Bunga Iris dan Takdir

By hanyapisang

77.4K 11.5K 2.1K

Iris Art University adalah salah satu universitas seni ternama di Seoul, Korea Selatan. Salah satu tempat yan... More

PROLOG
Apa Kabar?
Teman?
Bendera Perang?
Tuan?
Canggung?
Kabar Buruk?
Kehadiranku?
Pindah?
Spekulasi?
Kesan Pertama?
Choi Seungcheol: Takdir, Sial!
Choi Seungcheol: Double Sial!
Setuju?
Jatuh Cinta?
Nyaman?
Mengobatiku?
Tidak Berbakat?
Jengkel?
Tawaran Perdamaian?
Pernyataan Cinta Soonyoung?
Cemburu?
Kemungkinan?
Alasan?
Kepastian?
Fokus?
Tanpa Kabar?
Tidur Bersama?
Berbicara?
Bagaimana?
Special Story I
Berbeda?
Move On?
Kencan?
Hai?
Pesan?
Orang Luar?
Milikmu?
Mengejutkan?
Power Bank?
Akhirnya?
Satu Menit?
Lee Jihoon: Dua Orang Bodoh
Choi Seungcheol: Hah!
Choi Seungcheol: Drama!
Harga Diri?
Bekas Ciuman?
Payung sebelum Hujan?
Yang Terbaik?
Special Story II: Lets Play A Game!
Special Story II: Never Have I Ever...
Deal?
Harga Diri? #2
Sudah Saatnya?
Hangat?
Pulanglah?
Keras Kepala?
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Spesial Story III Seungcheol: Urgent! Help Mee!!!
Ragu?
Berbicara? #2
Special Story IV Seungcheol's Birthday

Sialan?

1.3K 218 42
By hanyapisang

I don't want to run away
I want to stay forever
Thru Time and Time
No promises

(No Promises, Shayne Ward)

--------------------------------------

"Hari ini kau akan pergi lagi ke tempat Jisoo?"

"Ya," jawabku diiringi dengan anggukan kepala, tanpa menghentikan kegiatanku yang sedang mengikat tali sepatu.

Tidak terdengar sahutan lagi dari Seungcheol yang tengah duduk di atas tempat tidurnya, dengan badan yang menghadap ke arahku.

Sudah beberapa hari ini Jisoo memintaku untuk datang ke rumahnya dan menemaninya. Tentu saja mengingat kondisinya yang masih sedang terpuruk, aku tidak enak hati untuk menolak permintaannya. Apalagi semenjak kematian kakaknya sampai dengan hari ini, Jisoo belum juga kembali ke asrama ataupun memulai kembali aktivitas di kampus. Dia masih saja mengurung diri di rumahnya yang sepi itu. Beberapa kali aku bahkan tidak sendirian saat mengunjunginya. Seokmin akan selalu menyempatkan diri untuk ikut denganku mengunjungi Jisoo setiap kali dia ada waktu.

Aku menyadari sebenarnya Seungcheol tidak terlalu menyukai rutinitas baruku ini. Aku tahu bahwa sebenarnya dia merasa sedikit cemburu karena waktu kebersamaan kami yang semakin berkurang. Meskipun begitu Seungcheol tetap menutup mulutnya, berusaha untuk memahami situasi yang terjadi pada Jisoo. Dengan sangat bijaksananya Seungcheol tidak mengeluarkan protesnya padaku sedikitpun.

Dan melihat sikapnya yang seperti itu, selain membuatku semakin mencinyainya, juga membuatku menjadi merasa tidak enak padanya.

Apa sebaiknya aku mulai menolak permintaan Jisoo untuk mengunjungi dan menemaninya?

Tapi teman macam apa aku yang meninggalkan temannya ketika dia benar-benar sedang membutuhkanku?

Aku hanya bisa berharap Seungcheol akan tetap mengerti bagaimana kondisi Jisoo dan posisi yang kualami saat ini. Aku berharap dia bersedia memberiku waktu sedikit lebih lama lagi sebelum nanti Jisoo bisa sedikit memperbaiki hatinya.

"Kau ingin ikut denganku mengunjungi Jisoo?" tanyaku memecah keheningan yang terjadi di antara kami. "Setelah dari rumahnya kita bisa pergi ke suatu tempat."

"Apa tidak masalah?"

"Tentu saja tidak," jawabku sambil mengernyitkan kening kepadanya.

Memangnya kenapa harus ada masalah dengan Seungcheol ikut denganku ke tempat Jisoo? Selama ini Jisoo merasa baik-baik saja saat aku mengunjunginya dengan mengajak Seokmin bersamaku.

Sebenarnya apa maksud Seungcheol dengan pertanyaannya itu?

Seungcheol terlihat benar-benar berpikir selama satu menit penuh sebelum akhirnya memberikanku senyum simpulnya. "Sepertinya aku tidak bisa ikut ke tempat Jisoo denganmu."

Oh?

"Baiklah."

Berlawanan dengan jawaban 'baiklah' dariku, aku sengaja mengerucutkan bibirku dan memperlihatkan kekecewaanku karena penolakan Seungcheol atas tawaranku.

Kenapa Seungcheol tidak mau pergi ke tempat Jisoo denganku? Bukankah hari ini kami sama-sama tidak ada kelas?

Apa Seungcheol baru saja menolak ajakanku untuk pergi berkencan?

Melihatku yang membisu dengan wajah ditekuk, Seungcheol menghela napasnya, sebelum akhirnya berdiri kemudian melangkah mendekatiku. Dia mendudukkan dirinya di sampingku, terlalu dekat sampai-sampai lengan kami bersentuhan, dan menyandarkan wajah bagian samping kanannya di atas pundak kananku.

Bulu kudukku sedikit meremang ketika kurasakan hembusan lembut napas Seungcheol di leher bagian samping kananku.

"Aku tidak yakin Jisoo akan senang dengan kehadiranku," ujar Seungcheol pelan, hampir seperti bisikan. "Aku tidak ingin merusak suasana dengan ikut datang bersamamu ke tempatnya."

Merusak suasana?

Bagaimana mungkin kehadiran Seungcheol bisa merusak suasana?

"Jisoo sedang dalam masa terpuruk dan menurutku dia tidak terlalu nyaman dengan kehadiran orang lain kecuali dirimu," tambah Seungcheol menjelaskan pertanyaan yang tidak terucapkan dalam benakku. "Karena itu dia srcara khusus selalu memintamu untuk menemaninya dan bukan oleh teman-teman yang lain."

Benarkah begitu?

Kalau memang benar adanya seperti apa yang diucapkan Seungcheol, apa alasan Jisoo merasa nyaman bersamaku?

Bukankah dia telah berteman baik dengan Seungkwan dan yang lainnya bahkan sebelum bertemu denganku? Jadi seharusnya Jisoo merasa lebih nyaman dengan mereka dibandingkan denganku.

Atau jangan-jangan ini hanya alasan Seungcheol saja karena tidak ingin pergi berkencan denganku? Apa Seungcheol ingin balas dendam karena aku yang seakan tidak punya waktu untuknya beberapa hari terakhir ini?

Aku sedikit mengerjap ketika kurasakan Seungcheol semakin mendekatkan dirinya padaku dengan lengannya yang juga melingkar semakin erat di pinggangku. Dia mengangkat kepalanya dari pundakku dan berganti dengan menopangkan dagu di atasnya.

"Lagian kebetulan pagi ini aku juga sudah ada janji terlebih dulu dengan anggota klubku," sahut Seungcheol ketika aku tidak juga membuka mulutku untuk menanggapi ucapannya. "Bagaimana kalau kita janjian di suatu tempat ketika kau pulang dari tempat Jisoo dan aku sudah selesai dengan urusan klub?"

Janjian?

Berkencan?

Dengan segera aku menganggukkan kepalaku menyetujui usulannya. "Aku akan pulang lebih cepat dari tempat Jisoo kalau begitu."

Apa suaraku tidak terlalu terdengar bersemangat?

Demi Tuhan! Aku bisa merasakan Seungcheol mengulum senyumnya, dan itu pasti karena dia sedang menertawakan reaksiku yang kegirangan seperti anak kecil yang dijanjikan akan diajak ke kebun binatang oleh orang tuanya.

Tapi aku memang merasa sangat senang karena nanti aku dan Seungcheol akan menghabiskan waktu bersama-sama setelah hampir satu minggu ini kami jarang bisa bertemu. Bisa dikatakan aku dan Seungcheol hanya bertemu pada malam hari, di saat kondisi tubuh kami sama-sama lelah dan butuh untuk segera tidur, sehingga tidak ada banyak waktu untuk mengobrol.

Dengan kata lain aku merindukan waktuku bersama Seungcheol.

Aku merindukan Seungcheol.

Sial! Kenapa aku jadi cheesy seperti ini?

Aku benar-benar geli terhadap diriku sendiri.

"Jadi, jam berapa nanti kita akan bertemu?" tanyaku berusaha mengontrol wajahku yang rasanya sedikit memanas karena malu akan pikiranku tadi.

"Aku akan menyesuaikan denganmu."

Tanpa berbicara apa-apa, aku memegangi pergelangan tangan kiri Seungcheol yang terjalin dengan tangan kanannya tepat di depan perutku dan menariknya, sebuah perintah tak terucap supaya dia melepaskan jalinan kedua tangannya. Kemudian kuangkat pergelangan tangan kirinya itu di depan wajahku untuk melihat jam yang melingkar di sana.

09.30 pagi.

"Bagaimana kalau jam dua?" usulku. "Atau jam dua terlalu lama? Jam satu?"

"Jam dua tidak masalah," jawab Seungcheol sambil mulai menggesek-gesekkan hidungnya di pundakku, kembali menjalin tangannya di depan perutku setelah kulepaskan. "Apa yang ingin kau lakukan untuk kencan kita hari ini?"

Apa yang ingin aku lakukan hari ini bersama Seungcheol?

Apa yang...

Demi Tuhan!

Kegiatan Seungcheol yang masih menggosok-gosokkan hidungnya di pundak dan mulai menjalar ke leher kananku benar-benar mengganggu konsentrasiku untuk berpikir.

"Kenapa kau tidak memberiku usul?" tuntutku, menyerah ketika tidak ada satupun ide bagus tentang rencana nanti yang terpikirkan olehku.

"Bagaimana dengan menonton film?"

Kuputar bola mataku dengan jengah. Masih sempat-sempatnya Seungcheol mengecup leherku setelah melontarkan usulnya itu. "Belum lama ini kita sudah melakukannya."

"Makan bersama?"

"Kita bisa melakukan itu setiap saat."

"Memancing?"

"Tidak untuk hari ini."

"Pergi ke hotel dan menghabiskan malam kita bersama dengan... ADUH!" Seungcheol memekik dan refleks mengusap-usap puncak kepalanya. "Kenapa kau menjambak rambutku?"

"Itu adalah bentuk ketidaksetujuan atas usulanmu barusan," jawabku dengan kalem.

"Kau kan bisa melakukannya dengan hanya mengatakan 'tidak'," gerutu Seungcheol yang hanya kutanggapi dengan senyuman puas.

Salah siapa memberikan usul yang bukan-bukan.

"Ini usulan yang terakhir," sambung Seungcheol masih dengan sedikit menggerutu. "Ke game center atau karaoke?"

"Karaoke," tukasku cepat. "Aku belum pernah pergi ke tempat karaoke sebelumnya."

"Benarkah?" tanya Seungcheol terdengar tertarik. "Apa kau dulu tidak pernah pergi ke tempat karaoke bersama teman-temanmu? Atau dengan mantan pacarmu?"

"Tidak pernah."

Dulu aku sangat tidak tertarik untuk membentuk suatu hubungan pertemanan, jadi mustahil untukku menghabiskan waktu bersama teman-teman pergi ke tempat karaoke dan semacamnya jika teman saja aku tidak memilikinya. Selain itu area kencanku dengan Yuri juga sangat terbatas. Biasanya aku dan dia akan berkencan dengan menonton film, makan, atau lebih seringnya dengan hanya bertemu di halte bus yang ada di depan sekolahnya.

"Kalau begitu sudah diputuskan bahwa kita akan pergi karaoke jam dua nanti," ucap Seungcheol dengan senyum lebar yang tersungging di bibirnya. "Kita janjian di depan toko buku yang terletak di samping café biasanya kita makan? Kata Mingyu di dekat sana ada tempat karaoke yang bagus."

"Oke."

"Akhirnya kita bisa menghabiskan waktu berdua."

"Ya."

Terjadi keheningan nyaman di antara kami untuk beberapa saat.

"Jeonghan?"

"Hm?"

"Karena kita sudah membahas mengenai rencana kencan kita nanti, sekarang saatnya kita membicarakan tentang Jihoon."

Jihoon?

"Ada apa dengan Jihoon?" tanyaku bingung, benar-benar tidak bisa menebak arah pembicaraan Seungcheol.

"Kau tahu kan sudah berapa lama Jihoon tidur di kamar kita?"

Pertanyaan retorik yang tidak perlu dijawab tentu saja, mengingat aku dan Seungcheol sama-sama tahu berapa lama Jihoon telah tidur di kamar kami. Hampir satu minggu yang lalu ketika Jihoon pertama kali meminta izin untuk tidur di kamar kami, dan sampai dengan tadi malam Jihoon masih tetap tidur di kamar ini.

"Apa kau tidak ingin berbicara dengan Jihoon supaya dia segera menyelesaikan masalahnya dengan Soonyoung?" tanya Seungcheol lagi.

Omong-omong beberapa hari yang lalu Jihoon sudah menjelaskan kepada Seungcheol mengenai alasan kenapa dia menghindari Soonyoung.

Kulepaskan pelukan lengan Seungcheol dari tubuhku sebelum akhirnya kugeser posisi dudukku menjadi menghadapnya. "Apa kau keberatan dengan Jihoon yang tidur di kamar ini?"

"Tentu saja bukan karena itu," tukas Seungcheol. "Aku bukannya keberatan Jihoon tidur di sini. Sama sekali tidak. Apalagi dengan dia tidur di atas tempat tidurmu, aku jadi bisa tidur satu ranjang denganmu dan... ADUH!" Seungcheol kembali memekik ketika aku memukulkan tanganku ke dadanya. "Dan sekarang kenapa kau memukulku?"

"Supaya kau tidak mengucapkan sesuatu yang tidak perlu," jawabku sambil mengerucutkan bibir.

Bukannya jengkel karena aku baru saja memukulnya, Seungcheol malah terkekeh senang.

Sialan!

Apa dia menertawaiku karena sekarang aku sedang merona?

Demi Tuhan! Wajahku benar-benar memanas.

Memang, semenjak Jihoon tidur di kamar ini, aku harus rela tidur bersempit-sempitan dengan Seungcheol di atas ranjangnya yang seharusnya untuk satu orang. Sebenarnya bukan bersempit-sempitan yang aku permasalahkan, tapi karena harus tidur satu ranjang dengannya, ditambah lagi dengan ranjang yang sempit sehingga mengharuskan kami untuk berdekatan, Seungcheol jadi mempunyai banyak kesempatan untuk menggodaku. Entah kenapa dia selalu bisa membuat tangannya berada di tempat-tempat yang salah.

Seperti contohnya tiba-tiba saja aku mendapati tangan Seungcheol berada di dalam kaosku, dengan nyamannya berada di atas perutku...

Ugh!

Mengingat hal itu malah semakin memperburuk panas di wajahku, juga debaran jantungku.

Aku berdehem, berusaha mengontrol rasa maluku. "Secepatnya aku akan berbicara dengan Jihoon tentang hal ini."

Seungcheol mengangguk menyetujui. "Semakin cepat akan semakin baik. Bagaimanapun masalah mereka harus diselesaikan. Jika dibiarkan saja akan semakin memburuk dan berdampak tidak baik juga pada mereka berdua."

Dan berdampak tidak baik juga padaku jika terus-terusan tidur satu ranjang denganmu.

"Baiklah."

"Jeonghan?"

"Ya?" sahutku sambil mengangkat wajah untuk melihat tepat ke mata Seungcheol.

Terpaku, aku mengerjapkan mataku berulang-ulang.

Tanpa aba-aba Seungcheol mendekatkan wajahnya ke arahku dan menyentuhkan bibirnya ke bibirku, mengecup bibirku ringan sebanyak dua kali. Kemudian berlama-lama dia mengulum bibir atas dan bawahku yang sedikit terbuka bergantian, menyesapnya dengan lembut.

Dan ketika Seungcheol menjauhkan wajahnya setelah sedikit menggigit bibir bawahku, aku masih memproses apa yang baru saja sedang terjadi.

"Itu sebagai balasan karena kau telah menjambak dan memukulku tadi," ujar Seungcheol dengan ceria. "Sekarang ayo kita turun untuk sarapan!"

***

Aku merasakan bunyi deringan mengusik tidurku.

Apakah itu ponselku?

Dengan berat aku membuka mataku, dan sedikit mengernyit bingung dengan suasana ruangan yang tidak terlalu familiar olehku.

Ini bukan kamarku.

Tentu saja ini bukan kamarku, ini kamar Jisoo.

Tadi aku mengantuk dan memutuskan untuk tidur sebentar setelah memasang alarm dan meminta Jisoo untuk membangunkanku tepat jam satu.

Mungkin ini bunyi alarmku, yang berarti aku harus bersiap-siap untuk segera ke tempat yang aku dan Seungcheol sepakati untuk bertemu jam dua nanti.

Aku akan berkencan. Dan memikirkannya saja membuatku sangat sangat antusias.

"Kau sudah bangun?"

Aku menoleh dan mendapati Jisoo sedang tersenyum padaku dari kursi meja belajarnya.

"Ya," jawabku membalas senyumnya. "Jam berapa sekarang?"

Jisoo melihat ke arah jam beker yang ada di atas meja belajarnya sebelum menjawab pertanyaanku. "Jam empat sore lebih lima belas menit."

Aku mengerjapkan mataku bingung.

Apa aku tidak salah dengar?

Jam berapa tadi kata Jisoo?

Jam empat sore lebih lima belas menit?

Dengan panik aku mencari ponselku dan melihat ke layarnya, memastikan sendiri apakah benar sekarang adalah jam empat sore seperti yang dikatakan oleh Jisoo.

16.16

Dan deringan yang membangunkanku barusan bukanlah bunyi alarm, melainkan dering panggilan tidak terjawab dari kakekku.

Sialan.

Tidak ada pemberitahuan 'missed alarm' yang menandakan bahwa aku tidak mendengar bunyinya karena ada yang mematikannya.

Sialan.

"Jisoo, apa kau yang mematikan alarm-alarm yang aku pasang?" tanyaku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga emosiku.

"Oh, begitulah," Jisoo memberikanku senyuman lembutnya. "Aku juga mematikan panggilan telepon yang kau dapat. Aku tidak mau tidurmu terganggu, apalagi kau tertidur dengan sangat nyenyak."

Sialan.

Sialan.

Mengapa dia mengucapkannnya dengan begitu santai?

Tidak ada gunanya aku berada di sini.

Segera aku bangkit dari posisi dudukku di atas tempat tidur Jisoo, dan dengan terburu-buru memasukkan buku-bukuku ke dalam tas.

Di mana jaket sialanku?

Seungcheol.

Aku harus segera bergegas dan menemuinya. Dia pasti masih menungguku di tempat kita sepakat untuk bertemu.

"Jeonghan, kau mau pergi?"

Membisu, aku mengabaikan pertanyaan Jisoo. Aku tidak mau jika nanti aku membuka suara yang ada hanyalah nada marah dan sumpah serapah yang keluar dari mulutku.

Melihatku yang membisu dengan tergesa-gesa mengemasi barang-barangku, Jisoo berdiri dari kursi belajarnya dengan tampang khawatir. "Jeonghan, di luar sedang hujan deras."

Hujan deras?

Sialan.

Sabar Jeonghan. Sabarlah! "Kenapa kau melakukan ini padaku?"

"Melakukan apa padamu?"

Melakukan apa padaku?

Bukankah sebelum tidur aku sudah memintanya untuk membangunkanku seandainya aku tidak mendengar suara alarm di ponselku tepat pukul satu? Aku sudah mengatakan padanya bahwa aku ada janji yang sangat penting dengan Seungcheol hari ini.

Dan Jisoo mengatakan iya. Jisoo memintaku untuk tidur dengan tenang karena dia berjanji akan membangunkanku meskipun awalnya dia memprotes kunjunganku kali ini yang singkat.

Dia sudah berjanji demi Tuhan. Aku pikir dia tahu bahwa betapa pentingnya pertemuanku dengan Seungcheol hari ini. Tetapi sebaliknya, dia tidak membangunkanku, bahkan mematikan alarm dan panggilan telepon yang kudapat.

"Kenapa kau tidak membangunkanku Hong Jisoo?" tanyaku lagi, kali ini dengan gigi bergemelatuk, masih berusaha menahan emosi yang sepertinya mengalir dalam setiap darahku.

"Aku tidak tega membangunkanmu," jawab Jisoo bingung dengan reaksiku.

"Tidak tega membangunkanku?" ulangku sarkastis. "Alasan macam apa itu?!"

"Kau benar-benar tertidur pulas," tukas Jisoo. Kali ini dengan sedikit nada keraguan. "Dan ketika tidur, dengan rambut terurai, kau benar-benar mirip seperti kakakku. Aku..."

"SIALAN HONG JISOO!" Bentakku memotong segala ucapan yang ingin dilontarkan Jisoo. Aku benar-benar tidak bisa membendung amarahku lagi. "BUKANKAH TADI AKU SUDAH BILANG UNTUK MEMBANGUNKANKU JAM SATU KARENA AKU ADA JANJI DENGAN SEUNGCHEOL? KAU SUDAH TAHU BETAPA BERARTINYNA PERTEMUAN INI BAGIKU. DAN KAU SUDAH BERJANJI AKAN MELAKUKANNYA!"

Jisoo sedikit tersentak kaget melihatku berteriak penuh emosi. "Jeonghan, kau benar-benar marah padaku?"

Marah padanya?

Apa dia tidak melihat kalau aku saat ini sedang sangat marah?

Kembali kuabaikan Jisoo untuk mencari barang-barangku dan memasukkannya dengan sembarangan ke dalam tas.

"Maafkan aku, Jeonghan," kata Jisoo ketika tidak juga mendengar sahutan dariku, menatapku dengan tatapannya yang memelas. "Tapi aku tidak ingin kau pergi dari sini."

Tidak ingin aku pergi?

Apa maksudnya itu?

"Aku..." Jisoo melanjutkan kata-katanya dengan lebih pelan. "Aku ingin kau menghabiskan waktumu lebih lama lagi denganku. Aku ingin kau selalu di sini menemaniku."

Apa maksudnya itu?

Permintaan seperti apa itu?

Jisoo benar-benar sedang tidak rasional.

Sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari sini dan menemui Seungcheol. Yang terpenting sekarang adalah Seungcheol.

"Jeonghan!" panggil Jisoo tepat ketika aku membuka pintu kamarnya. "Aku mohon jangan pergi dulu."

Suara Jisoo benar-benar terdengar sangat memilukan.

Kuhela napasku letih. Kuurungkan niatku untuk melangkah pergi dari kamarnya dan kubalikkan badanku menghadap Jisoo yang terlihat cemas dan ekspresinya yang frustasi. Menunggu segala sesuatu yang ingin dijelaskannya.

"Jeonghan, maafkan aku."

Aku tidak menyahut.

Memandangi Jisoo, aku masih bertahan dalam kebisuanku.

"Aku takut kau akan meninggalkanku sendirian," gumam Jisoo lemah, tapi cukup keras untuk sampai ke telingaku. "Sudah cukup kakakku pergi dari sisiku. Aku tidak ingin kau juga meninggalkanku. Jika kau melakukannya, itu berarti sama dengan aku akan kehilangan sosoknya untuk kedua kalinya."

Sepertinya aku mulai paham sekarang.

Meskipun masih sangat marah dengan apa yang diperbuatnya, tidak mungkin aku membentak-bentak Jisoo jika melihat kondisinya saat ini.

"Tapi aku bukan kakakmu," ujarku berusaha selembut mungkin. "Aku dan kakakmu adalah sosok yang berbeda."

"Aku tahu itu," sahut Jisoo dengan suara tercekat. "Hanya saja dengan melihatmu aku seperti melihat sosok kakakku hidup lagi bersamaku. Saat aku bersamamu aku merasa seperti sedang menghabiskan waktu bersama kakakku dulu di rumah ini."

Jadi itu alasannya kenapa Jisoo selalu memintaku untuk mengunjunginya?

"Apalagi rambutmu," lanjut Jisoo dengan ringisan miris. "Aku rela melakukan apapun hanya untuk bisa melihatmu, melihat rambutmu, lebih lama lagi denganku. Aku mau melakukan apapun supaya kau bersedia menghabiskan waktumu lebih lama lagi bersamaku."

"Jisoo, ak-"

Tiba-tiba ponselku berdering, membuyarkan apapun yang ingin aku ucapkan

Dari Seungcheol.

Sialan! Sebelum aku sempat mengangkatnya, deringan ponsel itu berhenti.

Aku harus segera pergi dari sini. Sudah jam setengah lima.

"Maafkan aku Jisoo," kataku, membalas tatapan sedih memohon yang diberikan Jisoo untukku dengan tatapan meminta maaf. "Tapi aku bukan kakakmu dan tidak akan pernah bisa menjadi dirinya. Aku harus pergi."

Tanpa menunggu apapun reaksinya, aku membalikkan badanku setelah mengucapkannya. Pergi meninggalkan Jisoo, meninggalkan rumahnya, serta mengabaikan seruan panggilannya.

Untunglah Jisoo tidak mengejarku.

Ketika sampai di teras rumah Jisoo, aku menambah kecepatan langkahku menuju pintu pagar, menerobos hujan yang saat ini masih cukup deras.

Persetan dengan basah dan kedinginan.

Semoga saja aku akan cepat menemukan taksi. Harusnya aku menelepon taksi terlebih dulu.

Aku tercekat dan refleks menghentikan langkahku tepat ketika aku keluar dari pintu tinggi pagar rumah Jisoo.

Seungcheol.

Kulihat Seungcheol sedang duduk berjongkok di seberang jalan tempatku berdiri saat ini, di bawah payung putih bening yang melindungi badannya dari guyuran hujan. Dan ketika dia melihatku sedang berdiri terpaku menatapnya, Seungcheol bangkit dari posisi duduknya dan segera berlari ke arahku untuk memayungiku.

Bibir Seungcheol membiru, yang aku tahu karena kedinginan.

"Seungcheol, maafkan aku."

***

Semoga kalian suka dan terima kasih sudah bersedia membaca cerita ini :)

Seperti biasanya aku berharap kalian menikmati ceritanya dan tidak bosan membacanya :"

Hallooooooo

Apa kabar?

Apa ada yang kangen dengan cerita ini dan masih menunggu-menunggunya?

Rasanya senang bisa kembali ke peradaban dan melanjutkan menulis lagi.

Terima kasih untuk kalian yang mau mengapresiasi tulisanku dengan memberi vote dan comment. Vote dan comment kalian benar-benar membuatku semangat untuk melanjutkan cerita ini.

Noerana^^

Continue Reading

You'll Also Like

225K 33.8K 61
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
431K 34.6K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh๐Ÿ’ซ"
94.8K 13.3K 29
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
104K 11K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...