Please, Don't Cry & Don't Go

By UmiAlathiif

47.6K 3.7K 576

Dia hanyalah adik kami. Tolong, Tuhan jangan kau coba ambil dia dari kami. Takkan kubiarkan Kau mengambil apa... More

Tiga Bersaudara
Sekarang Apa?
Dia Adikku
Keras Kepala
Musim semi (perbaikan)
Kembali
Cakrawala
Aku Tidak Ingin Pulang
Aku pulang!
Aku mendengarmu.
Elegi Senja
Elegi senja (2)
Kembalilah Waktu
Definisi Mati
Yang Datang Lari Bagimu
Putusan
Ekstra Part

Tugas Seorang Kakak.

4.8K 368 29
By UmiAlathiif

Lima tahun sudah usia Kuroko Tetsuya yang kini telah berubah wujud dari bayi mungil menggemaskan, menjadi bocah kecil lucu yang imutnya luar biasa. Surai biru langitnya dengan manik aquamarine senada dengan warna rambutnya itu mampu mengubah setiap mood buruk dikeluarganya. Ditambah lagi, kemampuannya yang mudah menghilang dan tiba-tiba muncul itu, selalu bisa mengejutkan siapa saja yang mengenalnya. Mereka menyebut kemampuan itu sebagai misdirection.

Kuroko kini tengah berkutat dengan kertas dan pencil berwarna ditangannya. Ia membuat garis, pola lingkaran dan entah apapun itu. Ia terlihat senang, dan menggemaskan.

"Selesai." serunya gembira. Khas anak kecil yang baru saja selesai menyelesaikan pekerjaannya dan ingin segera mendapat pujian. Maka larilah kuroko, menaiki satu persatu anak tangga yang menjadi jarak pada tempat yang menjadi tujuannya. Sebegitu riangnya ia, sampai tak peduli akan rasa takut pada ketinggian lantai dua yang akan nampak mengerikan, untuk dilihat dari ukuran anak berusia 5 tahun.

Perlahan, ia dorong pintu coklat berpola sederhana yang menghalangi langkahnya. "Ayah, Ayah!!" teriaknya saat telah berhasil memasuki ruangan kerja tempat ayahnya berdiam diri.

"Oh, Tetsuya. Ada apa?" balas sang ayah ramah, setelah tahu bahwa ia mendapat kunjungan dari malaikat biru yang indah. Setidaknya, kehadirannya itu sedikit membuat ia melupakan pekerjaan sulitnya.

Kuroko tersenyum manis. Meskipun sebenarnya ia selalu berwajah datar, ia tetap terlihat manis. Kuroko menyodorkan tangannya. Memperlihatkan pada ayahnya hasil karya miliknya. Disana terlihat gambaran yang indah, takkan ada yang percaya, jika bocah berusia 5 tahun yang menggambarnya. Sketsa-sketsa wajah itu terlihat sempurna untuk disebut sebagai gambaran bocah. Pewarnaannya mencolok sesuai dengan warna surai pemilik aslinya. Dua Aomine, dengan surai biru gelapnya, dan kise sang kakak, dengan rambut pirangnya. Tak tertinggal kuroko kecil dengan surai biru secerah langit, dengan tangan kecil mungilnya yang di genggam---
Ada satu surai biru lagi disana. Surai yang sama dengan milik malaikat kecil itu. ---ibunya---

Kuroko menggambarkan dirinya tengah digenggam erat oleh sesosok ibu yang tak pernah dilihatnya dengan wajah bahagia. Sungguh, itu pemandangan yang teramat indah. Namun, juga menyakitkan.

"Ayah? Ada apa?" tanya kuroko yang melihat ayahnya bertingkah aneh.

"Apa gambar Tetsu seburuk itu?" katanya lagi. Kini, manik Aqua nya terlihat berkilau. Memperlihatkan cairan bening hangat yang mulai membasahi pipinya.

"Te---tsuu." lirih sang ayah. Suaranya tertahan. Ia menangis dan memegangi dadanya. Ia memandangi anak birunya yang kebingungan tak tahu apa-apa. Ia mengelus sayang surai biru itu yang kini tengah terbelalak. Menampakkan mata jernihnya, melihat ayahnya memuntahkan sesuatu yang kuroko tahu itu berwarna merah. Kakaknya kise yang mengajarinya.

Ia merasa takut dan segera berlari. Menghampiri ponsel ayahnya yang sedang berbunyi. Menyanyikan dering lagu tanda sebuah panggilan masuk. Ia menerimanya dan tidak peduli siapa yang ada di seberang sana. kuroko hanya tahu, ayahnya perlu bantuan.

"Ayah, tolong ayah. Cepat, mulut ayah berwarna merah." tutur kuroko cepat.
Ia tidak peduli lagi pada suara kebingungan diseberang telponnya. Ia lari secepat mungkin, mengguncang tubuh ayahnya yang mulai hilang kesadarannya. Memanggil, berharap suaranya masih bisa didengar. Tapi, orang yang dipanggilnya ayah itu hanya membalasnya dengan senyum simpul bersamaan dengan matanya yang mulai menutup.

Satu jam kemudian, Kuroko sudah terduduk disalah satu deretan bangku tunggu. Kaki putih pucatnya ia ayun-ayunkan dengan riang, ia tidak tahu, atau mungkin--tidak mengerti dengan apa yang tengah menimpa ayahnya. Yang ia tahu saat ini, sekertaris ayahnya tadi datang kerumahnya, membawa dia dan ayahnya yang tidur dengan warna merah dimulutnya untuk datang ketempat ini. Dari yang ia dengar, orang dewasa menyebutnya rumah sakit. Ia tidak tahu tempat apa ini tapi, ia merasa tidak nyaman dan rasanya ingin segera bergegas, jika ia tidak ingat kalau ayahnya sedang tidur pulas disalah satu ruangan sana.

"Tetsuya-chi!!" pekik kise menghentikan ayunan kaki Kuroko. Segera, ia berhambur turun dan menghampiri si pemilik surai kuning, Kise.

"Ryota, Onii-Chaan!!" seru Kuroko riang, tahu kakaknya datang. Ia mengira kakaknya datang untuk membawanya pulang, setelah ayahnya bangun nanti. Ia tidak mengira, wajah lelah nan pucat kakaknya itu ditunjukkan padanya karena rasa khawatir. Ia masih mengira wajah itu ditampilkan kakaknya karena tak sabar untuk segera bertemu dengannya. Kuroko masih saja tersenyum manis dibawah wajah datarnya itu. Ia menelengkan kepalanya sedikit, coba menatap Kise yang masih mengatur nafasnya lelah. Jika saja bukan karena situasinya yang sudah dimengerti anak seusia kise, ia pasti sudah memeluk erat adiknya itu tanpa niat melepasnya karena saking imutnya. Tapi ...

"Tetsuya-chi, apa kau baik-baik saja?" akhirnya kise membuka mulutnya, mengungkapkan rasa khawatirnya. "Sebentar lagi Daiki nii-Chi akan kemari-ssu, apa ayah didalam sana?" ujar kise kemudian tanpa menghilangkan logat bicaranya yang agak--aneh.

Kuroko mengangguk tegas ala anak seusianya. "Hmm" katanya." ayah tidur lelap sekali disana." tunjuk kuroko pada sebuah pintu bercat putih dengan satu garis kaca hitam ditengahnya. Kise menunduk sayu setelah menatap pintu itu, sekilas terlintas tiga abjad yang sempat tertangkap matanya. ICU.

Apa ini Tuhan, apa kau coba mengambil ayah kami?

Masih belum cukupkah, kau mengambil kedua ibu kami?

Apa lagi yang akan kau ambil nanti, setelah ini?

Kise merengkuh tubuh kecil kuroko kedalam pelukannya. Ia ingin sekali menangis tapi, tidak boleh! karena itu hanya akan membuat adiknya merasa buruk. Seolah tersengat perasaan kise, tanpa ia sadari. Kuroko sudah menangis, sama persis seperti saat mereka bertemu untuk pertama kali, saat Kuroko yang menangis hanya karena melihat Aomine yang menangis.

"Ryota nii-Chan. Ayah, akan baik-baik saja kan? Ayo kita pulang, ajak ayah. Disini menyesakkan." tangis kuroko memecah keheningan Kise. Sekertaris ayahnya yang sedari tadi melihat adegan itupun tersentuh. Ia ikut menangis bersamaan tangis kuroko, yang disusul deraian air mata Kise yang perlahan jatuh, membasahi jaket biru muda milik kuroko.

Semakin erat Kise memeluk adiknya itu, berharap agar perlakuannya itu dapat membuat tenang hati adiknya yang mulai pilu. Sungguh, Kise tak tahan dengan hatinya yang terus menjerit akan kesakitan. Tapi ia harus menahannya. Demi adiknya, ayahnya, janjinya, dan, tugasnya sebagai seorang kakak.

***

Minggu, pukul 12.30. Tepat ditanggal 31 January. Hari yang seharusnya menjadi hari yang membahagiakan, dimana merupakan hari peringatan atas kelahiran seorang Kuroko Tetsuya, kini merangkap menjadi hari kematian bagi ayahnya. Ya, setelah satu minggu menjalani masa kritis diruang ICU, Aomine dewasa itu, ayah dari tiga anak bersurai dan bermarga berbeda itu mengambil nafasnya yang terakhir. Mengakhiri kisahnya, dan menjadi awal untuk luka yang baru- mungkin.

Anak biru langit itu menatap kosong pada apa yang ada didepannya. Manik aquamarine yang secerah warna langit itu tampak mendung. Usianya kini menginjak 6 tahun, tepat dihari ini. Hari dimana yang seharusnya ia menerima banyak hadiah dari orang terdekatnya,ia justru harus menerima kenyataan bahwa ayahnya kini sedang dibakar. Ayahnya yang terlihat damai itu, tengah berada ditengah upacara--ngaben. Ia menangis--tidak ada yang menyadarinya. Kedua kakaknya juga menangis, meski didalam hati-- dia tahu itu. Ia melangkah pergi untuk menjauh--tidak tahan-- tidak juga ada yang sadar karena hawa keberadaannya yang tipis. Tak buruk juga mereka memanggilnya hantu bayangan. Muncul tiba-tiba dan hilang tiba-tiba. Sudah macam cerita jalangkung saja.

Kise melihatnya. Adiknya yang duduk beralaskan rumput basah sisa hujan semalam, sedang menangis tersedu sedan. Menekuk lututnya dan memeluknya erat-erat, seolah takut kakinya itu akan tanggal jika ia melepasnya. Ia membenamkan kepala disela-sela tangannya yang memegangi lutut, suara tangisnya sangat menyayat hati, siapa saja yang mendengarnya. Tapi, itu kuroko. Adik kecilnya yang tidak pernah menunjukkan rasa sakitnya, meski terluka hingga berdarah-darah. Adik kecilnya yang selalu memasang wajah datar menggemaskan, meski sedang marah. Adiknya yang akan tetap berwajah sama ketika orang lain memasang ekspresi berlebihan untuk mengungkapkan kebahagiaannya. Tapi lihatlah, kini ia membenamkan wajah datar itu. Ia bahkan sampai bisa mendengar suara tangisnya yang begitu pilu. Ia telah menahannya sampai sedalam itu, ia pasti sedang sangat terluka. Luka yang teramat sangat menyakitkan, lebih menyakitkan dari luka yang membuatnya berdarah-darah.

Kise merasa tidak tahan lagi. Ingin sekali ia memeluk tubuh biru ringkih itu. Jika saja Aomine tidak mencegahnya, ia pasti sudah ikut menangis sesak. Bergabung, ikut berkabung duka yang dalam bersama Kuroko kecil mungilnya itu.

"Daiki--Chi." tangis kise " lihatlah dia nii--Chan," tambah kise lagi masih dalam tangisnya tanpa embel-embel -ssu di akhir kalimatnya. Ia sampai lupa logat bicaranya yang unik itu.

Aomine hanya diam, menatap sendu kesedihan yang ditunjukkan kedua adiknya itu. Ini memang hari yang sulit. Tidak ada kado-kado yang terbungkus memenuhi meja kamar untuk membuat hati adik birunya itu senang dihari kelahirannya. Tidak ada kue-kue ataupun ucapan-ucapan do'a. Yang ada hanya duka. Duka yang dalam. Sekali lagi hanya ada duka.

Kuroko limbung dari duduknya. Entah angin dari mana yang membuatnya terjatuh begitu, seolah balon udara yang mendadak terbang karena kehilangan kerikil yang menjadi tumpuannya untuk tetap tinggal. Kuroko tergeletak lemah, memperlihatkan mata birunya yang tertutup sempurna oleh lembaran putih pucat kelopak matanya.

Aomine dan kise sontak menjadi panik saat melihatnya. Segera direngkuh tubuh mungil itu dalam gendongan Aomine. Kise tanpa disuruh, segera menekan tombol ponselnya. 119. Nomor yang dia tekan, ambulan datang 3 menit kemudian. Segera kuroko mendapatkan pertolongan pertama. Kise meremas ponselnya hingga timbul satu garis retakan disana. Aomine menggigit bibir bawahnya hingga terasa perih. Mereka, kedua kakak itu mengkhawatirkan keadaan adiknya. Kuroko Tetsuya adik kecil mereka yang manis. Adik mereka yang selalu mengingatkannya pada kehangatan langit di musim semi. Lihatlah, semuanya lihatlah. Dia terbaring lemah tak berdaya.

Continue Reading

You'll Also Like

55.5K 5.1K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinship‼️ ❥Sequel Dream House ❥NOT BXB ⚠️ ❥Baca Dream House terlebih dahulu🐾 Satu atap yang mempe...
188K 18.5K 70
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
235K 24.9K 27
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...
69.7K 6.4K 74
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...