Geandert [Completed]

By kainansetra

126K 7K 592

[PART 27-28 DI PRIVATE] "Seharusnya cukup pertemanan tanpa harus melibatkan perasaan." - Aileen. "Gue akan me... More

Prolog
1. Elyshia Nesya Percival
2. Aileen Saralee Adinata
3. Masa Lalu
4. Cinta Begini
5. Who's that?
6. All I ask
7. Pupus
8. Cinta Kau dan Dia
9. Teror
10. Terjebak
11. Senja dan Malam
12. Anonymous
14. Cheese cake
15. Kehangatan
16. Egois
17. Hari ini datang
18. Berubah
19. Surat Kaleng
20. Pengakuan
21. Rival
22. 20-22/11/2015.
23. Sebuah Jebakan
24. Tolong
25. Kaisan Arsya Percival
26. Arsya dan Rival
Announcement
27. Love you, Goodbye
28. Let Me Love You [END]
EXTRA PART
EXTRA PART [ii]: SURPRISE!

13. Setitik Rasa

3.1K 189 8
By kainansetra

Aileen menghembuskan nafasnya lega saat bis yang mereka naiki kini terparkir sempurna di komplek perumahan rumah Raymond.

Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari, Langit Jakarta yang sangat gadis itu rindukan kini masih tampak hitam. Ribuan bintang di langit pun masih terlihat, sinarnya seolah berlomba siapa yang paling bersinar maka dia lah juaranya.

Awalnya Aileen mengira kalau dirinya tidak bisa lagi menikmati suasana kota Jakarta. Bencana longsor yang sempat menghalangi perjalanan mereka, membuatnya terperangkap di hutan yang gelap. Membuat Nesya terkena gigitan laba-laba beracun, serta membuat dia, Raymond, dan Nesya harus melawan empat orang yang tidak mereka kenal.

Aileen menyesal, sesekali ia menghembuskan kasar nafasnya, mengapa dia tidak membuka topeng anonymous mereka, dan malah membiarkan mereka berlari begitu saja?

Dan, Aiden.

Betapa terkejutnya mereka saat melihat apa yang Aiden bawa. Pisau itu sama persis seperti pisau yang orang-orang itu bawa. Raymond hafal betul bagaimana bentuk pisau tersebut. Aiden sendiri tidak kalah terkejutnya dengan mereka bertiga, matanya membulat sempurna saat mereka berteriak kencang.

-Flashback on-

"AAAAAA!" teriak Aileen dan Nesya, saat Aiden mengangkat pisaunya ke udara.

Keduanya tampak terkejut, Berbagai macam pertanyaan dan pikiran-pikiran negatif muncul dibenak mereka berdua. Bagaimana bisa lelaki itu mendapatkan pisau yang sama persis seperti itu? Apa mungkin, Aiden termasuk dari mereka?

Raymond berjalan ke depan, tubuh tegapnya seolah melindungi Nesya dan Aileen dari Aiden yang akan menerjang mereka.

Aiden mengernyitkan alisnya, "Lo pada ngapa sih?" tanya Aiden bingung.

Perkataannya membuat Nesya semakin kalut, sebab lelaki itu terus melangkah mendekati mereka. Tangan Nesya mencengkram erat polo T-shirt Raymond. Sementara Aileen, memeluk ketakutan tubuh mungil Nesya.

"Buang tuh pisau!" sungut Raymond sembari menendang kasar tangan Aiden yang terangkat di udara.

"Dih, kan lumayan ini." jawab Aiden memungut kembali pisau itu.

"Lo gila ya, Den! Ngelawan kita bertiga make topeng kayak tadi, dan sekarang dengan bangganya lo nunjukin muka lo itu?" Aileen bergidik ngeri membayangkan wajah sangar Aiden yang berada di balik topeng anonymous tadi.

Aiden melongok tak mengerti, "Ngomong apa sih?" tanya Aiden.

Aileen memutar malas kedua bola matanya sembari melepas pelukannya pada Nesya, kemudian gadis itu memberanikan diri untuk berjalan menghampiri Aiden. "Lo kan yang tadi ngelawan kita?" tanya gadis itu tegas.

"Ngelawan?"

"Iya, lo kan yang tadi ngelawan kita?! Buktinya pisau yang lo bawa sama pisau mereka sama! Mau ngelak apa lagi?!"

"Pisau?" Tanya Aiden bingung, "Ini maksud lo?" Aiden mengangkat pisau itu ke udara, membuat gadis itu mundur beberapa langkah,

"Jadi dari tadi lo semua ngira gue orang jahat? Hahaha!" lelaki itu tertawa kencang, bukan tawa yang biasa membuat hangat, melainkan tawa yang membuat Aileen sesak.

"Pisau ini," nada suaranya serius, lelaki itu mengusapkan pisau tersebut pada pergelangan tangannya,

"Gue nemu." lanjutnya singkat. Membuat mereka semua mengernyitkan kening,

"Tadi lo pada di serang?"

"Iyee." jawab Raymond.

"Tapi, pada gapapa kan?"

"Gapapa kok Den, Raymond sama Aileen yang melawan mereka." jawab Nesya dengan wajah pucatnya.

Aiden menganggukan kepalanya, "Yaudah bagus." ucapnya.

Hanya itu?

-Flashback off-

Riuh suara panik membuat Aileen tersadar dari lamunannya. Gadis itu menoleh kebelakang, mendapatkan Nesya tergeletak lemah di kursi bus paling belakang. Tangannya terkulai lemah ke bawah, semua orang kini berkumpul di sekitar Nesya.

Berbagai macam pertanyaan ditunjukkan untuknya, Raymond, dan juga Aiden. Raymond menjelaskan kronologis ceritanya, bagaimana awalnya Nesya mendapatkan gigitan laba-laba tersebut, sampai luka di kening Nesya.

Luka pada betis Nesya semakin parah, lebih membesar dari sebelumnya serta semakin membiru.

Dengan tangan gemetar, Aileen menghubungi rumah sakit, meminta agar ambulance segera datang menjemput Nesya.

Mereka semua kalut.

Fara dan yang lain menangis, tidak tega melihat Nesya seperti ini.

Aileen mengusap lembut kepala Nesya yang masih demam seperti tadi malam. Matanya sayu, menampakan bahwa ia tengah melawan rasa sakit. Mulutnya berusaha tersenyum. Senyum yang sengaja dia tunjukan agar mereka menganggap gadis itu baik-baik saja.

"Lo semua pulang sekarang." tegas Raymond membuat mereka memprotes ucapannya.

Mereka semua tidak mungkin meninggalkan Nesya dengan kondisi seperti ini.

"Nesya sekarang tanggung jawab gue. Percaya sama gue, Nesya aman dan akan baik-baik aja. Pulang sekarang jangan bikin orang tua lo khawatir. Dan inget, Sekarang udah jam satu, nanti pagi kita tetep sekolah."

Benar apa kata lelaki itu. Hari ini mereka semua akan kembali sekolah, tidak peduli baru tiba pukul satu malam. Ini adalah konsekuensi yang harus mereka tanggung karena menyelenggarakan acara ilegal seperti ini. Bahkan mereka sudah membuang waktu selama dua hari akibat bencana itu.

Satu persatu dari mereka mulai memberesi barang masing-masing. Aileen sibuk mengambil barang-barangnya di bagasi bis, gadis itu juga mengeluarkan barang Nesya dan Raymond agar nanti mereka tidak perlu repot-repot mengambil barang lagi.

Aileen menyapu keadaan sekitar, Para orang tua sudah menunggu mereka semua, menjemput putra-putri mereka yang terlambat dua hari dari jadwal kepulangan.

Gadis itu menghembuskan kecewa nafasnya, pasalnya dia tidak melihat satu pun keluarganya, sopir pribadi yang biasa menjemputnya pun tidak ada.

Gadis itu berjalan kembali masuk ke dalam bis, Sekali lagi Aileen melihat kondisi Nesya. Raymond tengah berbicara kepadanya, menggenggam tangan mungil Nesya sembari mengusap lembut kepala gadis itu.

Tapi, tiba tiba saja, Aileen meringis kesakitan, merasakan pergelangan tangannya dicengkeram kuat oleh seseorang, gadis itu menoleh secepat kilat.

Mengetahui siapa yang menahannya, Aileen memutar malas kedua bola matanya, "Lepasin." ucapnya singkat sembari menghentakkan tangannya.

"Pulang sama gue." kata Aiden menatap Aileen tegas.

"Enggak, gue bisa minta jemput."

"Ngga usah batu, udah sama gue aja."

"Engga, makasih."

"Yaudah gue tungguin, cepet telfon sopir lo." kata Aiden melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tangan Aileen,

lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada bidangnya sembari memerhatikan Aileen yang kini semakin menatap kesal dirinya.

Gadis itu mengeluarkan kasar ponselnya, jari-jari lentiknya mulai menari di atas layar ponselnya, mencari nomor telfon yang akan dia hubungi.

Sebelah alis Aiden terangkat, entah sudah berapa kali gadis di hadapannya menurunkan ponselnya, mencari nomor baru, kemudian meletakkan kembali ponselnya itu di telinganya. Namun sepertinya hasilnya sama.

Aiden tersenyum simpul seraya menggaruk hidung runcingnya, "Ngga ada yang ngangkat 'kan?" ucapnya.

Aileen berdecak kesal sembari keluar dari bis pariwisata, sementara Aiden terus membuntuti gadis itu dari belakang.

Lelaki itu bersiul kecil saat Aileen berjalan tanpa arah, "Udah ngga usah jaim gitu." celetuk Aiden.

Aileen tak menjawab ucapan Aiden, bahkan menoleh pun tidak. Gadis itu lebih memilih merespon ucapan teman-temannya yang lain saat hendak pergi meninggalkan komplek perumahan rumah Raymond.

Langkah gadis itu terhenti saat menyadari Aiden sudah tidak lagi mengikutinya, ia menoleh kebelakang dan benar saja tidak ada siapapun di belakangnya, hanya ada bus yang masih terparkir dibawah pohon besar.

Biip..

Kedua mata Aileen menyipit kesilauan, sebuah mobil silver berhenti di hadapannya. Gadis itu tidak tahu siapa pemiliknya, dia baru pertama kali melihat mobil itu. Perlahan kaca mobil terbuka, menampakkan Aiden yang kini memandangnya datar.

dih ganti mobil lagi? Gumam Aileen dalam hati.

"Ngapain masih bengong disitu? Masuk cepet."

"Nggak."

Aiden berdecak kesal, "Masuk."

"Ngga mau."

"Cepet."

"Ngga mau ih apaan sih!"

"Gue itung ampe tiga kalo ngga masuk gue tinggal. Satu.."

"Dua.." celetuk Aileen menimpali hitungan Aiden.

"Tiga." masih sama, gadis itu masih bersikukuh untuk tidak masuk kedalam mobil Aiden,

"Ya udah gue tinggal nih ya?" kata Aiden sembari sedikit menginjak gas mobilnya.

"Ngga peduli, tinggal aja."

Lelaki itu mengangguk kecil seraya memasang seatbeltnya, membuat Aileen membulatkan kedua matanya.

Apa yang harus dia lakukan? Aileen tidak mau disini sendirian.

Aileen menarik nafasnya dalam dalam, lalu berjalan memasuki mobil silver Aiden.

Bodo amat deh, dari pada gue sendirian tengah malem gini. Kata Aileen di dalam hatinya.

"Ngapain, Mba?" Aileen diam, ia mengenakan sabuk pengaman, lalu membuang pandangannya ke kaca mobil.

Gadis itu mengutuk dirinya sendiri yang kini tampak bodoh sekali, pertahanan sok juteknya hancur sudah.

Aiden tertawa kecil melihat wajah merah padam gadis di sampingnya, "Sok jaim sih lo!" ucapnya sembari mengacak rambut Aileen.

"Rejeki ngga boleh ditolak."

"Tadi kenapa nolak?"

"Khilaf, Mas."

Aiden mengangguk, dia tertawa kecil, hatinya terasa hangat saat ini, dengan ragu lelaki itu mengusap lembut kepala Aileen, membuat gadis itu langsung menepis kasar tangan Aiden.

"Ini kapan jalannya?"

"Kapan?"

"Iya, kapan mas?"

"Lo yakin mau ninggalin barang-barang lo kayak gitu?" tanya Aiden menunjuk tas koper Aileen yang masih berdiri di atas trotoar.

Aileen membulatkan matanya, dia menepuk keningnya, lalu dengan cepat gadis itu membuka kembali sabuk pengamannya dan berjalan keluar.

Aileen menoleh saat tangan besar Aiden mendarat sempurna di atas tangannya yang sedang mengambil koper, "Gue aja." ucap lelaki itu sembari mengambil alih koper Aileen, dan meletakkannya di bagasi mobilnya.

Gadis itu mengangguk kaku, "Gue ke bks dulu bentar, mau izin sama Nesya." ucapnya berlari kecil meninggalkan Aiden yang tengah sibuk dengan barang-barangnya.

Gila, itu orang kenapa sih, pikir Aileen sembari mengipasi dirinya dengan kedua tangannya.

"Lah elu ngapa masih disini?" tanya Raymond mendapati Aileen yang tengah berjalan menghampirinya.

Nesya tersenyum simpul, "Belum pulang, Leen?"

Aileen, gadis itu menghempaskan tubuhnya di kursi bis seraya menopangkan dagunya di tangannya, "Gue anu hmm," ucapnya.

"Anu?"

"Iya gue nganu,"

"Apaan sih, ngomong yang bener!" celetuk Raymond.

Aileen menggaruk kikuk kepalanya yang tidak terasa gatal, "Au ah, panas banget pipi gue." jawabnya sembari menangkupkan kedua tangan pada pipinya.

Nesya terkekeh kecil melihat sahabatnya itu sangat salah tingkah, "Pulang sama Aiden ya?"

Aileen mengangguk membuat Raymond menyeringai ledek, "Anjaaay!" cibir Raymond.

"Paan sih, terong!"

"Gapapa kali, Leen, lagi pula orang tua Aileen juga belum datang 'kan?"

"Ngga dateng lebih tepatnya, Sya."

Tok..tok..tok..

Terdengar tiga kali ketukan pada kaca bis, Aileen menoleh mendapatkan Aiden yang sedang menatapnya dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya,

"Gue balik duluan ya," ucap Aileen beranjak dari kursinya, "Cepet sembuh, Sya. Dan Ray! awas aja lo bikin bestie gue kenapa-kenapa lagi!" lanjutnya.

"Sans, Nesya aman ama gue, ya ngga, Sya?"

"Nesya ngga yakin Ray." jawab Nesya terkekeh kecil, membuat Raymond mengacak rambut gadis itu.

Aileen beranjak keluar bis, baru selangkah gadis itu melangkah keluar, suara sirine ambulance terdengar mengaung-ngaung, dua orang pria mengenakan seragam serba putih, serta masker hijau menutupi mulutnya keluar dari mobil putih tersebut.

Aiden menghampiri pria tersebut, "Pasiennya ada di dalam, Pak, tolong langsung diurus." tutur Aiden.

"Baik tuan!"

Pria itu langsung berjalan masuk ke dalam bis, dengan tandu yang berada di genggaman mereka.

Aileen tampak tidak asing lagi, melihat petugas Rumah Sakit itu tampak sangat menghormati Aiden. Itu sudah jelas dan tak asing baginya, karena Aileen tahu,

Kalau Rumah sakit yang dia hubungi tadi adalah milik keluarganya Aiden.

"Nesya bakalan baik-baik aja, serahin semuanya ke mereka." kata Aiden mengusap pundak Aileen.

Gadis itu menatap Aiden penuh harap, semoga aja, gumamnya.

Tangan besar Aiden menggenggam erat tangan Aileen, menarik pelan gadis itu masuk kedalam mobil silvernya. Suasana mobil terbilang sunyi dengan kecanggungan yang menyelimuti dua insan itu. Sesekali lelaki di samping Aileen menoleh, memperhatikan gadis itu yang tengah termenung.

Aiden berdeham, membuat Aileen tersentak, "Mau makan dulu ngga?"

"Ngga usah."

Lelaki itu mengangguk kecil, mengiyakan ucapan Aileen. Kini suasana sunyi itu kembali mempertebal atmosfer diantara mereka.

🎭🎭🎭

"Thanks."

"Aku ngga ditawarin mampir?"

Aileen menghembuskan malas nafasnya seraya memandang datar Aiden, "Mau mampir ngga, Nyet?"

"Dengan senang hati, udah lama aku ngga ketemu Mommy Koala." jawab Aiden, kemudian lelaki itu melepaskan seatbelt dan beranjak keluar dari mobilnya.

"Gue nawarin ke monyet kan," gumam Aileen terkekeh sembari memperhatikan punggung Aiden yang berjalan memasuki rumahnya, "Berarti dia nyadar, kalau dia monyet hahaha!" lanjutnya.

"Selamat malam, Tante." ujar Aiden sembari mencium punggung tangan Sinta—Mommy Aileen-

Sinta tersenyum, lalu wanita itu mengusap punggung Aiden, "Apa kabar, Den? Sudah lama sekali kamu tidak mampir kesini, Nak."

"Sibuk ikut tournament, Tan."

"Ooh gitu, gimana jalan-jalannya? Lancar? Kok kamu ngga ngabarin dulu kalau hari ini pulang, Leen?" tanya Sinta.

"Iya Alin lupa. Tapi dari tadi Alin udah ngehubungin orang rumah dan ngga ada yang ngangkat."

"Masa sih?"

"Iya Mommy.."

"Maaf deh, mungkin tadi Mom ketiduran." jawab Sinta seraya mengusap lembut kepala Aileen, anak satu-satunya yang sangat ia sayangi itu.

"Dad mana?"

"Seperti biasa, Leen, mencari nafkah untuk kebahagiaan kamu."

Alin akan lebih bahagia kalau sekarang dad disini," gumam gadis itu dalam hati.

"Istirahat sana." perintah Sinta pada Aileen juga Aiden.

Aileen mengacungkan ibu jarinya, lalu gadis itu melangkahkan kakinya menaiki undakan tangga. Sementara Aiden, dengan wajah datarnya mengikuti langkah Aileen dari belakang.

Pandangannya menyapu dinding rumah Aileen yang di penuhi oleh kenangan-kenangan yang sengaja diabadikan.

Aileen memutar knop pintu kamarnya, aroma vanila menyeruak kala pintu terbuka, menampilkan kamar mewah yang di dominasi oleh warna soft pink and gold.

Gadis itu berlari kecil menuju king size bed miliknya yang sudah sangat ia rindukan, menghempaskan tubuh mungilnya seraya membentuk bintang besar diatasnya.

"Lo ngapain?!" pekik Aileen melihat Aiden yang ikut berbaring di sampingnya.

"Tiduran lah."

"Jangan tidur disinggah sana gue!"

Aiden tertawa kecil seraya mendekap mulut Aileen dengan lima jari tangan kanannya, "Bacot."

Aileen menepis kasar tangan Aiden, sementara lelaki itu dengan santainya memejamkan kedua matanya, "Pergi, Parasit!"

"Berisik."

"Keluar ih, bala banget dah lo!"

"Sst diem."

"Keluar anyink!"

"Ba?cot."

"Bodo! Keluar cepet!"

Aiden membuka kedua matanya, sembari menatap intens Aileen yang tengah memarahinya, "Diem atau gue cium, hm?" jawab Aiden membuat Aileen langsung mematung di tempatnya.

"Cakep."  Aiden, memejamkan kembali sepasang matanya.

Aileen berdecak kesal, ia beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi yang terletak di sudut kamarnya. Sudah sekitar lima hari gadis itu tidak memanjakan tubuhnya di atas bath up. Ingin rasanya dia melakukan hal itu saat ini juga, namun Aileen mengurungkan niatnya karena ada Aiden di kamarnya.

"PS lo mana?" tanya Aiden saat Aileen kembali dari kamar mandi.

"Dijual!"

"Serius."

"Cari sendiri!"

Aiden mendengus sembari beranjak dari tempat tidur Aileen, pandangan lelaki itu langsung bertemu dengan PlayStation milik Aileen.

Dulu, Aileen sengaja membeli PS tersebut agar Aiden bisa berlama-lama di rumahnya. Padahal gadis itu sama sekali tidak bisa memainkannya. Namun sekarang, Aileen sudah terbilang jago dalam memainkannya. Dan lagi-lagi karena Aiden.

Selalu Aiden.

"Sini, ikutan." kata Aiden menepuk pelan tempat kosong disampingnya.

Aileen berpikir sejenak, menimbang-nimbang untuk mengiyakan ucapan Aiden atau bersikap sok jutek saja?

"Iya aja udah, ngg usah sok jutek." celetuk Aiden sembari menghidupkan PlayStation.

Gadis itu membulatkan kedua matanya sambil menghentakkan kesal kakinya. Tanpa sadar, Aileen melangkah pelan menghampiri Aiden dan mengambil alih stik yang tengah lelaki itu pegang lalu menunggu Aiden menyiapkan semuanya.

Aiden tersenyum simpul, memerhatikan Koalanya yang malu-malu kucing.

Dua puluh menit berlalu, dua insan itu mulai asik dalam memainkan permainan yang sedang mereka mainkan. Sesekali mereka menghina kecil lawannya yang lemah. Sudah bisa ditebak siapa yang memimpin permainan mereka, jelas Aiden.

"Ehm, haus." celetuk Aiden memberi kode pada Aileen.

Aileen tidak merespon, gadis itu masih sibuk dengan permainannya.

"Ehm!" Aiden menyenggol stik PS Aileen, membuat benda hitam itu tersungkur di karpet lembut Aileen.

Aileen berdecak kesal, "Ih apaan sih! Lo mah ganggu aja dah ah. Dikit lagi gue menang tuh."

"Haus."

"Ya, terus?"

"Ambilin lah gue kan tamu."

"Dih, tamu ngga tau diri elu mah!"

Aiden mendorong kening Aileen dengan jati telunjuknya, " Biasa aja, jangan make urat ngomongnya."

"Bodo!"

"Cepetan ambilin." kata Aiden mengambil stik PS Aileen.

"Gamao."

"Dih bocah ya, ambilin cepet."

"Apaan sih! Ambil sendiri napa!!" pekik Aileen kesal, merebut paksa stik PS nya.

"Yodah maen tebak-tebakan, yang ngga bisa jawab, ambilin minum."

"Ayo, siapa takut!"

Aiden tersenyum miring, "Kenapa liang anus lo keriput?"

"Dih jorok dah lo."

"Jawab aja udah."

Aileen berpikir sejenak, kenapa ya? pikirnya.

"Lama nih."

"Soalnya, liang anus gue dicuci doang ngga pernah disetrika." jawab Aileen asal, "Bener ngga?"

Aiden mengangguk-anggukan kepalanya, "YES!" pekik Aileen senang.

"Sekarang gue," ucap gadis itu, memikirkan teka-teki apa yang akan ia berikan,

"Panda-panda apa yang imut, lucu, manis?"

"Panda-ngin aja kamu terus" jawab Aiden menangkupkan kedua tangannya di pipinya sembari menatap hangat Aileen.

Aiden mendekatkan wajahnya pada wajah Aileen, membuat jantung mereka berdegup cepat dua kali lipat, kedua pipi Aileen sudah memerah tidak karuan, "Aku kangen kamu." bisik lelaki itu.

sama. hati terdalam Aileen bersuara.

Gadis itu mendorong pelan wajah Aiden, "Satu sama." ujar Aileen.

🎭🎭🎭


Suara sirine ambulance menjadi penghantar perjalanan mereka saat ini, Nesya dengan tiga orang lelaki di dalam mobil itu tengah terbaring lemah di atas tandu.

Dua orang petugas medis sedang memeriksa kondisi Nesya, menuliskan catatan medis mengenai gadis itu, sementara Raymond dengan bodohnya memalingkan wajah kala jarum suntik menusuk tubuh Nesya.

Sepertinya cairan itu adalah cairan bius, sebab tak lama setelah gadis itu disuntik, perlahan matanya terpejam.

"Kenapa, Mas?" tanya salah satu petugas kepada Raymond yang tengah meringis ketakutan.

"Hah?" jawab pria itu.

"Kenapa kok buang muka gitu dari Mbanya?"

"Ooh itu," Raymond tertawa renyah sembari mengusap kaku tengkuk lehernya, "Saya takut, Pak."

"Sama jarum suntik?"

"Bukan." jawab Raymond singkat.

Petugas itu mengangguk tak mengerti seraya membereskan peralatan medisnya, kemudian saling bertukar informasi satu sama lain.

Sesampainya di rumah sakit, Nesya langsung ditangani oleh dua orang dokter. Butuh waktu cukup lama untuk para dokter itu mengeluarkan racun laba-laba yang sudah mengendap di tubuh Nesya kurang lebih dua hari.

Dari tadi, Raymond hanya berjalan ke sana kemari di depan ruang operasi. Berdoa kepada Tuhan agar Nesya selamat. Lelaki itu juga sudah menghubungi Arsya sejak tadi, namun sampai sekarang pria itu belum tiba.

Satu jam berlalu, pintu ruang operasi terbuka, beberapa orang berpakaian serba hijau keluar dari sana. Raymond menghampiri mereka, "Gimana, Dok? Berhasil?"

Dokter tersebut melepas masker yang sempat menutup mulutnya, "Alhamdulillah, kami berhasil mengeluarkan racun Black Widow Spider dari tubuh ananda Nesya. Untunglah kamu segera membawanya kesini, racun tersebut sudah mengendap kurang lebih dua puluh jam di tubuh pacar kamu." Jawab dokter itu seraya tersenyum hangat.

"Syukurlah," ucap Raymond menghembuskan nafasnya lega.

"Sebentar lagi pacar kamu akan segera dipindahkan ke ruang inap."

"Terimakasih, Dok."

"Sama-sama."

Tadi apa katanya? Pacar? tanya Raymond di dalam hati.

🎭🎭🎭

Raymond mengusap lembut punggung tangan Nesya, sesekali dia menekan perlahan jarum infus yang menancap di punggung tangan gadis itu. Lelaki itu bergidik ngeri membayangkan jarum itu menancap di tangannya. Raymond kembali menegakkan tubuhnya seraya memandang wajah Nesya yang kini sudah tidak begitu pucat.

"Ngga pusing apa tidur mulu?" kata Raymond seolah Nesya tengah sadar, "Kan pegel lehernya." lanjutnya mendekati kursi yang dia duduki pada tempat tidur.

Drrt..drrt..

Ponsel Raymond bergetar, nama Jean tampak di layarnya, membuat kedua sudut bibir Raymond terangkat.

"Kamu di mana? kenapa ngga sekolah lagi? kamu udah lima hari lho ngga sekolah, ay."

Raymond tertawa kecil sembari mengacak rambutnya, "Satu-satu apa nanyanya, kayak wartawan lo."

"Ih aku serius sayang, kamu dimana sekarang?"

"Rumah Sakit."

"Rumah sakit? Siapa yang sakit? Tunggu deh, Ay, bukannya kamu takut sama RS?"

Raymond diam sejenak. Lelaki itu baru sadar kalau sedari tadi dirinya bisa melawan rasa takutnya pada Rumah Sakit.

Ralat, Raymond tidak takut dengan bangunan ini.

Tapi dia takut melihat semua yang ada di dalam gedung ini, ditambah lagi dengan aroma yang menjadi ciri khas Rumah Sakit. Biasanya, jika ke Rumah Sakit, lelaki itu tidak berani masuk ke dalam. Jangankan masuk, hanya melewati lobi Rumah Sakit saja dia sudah mual.

"Nesya sakit." jawab Raymond.

Satu detik,

dua detik,

tidak ada jawaban dari Jean.

"Sakit? Sakit apa?" tanya gadis itu.

"Digigit."

"Hah? Digigit apa?"

"Kamu."

"Sayang, aku serius. Kasian ini Rio khawatir banget."

"Rio?"

"Iya Rio, kenapa?"

Tanpa Raymond sadari, dirinya mengepalkan kuat tangan kirinya kala Jean menyebut nama Rio, "Dia siapa emang, pake khawatir segala."

"Loh kok kamu gitu, Ray? Harusnya aku yang nanya kayak gitu, kamu siapanya Nesya emang sampai bela-belain lawan rasa takut kamu sama Rumah Sakit?"

Raymond terdiam sebentar. Dia melirik Nesya yang masih memejamkan kedua matanya.

"Kok ngga dijawab? Aku matiin ya, udah bel. Nanti kabarin aku, jangan lupa."

"Ray," sapa seseorang tepat saat Raymond memasukkan kembali ponsel di sakunya.

Raymond menoleh, melihat pria tampan dengan setelan jasnya, "Eh, Bang." jawabnya beranjak dari kursinya.

Arsya tersenyum sembari menepuk pelan bahu Raymond. Lelaki itu sangat terkejut saat mendapati pesan dari Raymond bahwa adiknya masuk Rumah Sakit. Saat itu dia tengah lembur di kantor, menyelasaikan setumpuk tugas yang rasanya tidak akan pernah selesai.

"Udah makan belom lo?" tanya Arsya.

Raymond menggeleng, "Belum."

"Makan sono, Nesya gue yang jagain." Arsya menduduki kursi yang tadi di duduki Raymond, kemudian lelaki itu memerhatikan seksama wajah adiknya.

"Beneran nih? Yaudah gue keluar bentar, nyari makanan. Lo mau apa, Bang? Sekalian gue beliin."

"Gue baru makan, Ray."

"Oh gitu, yaudah titip Nesya bang."

Arsya tertawa mendengar kata-kata itu terlontar dari mulut Raymond, "Tenang aja, dia ade gue, gue pasti bakal jagain."

Raymond mengusap tengkuk lehernya, lalu ia beranjak keluar meninggalkan ruang VVIP yang Nesya tempati.

Arsya menggenggam tangan mungil Nesya, mengusapnya pelan seraya mengangkatnya ke udara, "Sya, bangun, Dek." ucapnya.

"Ayah sakit, Sya,"

"Maaf kemaren Abang sempet bohong sama kamu kalau ayah baik-baik aja. Abang cuma ngga mau kamu kepikiran di sana, yaa walaupun abang yakin kalau kamu udah bisa baca dari mata abang, kalau abang bohong."

"Bangun ya, Sya, sehat lagi. Kasian Bunda."

Tok..tok..tok..

"Permisi." seorang perawat masuk ke dalam kamar Nesya

Arsya menoleh sembari tersenyum manis pada suster tersebut, "Iya?"

"Apakah anda keluarga dari nona Nesya?"

"Oh, iya sus, saya abangnya, kenapa?"

"Kalau begitu, mari ikut saya Tuan, anda harus mengurus biaya di bagian administrasi."

"Oke." kata Arsya beranjak, lalu berjalan mengikuti suster tersebut, Meninggalkan Nesya sendirian di kamar luas itu.

Tidak, sebetulnya gadis itu tidak sendirian, sedari tadi ada seseorang yang sudah mengintai ruangan tersebut,

mendengar semua percakapan yang diucapkan dari kamar mandi.

Seseorang itu keluar dari tempat persembunyiannya saat pintu kamar sudah tertutup sempurna. Dia berjalan mendekati Nesya yang masih tertidur pulas.    

Sebilah pisau dia keluarkan dari balik jubah hitamnya, mengusapkan pisau tersebut pada pipi Nesya,

"Kenapa lo selalu rebut apa yang gue punya?" ucapnya seraya mengusap pisau tersebut ke leher Nesya.

"Tunggu tanggal mainnya, teman." lanjutnya.    

🎭🎭🎭

Outfit Bang Arsya niiihhh

Continue Reading

You'll Also Like

490K 34.7K 24
[SPIN OFF ALDARA] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Sebagian cerita sudah di un publish] (Karakter, tempat dan insiden dalam cerita ini adalah fiksi) Sarah...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.7M 317K 35
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
4.3K 533 55
(COMPLETE) Browne Marsh Shaan, seorang gadis yang terlahir dengan wajah yang cantik namun dingin. Sejak SMP, dia sudah menjalin hubungan dengan seora...
Perfection By na†a

Teen Fiction

14.5K 1.3K 4
[Kesempurnaan tidak selalu tentang cinta] *** Billivan Alvredo, cowok tampan keponakan pemilik Universitas Harapan. Tattoan, ketua dari geng Fire, ke...