SECRET GARDEN

By limeyer

46.1K 1.8K 29

Morgan Hudson, seorang pria metroseksual yang tidak pernah tahu hakikat makna cinta. Ia sendiri terlahir tan... More

Part 1
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12 [ Ending ]

Part 2

4.5K 163 3
By limeyer


Morgan menggeliat karena terpaan hangat di wajah serta rasa tidak nyaman lantaran pergerakan yang terbatas. Ia membuka mata perlahan, kemudian mengerjap dan heran ketika melihat langit-langit mobil. Dia tersentak saat menyadari pergerakan kecil di dada. Morgan menoleh dan hampir berteriak mendapati seorang wanita tertidur seraya memeluknya erat. Morgan mengucek kelopak mata, ini pasti mimpi. Seharusnya dia di kamar, memeluk guling, dan berselimut tebal nan halus, bukan wanita. Ia cubit lengannya. Sial! Ini nyata.

Pria itu memandang wanita di sebelahnya yang hanya memakai kamisol, sementara blazer semalam entah ke mana. Morgan terkesiap ketika menyadari telah bermalam dengan seorang wanita. Pada waktu bersamaan, wanita tersebut bangun karena pantulan cahaya mentari mengganggu tidurnya. Wanita bertubuh mungil itu melotot, ia tidak kalah kaget dengan Morgan, tetapi tidak bersuara sama sekali. Jika wanita pada umumnya akan berteriak sekuat tenaga hingga memperlihatkan urat-urat, dia malah membisu dan sibuk mencari blazernya ke segala tempat. Morgan sendiri masih termenung, mengingat serta mencerna apa yang terjadi di antara mereka semalam.

"Aku sangat mencintaimu, Billy. Kenapa kau mengkhianatiku?" Wanita itu merangkul leher Morgan, menganggap seseorang di depannya si mantan kekasih, kemudian memukul keras dada bidang pria itu.

"Aku tidak pernah mengkhianatimu, Joan. Aku benar-benar menyukaimu," jawab Morgan yang sama mabuknya seperti wanita itu, lalu ia peluk tubuh mungil di hadapannya.

Waktu berjalan, keduanya terus meracau hingga tak sadar sudah berpindah ke mobil. Pintu berdebuk, Morgan bersandar di jok, memperhatikan wanita yang baru ditemui tengah membuka lapisan terluar pakaiannya karena—mungkin—merasa gerah. Ia tetap diam membiarkan wanita itu memeluk dan memandangnya dengan penuh cinta.

"Beri aku kesempatan untuk bersamamu," pinta Morgan. Ia memejamkan mata menikmati sentuhan si wanita yang dalam bayangannya adalah Joanna. Entah karena terlalu nikmat atau mabuk, ia memutuskan untuk meladeni dan membalas sentuhan-sentuhan bergairah tersebut. Keduanya larut dalam pengaruh alkohol hingga melewati malam panas untuk melampiaskan gelora yang tak tertahankan.

Butuh beberapa menit bagi Morgan untuk mengingat kejadian semalam, alasan mengapa mereka berakhir di mobil. Kini ia mengingat seluruhnya dengan jelas dan mendetail.

Morgan mengerjap pelan mencoba kembali ke masa sekarang. Bibirnya sedikit bergetar. "Ma-maaf, aku ...." Ia memijat pelipis, berusaha tenang dan menjernihkan pikiran. Ia berdeham lalu berkata, "Baiklah, langsung saja. Kupikir, kita sama-sama dewasa. Jadi, tidak ada yang benar dan salah dalam hal ini, apalagi kita melakukannya saat mabuk."

"Tutup mulutmu. Kalau kau banyak bicara, aku makin ingin membunuhmu. Turun sekarang!" Wanita itu menyuruh dengan lantang, ekspresinya datar.

"Hey, Nona! Walau kau mungil, suaramu besar sekali, ya. Aku bisa tuli. Mengagetkan saja." Morgan menepuk jok. "Ini mobilku, kenapa aku yang diusir? Aku memang ikut andil atas apa yang telah terjadi. Tapi, bukan kau saja yang dirugikan, aku juga!" Morgan tidak terima jika hanya ia yang disalahkan, baginya bermalam tanpa cinta adalah malapetaka. Apalagi baru bertemu wanita itu semalam, bahkan identitas yang tak dikenal.

Wanita itu berdecak kesal, ia tidak membalas ocehan Morgan. Matanya berkelebat mencari blazer serta tas tangan, kemudian berhasil ia temukan di kursi belakang. Morgan diam memperhatikan wanita itu terburu memakai pakaian dan lekas keluar. Ia tercengang saat pintunya dibanting kasar serta bumper mobilnya ditendang. Pria yang hanya memakai bokser itu pun turut mengambil pakaian yang tergeletak di bawah kursi dan mengenakannya secepat kilat. Meskipun kesal dengan kelakuan wanita itu, Morgan tetap tidak sampai hati membiarkan pulang berjalan kaki dalam keadaan berantakan. Ia mengklakson panjang dan menjalankan mobilnya sejajar dengan wanita itu. "Nona, masuklah! Biar kuantar kau pulang," tawar Morgan baik-baik, tetapi malah dibalas cercaan.

"Aku tidak sudi diantar olehmu. Dasar pria berengsek!"

"Baiklah. Aku yakin semua orang yang punya mata akan memperhatikan penampilanmu yang berantakan dan beberapa stempel merah di leher," ejek Morgan dengan kedua tangan yang tetap fokus pada setir.

Wanita itu dengan sigap meraih ponsel di dalam tas tangan untuk membuktikan ucapan Morgan. Ia buka kamera depan yang serta-merta menyoroti wajah hingga bahunya. Morgan tidak berbohong, ia terlihat kacau. Ia menutupi leher dengan kedua tangan dan lanjut berjalan tanpa menghiraukan pria itu.

Morgan tersenyum simpul lalu menekan sebuah tombol untuk mengaktifkan rem mobil. Ia turun, berjalan cepat dan mencekal pergelangan kurus itu.

Menyadari tangannya ditarik, wanita itu mengempaskan pergelangan dengan kuat hingga terlepas. Mata tajam itu terlihat bak kobaran api. Sungguh ia enggan disentuh lagi oleh pria itu.

Meski mendapat tatapan setajam burung hantu, Morgan tidak mengindahkannya. Kemudian menarik wanita itu tanpa basa-basi untuk masuk ke kendaraannya.

"Sudahlah, jangan keras kepala." Morgan tidak acuh akan perlawanan yang diterima. Pintu mobil sukses terkunci saat wanita bertubuh mungil itu duduk di sebelah pengemudi. Morgan melirik sekilas ke arah wajah kecut di sampingnya, wanita itu bersedekap sembari memanyunkan bibir. Mobil perlahan melaju meninggalkan taman. "Sebutkan alamatmu." Suara maskulinnya memecah keheningan.

Alih-alih menyebutkan alamat lengkap, si wanita memilih diturunkan di tempat lain. "Kau bisa menurunkanku di persimpangan Jalan Kingsbury," jawabnya tanpa menatap lawan bicara. Menerima respons itu, Morgan hanya menghela napas pelan dan menurut.

Setibanya di lokasi yang ditunjukkan, Morgan menepikan sekaligus memarkir kendaraan di sisi jalan. Wanita itu lekas keluar tanpa mengucap sepatah kata pun, walau sekadar terima kasih. Diam-diam dan spontan, Morgan keluar untuk membuntuti wanita malamnya. Detak jantung hampir berhenti saat wanita mungil itu mendadak menoleh ke belakang dan hampir memergokinya. Untung Morgan lebih tangkas dengan bersembunyi di balik tiang tembok bangunan sekitar. Hingga wanita itu masuk ke sebuah flat kecil, Morgan baru bisa bernapas lega. Merasa semua sudah aman, ia memutuskan untuk kembali ke mobil sambil berbisik, "Dia menyedihkan sekali, pantas tidak mau diantar sampai rumah."

Hari ini sungguh melelahkan sekaligus mimpi buruk bagi Morgan. Dengan julukan Kiper—diberi berdasarkan kehebatannya menjaga gawang—tidak pernah ada dalam sejarah hidupnya bahwa ia bisa mabuk berat seperti semalam. Apa karena suasana hati terlalu buruk dan beratnya melupakan kejadian yang menimpanya? Ia telah melakukan hal terfatal selama dua puluh lima tahun dalam hidup. Lawan jenis yang bermalam dengannya terlihat polos dan suci.

Sesampainya di rumah, ia melangkah masuk ke kamar dan beralih ke kamar mandi guna membersihkan diri. Berendam air hangat adalah pilihan terbaik saat ini. Bathub-nya terbuat dari batu kristal, ia terduduk di dalam bak terisi air penuh. Morgan menarik-narik rambut dengan kasar, melampiaskan sesal atas apa yang terjadi di antara mereka. Ia termangu dengan tatapan menerawang. Air yang bergejolak seolah-olah turut merasakan apa yang dialami pria bertubuh atletis itu. Morgan mulai simpati, bahkan ia lupa menanyakan nama wanita malang tersebut. Semua terjadi begitu cepat.

Di sisi lain, Cassandra Valerie, wanita yang tidak sengaja bermalam bersama Morgan, tiba di flat dengan terhuyung menuju kamarnya. Ia merupakan wanita mandiri yang bekerja sebagai kasir restoran di salah satu pusat perbelanjaan di Westfield. Ia menjalani hidup yang tidak mudah, membanting tulang dan bekerja keras demi masa depan yang lebih baik. Cassandra pernah tinggal dan dibesarkan di panti asuhan. Sejak lahir, ia sudah "dibuang" orang tuanya di depan pintu panti tersebut bersama selembar kertas terselip dalam bedungan bertuliskan nama dan tanggal lahirnya.

Cassandra menjalani hidup dengan bahagia yang semu. Di setiap penghujung hari atau sedang menyendiri, hatinya kerap merasa kosong. Hingga suatu ketika, di usianya ke lima tahun, datanglah seorang bayi laki-laki yang bernasib sama dengannya, dibuang. Cassandra jatuh hati pada bayi tampan itu dalam sekejap, seperti ada ikatan batin antara keduanya. Tahun berlalu, mereka tumbuh dan berkembang, saling melengkapi dan menyayangi layaknya saudara kandung.

Tibalah ketika ia sudah remaja dan siap keluar dari panti, keduanya merasa sangat berat untuk berpisah. Adiknya mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan beberapa tahun silam, dia memohon untuk dibawa serta oleh Cassandra. Agar dapat berjalan kembali, dokter menyarankan adiknya, Leo, menjalankan operasi pada saraf kaki. Akan tetapi, operasi tersebut harus ditunda sebab kekurangan biaya. Karena keadaan Leo pula, Cassandra harus melepas angan untuk kuliah di universitas incarannya.

Suatu hari, jiwa remaja membawanya berkenalan dengan seorang pria. Mulai dari situ, tekad Cassandra makin bulat untuk hidup mandiri. Sekeluarnya dari panti, ia cepat-cepat bekerja demi kelangsungan hidup dan sang adik. Perlahan, mereka pindah ke flat kecil dengan biaya sewa relatif murah dan menabung untuk biaya operasi Leo. Hidup Cassandra berjalan monoton, tetapi ia tidak mengeluh selama Leo di sisinya. Kehidupan kakak beradik itu mungkin memprihatinkan. Kendati demikian, mereka tetap bahagia menjalaninya.

Cassandra membutuhkan dana cukup besar untuk operasi sang adik tercinta, tetapi setengahnya saja belum terkumpul hingga saat ini. Setiap beranjak tidur di malam hari, ia bertanya pada Tuhan diiringi tangis tertahan. Kenapa hidup ini begitu menyedihkan? Kenapa semua tidak berjalan sesuai harapan? Bahkan kisah cintaku memberi luka di hati.

Sambil menangis dalam diam, Cassandra duduk di dalam kamar mandi membiarkan kucuran air membasahinya. Dia menggigit kepalan tangannya hingga terluka, lalu membenamkan wajah di antara kedua lutut yang ia peluk. Ingin rasanya jiwaku terlepas dari raga kalau mengingat semua beban berat ini. Apa selamanya aku harus memikul penderitaan, Tuhan? Atau aku memang ditakdirkan untuk menerima semua kepahitan dan terlahir untuk dicampakkan? Rasanya lelah. Aku tidak sanggup lagi menghadapi cobaan-Mu, batinnya.

"Jujur, aku ingin mengakhiri semua ini dengan kematian, tapi aku tidak sanggup meninggalkan Leo seorang diri di dunia kejam-Mu. Ia satu-satunya orang yang kusayangi, melihatnya terluka bukan mauku. Jadikan aliran air ini penghapus seluruh penderitaanku. Aku tidak meminta banyak darimu, Tuhan. Aku hanya ingin Engkau mempermudah jalan hidupku," bisik Cassandra penuh pilu. Ia membiarkan air mata dan darah di tangannya menyatu dengan air pancuran, ia tidak bisa membedakan rasa sakit hati dan perih lagi.

Setelah berjam-jam di kamar mandi, Cassandra keluar dengan mata sembab. Ia bersikap seperti tidak memiliki masalah apa-apa, meski kondisi Leo terus membuatnya berpikir. Ia tahu, dirinya harus mendapatkan pekerjaan tambahan demi biaya operasi, tiada yang lebih penting selain melihat kebahagiaan pemuda itu. Jika bisa, ia rela menukar kebahagiaannya demi kesembuhan sang adik tercinta. Namun, apa daya, uang dengan jumlah besar tidak mudah dicari dalam waktu singkat, kecuali bekerja di rumah bordil. Hal yang mustahil dilakukan, baginya lebih baik mati daripada harus merendahkan diri. Akan tetapi, jika mengingat tubuh yang tidak lagi suci, kemungkinan tersebut bisa menjadi pertimbangan.

***

Di saat Morgan masih dipusingkan insiden di taman beberapa hari lalu, sepupunya datang memohon ditemani jalan-jalan. Ia serta-merta menerima permintaan tersebut karena merasa butuh hiburan juga. Mereka pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di Westfield. Morgan terlihat ringan menggandeng gadis itu. Ellaine memiliki paras rupawan dengan tubuh semampai bak model papan atas. Usianya dengan Morgan tidak terpaut jauh hingga mereka mudah akrab satu sama lain. Morgan tanpa keberatan diseret dan diporot oleh sepupu cantiknya itu.

Ellaine merasa bosan karena mal yang dikunjungi tak ada bedanya dengan mal lain. Setelah puas memasuki toko-toko berkelas dan keluar membawa barang belanjaan, mata gadis itu bergerak liar mencari target kunjungan selanjutnya. Pencariannya berhenti pada sebuah restoran dengan konsep unik. Restoran itu terlihat mencolok di antara yang lain, di kedua matanya muncul binar antusias. "Kak, aku mau coba makan di sana," ajaknya, kemudian beranjak begitu saja meninggalkan Morgan.

"Astaga, apa aku tidak salah dengar? Baru setengah jam yang lalu kau menghabiskan steak sirloin dan Foie gras, sekarang mau makan lagi?" cibir Morgan yang heran dengan porsi makan Ellaine. "Makanan di perutmu saja belum sepenuhnya tercerna dengan sempurna, jangan-jangan perutmu terbuat dari karet, ya?" ejeknya.

"Harap maklum, Kak. Selama di Zurich, aku tidak bisa menyantap hidangan seperti di sini karena waktuku habis dengan kesibukan di kampus. Jadi, selama liburan aku akan menyerang seluruh tempat makan yang ada di depan mataku," jawab Ellaine, dia menelan air liur ketika menghirup aroma sedap yang kian tajam seiring langkah menuju restoran incarannya.

Morgan tertawa. "Baiklah, tapi jangan menyalahkanku kalau berat badanmu naik sepuluh kali lipat dari sekarang."

"Kakak tahu sendiri, berat badanku takkan naik walau sudah makan sepuluh piring hidangan dalam satu jam. Jadi, tenang saja." Ellaine mengibaskan pergelangan tangan dan tertawa kecil. Apa yang ia katakan adalah fakta, ia susah gemuk meski makan banyak. Terkadang ia heran, harus mengutuk atau bersyukur karena entah itu penyakit atau berkah.

Morgan dan Ellaine melangkah bersama memasuki restoran berkonsep khas Brasil yang ternyata ramai pengunjung mengingat sekarang jam makan siang. Desain interiornya didominasi fitur kayu mengilap. Layang-layang yang menggantung di plafon berwarna merah dan kuning menjadi ciri khas restoran, sedangkan lampu-lampu kecil berbentuk bola yang bertengger di atas layangan menambah kehangatan suasana. Ellaine benar-benar terpesona.

Morgan menuntun sepupunya yang lebih fokus pada interior dibanding mencari meja kosong. Akhirnya mereka mendapat meja di sudut ruangan. Ellaine menopang dagu dengan raut muka tidak ikhlas. "Ini bukan spot terbaik, aku tidak bisa menikmati keindahan restoran ini secara menyeluruh," katanya sambil mendengkus. Morgan hanya menggeleng melihat wajah menggemaskan Ellaine.

"Kau mau makan atau renovasi restorannya?" sindir Morgan pada Ellaine yang duduk di hadapannya. Yang disindir hanya mendelik kesal dan merebut buku menu dari tangan Morgan. Ellaine memesan sepotong burger dan sepiring daging panggang dengan saus BBQ yang tertulis best seller di restoran itu, sedangkan Morgan hanya memesan sepiring Nacho dan dua gelas koktail.

Sambil menunggu pesanan, mereka membincangkan kehidupan masing-masing selama pisah negara. Morgan sesekali bertanya mengenai kuliah Ellaine ditambah nasihat-nasihat agar mampu menjaga diri sebagai perempuan. Entah karena ramainya restoran atau kesibukan dalam proses pembuatan, pesanan mereka datang lebih lama dari perkiraan. Akan tetapi, hal itu tidak menyurut antusiasme Ellaine pada makanan.

"Lezat sekali, mau mencobanya, Kak?" tawar Ellaine dengan mulut penuh.

"Tidak. Kau makan saja sepuasnya sebelum kembali ke Zurich," jawab Morgan seraya menyesap minumannya. Lebih dari satu jam mereka berada di restoran itu, keduanya memutuskan beranjak setelah makanan habis. Mereka berjalan beriringan menuju kasir dengan tangan yang terjalin. Tanpa disangka-sangka, Morgan bertemu kembali dengan wanita yang membuat tidurnya tidak nyenyak beberapa malam terakhir.

Wanita yang memakai seragam kerja itu tersenyum ramah, tetapi ketika mengenali Morgan, senyum manisnya berubah kesal. "Kau!" Dia spontan menunjuk tepat di depan wajah Morgan. Matanya memancarkan kebencian teramat dalam pada pria berengsek itu. Jika digambarkan, wajahnya sudah berwarna merah padam dan ada dua tanduk di atas kepala.

"Iya, senang bertemu denganmu lagi, Nona Aneh." Morgan tersenyum geli melihat wajah kaget dan marah di hadapannya. Ia menyerahkan kartu debit seraya mengejek dengan menaikkan alis. "Meja 24."

Mata Cassandra memicing kesal, kemudian mengambil kartu Morgan dengan kasar. Ia beralih pada gadis yang digandeng pria itu. "Nona, ada baiknya Anda menjauhi pria ini. Dia pria berengsek hidung belang yang sering bermain perempuan," katanya, berharap Ellaine segera menampar wajah Morgan. Ia tidak tahu-menahu jika gadis itu adalah sepupu dari pria yang ia benci. Ia hanya membuang-buang tenaga untuk memprovokasi. Morgan menahan tawa sambil menekan pin di mesin EDC, sementara Ellaine dibingungkan dengan arah pembicaraan sang kasir.

Setelah membayar, Morgan bertitah pada Cassandra, "Kita akan menyelesaikan masalah di tempat kemarin. Aku akan menunggumu di sana setelah kau pulang kerja." Setelah menerima kartu, ia pergi tanpa menunggu jawaban Cassandra. Dia melambaikan sebelah tangan dari kejauhan lalu merangkul Ellaine yang masih keheranan.

Aneh, kenapa gadis itu tidak merespons apa-apa? Harusnya ia langsung menampar pria berengsek itu! Apa wanita itu tidak keberatan karena dia tampan dan kaya? Tunggu, tampan? Apa aku sudah gila mengatai pria iblis itu tampan? Lebih pantas disebut hidung belang! Demon Incubus. Demi apa pun, Cassandra memusuhi pria itu dan mengutuk dirinya yang mulai tidak waras akibat bertemu dengannya.

Ia bisa merasakan jika Morgan memanglah orang kaya, tampak jelas dari pakaiannya yang selalu bermerek orisinal. Juga mengingat mobil sport yang berharga jutaan pound sterling, supercar yang dipesan dari Jerman sehingga memiliki letak setir yang berbeda dari kendaraan di London. Cassandra bukan orang awam, ia mengenali asal dan spesifikasi mobil Morgan yang pernah ia tumpangi. Cassandra menggeleng dan segera kembali fokus bekerja. Karena jika tidak, ia bisa dipecat dan tidur di jalanan. Terlebih sudah dua bulan ia menunggak pembayaran uang sewa flat. Beruntungnya sang pemilik masih memberi keringanan untuk melunasi di bulan depan setelah menerima gaji.

Continue Reading

You'll Also Like

731K 9.6K 31
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
5M 271K 54
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
6M 704K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...
5.2M 64.1K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...