My 200 Pounds Fiance

By kurenaimai

137K 4.8K 518

More

part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
part 13
part 14
part 15
part 16
part 17
part 18

My 200 Pounds Fiance

27.9K 359 89
By kurenaimai

Bian, Biantoro lengkapnya, laki-laki berusia 28 tahun, anak seorang pengusaha garmen yang kaya raya, sehingga sedari kecil Bian selalu di limpahi oleh kasih sayang dan harta. Beruntung bagi Bian, disamping ayahnya yang hampir selalu tidak ada dirumah karena terlalu sibuk bekerja, ibunya selalu berada di sisinya, menemaninya, meski ibunya seorang lulusan fakultas teknik arsitektur, semenjak melahirkan Bian, dia memutuskan untuk berhenti menjadi wanita karier dan menjadi seorang ibu rumah tangga, karena dia pikir kesuksesan seorang wanita bukan hanya terletak pada karier tapi juga kebahagiaan suami dan anaknya ketika di rumah dan menghantarkan mereka menempuh kesuksesannya sendiri.

Tapi, meski memiliki ibu yang hebat, sepertinya Bian tidak membuatnya menghargai sosok wanita, hal itu tampak jelas dari perilakunya sehari-hari.

"Malam ini ada acara?" Bian, tidak memperhatikan laporan harian yang di pegangnya, melainkan memperhatikan Dian, sekretaris barunya, sekertaris yang lama berhenti seminggu lalu karena dicampakkan begitu saja oleh Bian. Beginilah perilakunya, sejak dia menjabat CEO di kantor ayahnya 3 tahun ini, sudah hampir 10 sekertaris dia buat patah hati dan mengundurkan diri.

"Anu, bos, kenapa ya?" Dian tampak gugup, menghadapi bosnya yang luar biasa tampan.

"Kan sudah aku bilang panggil mas aja." Suara Bian sungguh merayu. "Gimana? Ada acara? Cuma makan malam sepulang kerja. Ga masalah kan?"

"Ga kok, saya ga ada acara." Dian tersipu malu.

"Yasudah, kembali ke mejamu." Dian mengangguk dan berjalan cepat keluar ruangan ketika hampir saja menabrak Noel, salah satu manajer di perusahaan Bian sekaligus orang kepercayaannya.

Noel mengamati Dian curiga dan menggeleng-geleng menatap Bian." Again? Sumpeh lo? Hentikan lah kebiasaanmu itu."

"KEbiasaan yang mana?" Bian pura-pura acuh dengan memeriksa laporan harian yang dipegangnya.

Noel duduk di depan Bian, "Heh, dengerin gue," Bian masih acuh sehingga Noel mengambil laporan di tangannya.

"Hei, gue kerja!"

"Ssshh, dengerin gue dulu, kalau ini nanti si Dian berhenti gara-gara patah hati ama lo, rekor Bi, 11 sekertaris dalam waktu 3 tahun, kasian kan mereka."

"Iya, iya ngerti." Jawabnya malas.

"Bagian mana yang lo ngerti?" desak Noel.

"Bagian jangan bikin sekertaris gue patah hati."

"Nah, tuh ngerti, pinter."

"Ye, maksud lo gue bego?"

"Ga lah, kalo lo bego ga mungkin lulus Yale university cumlaude lagi. Cuma lo ga bisa mengendalikan diri."

"Mengendalikan diri?"

"Iya kalau gue amati ya, lo itu termasuk orang yang punya sekretaris fetish Bi."

Bian terbengong-bengong mendengar perkataan Noel. "Tunggu, apa maksudmu ama sekretaris fetish?"

"Itu orang yang turn on sama sekretaris."

"Lo pikir aku punya kelainan sexsual?"

"Ya barangkali, dengan melihat track record."

"Ngaco, kenapa sih semua menganggapku aneh? Lo sendiri hampir sebulan sekali ganti cewek ga ada yang anggap lo aneh. Tapi giliran gue?"

"Lebay lo, kapan gue sebulan sekali ganti cewek?"

"Ga mau ngaku lagi."

"Gini lho, mungkin karena lo itu bos besar di sini, CEO man!, terus korban lo Sekretaris, jadi itu aneh."

"Lo kan tau sendiri, gue jarang punya waktu, nah gue juga laki-laki normal yang butuh kehangatan wanita juga lah. Ga mungkin kan gue nongkrong d bar, club, café, ya yang ada dan bisa ketemu tiap hari ya Cuma yang jadi sekretaris gue lah. Lagian selama ini sekretaris gue yahud-yahud."

"Iya sih, sexy sexy semua, sayang mereka pada ga mau sama gue setelah lo campakkan."

Hal itu memang benar, Bian terlalu sibuk, beberapa tahun lalu dia pernah mencoba memiliki hubungan dengan seorang mahasiswi, tapi Bian terlalu sibuk dan capek menghadapi rengekkan mantannya itu, yang ingin bertemu setiap hari, menemaninya belanja, nongkrong. Mungkin mahasiswi terlalu anak-anak baginya. Bian juga pernah berhubungan dengan wanita yang lebih tua, berharap agar bisa mengerti tentang kesibukannya, tapi hasilnya sama saja. Begitu juga seperti sekretaris-sekretaris yang pernah di kencaninya, semuanya menuntut waktu dari Bian, padahal untuk sekretaris seharusnya mereka tak kurang waktu, karena bisa bertemu setiap hari. Tapi kenyataannya tak jauh berbeda. Dimana dia bisa menemukan wanita seperti ibunya? Yang sabar menunggu ayahnya dan selalu mensuport tanpa menuntut apapun secara berlebihan karena tahu betapa keras usaha ayah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

"Terima aja nasib lo." Bian tertawa. "By the way, tadi lo kesini mau ngapain?"Tanya Bian selanjutnya.

"Ah iya sampek lupa kan gue, elo sih." Bian menatap geli Noel yang penampilan fisiknya mengingatkannya terhadap pelawak terkenal jaman dulu bernama Kasino. semua orang tak akan mengira kalau di balik menampilannya yang tak menyakinkan, Noel seorang yang sangat cerdas dan milliader. Penampilan memang bisa menipu.

"Inget ga beberapa minggu lalu kita mau keluarin merk baru?"

"Iya, teruskan."

"Nah setelah audisi dan wawancara ratusan pelamar, kita nemu desainer muda yang handal, desainnya ciamik. Lulusan sekolah desain, wes pokoknya top markotop."

"Oh ya? Siapa?"

"Namanya Nila, itu dia lagi nunggu di ruang tunggu, ini profilenya." Noel menyerahkan map merah.

Bian membacanya sekilas, bagian berat badannya menarik perhatiannya daripada segalanya yang ada di situ. "100 kilo?" Bian melirik Noel yang terkekeh.

"Iya, kayak winnie the pooh. Ga masalah kan?"

Bian menggeleng," ga kok, asal dia benar-benar bagus kerjanya, yasudah bawa dia masuk."

Bian memperhatikan seorang wanita yang di profile tertulis berusia 22 tahun, dengan tinggi 170cm, dan berat 100 kilogram membuatnya tidak terlalu terlihat bulat, Nila menggenakan dress berlengan 7/8 dan dengan panjang melebihi lutut berwarna ungu tua, make upnya tipis, dan lipstick warna pink lembut, rasa percaya diri terpancar dari cara dia berjalan, sorot matanya dan senyumnya yang lebar.

"Selamat siang pak Bian." Ujarnya mantap dengan mengulurkan tangan kanannya.

"Siang ibu Nila." Bian menjabat tangan Nila, dan Nila menggoyangkannya sekali dengan mantab. "Silahkan duduk." Bian menunjuk kursi di depannya.

"Terima kasih." Nila duduk merapatkan kakinya dan meletakkan sebendel kertas di pangkuan, perutnya yang gendut tampak terlipat ketika dia duduk. Bian mengalihkan pandangannya ke wajah Nila yang putih, dan mulus. Tak tampak jerawat ataupun bercak kehitaman di sana. Bian menganggap wajahnya sangat cantik dan keibuan, kalau saja dia mau menurunkan separuh berat tubuhnya.

"Bawa porto folio?" Bian menanyakannya tanpa ada basa basi lagi.

Nila tersenyum dan menyerahkan bendelan yang ada di pangkuannya tadi. "Ini pak."

Bian berkonsentrasi membolak-balik setiap halamannya, berapa desain baju dianggapnya sangat brilian dan unik, "Bagus, saya suka."

"Terima kasih bapak." Nila tersenyum.

"Sudah tau kan apa yang harus di kerjakan?"

"Iya, tadi pak Noel sudah menjelaskan segalanya sebelum saya kemari."

"Yang jelas saya membutuhkan orang yang berdedikasi tinggi dan bekerja tak mengenal waktu."

"Iya saya siap."

"Kapan kamu siap untuk mulai bekerja?"

"Sekarang pun saya siap." Bian mengamati sosok tambun di depannya, begitu percaya diri. Untuk pertemuan pertama, Nila telah mendapatkan penilaian yang sangat positif dari Bian.

"Wow, bersemangat sekali ya, saya suka itu, pertahankan kalau bisa." Bian memujinya, dan Nila hanya tertawa kecil

"saya usahakan pak, bapak juga, semangat!" Nila mengangkat kepalannya mengikuti gaya kartun jepang. Mau tak mau Bian tertawa di buatnya.

"Oke, silahkan, nanti Noel yang menunjukkan dimana ruang kerjamu, selamat datang dan selamat bekerja."

***

Sudah jam 10 malam, Bian melirik meja sekretarisnya, nampaknya Dian belum pulang, Bian lupa kalau dia membuat janji dengan gadis itu, sebenarnya dia sangat lelah, tapi bagaimanapun juga janji adalah janji.

"Dian,"

"Iya mas."

"Belum makan malam?"

"Belum." Sahutnya tersipu.

"Yuk temani saya makan malam."

Bian menuju parkiran dan menuju sebuah mobil Mercedes benz warna silver, namun matanya tertuju pada sebuah mobil jenis city car yang terparkir tak jauh darinya, kap mobilnya terbuka dan dia melihat wanita tambun berbaju ungu tampak seperti memeriksa sesuatu.

"Sebentar ya Dian." Dian hanya mengangguk, mengamati Bian yang menuju ke arah wanita berbaju ungu.

"Nila?"

"Eh! Pak Bian, Aww!" Karena terkejut, Nila mengangkat kepalanya terburu dan membentur kap mobil dengan suara cukup keras, hal itu menyebabkan badannya sedikit limbung, tapi Bian segera memegang tangannya dan menariknya supaya tidak terjatuh.

Dari ekspresi wajahnya, jelas terlihat Bian mengerahkan tenaganya untuk menjaga keseimbangan agar tidak ikut terjatuh.

"Kamu ga pa-pa?" Bian mengusap kepala Nila yang terbentur tadi.

"iya makasih pak saya baik saja, maaf saya berat."

"hahaha iya kamu berat tapi ga masalah saya kuat." Becandaannya terdengar aneh, tapi itu membuat Nila tertawa.

"Kenapa mobilmu?"

"Entahlah pak, saya juga ga ngerti, udah hampir dua jam ga bisa nyala."

"Ga panggil bengkel atau siapa gitu?"

"Uhm, saya baru ada di kota ini satu minggu, belum kenal siapa-siapa pak, dan belum tau apa-apa."

"Oh wow, baru satu minggu tapi berani bawa mobil sendiri?"

"ya selalu ada yang pertama dalam setiap hal, harus berani memulai sesuatu untuk awal yang baik."

"Iya kamu benar, tapi aku juga ga ngerti soal mesin."

"Iya pak saya tahu."

"Lho tau darimana?"

"Kalau misal bapak tau soal mesin,pasti bapak sudah membantu saya memperbaiki."

"Ah iya benar juga."

"Permisi." Dian berdiri di dekat mereka. Nyaris saja Bian melupakan Dian.

"Mas, masih lama?"

"Ga kok, sebentar, oh iya Nila, mobil kamu tinggal disini saja, nanti biar orang saya yang urus, kalau kamu mau, kamu bisa ikut kami, belum makan juga kan?"

Nila memegangi perutnya. Lalu menggeleng, tapi dia memandang Dian yang tampak kesal ketika Bian menawari Nila untuk ikut dengannya.

"Tapi bukannya bapak sedang berkencan." Tanyanya polos. Dian menatap Bian, mungkin berharap Bian akan mengatakan iya.

"Ga lah, sekedar mau makan bareng aja, yuk ikut, sekalian aku antar pulang."

Nila sedikit ragu melihat kekecewaan di mata Dina, tapi dia lapar dan dia masih buta dengan kota ini. Jadi dia mengangguk dan mengikuti mereka berdua.

Nila melotot melihat menu makanan di restoran ini, "Mahalnya." Ucapnya keceplosan. Dan langsung merasa kikuk ketika Bian menertawakannya dan di sisi lain Dina melihatnya sinis. Nila menghela nafas.

"Kalian berdua boleh pesan apa saja semau kalian lho."

"Ditraktir?" Nila melongo menatap Bian.

"Iya."

Pelayan menghampiri meja mereka, Bian mempersilahkan Dian memesan terlebih dahulu.

"thai salad sama air mineral ya mas."

"Aku, hmm,.. wagyu steak sama milkshake vanilla, air mineral." Serempak, Bian dan Dian menatap Nila.

"Kelaperan?" Dian bertanya dengan tatapan sinis, Bian merasa kasian dengan Nila, tak seharusnya Dian selalu memandang dengan pandangan melecehkan seperti itu. Memang dia gemuk, tapi kan tak seharusnya di pandang seperti itu.

"Iya, aku ga kenyang kalau Cuma makan sayur, memangnya aku kambing." Bian berdehem menahan tawa.

"Saya, ini saja." Bian menunjuk buku menu.

Keheningan menyergap meja mereka bertiga. Bian sibuk dengan ponselnya begitu juga Dian, sedangkan Nila, duduk diam saja melihat-lihat sekeliling. Hal itu membuat Bian merasa tak enak hati dan merasa tak sopan.

"Kau tinggal dimana?"

"He? Saya?" Nila memastikan Bian berbicara kepadanya.

"Iya, kamu."

"Di jalan yos sudarso,"

"Oh ga jauh donk dari kantor."

"Iya pak,"

"Dian, tinggal dimana?"

"Di apartemen bougenvile."

"Keren juga kamu tinggal di situ."

"Iya mas, punya orang tua."

"Orang tua kamu kerja apa?"

"Mereka punya perusahaan juga mas, cuman ga besar."

"Oh ya? Dibidang apa?"

Nila memperhatikan percakapan mereka berdua dengan seksama, meski mereka berdua tak mengajaknya berbicara, Nila dengan serius menyimak dan tak menganggu, sekali lagi, hal itu menarik perhatian Bian, tapi dia tetap saja meneruskan bincang-bincangnya dengan Dian sampai pesanan mereka datang.

"Enak?" Tanya Bian setelah melihat Nila selesai menelan suapan terakhir steaknya. Sedangkan Dian, dia sudah tak menyentuh mangkuk saladnya dari 15 menit lalu, padahal dia hanya memakannya tak lebih dari separuh.

Dian dan Nila saling pandang, bingung Bian bertanya kepada siapa. Susahnya, selama ini Bian tak pernah makan malam dengan dua wanita sekaligus, hal ini banyak memberikan moment - moment yang kikuk, tapi dari makan malam ini,Bian menyadari bahwa mereka berdua memiliki sifat yang bertolak belakang, Dian merupakan gadis cantik yang biasa dia temui, kurang menghargai orang lain, dan manja. Sedangkan Nila, mandiri, sangat menghargai orang lain. Sepertinya dia pintar dan cerdas, andai saja dia langsing.

"Lezat, ya ada harga ada barang." Sahut Nila menjawab pertanyaanku. Dina hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian perhatiannya kembali teralihkan oleh smartphonenya.

"Sudah selesai?" lanjutku.

"Dian ga di habisin makannya?" Nila memandang mangkuk salad Dian.

"Ga, takut gemuk." Jawab Dian acuh, Bian memandang mata Nila, tapi ternyata tak ada rasa tersinggung disana, dia mungkin pandai menutupi.

"Oh, sayur itu bikin gemuk ya." Tanyanya polos, Dian hanya tersenyum terpaksa sebagai jawaban.

Malam ini merupakan kejadian yang menarik bagi Bian, tiba-tiba terlintas di pikirannya tentang akan mengajak Nila untuk makan malam lagi lain waktu. Tapi pikiran itu segera di hilangkannya.

bersambung di part 2


Continue Reading

You'll Also Like

Cafuné By REDUYERM

General Fiction

123K 11.1K 36
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
3.9M 87.3K 54
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
17.2M 823K 69
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
Istri Kedua By safara

General Fiction

170K 5.5K 39
nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang mengalami kelumpuhan di seluruh badannya dan stroke selama 5 tahun ia di paksa...