Talking To The Moon [DISCONTI...

By ReeLyond

26.2K 2.4K 1.3K

DISCONTINUED, AKAN DITULIS ULANG. Baca bab pertama untuk keterangan lebih lanjut mengenai work ini. *** Seben... More

A/N : Discontinued?
ACKNOWLEDGEMENT
「PLAYLIST」
Bab Satu : Pria Bermata Iblis
Bab Dua : Wanita Serafim
Bab Empat : Pria Bersenyum Matahari
Bab Lima : Turbulensi Dua Dunia
Bab Enam : Stagnansi
Bab Tujuh : Afirmasi Pencakar Langit
Bab Delapan : Deru Kontemplasi
Bab Sembilan : Manifestasi Ego
Bab Sepuluh : Memoar
Bab Sebelas : Delusi Paralisis
Bab Dua Belas : Alibi Palsu
Bab Tiga Belas : Deklinasi
「PLAYLIST II + AESTETHIC」
Bab Empat Belas : Marka Kuning
Bab Lima Belas : Mendekap Imaji
Bab Enam Belas : Titik Temu

Bab Tiga : Gadis Bulan

1.6K 174 108
By ReeLyond

Bisnis kecil seperti kata Elleanor jelas sekali mengecilkan apa yang dijalankan oleh Renaissance Ginevra ini.

Adonis sudah membayangkan kelab malam murahan di pinggir kota, dengan musik murahan dan minuman yang juga murah dari nada bicara Elleanor Foster sore tadi. Di otaknya, samar-samar terpatri gambaran lantai kotor, aroma parfum norak yang bercampur keringat, juga banyak remaja di bawah umur yang menipu penjaga pintu dengan kartu identitas palsu.

Tapi yang ia lihat sekarang ini, semuanya di luar ekspetasinya.

Blitz, Adonis sama sekali tak tahu wanita inilah yang punya bar berkelas itu. Nama Blitz sering berdengung di kalangan atas, bahkan bisa dibilang, tempat ini seperti sarangnya para ekspatriat. Tak ada remaja di bawah umur, tak ada gadis-gadis pelacur murahan, tak ada minuman murahan. Blitz tempat para sosialita, yang menghabiskan malam dengan berbalut gaun-gaun bermerek dan jas semi-formal. Tempat di mana para pebisnis menyesap cocktail yang dicampur dengan profesional sembari membicarakan harga saham dan nilai tukar kurs.

Beberapa lembar uang sepuluh dollar yang keluar membuat Adonis sedikit menggerutu, walaupun ya, ia lumayan terkesima saat matanya disajikan pemandangan interior yang gelap, futuristik, namun elegan itu. Di sana-sini banyak orang yang berlalu lalang, namun semuanya datang dari arah yang sama—yaitu meja bar di ujung sana.

Alunan malas saxophone jazz yang membuai ruangan menjadi musik pengiring yang (anehnya) terasa menciptakan suasana yang pas untuk tempat ini. Tenang dan berkelas, benar-benar tempat yang pantas dihargai mahal. Adonis jadi mengernyit saat mendapati pikiran itu melintas. Kesal dengan dirinya yang mulai menikmati keadaan, akhirnya dengan langkah panjang-panjang Adonis mengangkat kepala dan membelah kerumunan.

Meja bar itu cukup sederhana sebenarnya, sama seperti di kelab lain. Bahan kayu beratnya dipoles mengilap, seakan berusaha bersaing dengan kilapnya botol-botol liquor dan alkohol yang berjejer di rak dinding. Berbagai merek kelas atas terpajang sana, bersisian dengan aneka bahan lain yang biasa dipakai untuk membuat cocktail.

Dan di dekat sana pulalah, Adonis menemukan si pirang itu.

Sendiri. Tanpa dikelilingi pengawal-pengawalnya yang sebesar kulkas.

Di bawah cahaya remang, siluet kontras wanita itu nyaris tersembunyi dalam gelap. Tatapan Renaissance jatuh pada ponselnya, namun kepala pirang itu sesekali terangkat untuk membalas sapaan orang-orang yang mengenalinya.

Adonis sendiri tak tahu berapa lama ia diam di sana dan memandangi wanita itu. Rasa antisipasi dan adrenalin yang membanjiri dirinya membuat pria itu mengepalkan jemari tanpa sadar. Begitu dekat. Sangat dekat.

Jantung pria itu nyaris berhenti sejenak, saat bola mata yang warnanya terkuras habis itu menangkap sosoknya, bahkan sempat bertahan sejenak tanpa berpaling darinya. Dari sepasang retina itu, berkelebat berbagai pikiran yang terlalu cepat untuk bisa dibaca. Cara wanita itu menatapnya ... Adonis was-was karena tatapan itu seperti mengenalinya.

Namun rasa was-was itu segera hilang seperti dibasuh air dingin, saat wanita itu kembali berpaling tanpa ada reaksi apapun darinya.

Mau tak mau, Adonis bertanya-tanya apa yang sempat melintas di kepala pirang itu saat menatapnya tadi?

Pria berambut gelap itu melangkah ke konter, membuatnya berada hanya satu hasta dari si Ginevra itu. Sembari mengulaskan senyuman miringnya yang biasa, Adonis mengangkat kepala dan bertatapan langsung dengan bartender yang ternyata seorang gadis.

"Satu sloki wiski, yang paling keras yang kaupunya."

Bartender itu, dengan wajah tersembunyi di balik topeng berukir indah, menatapnya aneh dengan mata cokelat bulatnya. "Tuan, kami tidak menyediakan alkohol murni."

Adonis mengerutkan kening. "Gin?"

Gelengan kepala gadis itu menyambutnya.

"Vodka?"

Lagi, gadis itu menggeleng.

"Cognag?"

Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang Adonis dapatkan.

"Jadi minuman apa yang kau rekomendasikan di sini?" tanyanya dengan suara rendah, sedikit nada kesal menghiasi suaranya. Bar macam apa yang tidak menyediakan alkohol?

"Hidangkan Blitz, Miles." Satu suara tiba-tiba menyela datar, berbarengan dengan aroma samar musk yang menyeruak dari sisi Adonis. Hempasan kecil membuat Adonis tahu ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahnya, dan dari suara itu, Adonis tahu siapa dia.

Rupanya wanita pirang itu menyadari sedikit keanehan di sini.

Gadis bertopeng tadi tergagap saat perintah itu meluncur. "B-baik, Nona."

Bartender itu berlalu, sementara Renaissance kembali menunduk menatap cahaya dari LCD ponsel yang berpedar di tengah keremangan. Melihat itu, Adonis mendorong keberuntungannya lebih jauh, dan berusaha menyapa wanita itu.

"Selamat malam, Nona."

Tak ada jawaban.

Rena malah hanya mendongak sedikit, mengangkat alisnya, dan kembali menatap ponselnya.

Reaksi dingin itu membuat Adonis memutar kursi tingginya dengan kesal, membuatnya menatap langsung sisi kanan dari sosok itu. Pria itu tertegun sesaat waktu menyadari wanita itu lebih dekat dari bayangannya, namun dengan cepat mampu menguasai dirinya sendiri.

Wanita itu ... kecil.

Adonis tidak terlalu ingat bagaimana si Renaissance Ginevra ini dulu, namun ia tidak menyangka wanita itu sekecil itu. Dan lagi, sisi normal pria itu memberi nilai delapan setengah dari sepuluh untuk penampilan Rena—yah, bagaimana benci pun, tak bisa dipungkiri wanita itu tampak menarik.

"Blitz, Tuan." Dengan sopan, bartender tersebut mengangsurkan gelas bertangkai tinggi. Cairan jingga berhias potongan nanas mengisinya, ditemani pula dengan garam yang menempel di pinggiran gelasnya. "Selamat menikmati."

Adonis tersenyum sedikit, dan gadis itu berlalu untuk melayani pelanggan lain. Dengan sangsi, pria itu menempelkan bibir ke pinggiran gelasnya, sebelum pelahan menegak campuran jus dan alkohol yang sangat kecil itu.

Rasanya ... lumayan. Percampuran asamnya nanas dan lemon, berpadu dengan rasa getir samar dari alkohol dan ditutup oleh aksen asin dari pinggiran garamnya. Tidak buruk, namun jelas, bukan favoritnya.

Jujur, Adonis tak terlalu suka cocktail. Minuman cantik seperti itu adalah minuman wanita, dan pria, butuh kadar yang lebih kuat daripada ini.

Seakan bisa membaca pikirannya, Renaissance mengangkat kepala. "Jangan harap kau bisa menemukan alkohol lebih dari dua puluh persen di sini."

"Kenapa?" Hanya reaksi itulah yang sempat terpikir saat Adonis terlalu terkejut untuk siap menanggapi wanita itu. "Kuyakin banyak orang yang membutuhkan kadar yang lebih keras dibanding ini."

"Kau ini baru sekali ke sini, ya?"

Adonis terdiam dengan tebakan tepat wanita itu. "Ya."

"Kalau begitu, biar kuberitahu." Renaissance menyimpan ponselnya di saku dan menopangkan lengannya di lutut. "Tujuan orang ke sini bukan untuk mabuk-mabukan. Kau bisa pergi ke kelab murahan kalau mau melakukan itu. Di sini adalan tempat untuk bersosialisasi, tempat menikmati minuman yang sedikit keras tanpa harus berakhir bodoh. Maka dari itu, di sini tidak dijual alkohol murni."

"Tapi harusnya juga tempat ini menyediakan minuman yang lebih keras—"

"Sekali lagi kutanya," tukas wanita itu sebelum kata-kata Adonis selesai. "Untuk apa seseorang mencari minuman yang lebih keras?"

Pandangan wanita itu lagi-lagi seperti menusuk intens padanya. Perasaan yang sama kembali menyelinap dalam hati Adonis—yaitu firasat kalau wanita ini mengetahui sesuatu darinya.

"Mungkin ... untuk melepas stres?" Adonis menggunakan alasan paling klise yang bisa dipikirkannya. "Orang ke bar untuk menikmati alkohol, bukan jus buah."

Wanita itu mendengus. "Hanya manusia primitif yang melakukannya."

"Hanya wanita dan pria banci yang minum alkohol bercampur jus," dengus Adonis balik.

"Maaf?" Nada suara Rena meninggi. "Mencampur minuman menjadi cocktail diperlukan kemampuan dan citarasa seni yang tinggi. Amatiran sepertimu tak patut mengatakan itu kalau tak tahu apa-apa."

"Kau bahkan bisa belajar mencampur minuman dari Youtube, Nona." Pria itu menghabiskan minumannya dalam sekali telan. "Kalau begitu, jelas menargetkan pasar pada kalangan atas merupakan pilihan yang tepat. Kau tahu. Banyak orang kaya yang ... hm, katakan saja, berkepala angin."

Ujung mata Rena berkedut sedikit, sementara giginya menujam bibir. Orang asing sialan. Kata-katanya tadi seperti bukan untuknya, tapi Rena merasa, itu ditujukan untuknya. "Kalau kau tidak suka, keluar saja."

"Kau marah." Adonis dengan santainya menyandarkan siku ke meja bar, walau tatapan tajam itu sama sekali membuatnya tidak nyaman. "Apa aku mengenai titik sensitifmu?"

Kening wanita itu mengerut, tampak tambah tersinggung dengan kata-kata tadi. "Keluar."

"Dan siapa kau, Nona kecil yang seenaknya mengusirku?" Sepasang bola mata sewarna obsidiannya menatap balik mata Rena dengan berani. "Atau jangan-jangan, kau merupakan salah satu dari orang berkepala angin itu? Karena biasanya, orang yang merasalah yang akan marah."

Tahan. Renaissance berusaha menyimpan saja umpatannya dalam hati. Tak ada. Tak ada yang berani-beraninya menyanggah kata-katanya dengan cara yang merendahkan seperti ini. 

"Kau tidak tahu siapa aku?" tanya wanita itu dari sela giginya. Namun pertanyaan itu cukup membuat Adonis terdiam sejenak.

Sial. Adonis kelepasan memberi kesan ia tak tahu siapa wanita di hadapannya. Akan lebih sulit berkelit bila ia mengatakan hal lain yang berkontradiksi, jadi sebaiknya ia tetap berpegang pada skrip semunya. Lagipula, kalau wanita ini tahu lebih banyak mengenai apa yang ia ketahui, ini bisa bahaya.

Lagipula, pria berambut gelap itu tidak mau Renaissance kabur duluan saat sesi konseling yang diatur oleh Elleanor. Maka dari itu, lebih baik kalau ia jadi benar-benar asing saja di sini.

Jadi pria itu menggeleng.

Rena mengernyit.

"Lupakan saja." Renaissance mengibaskan rambutnya ke balik bahu, sebelum bersiap-siap pergi dari tempat itu. Wanita itu mengangkat dagunya tinggi-tinggi, seperti berusaha mengumpulkan egonya yang secara tak langsung dihancurkan Adonis.  "Selamat malam, Tuan."

Whoa. Wait.

Bukan itu tujuan Adonis ke sini.

Apa dia menyeberang terlalu jauh?

"Maaf." Adonis mengurangi tensi dari suaranya dan menahan lengan wanita itu. Belum saatnya wanita itu pergi. "Bagaimana kalau anda kubelikan minuman, Nona? Anggap saja sebagai permintaan maaf atas kelakuan kurang ajarku."

Pria itu sudah mengira-ngira reaksi wanita itu, namun di luar dugaan, wanita itu hanya menjawab dengan satu kalimat.

"Aku tidak minum."

Kali ini ganti Adonis yang mengernyit. Tidak minum?

"Bagaimana caranya kau tidak minum, tapi kau punya bar paling prestigius di kota ini?" Lidah Adonis tak mampu menahan diri untuk tidak bertanya, membuatnya mendapatkan satu tatapan intens lagi dari Rena.

Renaissance mengerjap sedikit. Ia pintar, dan ia menyadari apa yang sudah lolos dari bibir pria menyebalkan di depannya ini.

"Tadi kau bilang tidak tahu siapa aku," ucap wanita itu rendah. "Kalau begitu, darimana kau tahu aku yang punya tempat ini?"

***

Malam itu, Luna mendesah lega saat kakinya akhirnya menjejak tanah di luar Blitz.

Gadis itu merenggangkan tubuhnya seraya berjalan cepat, perasaan was-was mulai menyusupi dirinya yang sudah lelah. Lelah jiwa raga, tepatnya.

Dia mendesah lega saat kereta bawah tanah yang ditumpanginya masih terdapat beberapa wanita bersetelan bisnis yang tampak lelah. Setidaknya ia tidak perlu takut diperkosa atau dirampok atau apalah oleh orang asing di gerbong sepi. Luna menyandarkan kepalanya di palang pembatas, dan berusaha untuk tetap terjaga walau matanya mulai mengancam untuk terpejam.

Kadang, Luna tergiur untuk melepaskan pekerjaannya. Dua-duanya, lebih tepatnya.

Siang hari ia harus bekerja delapan jam sehari di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, terperangkap di balik konter beraroma kopi yang lama kelamaan berubah tengik, dan di balik etalase kue-kue kecil yang murah.

Memang, bagi orang lain, lewat tempat itu bagaikan di surga. Aroma kopi dan mentega bercampur di udara, menggoda siapapun yang lewat untuk mampir. Tapi tidak setelah Luna sudah bekerja nyaris tiga tahun di sana. Terlalu lama menghirup aroma yang sama membuatnya muak, dan jangan salahkan Luna kalau ia mual hanya karena mencium aroma roti yang baru dipanggang.

Pekerjaan di sana sulit dan banyak. Pelayan. Kadang kasir. Kadang pula bertugas di dapur untuk mencuci piring. Banyak pekerjaan dengan bayaran kecil, namun Luna bertahan. Ia butuh lembaran uang.

Pikirannya kembali berkelana seiring deru kereta yang membelah kota.

Atau mungkin; sebaiknya ia melepaskan pekerjaan malamnya saja?

Gadis berambut cokelat tebal itu tertawa saat mendengar sendiri implikasi dalam kata-katanya. Pekerjaan malam. Ia terdengar seperti wanita murahan yang menjual diri dengan pakaian kekurangan bahan.

Berbeda dengan kafe, pekerjaannya di malam hari sebenarnya mudah : mencampur minuman. Pekerjaan mudah dan bayaran yang tinggi. Hanya saja kehadiran bosnya yang mengintimidasi membuat hal yang mudah menjadi sulit.

Ya. Luna bekerja sebagai bartender di Blitz. Bar paling prestisius di kota.

Dan ya, bosnya (baca : the one and only Renaissance Ginevra) memang membuat segalanya jadi sulit. Sangat, sangat sulit.

Percayalah, saat bulan pertamanya bekerja, Luna sudah memecahkan satu lusin gelas. Dan itu terjadi karena ia gugup serta takut diawasi lekat-lekat oleh seorang Renaissance Ginevra. Wanita pirang yang berkuasa itu menakutkan, sungguh. Auranya membuat orang menyingkir, tatapannya membuat orang mengkerut.

Dan apa yang sering orang bilang? Oh ya. Bosnya itu punya nama yang bagus dan tak biasa, namun tingkah lakunya, sama sekali jauh dari kata bagus. Tapi karena memiliki kekayaan yang melebihi penghasilan perkapita Amerika Serikat, siapa yang akan protes mengenai itu? Salah-salah, bisa saja besok Luna masuk ke headline koran, artikel bagian orang hilang.

Serius. Luna mendengar beberapa isu mengenai itu.

Astaga, ia sepertinya mulai gila mulai berani bergosip mengenai bosnya dengan diri sendiri.

Luna memutuskan untuk menyingkirkan pemikiran-pemikirannya dan menyimpannya untuk lain hari. Toh ia juga tak bisa keluar. Ia butuh uang. Jadi sebaiknya ia menghemat tenaga saja. Otaknya sudah lelah. Dan Luna sendiri takut ia akan menghabiskan sisa-sisa energinya hanya karena berpikir.

Oh, Luna mau langsung tidur sesampainya di rumah, dan tak ada yang bisa mengubah itu.

Gadis itu sudah melangkah gamang saat menjejak pintu depan apartemen sewaannya, hanya untuk disambut dengan pemandangan lampu ruang tamu yang belum dimatikan. Suara tangis gadis kecil dan adu mulut bersahutan di dalam, membuat Luna benar-benar mengecek arloji tuanya untuk meyakinkan diri akan waktu sekarang.

Ini sudah nyaris tengah malam.

"Ada apa ini?" Luna bertanya seraya membuka pintu, menampakkan adiknya yang pertama dan keduanya dalam ruangan.

Selena--si adik kedua berhenti menangis saat melihat Luna, membuat gadis muda itu mengangkat tubuh balita adiknya yang kembali terisak di bahunya. Gadisbitu berbisik pada Selena, menyuruh adik kecilnya itu untuk ke kamar, sebelum sepasang mata cokelatnya menyipit lelah ke adiknya yang lain.

Berantakan. Dinding apartemennya yang kusam berbalur cat aneka warna. Barang-barang yang biasanya ada di laci nakas tersebar di sana-sini, membuat ruangan yang kecil itu makin kumuh saja. Gadis itu cukup terkejut saat mendapati pecahan vas bunga di lantai, yang airnya dengan mengenaskan menggenangi lantai.

Bahu adiknya yang pertama—seorang pemuda kurus yang berbagi warna rambut sama dengannya—naik turun karena emosi. Pandangannya sekelebat menampakan penyesalan, namun segera hilang dan berganti jadi keras.

Setelah yakin Selena tidak ada dalam jarak pendengaran, Luna berkacak pinggang menatap adiknya yang satu lagi.

"Apa yang kalian lakukan?" tuntut gadis itu dengan nada yang semakin meninggi. "Dan apa yang terjadi sampai Selena belum tidur lewat tengah malam begini?"

"Tanya padanya." Dia mengendikan bahunya ke arah dinding dengan dingin. "Bukan salahku."

"Jojo, Selena masih tiga tahun." Luna memijat pelipisnya lelah. "Sebagai yang lebih tua, harusnya kau mengalah pada adikmu."

"Kalau setan kecil itu menghargai privasiku," tekan Jonathan pada kata itu. "Aku tak akan menggubrisnya."

"Kalian ini keluarga, Jo." Gadis yang lebih tua itu mendongak, berusaha mencari mata adiknya yang lebih tinggi. "Semua milik bersama, jangan egois."

"Aku juga punya privasi, Luna!" Jonathan membentak kakaknya. "Dan kalian tidak pernah menghargainya. Termasuk kau."

Luna, sedikit tersinggung saat kata-kata menuding itu lolos dari adiknya. "Memangnya untuk apa kau butuh privasi? Agar kau bisa melakukan hal yang tak benar? Seperti waktu kamu terjerumus kasus obat-obatan itu? Seperti saat kamu harus ditahan karena memicu huru-hara di pusat keramaian? Supaya kamu bisa dengan leluasa melakukan apapun dengan gengmu yang tak benar itu—"

Plak!

Satu tamparan yang mengenai pipi Luna, membuatnya menatap tak percaya ke adiknya. Jonathan, adiknya yang dulu baik dan manis, sekarang berani menamparnya? Jonathan sendiri tampak syok sejenak, namun ekspresinya kembali berubah dingin sesaat kemudian.

"Mau ke mana kau?" Nada Luna meninggi saat adik laki-lakinya tanpa kata meraup jaketnya, dan mulai mengenakan sepatu bot beratnya.

"Keluar," sinis pemuda itu pada kakaknya.

"Jonathan Van Berg, sebaiknya kau—"

Dentaman daun pintu dan kusennya memotong kata-kata Luna, membuat gadis itu terperangah menatap pintu yang sudah tertutup itu dengan sakit hati.

"Jonathan!"

Sunyi. Tak ada jawaban.

Luna segera menarik pintu triplek itu sampai terbuka, dan menengok ke segala arah, mencari adiknya. "Jonathan!" serunya lagi.

Namun hanya ada kegelapan dan sunyi yang menyambutnya.

Gadis itu bergeming di tempatnya. Setengah terkejut, setengah sakit hati.

Apa? Apa salahnya?

Luna ingin marah, menangis, dan tak peduli pada keluarganya, tapi tak bisa.

Karena hanya dia, yang bisa menjadi satu-satunya orang yang menyokong sisa anggota keluarganya.

Kadang, Luna ingin menikmati hidup, sekali saja, seperti gadis kebanyakan. Tak perlu memikirkan bagaimana harus membayar uang sekolah adik-adiknya, tak perlu berhenti dari pendidikan bachelor-nya, tak perlu berpikir apa yang harus dimakan hari ini.

Tapi mustahil.

Ia tahu hal itu tak akan bisa terwujud. Ia tahu.

Dan dengan itu, Luna mengurungkan niatnya untuk tidur dan mulai memunguti pecahan keramik di lantai.

***

[Revised : Sept-27-2016]

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 482K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
463K 21.7K 93
Ratih berusia 30 tahun yang telah memiliki seorang anak lelaki bernama Dani dari suaminya yaitu Yadi. Ratih diganggu mahluk misterius yang menjelma s...
AJENG (COMPLETED) By Ocha_Lis

Mystery / Thriller

884K 62K 71
"Kalau pun gue yang ngebunuh cewek sialan itu, gue nggak bakalan ngelakuin secara diam-diam. Gue bakalan bunuh dia didepan lo semua. Gue bukan pecund...
96.3K 7K 25
Disatukan dengan murid-murid ambisius bukanlah keinginan seorang Keyla Zeara. Entah keberuntungan apa yang membuat dia mendapatkan beasiswa hingga bi...