedang apa dia di sini bersama Seungkwan?

Bukankah dia bilang ada urusan dengan Mr. Shin?

"Oh, halo!" sapa Soonyoung dengan ceria setelah mampu menguasai keterlejutannya. "Kalian juga ada di sini?"

"Ya," sahut Seungkwan tidak kalah antusiasnya. "Aku tidak menyangka kalau akan bertemu kalian di sini. Apa kami boleh bergabung?"

Belum sempat aku, Jihoon, ataupun Soonyoung menjawab permintaan izin Seungkwan, dengan seenaknya Seungcheol langsung mendudukkan diri di sampingku dan menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. Aku mengernyitkan kening ke arahnya sebagai teguran, yang malah dibalas dengan senyum sok manisnya padaku.

"Tentu saja," Soonyoung mempersilahkan, yang menurutku sudah tidak ada gunanya lagi karena sikap 'tidak tahu sopan santun' dari Seungcheol. "Duduklah!"

Seungkwan mendudukkan dirinya di samping Soonyoung, meletakkan nampan makanan di atas meja, dan dengan tenang memakan makanannya. Salah satu hal ampuh yang bisa membuat seorang Boo Seungkwan diam adalah makan.

"Kenapa kau tidak makan?" tanyaku pada Seungcheol. Kulihat dia tidak membawa makanan apapun di tangannya selain sebotol air mineral.

"Aku ke sini hanya untuk mengantar Seungkwan," sahut Seungcheol, disusul dengan tangannya yang mengambil kentang di depanku dan menyuapkannya ke dalam mulutnya. "Aku tidak terlalu lapar."

Seungcheol tiba-tiba meraih pergelangan tanganku yang sedang memegang burger dan membawanya untuk mendekat ke arahnya. Dengan gigitan yang besar, dia lalu menggigit burgerku, mengunyahnya perlahan, sebelum kemudian menelenanya. Seungcheol mengulangi kegiatanya tersebut dua kali lagi sebelum akhirnya membebaskan genggamannya dari pergelangan tanganku.

Uh! Tidak terlalu lapar apanya!

Lihat saja apa yang sedang dilakukan Choi Seungcheol saat ini! Setelah memakan lebih dari separo beef burgerku, tanpa henti-hentinya dia mengurangi jumlah kentang gorengku dengan terus memasukkannya ke dalam mulutnya. Aku saja belum memakan satupun, dan dia sudah menghabiskan hampir setengahnya.

Sebenarnya kenapa Seungcheol dan Seungkwan bisa berada di sini? Kenapa dia tidak memberi tahuku kalau akan pergi dengan Seungkwan?

Dan kenapa hal itu membuatku jadi kesal padanya?

Aku kembali fokus dengan beef burgerku, berusaha mengabaikan Seungcheol yang sekarang sedang mendomiansi makananku. Mungkin aku sedikit kesal pada Seungcheol karena tadi dia bilang akan ada urusan dengan Mr. Shin sehingga harus menolak ajakanku untuk pergi ke toko musik bersama Jihoon, tetapi ternyata aku malah mendapatinya sedang berada di luar bersama Seungkwan.

"Omong-omong kalian dari mana?" Soonyoung membuka topik obrolan sambil menyodorkan bagian paha ayam goreng di depan Jihoon. "Atau kalian memang sengaja pergi ke tempat ini untuk makan karena bosan dengan makanan asrama?"

Terima kasih Soonyoung karena kau telah menanyakan sesuatu yang sangat sangat ingin aku ketahui.

Seungkwan melirik ke arah Seungcheol dengan ragu sebelum membuka suara, "Aku dan Seungcheol baru saja dari rumah Jisoo."

Gerakan mengunyahku terhenti.

Rumah Jisoo?

"Kenapa kalian pergi ke rumah Jisoo?" tanyaku.

"Tentu saja untuk bertemu Jisoo, untuk apa lagi?" sahut Seungkwan mendecakkan lidahnya seolah mengkritikku yang menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya.

Kutatap Seungcheol dengan tajam, tanpa suara menuntut penjelasan darinya.

"Mr. Shin meminta tolong padaku untuk menemui Jisoo dan menanyakan kabarnya karena lagi-lagi dia tidak bisa dihubungi," jelas Seungcheol sambil memaksa menyuapiku kentang goreng, sama sekali tidak mempedulikan raut kesalku. "Dan karena Seungkwan seharusnya ada urusan juga dengan Jisoo, makanya kami pergi ke sana bersama-sama."

Jisoo tidak bisa dihubungi?

Bukannya dari tadi dia meneleponku?

"Bagaimana kabar Jisoo?" tanya Soonyoung tanpa menyembunyikan raut khawatir di wajahnya. "Apa dia baik-baik saja?"

Seungcheol menggelengkan kepalanya. "Kami tidak tahu."

"Apa maksudnya kalian tidak tahu?" kali ini Jihoon yang angkat bicara dengan kernyitan di dahinya. "Bukannya kalian baru dari tempat Jisoo?"

"Kami tidak bertemu Jisoo," Seungkwan menghela napasnya lelah. "Lebih tepatnya Hong Jisoo tidak ingin menemui kami."

Perasaan bersalah mau tidak mau kembali datang padaku. Apakah Jisoo kembali menutup dirinya seperti ini karena aku? Karena aku yang menolak dijadikan sebagai sosok pengganti kakaknya?

"Untungnya saat perjalanan ke sini Seokmin menghubungiku kalau dia juga pergi mengunjungi Jisoo dan Jisoo bersedia menemuinya," tambah Seungcheol memberikan senyum lembutnya padaku yang aku tahu sebagai bentuk dirinya menenangkanku. "Kita tinggal menunggu kabar darinya tentang kondisi Jisoo. Akan lebih baik lagi jika dia juga berhasil membujuk Jisoo untuk kembali ke kampus."

Semoga saja...

Soonyoung menghela napasnya sedih. "Mungkin yang dibutuhkan Jisoo saat ini adalah waktu untuk dia menerima kenyataan kepergian kakaknya."

"Apakah menurut kalian Jisoo akan lebih cepat membaik jika dia menemukan sosok pengganti kakaknya?" tanyaku dengan suara pelan.

"Mungkin saja," tukas Jihoon menatapku dengan mata sedikit menyipit. Dia seperti bisa menebak makna di balik pertanyaanku. "Tetapi menurutku itu sama saja dengan memberikan harapan semu pada Jisoo dan membiarkannya hidup dalam kesemuan itu, karena bagaimanapun sosok pengganti tidak akan pernah bisa menjadi kakaknya. Yang dia butuhkan bukanlah pengganti siapapun, yang dia butuhkan adalah mulai menerima kenyataan yang terjadi padanya, menghadapinya, dan hidup dengan hal-hal itu."

Aku menundukkan kepalaku, mengerti sepenuhnya perkataan Jihoon. Apa yang ingin disampaikannya sama seperti yang telah disampaikan Seungcheol padaku.

Seungcheol menyandarkan sikunya di atas sandaran kursiku, lalu kurasakan tangannya mulai mengusap-usap lembut rambut di bagian belakang kepalaku. "Bukankah cara seperti itu tidak adil bagi Jisoo ataupun sosok yang dijadikan pengganti kakaknya?"

"Ya," gumamku menyetujui. "Sangat tidak adil."

"Apalagi tidak pernah ada orang yang benar-benar mirip kecuali mereka kembar identik," timpal Soonyoung. "Jika hal yang membuat seseorang dengan orang yang lainnya terlihat sama itu menghilang, bukankah mereka benar-benar akan menjadi dua orang yang berbeda?"

Jika hal yang membuat sama itu menghilang...

Aku menatap Soonyoung dan kuberikan senyum simpulku padanya. "Ya, kau benar."

"Sejujurnya kita tidak bisa berbuat banyak selain menunjukkan bahwa kita akan selalu ada untuknya," ujar Jihoon.

Seungkwan menangguk menyetujui, sebelum mengalihkan pandangannya kepadaku. "Jeonghan, bukankah kau cukup dekat dengan Jisoo? Mungkin saja dia akan lebih mendengarkan kata-katamu daripada kata-kata kami. Setidaknya bantulah kami untuk membujuknya supaya dia mau segera kembali ke kampus. Kau juga tahu jika ujian semester semakin dekat."

Seandainya semudah itu, aku pasti sudah melakukannya sejak awal.

"Akan aku usahakan," gumamku menanggapi.

"Kalau bisa segera, Jeonghan," tukas Seungkwan. "Empat hari lagi ada ujian kelas vokal. Dan jika Jisoo tidak mengikutinya, dia harus mengulang kelas lagi tahun depan."

Kuhembuskan napasku pelan.

Bicara memang selalu lebih gampang.

"Kita tunggu dulu kabar dari Seokmin," sahut Seungcheol. "Kalau soal kedekatan, bukannya Jisoo selalu lebih dekat dengan Seokmin dibandingkan kita semua?"

***

Semoga kalian suka dan terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Noerana^^

Continua a leggere

Ti piacerà anche

46.7K 4K 84
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
628K 18.4K 14
LAPAK BROTHERSHIP ✔️ NOT BOYS LOVE...❌ SUDAH END TAPI TETEP VOTE + FOLLOW PROSES REVISI Kamu tahu obsessi? Ya apa saja bisa dilakukan bahkan bisa m...
228K 34.3K 62
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
68.9K 7.1K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...