The Two of Us

By bellawrites

1.9M 146K 34.7K

Angga adalah pil biru yang selalu berusaha meninggalkan masa lalunya dan lari dari kenyataan. Sementara itu... More

The Two of Us
Prolog
Scene One
Scene Two
Scene Three
Scene Four
Scene Five
Scene Six
Scene Seven
Scene Eight
Scene Nine
Scene Ten
Scene Twelve
Scene Thirteen
Scene Fourteen
Scene Fifteen
Scene Sixteen
Scene Seventeen
Scene Eighteen
Scene Nineteen

Scene Eleven

81.5K 6.2K 2.1K
By bellawrites

Setibanya Bagas di kelas pagi itu, ia langsung melemparkan sebuah buku TTS bersampul foto Primus Yustisio yang baru dibelinya kemarin ke meja Angga. "Tuh, edisi minggu ini," katanya.

"Primus banget, nih? Kagak ada yang lain di Warung?" tanya Angga sambil memasukkan buku TTS tersebut ke dalam tasnya untuk diisi nanti malam.

Bagas pun mendengus. "Banyak mau lo, masih untung gue beliin."

"Woy, nanti siang Bu Rosma masuk nggak, ya?" tanya Revan entah kepada siapa karena matanya terfokus pada layar ponselnya.

"Masuk, lah. Kan, ada pelajarannya." Bagas mengingatkan, "Nggak usah bolos lagi lo, Van. Minggu depan ada ujian."

"Kecuali lo itu Vania, mau masuk ataupun nggak masuk, nilai lo tetep sempurna," tambah Aldo, kemudian matanya mengerjap saat melihat Angga. "Eh, Ngga, pagi ini kan pelajaran Bu Hanum. Sana, duduk depan!"

Angga mendecak pelan. "Biasa aja nadanya, Do. Gue berasa diusir sama majikan."

Tiba-tiba Revan menepuk pundak Angga, membuat Angga menoleh dan mencondongkan tubuhnya. "Apa?"

Sejurus kemudian, Revan membelai dagu Angga dan memperlakukannya layaknya seekor anjing. "Good boy, good boy."

Angga menepis tangan Revan keras-keras. "Bangke."

Setelah Angga menyampirkan ranselnya di bahu, ia memandang Aldo lagi sambil berkata, "Mas Dodo, aku pergi, ya."

Aldo mengangguk, senyumnya terpaksa. "Iya, Anggun."

Lantas, Angga beralih menatap Revan. "Van, jagain Aldo, ya. Jangan macem-macem," ujarnya sok dramatis. "Cukup paha aja yang diremes. Kepercayaanku jangan."

Aldo mulai gerah melihat kelakuan temannya itu. "Drama banget lo kayak Karin sama Gaga," katanya, menyebutkan gosip yang paling up-to-date. "Udah sana, pindah!"

Sewaktu Angga tiba di meja depan, Vania juga datang ke kelas di waktu yang bersamaan. Mereka sempat bertatapan selama sesaat hingga akhirnya Angga mengalihkan pandangannya duluan.

"Van, nggak apa-apa?" tanya Bagas yang langsung menghampirinya begitu Vania tiba.

"Apanya?" Vania mengerutkan kening. "Oh... ini? Masih nyeri, tapi nggak apa-apa, kok," katanya, refleks menyentuh perban yang ada di pergelangan tangan kanannya.

Sontak, Angga melirik perban di tangan Vania.

"Terkilir," jawab Vania tanpa sadar saat melihat tatapan bertanya Angga. Ia juga tidak tahu mengapa ia harus menjelaskannya kepada Angga.

Wajah Bagas terlihat khawatir. "Wah, nulisnya susah, dong?"

Vania hanya mengedikkan bahunya.

Ketika kelas sudah dimulai, tak seperti biasanya, Angga terlihat benar-benar fokus. Tangannya tak henti-hentinya bergerak dan menulis kata demi kata yang keluar dari mulut Bu Hanum saat menjelaskan pelajaran.

Angga sempat mencuri pandang melalui sudut matanya dan melihat kalau Vania agak kesulitan membuat catatan pelajaran hari itu. Tulisannya juga hampir tidak bisa terbaca.

Oleh karena itulah, Angga bertekad untuk menyempurnakan catatannya dan meminjamkannya kepada Vania setelah kelas berakhir.

"Nih, Van," Angga kemudian mengangsurkan buku catatannya kepada Vania.

Lekas, Vania mengernyit. "Buat apa?"

"Itu..."

"Van, catetan lo tadi nggak lengkap, ya? Fotokopi punya gue aja, ya. Nih," potong Bagas yang mendadak datang sambil memberikan buku catatannya kepada Vania.

Dahi Angga berkerut samar. Namun, karena ia tahu catatan yang ditulis Bagas pastinya lebih bagus dan lengkap dibanding miliknya sendiri, Angga pun menarik kembali buku yang hendak dipinjamkannya tanpa berkata apa-apa lagi.

Sementara itu, Vania menatap Angga dan Bagas bergantian.

"Van?" panggil Bagas, menunggu responsnya.

"Oh, iya. Besok gue balikin. Thanks, ya," ucap Vania sungguh-sungguh. Meski ia merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

Bagas mengangguk. Ia melirik Angga yang tengah memasukkan bukunya ke dalam tas. "Nyatet lo, Ngga? Tumben rajin."

Angga hanya tersenyum tipis.

***

"Van, nanti sore ada waktu?" tanya Angga saat ia berhasil memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda keberadaan Bagas di sekitar Vania, sebab Aldo, Bagas, dan Revan sudah lebih dulu meninggalkannya ke kantin.

Vania terlihat ragu sejenak. "Ada, kenapa?"

"Boleh minta tolong ajarin gue nyelesain materi soal buat ujian minggu depan, nggak?"

Tak percaya dengan apa yang didengarnya, Vania pun bergumam, "Apa?"

"Bantuin gue nyelesain materi soal buat ujian minggu depan," ulang Angga. "Bisa?"

Vania menggigit bibirnya. Tak enak jika menolak, Vania pun menjawab, "O-oke."

Sehingga sore itu, setelah bel pulang sekolah berbunyi dan semua siswa keluar dari kelas satu per satu, hanya tersisa Angga dan Vania saja di dalam kelas bersama dua rangkap soal fotokopian materi ujian tahun lalu di meja mereka.

Ajaibnya, Angga betul-betul mendengarkan arahan Vania dengan penuh perhatian dan menuntaskan semua nomor dari soal ujian Ekonomi dengan hasil yang lumayan baik.

Vania juga nampak puas melihat hasilnya, meski masih banyak juga jawaban salah yang terisi. Mungkin pepatah yang mengatakan bahwa you have to expect the worse from someone so that they can't disappoint you ada benarnya juga.

Seusai membereskan alat tulis dan bukunya, Vania berucap, "Gue balik, ya."

Tidak ada anggukan, tidak ada pula bantahan. Angga hanya terdiam di kursinya. Sampai akhirnya Vania bangkit dari duduknya, kali itulah Angga mencegahnya dengan mencengkram pergelangan tangan kanan gadis itu.

"Aw!" erang Vania kesakitan dan spontan Angga berseru minta maaf.

"Sori! Sori!" ucap Angga berkali-kali. Vania mendesah panjang.

"Ada apa lagi?" tanya gadis itu.

Mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja, Angga kembali angkat bicara. "Gue... gue... bisa nggak lo tinggal sebentar lagi di sini?"

Tanpa perlu diragukan lagi, kerutan di kening adalah reaksi pertama yang muncul di wajah Vania. Walau begitu, ia tetap kembali duduk untuk menuruti permintaan Angga.

"Gue kangen, Van."

Vania menarik napas lamat-lamat.

"Gue kangen ngobrol sama lo," aku Angga. Laki-laki itu menelan salivanya. "Meskipun kita emang nggak sering ngobrol juga, sih. Dan, sekalinya ngobrol juga pasti nggak nyambung."

Vania menegakkan badannya. "Then, talk."

Angga tersenyum getir. "Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi, kan?"

Mengembuskan napasnya panjang-panjang, Vania lantas menggeleng. "How can you pretend like nothing ever happened? I can't, I won't. It's not a walk in the park to do that."

"Bukan kayak gitu," sela Angga. "Maksud gue adalah kita. Lo dan gue."

"Apa?"

"Let's just start over. As friends."

Vania menatap Angga tajam. "Lo tau kenapa gue nggak suka lo?"

Angga terkesiap. "Hah?"

"You act like you live in this place called Wonderland when there's no such a thing as Wonderland in this world. You only made that up in your head." Vania mengepalkan kedua tangannya. "Bukan gue yang lari dari kenyataan, tapi lo. Lo yang selalu mencoba menarik gue ke dunia lo itu. Dunia yang sama sekali nggak nyata."

Angga tersenyum sinis dan menahan napasnya sejenak, mencoba mencerna baik-baik apa yang dikatakan Vania.

Vania merupakan gadis yang paling enggan berkata manis hanya untuk membuat orang lain suka padanya. Ia memilih berterus terang meski kenyataannya menyakitkan. Ia tidak suka berpura-pura semuanya baik-baik saja karena kenyataannya memang tidak seperti itu. Bagi seseorang seperti Vania, mereka lebih memilih meluapkan rasa tidak sukanya secara terang-terangan.

"Maksud lo apa?" tanya Angga kemudian dengan nada menuntut.

"Gue tau lo selalu menutup-nutupi kesalahan dia. Kesalahan Elang." Deru napas Vania mulai tak beraturan. "Lo udah tau sejak awal, kan?"

"Tau apa?"

Alih-alih menjawab, Vania justru melayangkan kalimat pedas lainnya, "Kalo bukan karena lo, mungkin Elang masih hidup sampai sekarang. But, you knew it. You were there. You were one of the reason why he died and why I hated him for that."

"Lo punya pilihan dan lo yang mengacaukannya sejak awal, Angga."

***

Tiga tahun yang lalu...

Malam itu hujan deras. Angga sedang mengerjakan soal-soal ujian nasional satu tahun sebelumnya di ruang tamu ketika BlackBerry-nya berbunyi tanda adanya panggilan masuk.

Saat membaca nama Elang di layar ponselnya, tak butuh waktu lama bagi Angga untuk segera mengangkatnya.

"Ga."

Sambil tetap melanjutkan pekerjaannya, Angga berbicara dengan Elang di telepon, "Bolos mulu lo dari kemarin, Lang. Cabut ke mana lo?"

"Sakit."

Angga terbahak. "Sakit apa? Mencret? Sial banget hidup lo, mau UN malah kena penyakit."

Elang tidak meresponsnya. "Eh, Ga, kalo Nadya telpon lo, bilang aja gue nginep di rumah lo, ya."

Angga langsung mengerutkan dahi, merasa ada yang aneh dengan ucapan Elang. "Kok, gitu?"

"Udah, bilang aja kayak gitu. Thanks, ya."

Lalu, telepon ditutup.

Angga menatap ponselnya selama beberapa lama. Kemudian, Nadya, kakaknya Elang, benar-benar langsung meneleponnya detik itu juga.

"Ga, Elang ada di rumah lo, ya?"

Angga agak ragu untuk menjawab pertanyaan Nadya sesuai yang diinginkan Elang. Tetapi, karena ia tidak ingin mengingkari Elang, ia pun menjawab, "Iya, Nad."

"Oh, ya udah. Maaf ganggu, ya. Nyokap nanyain soalnya," terang Nadya. "Akhir-akhir ini dia nginep terus di rumah temennya dan nggak bisa dihubungi, sih. Kemarin nginep di rumah Fahri, sekarang lo. Pasti kalian lagi mati-matian belajar buat UN tiga hari lagi, ya? Semangat!"

Lagi-lagi, Angga mengernyit heran. Sepengetahuannya, Fahri juga tidak mengetahui keberadaan Elang kemarin. Jadi, kenapa Elang bilang kalau ia menginap di rumah Fahri?

Itu pertama kalinya Angga merasa adanya kejanggalan dalam diri Elang.

Dua hari sesudahnya, Angga akhirnya berhasil juga menemui Elang lagi di sekolah tepat pada hari pertana Ujian Nasional diselenggarakan. Namun, saat Angga bertanya ke mana saja Elang menghilang selama beberapa hari itu, Elang tidak memberikan jawaban yang jelas.

"Gue di rumah temen," tandasnya. Angga langsung mengerti kalau Elang tidak ingin diinterogasi lagi.

Elang adalah seseorang yang selalu berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Dari kecil, ia memang kerap dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Apalagi, Elang merupakan cucu laki-laki pertama di keluarga besar ibunya selama tiga generasi terakhir. Ditambah lagi, Elang memiliki prestasi yang cemerlang di sekolahnya. Maka dari itu, ibunya betul-betul menyayanginya dan memberikan seluruh perhatiannya padanya.

Namun, ketika pengumuman hasil Ujian Nasional dibagikan dan Elang mendapatkan nilai yang sangat rendah sehingga membuatnya tidak lulus dan harus mengulang Ujian Paket B, tentu saja ibunya benar-benar marah dan malu dengan tanggapan dari keluarga mereka nantinya. Elang yang juga terlanjur emosi karena baru pertama kali diperlakukan seperti itu oleh ibunya lantas memilih pergi dari rumah dan menghilang lagi entah ke mana. Kemudian, ibunya jatuh sakit selama beberapa waktu.

Pernah suatu kali Elang tiba-tiba menampakkan batang hidungnya di runah Angga setelah dua minggu menghilang tanpa kabar. Sosoknya terlihat jauh lebih kurus dari saat terakhir Angga melihatnya.

"Gue nggak bisa pulang sekarang, Ga," Elang menggelengkan kepalanya. "Gue lebih baik mati daripada nyokap mantau gue seharian di rumah. Gue nggak tahan sama sikap nyokap yang selalu nanyain keadaan gue setiap jam ke orang lain."

Seketika Elang mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Sesuatu berwarna putih yang dibungkus plastik kecil. Selanjutnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Angga dan menyeringai. "Ga, lo mau nyoba?"

Angga menaikkan kedua alis matanya dan bergerak menjauh. "Lo... make narkoba?"

"This is my only getaway!"

***

"Lo mau melapor ke polisi, tapi takut dianggap menjebak teman sendiri. Tapi, kalo nggak melapor, lo juga takut dianggap terlibat," Vania mulai menganalisis dugaannya. "Atau... apa lo make juga?"

Pertanyaan itu membuat Angga tersadar kembali dari lamunannya. Angga merasa tenggorokannya mendadak kering.

"Enggak," sahut Angga susah payah.

"Lo punya pilihan, tapi lo nggak melakukan apa pun, Ngga," kata Vania, suaranya terdengar putus asa. "Lo mau melindungi dia, tapi lo juga menghancurkan dia dan diri lo sendiri dengan cara tersebut. Apa lo sadar?"

Angga balas menatap Vania tajam. "Lo bilang kalian nggak ada apa-apa, tapi kenapa lo marah dengan kematian Elang?"

Vania tak bersuara lagi. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Apa ada yang dia lakukan ke lo sebelum kejadian itu?" tanya Angga lagi. "He did something to you, didn't he?"

"Dunia ini nggak seindah dan sesempurna yang lo bayangkan. Kita hidup di Bumi, bukan di Surga." Vania mengembalikan fokus pupilnya ke wajah Angga. "Dia nggak sebaik yang lo pikir. Dan, gue... gue juga nggak sebaik yang lo pikir. Kita semua sama-sama pernah berbuat kesalahan. We were just too young."

Vania memandang lurus ke depan, tatapannya kosong. "Tapi, gue nggak akan pernah bisa memaafkan Elang. Nggak akan."

Kini, Angga tahu. Beginilah cara Vania membangun pertahanan dirinya. Ia bersikap keras karena ia tak ingin dipandang sebagai seseorang yang lemah. Tidak ada yang salah dengan itu. Sebab, selama ini Angga juga melakukan hal yang sama walau caranya berbeda.

Berpura-pura. Itulah hal yang paling dikuasainya.

"Maaf," ucap Angga dalam bisikan rendah, entah untuk apa. Mungkin, Angga hanya ingin Vania tahu kalau ia juga peduli tentangnya. Atau mungkin, Angga berharap Vania tahu apa yang diucapkan gadis itu hari ini padanya berarti besar bagi dirinya.

Angga melanjutkan, "Maaf, karena gue lo jadi ikut terluka."

Vania menoleh menatapnya. Perasaannya kacau-balau.

Angga adalah tipe orang yang ceria dan menyenangkan, namun di saat yang bersamaan sosoknya juga tertutup dan suka memendam semua masalahnya sendirian. Angga merupakan seorang laki-laki ambivert yang tidak mudah membuat banyak lingkaran pertemanan dan hanya nyaman berada bersama orang-orang yang cocok dengannya saja. Ia bisa menjadi pribadi yang ramah dan mudah disukai, tetapi juga dapat terlihat menyebalkan bagi sebagian orang.

Sifat asli Angga bagaikan teka-teki yang tidak ingin Vania pecahkan. Vania hanya ingin menghindar darinya. Itu saja.

Tapi, mengapa sangat sulit rasanya?

"Gue cuma mau mengerti lo, Van," tutur Angga lagi.

"Berhenti mencoba untuk mengerti gue, Ngga. Lo akan menyesal dan kecewa nantinya."

Continue Reading

You'll Also Like

331K 11.3K 26
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
687K 31.9K 47
selamat datang dilapak ceritaku. 🌻FOLLOW SEBELUM MEMBACA🌻 "Premannya udah pergi, sampai kapan mau gini terus?!" ujar Bintang pada gadis di hadapann...
873K 63.4K 35
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
2.5M 251K 60
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?