Sayap Surgaku

By Mellyana21

1.9M 78.3K 1.8K

Adiba dan Nauval sama-sama anak dari seorang kiyai pemilik ponpes yang terpandang, tetapi berbeda kepribadian... More

Kata Pengantar
{Bab 2} Awal Mula Cerita
{Bab 3} Terlambat Dapat Pacar
{Bab 4} Guru Ganteng
{Bab 5} Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
{Bab 6} Injak Lagi Saji
{Bab 7} Idul Adha
{Bab 8} - Allah Tolong Adiba
{Bab 9} Damai Kontrak
{Bab 10 } Sorry
{Bab 11} Kecemburuan Nauval
{Bab 12} Sepertiga Malam
{Bab 13} Kesambet
{Bab 14} Berselimut Sendu
{Bab 15} Setruman Hati
{Bab 16} Pengakuan
{Bab 17} Kembali
{Bab 18} Perkelahian dengan Biang Gosip
{Bab 19} Keputusan Hati
{Bab 20} Pedih
{Bab 21} Pencarian
{Bab 22} Embusan
{Bab 23} Rindu
{Bab 24} Sayap Surgaku

{Bab1} Pesonamu

221K 7.5K 170
By Mellyana21

"Argh... agh...." Seorang gadis berkerudung hijau tua merangkak seperti harimau, matanya memerah. Barisan santri putri menatap ngeri gadis itu. Beberapa saling berbisik tentang bagaimana bisa gadis itu kesurupan. 

"Argh... pergi! Pergi kalian semua! Agh... agh...." Makhluk halus itu mengusir orang yang menatap dari kejauhan. Semua yang melihat berlari ketakutan. 

"Saya Amir. Kamu siapa, Mbah?" tanya seorang laki-laki berpeci hitam dengan sarung kotak-kotak. "Saya Mbah Sulastri. Saya penunggu pohon ini sejak lama," jawabnya sambil menunjuk-nunjuk pohon beringin samping kamar mandi santri putri. 

"Mbah, tolong keluar dari tubuh gadis ini. Dia tidak bersalah."

Mata gadis itu memandang penuh kemarahan. "Gadis ini bersalah. Dia meludah sembarangan di bawah pohon ini. Dia telah berperilaku tidak sopan!"

Lelaki itu mulai mendekat. "Maafkan dia."

"Agh... bilang ke gadis ini dan semua warga sekitar pohon ini untuk berperilaku sopan. Orang zaman sekarang tidak tahu tata krama. Jalan semaunya sendiri, lihat saja, besok akan celaka." Makhluk halus itu menatap seorang gadis yang berdiri di belakang Amir. "Saya ingin berjabat tangan denganmu. Saya kagum dengan pesonamu, kamu sangat sopan." Ia mengulurkan tangan ke depan gadis itu.

Amir memberikan kode untuk menjabat tangan. Gadis itu sedikit was-was.

"Ad-Addibba... M-Mbah...," jawabnya ketakutan. "Sini... mana tanganmu? Saya keburu kepanasan. Agh... agh."

Adiba meraih tangan terbuka gadis yang kesurupan. Matanya terpejam dengan tangan gemetaran. Sedetik kemudian, gadis kesurupan itu lunglai karena kehabisan tenaga setelah makhluk halus keluar dari tubuhnya. Adiba membantu gadis itu untuk bangun. Ia mengusapkan air doa pada wajah gadis itu.

"Bawa ke ruang kesehatan, Nduk."

"Baik, Abi."

Usai Adiba mengurus santri putri itu, ia memutuskan untuk ke kamar pengurus bagian keamanan. Kamar itu hanya berukuran 3 × 4 meter dengan empat orang penghuni.

Di samping pintu tertata rapi lemari yang tingginya hanya berkisar 1 meter. Ketika Adiba memasuki kamar, hanya ada satu pengurus di sana. Ia menyambut Adiba dengan senang hati.

"Bagaimana keadaan keamanan santri putri sekarang, Mbak Mas?" tanya Adiba to the point kepada gadis yang ia kerap panggil Mbak Masitoh.

"Besok kita akan mengguyur tiga santri putri yang ketahuan pacaran, Neng. Ini barang buktinya." Masitoh menyerahkan beberapa lembar surat, boneka Doraemon, dan tiga batang cokelat.

oleh Adiba.

* * *

Sial. Satu kata itu adalah kata paling tepat untuk menggambarkan perasaan seorang laki-laki. Beberapa menit lalu, ia diputuskan secara sepihak oleh gadis bernama Marisa. Ia ditampar Marisa di depan teman-teman sekelas karena gadis itu tahu bahwa dirinya hanya dipermainkan. Ini kali pertama ia ditampar oleh perempuan. Belum juga kekesalan mereda, abi dan uminya malah datang menjemput dan membawanya pergi dari sana.

Kurang lebih empat tahun ia tidak tinggal bersama orang tuanya. Ia lebih memilih tinggal di kediaman sang tante di Kebumen karena tidak ingin hidup di lingkungan pesantren. Menjadi anak kiai adalah bencana baginya. Ia tidak suka kekangan. Ia muak dengan anggapan orang bahwa anak kiai itu saleh, alim, kalem, dan serentetan lainnya.

Remaja laki-laki itu masih diam, tak sedikit pun menatap posisi duduk sang umi yang berada di samping abinya. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Pantang baginya menggubris nasihat orang tua, apalagi menuruti petuah yang membosankan baginya. Itu-itu saja, tidak pernah ganti. Monoton.

"Jangan buat ulah di sekolah. Jangan sampai Abi dipanggil pihak sekolah gara-gara kenakalanmu, Nauval." Nasihat kedua uminya kembali diabaikan. "Kamu harus menjaga nama baik keluarga kita."

Nama baik? Masa bodo sama nama baik, batinnya. "Umi sama Abi udah urus sekolah susah-susah.

Waktu Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah jangan bikin pelanggaran. Mulai besok kamu udah berangkat. Kalo masih bikin ulah, Umi kirimin ke pondok pesantren lagi."

Nauval masih mempertahankan diamnya. Mengancam ia masuk pondok pesantren? Coba saja. Toh ia bisa kabur seperti empat tahun lalu. Ia dimasukkan ke pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Sebelum rombongan yang mengantar sampai rumah, lelaki berparas tampan itu sudah sampai rumah terlebih dahulu. Nauval kok dilawan?

"Nauval...! Kalo dibilangin Umi itu ngelihatin! Didengerin, jangan cuma masuk telinga kanan keluar telinga kiri." Nada uminya sudah naik satu oktaf.

Nauval hanya memandang sekilas.

"Umi... sudah." Abinya kali ini bersuara, membuat sang umi terdiam.

Umi Nauval mengembuskan napas panjang melihat tingkah anaknya. Semoga Allah membukakan pintu hati sang anak agar hidupnya tidak berkelok-kelok seperti jalanan menuju puncak gunung.

* * *

Sebuah mobil BMW hitam memasuki area Pondok Pesantren Bina Taqwa. Setelah mobil terparkir rapi, sepasang pria dan wanita berumur sekira kepala tiga keluar dari mobil, diikuti seorang pemuda berkulit kuning langsat. Mereka disambut para santri.

Semua santri putra mencium tangan si pria, Rahman. Para santri putri mencium tangan si wanita, Rahma. Rahman dan Rahma adalah orang tua si pemuda.

"Gus Nauval," sapa salah satu santri kepada si pemuda.

Nauval tersenyum sekilas lalu meninggalkan kedua orang tuanya serta kerumunan santri.

"Mana, Gus? Barangnya saya bawakan." Seorang santri putra menawarkan diri.

Tidak ambil pusing, Nauval menyerahkan tas dan menyuruhnya meletakkan di ruang tamu ndalem—sebutan santri untuk rumah kiainya.

"Gus."

"Gus Nauval."

"Gus Nauval tambah ganteng aja."

"Mari, Gus Nauval."

Sapaan para santri putra hanya ia balas dengan ya, tidak, atau dehaman. Mood-nya masih hancur lebur.

Tidak jauh dari tempat Nauval berdiri, sekumpulan santri putri duduk-duduk di balkon lantai dua asrama sembari menatap anak kiai mereka dengan mata berbinar-binar. Peci hitam dan sarung kotak-kotak cokelat yang membalut tubuh Nauval membuat daya tarik tersendiri. Pesonanya mampu mengalahkan panas sinar matahari.

"Gus Nauval itu ganteng banget ya, Ukh? Jalannya itu loh, masyaAllah, maskulin banget!" Ukh adalah kependekan dari ukhti—berasal dari bahasa Arab yang berarti 'saudara perempuanku'. Kata itu biasanya digunakan untuk memanggil kaum hawa.

"Iya. Udah ganteng, pintar, saleh. Kalau di novel fiksi remaja... udah cocok jadi pemeran utama. Wah, pokoknya suami idaman deh," sahut seorang santri.

"Tahu dari mana kalau Gus Nauval orangnya kayak gitu?"

"Nikmah, kamu itu gimana? Di mana-mana anak kiai ya seperti itu."

"Oh, ya?" Gadis yang bernama Nikmah itu tak percaya. "Sekolah di mana?" tanya salah satu di antara mereka setelah beberapa detik hening.

"Kok kamu tahu, Ukh?"

"Denger pembicaraan Ustazah." Ia menyeringai hingga tampak rentetan gigi putih nan bersih.

"Aku mau deh nikah muda. Asal sama Gus Nauval," ujar seorang santri yang memakai baju biru.

"Aku juga, Ukh," sahut beberapa santri hampir bersamaan. "Mbak-Mbak ini kenapa di sini? Sudah waktu madrasah sore, Mbak. Malah ngelihatin Gus Nauval di sini. Buruan ke kelas." Suara Nurul membuat santri-santri itu tersentak. "Hehe... Ustazah. Iya, Us, lagi ngelihatin pesona Gus Nauval," aku salah satu dari mereka sambil beranjak dari tempat semula. "Ayo, buruan kita pergi. Ntar dihukum lagi."

Mereka pamit kemudian berjalan menuju kelas.

Setelah para santri itu pergi, wanita yang dipanggil "Ustazah" menggeleng-gelengkan kepala lemah. Melihat kelakuan para santri yang berwarna-warni terkadang lucu, terkadang menyebalkan, semua ada. Nurul melihat ke arah Gus Nauval. Ia segera mengambil posisi yang tadi digunakan para santri mengintip. Oalah, Gus Nauval, Gus Nauval. Sang ustazah pun ikut terpesona oleh karisma anak Kiai Rahman.

Para ustazah di pondok pesantren memang masih muda. Kebanyakan dari mereka adalah lulusan pondok pesantren yang mengabdikan diri sambil nyambi berkuliah. Bisa dibilang, mereka adalah ustazah muda.

Continue Reading

You'll Also Like

101K 11.7K 43
One Day One Sirah (ODOS) Merupakan lanjutan dari Sirah Nabawiyah jilid 1 Materi langsung nomer 27 Insya Allah update setiap hari Semoga bermanfaat da...
3.8K 111 24
"𝐓akan 𝐀ku 𝐊u 𝐁iarkan 𝐊au 𝐌enjadi 𝐌ilik 𝐒eseorang, 𝐉adilah 𝐌ilikku 𝐒elama 𝐌ungkin" -Na Jaemin- 𝓟𝓮𝓻𝓬𝓲�...
112K 2.6K 16
Merupakan kumpulan puisi karya member Penulis Mimpi yang menjunjung tema Kerinduan. . . . . Copyright Penulis Mimpi 2016
33.1K 3.7K 34
One Day One Sirah (ODOS) Merupakan lanjutan dari Sirah Nabawiyah jilid 3 Materi langsung nomer 102 Insya Allah update setiap hari sabtu Semoga berman...