Elegi Patah Hati

By veradsh

1.5M 45.8K 4.9K

Barga Anggara, adalah seorang mahasiswa usia 20 tahun yang menikahi wanita berusia tiga tahun lebih tua darin... More

PROLOG
KEPING SATU
KEPING DUA
KEPING TIGA
KEPING LIMA
KEPING ENAM
KEPING TUJUH
KEPING DELAPAN
KEPING SEMBILAN
KEPING SEPULUH
KEPING SEBELAS
KEPING DUABELAS
READERS VOICE

KEPING EMPAT

46.3K 3K 303
By veradsh

"Dingin gini makan bakwan enak kali ya, Fris?" ujarku saat kami berdua tengah menikmati waktu luang dengan duduk bersantai di ruang tengah. Frisca menemaniku mengerjakan tugas kuliah sambil menonton tayangan kartun anak kecil yang berteman dengan seekor beruang.

Aku menoleh ke arah Frisca karena dia diam aja dan nggak merespon ucapanku. Wajahnya terlihat serius. Bahkan, aku melihat genangan air mata di kedua pelupuk matanya.

"Frisca." Panggilanku membuatnya terperanjat. Dia mengerjap lebih dulu, lalu menoleh padaku.

"Are you ok?" tanyaku lagi.

Frisca mengangguk lemah. Akan tetapi, hal itu malah membuatku semakin khawatir. "What's going on?"

"Nothing is going on."

"Baru kali ini aku lihat orang yang nonton Masha and the Bear sampai nangis."

Frisca tertawa kecil sambil menghapus lelehan air matanya. "Hal ini yang aku suka dari kamu. I love the way when you makes me smile no matter what mood I am into."

Aku menatap Frisca heran. Kesambet apa dia tiba-tiba bicara seperti itu?

"Jangan ngelihatin aku kayak gitu!" erangnya sambil mendorong pipiku.

Aku terkekeh sambil mengacak rambutnya dengan gemas. "Besok jadi cek kandungan?" tanyaku lagi.

"Besok dokter kandungannya praktik pagi."

"Emang kenapa kalau praktik pagi?"

"Besok hari Senin, kamu lagi UAS, kan?"

"Ohh, iya!" seruku, baru mengingat hal itu. "Yah, aku nggak bisa nemenin kamu. Nggak bisa lihat baby-nya, dong. Padahal aku selalu nungguin setiap waktunya cek kandungan."

"Cek kandungannya bisa diundur minggu depan, kok."

Aku menatapnya penuh harap. "Emangnya bisa diundur?" tanyaku.

Frisca mengangguk, kemudian menyandarkan kepalanya di pundakku. Sejak kejadian pulang dari karaoke beberapa hari lalu, hubungan kami semakin membaik. Kami menyadari bahwa perlu kerja keras berdua untuk membuat pernikahan ini berhasil, terlepas dari apa pun hasilnya nanti.

"Bar, emang kamu nggak capek, siangnya kuliah terus malemnya kamu kerja jadi pramuniaga di minimart? Belum lagi hari Sabtu- Minggu kamu masih kerja juga jadi steward di hotel?" tanya Frisca.

"Kalau dibilang capek, pasti capeklah, Fris. Tapi selagi aku masih muda, masih produktif, masih punya tenaga untuk kerja, kenapa nggak aku manfaatin. Daripada nongkrong nggak jelas, mendingan aku pakai waktunya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, kan? Lagipula, sebagai seorang suami, memang kewajiban aku untuk menafkahi kamu. Lelahnya aku pun menjadi berkah ketika aku menjalaninya karena lillah."

Frisca mendongak dan menatapku lama. "Tapi kamu jangan terlalu capek. Sempetin waktu untuk istirahat. Badan kamu bukan robot yang nggak butuh istirahat. Aku nggak mau kamu sakit nantinya."

Aku terkekeh seraya menarik kepalanya dengan lembut dan mendaratkan ciuman tepat di ubun-ubunnya. "Pasti ada waktunya untuk istirahat, tapi bukan sekarang. Waktu istirahatnya nanti, setelah aku pensiun. Menikmati hasil kerja keras sewaktu masih muda dan menikmati hari tua dengan istri dan anak cucu."

Frica semakin mempererat pelukannya di tubuhku. Dia menyesap aroma cologne murahan yang ternyata mampu membuatnya ketagihan dan selalu ingin berada di dekatku. Satu hal yang kusuka dari istriku ini adalah, dia manja dan paling senang dimanjakan. Dia membuatku selalu merasa dibutuhkan.

Kadang aku berpikir, hidup itu misteri. Aku nggak akan tahu seperti apa rupa masa depan sebelum berhadapan langsung dengannya. Menikah muda jelas nggak ada dalam daftar rencana hidupku sebelumnya. Umurku baru dua puluh tahun, Man. Dan saat ini aku sudah menjadi seorang suami. Hal yang lebih gilanya lagi, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Sebuah kejutan luar biasa yang nggak pernah bisa kuduga sebelumnya.

Kendati demikian, kupikir nggak ada yang salah dengan hal itu. Menurutku, menikmati masa muda dengan bekerja jauh lebih menyenangkan daripada senang-senang dan hura- lhura. Masuk dari satu tempat dugem ke tempat dugem yang lain dan  berkencan dengan cewek random yang nggak aku kenal. Atau lebih parahnya lagi menjadi junkies. Apa untungnya? Kena HIV dan penyakit kelamin, mungkin iya!

Lebih nikmat hidup yang kujalani saat ini. Punya istri cantik yang tetap terlihat seksi walaupun dengan pipi tembam dan perut buncit. Bisa memenuhi kebutuhan lahirku. Meskipun kebutuhan batinnya masih belum terpenuhi, aku nggak mau memaksanya jika bukan dia sendiri yang menginginkan.

"Bar."

"Hmmm?"

"Kadang, aku ngerasa kamu tuh lebih dewasa dari abang kamu."

See?

"Ya, iyalah. Anaknya Marcello Prawirayasa gitu loh. Kalau dibandingin sama Arkha mah bukan cuma lebih dewasa, lebih ganteng juga pastinya."

Frisca tertawa pelan. "Ya ampun... salah ngomong aku kayaknya."

Kami tertawa bersama. Kupeluk tubuhnya dan mendaratkan ciuman lembut di atas puncak kepalanya. Hari ini aku menemukan satu lagi pelajaran yang kudapat, yakni, merasakan kebahagiaan batin itu adalah hal yang tidak semua orang bisa mendapatkan.

***

"Barga, jam setengah enam. Cepetan bangun."

Aku loncat dari tempat tidur setelah mendengar seruan Frisca. Saat aku melirik jam digital yang tergantung di tembok kamar, aku sontak kelabakan. Sial, jam enam kurang sepuluh menit, sedangkan ujian mulai jam tujuh pagi!

Kepalaku rasanya pusing setelah memasuki kamar mandi. Semalaman aku baru tidur jam tiga pagi karena harus menyelesaikan tugas teknik pemrograman dengan membuat flowchart dan programnya.

Di tengah rasa kantuk, aku merasa seseorang membasuh mukaku dengan air hangat sewaktu aku ketiduran sambil duduk di atas kloset. Frisca membantuku mencukur kumis serta bakal jenggot yang sudah satu minggu ini belum sempat kupangkas. Dia pun kembali membasuh wajahku setelah selesai. Aku menarik tangannya untuk memberikan ciuman terima kasih, tapi batal saat aku menemukan sesuatu melingkari pergelangan tangannya.

Sebuah gelang titanium.

Dan aku tahu dari siapa gelang itu.

Sudah lama sekali dia nggak pernah pakai gelang itu lagi. Terus kenapa sekarang dia tiba-tiba pakai lagi gelangnya? Ingatanku mengarah pada kejadian sewaktu aku dan Frisca menonton kartun Masha and the Bear sore kemarin. Frisca menangis sambil melamun. Dia bahkan nggak dengar saat aku berulang kali memanggil namanya.

Pasti dia lagi meelamunin Bang Arkha, dan sekarang dia pakai gelang itu lagi karena dia kangen sama Bang Arkha.

"Udah selesai, sekarang kamu mandi. Aku bikinin sarapan buat kamu." Frisca beranjak meninggalkanku yang masih termenung di atas kloset.

Argh, sial! Memikirkan hal itu membuat mood-ku semakin berantakan pagi ini.

Saat keluar dari kamar mandi, aku menemukan kemeja putih serta celana bahan berwarna hitam sudah siap di atas tempat tidur. Aku melirik jam yang tergantung di dinding kamar, sudah pukul enam kurang lima menit. Aku sempatkan salat subuh lebih dulu. Lebih baik telat daripada tidak sama sekali.

Satu piring nasi goreng sudah tersaji di atas meja makan sewaktu aku keluar kamar. Akan tetapi, aku nggak berniat memakannya. Makan hati sudah bikin kenyang!

"Fris, aku nggak sarapan, ya. Udah telat banget ini."

Tanpa menunggu jawaban Frisca, aku segera melesat keluar rumah dan membawa mobilku menuju kampus. Aku sengaja nggak mau menghiraukan wajah protesnya saat aku pergi begitu saja.

Sorry, Fris....

Sebenarnya aku nggak keberatan kalau dia masih mengingat tentang Bang Arkha. Hanya saja, aku paham jika debu memori itu sama halnya padang pasir yang luas, dan aku berada di tengah-tengahnya. Jelas, nggak semudah itu untuk bersaing dengan sesuatu bernama kenangan.

***

"Gue cari di kampus tahunya udah balik duluan lo!" serbuku sambil menyerobot masuk ke dalam kamar kos si Jack saat dia baru membuka pintu.

"Lo assalamualaikum dulu, kek! Permisi dulu, kek! Main nyelonong masuk aja."

Malas menanggapi protesnya, aku memilih merebahkan badanku di atas tempat tidurnya yang empuk.

Ahh, nyamannya....

"Numpang tidur bentar, Jack. Bangunin jam dua, ya. Gue kerja jam tiga," titahku samil memiringkan posisi baringku dan mulai memejamkan mata.

"Kenapa lagi lo sama Frisca?" tanya Jack tiba-tiba, kontan mataku kembali terbuka.

"Nggak apa-apa."

Terdengar dengusan kasar darinya. Lagi-lagi aku nggak mau menghiraukan ucapannya dan lebih memilih melanjutkan tidurku yang terinterupsi tadi.

"Lo harusnya lebih tegas jadi suami. Jangan karena umur lo lebih muda dari Frisca, terus dia bisa bertingkah seenaknya aja tanpa menghargai lo."

Ucapan Jack kali ini tidak bisa kuabaikan begitu saja. Aku membuka mata, menatap Jack dengan serius. "Ini masalah komitmen, Jack. Gue udah sadar dengan konsekuensi dari keputusan yang gue pilih waktu gue mutusin buat nikahin Frisca."

Walaupun aku sadar dengan konsekuensinya, jauh di lubuk hati aku tetap kesulitan untuk mengendalikan perasaanku ketika harus bersaing dengan kenangan abangku sendiri. Hatiku sakit, dan egoku berontak karena merasa nggak dihargai.

Aku terlalu naif untuk mengakuinya. Berulang kali aku mencoba mengendalikan perasaanku, tapi tetap nggak bisa. Bayangan tentang kebersamaan Frisca dan Bang Arkha terlalu kuat mendominasi hingga membuatku terganggu.

"Lo paling lemah kalau udah ngadepin bini lo itu. Uring- uringan seharian, dicipok sedikit aja langsung manut lagi, persis kayak kebo habis dicocok hidung."

"Gue dateng ke sini pengin ngadem, Jack. Denger omongan lo malah bikin kuping gue tambah panas."

Jack kembali berdecak. "Ngeles aja terus, Bar."

Aku bangun dan menghampiri rak kecil tempat Jack menyimpan bahan-bahan makanan untuk mencari kopi. Butuh asupan kafein agar tubuhku bertahan sampai jam sepuluh malam nanti.

"Kopi lo kayak beginian semua. Nggak ada kopi item, ya?"

"Noh, di warung banyak."

Aku menoyor kepalanya. Saat yang sama, telepon genggamku bergetar dari balik saku celana. Ada enam panggilan tidak terjawab. Tiga dari Bunda, tiga lagi panggilan tidak terjawab dari nomor Frisca. Ada pesan LINE juga. Aku membukanya dan langsung tersedak oleh ludahku sendiri.

Istri solehahku itu mengirimiku sebuah foto yang memperlihatkan perut buncitnya tanpa tertutup apa pun. Astaga ... ini mah moodbooster banget namanya. Nggak tahu kenapa, foto ini bisa dengan mudahnya meruntuhkan rasa kesal yang kutanggung seharian ini.

Semangat ujiannya, Papa

Aku tersenyum membaca pesan yang menyertai foto itu. Punya istri modelan begini gimana nggak bikin lemah, coba? Cuma si 'boy' yang dibikin keras setiap saat. Sial.

***

"Ada lagi tambahannya, Mbak?" tanyaku setelah menghitung belanjaan seorang perempuan umur tigapuluh tahunan di meja kasir tempatku bekerja.

"Ada."

Aku menatapnya, menunggu belanjaan apa lagi yang ingin dia tambahkan.

"Kalau masnya boleh dibawa pulang, sekalian masnya dikantongin juga."

Kampret!

Aku tertawa hambar. Segera kuselesaikan proses pembayaran dan memilih untuk tidak menanggapinya lagi.

"Aa, meni judes pisan, ih. Tapi malah bikin tambah gemes," ucap perempuan itu lagi sebelum melangkah keluar dengan senyum menggoda dan membuatku mendadak mau muntah.

Sedangkan si Mul alias Maulana yang menjadi partner shift-ku malam ini, sudah tertawa terbahak-bahak setelah kepergian tante-tante tadi.

"Puas banget, Mul?"

Mul menarik napas dalam. "Gelo, anjir, si teteh eta! Makanya, Bar, punya muka jangan ganteng-ganteng banget. Digodain tante girang kan akhirnya."

Mau nggak mau, aku ikut tertawa karena kekonyolan tadi.

"Punten, 'A. " Seseorang menghentikan tawa kami.

Aku dan Mul menengok bersamaan, menemukan keberadaan seorang wanita muda yang sedang berdiri di depan meja kasir.

"Di sini nggak jual obat asma, ya?" tanya cewek itu.

"Ada di rak obat-obatan," jawabku.

"Bisa tolong dicariin, 'A? Tadi saya cari di sana nggak ada."

Aku menatapnya malas. Paling cuma pembeli iseng lagi. Akan tetapi, sewaktu aku melewatinya, napasnya terdengar berat dan pendek-pendek. Membuatku yakin bahwa cewek ini benar-benar sakit.

Aku mencari obat asma yang biasanya tersimpan di rak obat-obatan, ternyata nggak ada. Sepertinya stoknya memang habis.

"Obat asmanya habis," ujarku sambil menoleh kembali ke arahnya.

Perempuan itu mengeratkan jaket yang digunakannya sebelum mengangguk. Dia mengucapkan terima kasih lebih dulu, lalu melangkah keluar. Entah datang dari mana, naluriku sebagai manusia seperti menggerakkan tubuhku agar menyusul cewek itu.

"Mbak." Aku panggil dia setelah berada di luar dan membawakan kursi plastik.

"Mbak tunggu di sisi aja. Biar saya yang cari obat asma buat Mbak. Sebelum perempatan ada apotek yang buka 24 jam. Mbak biasanya minum obat apa?"

Dia menyebutkan nama obatnya dan mengasongkan selembar uang padaku. Namun aku menolaknya. "Uangnya nanti aja."

Setengah berlari, aku bergerak cepat menuju apotek yang berjarak cukup jauh dari minimart tempatku bekerja. Setelah mendapatkan obatnya, aku kembali berlari dan menemukan perempuan itu masih berada di sana. Aku bergegas masuk ke pantry, membawakan minum air hangat dari dispenser, dan membantunya meminum obat. Beberapa saat kemudian, napasnya kembali teratur walaupun masih terdengar sedikit berat.

"Alhamdulillah. Makasih banyak ya, 'A."

Aku mengangguk dan tersenyum tulus. "Mbak habis dari mana?" tanyaku basa-basi.

"Pulang kerja. Tadi angkotnya sepi, jadinya saya turun karena takut dibawa kabur sama supir angkotnya. Tapi nunggu angkot lagi malah nggak ada yang lewat."

Aku melirik jam digital yang melingkari tanganku, pukul sepuluh malam. Sudah waktunya aku pulang.

"Rumahnya di mana, Mbak?"

"Di Geger Kalong. Panggil Icha aja, ' A, jangan panggil mbak."

"Gue Barga. Kalau lo percaya, biar gue antar lo pulang. Ini udah jam sepuluh malem. Angkot udah jarang yang lewat sini. Kebetulan rumah gue di Sarijadi, jadi kita searah."

"Tapi kamu bukannya lagi kerja."

"Shift gue udah selesai. Tuh, orang yang gantiinnya udah dateng."

"Emang nggak ngerepotin?" tanyanya kemudian.

Aku menggelengkan kepala dan menyuruhnya menunggu. Setelahnya aku masuk ke dalam gudang yang juga menjadi tempat istirahat karyawan untuk mengganti baju seragam kerja dengan baju yang tadi kupakai ke kampus. Aku memang sengaja meninggalkan baju seragam kerja di sini biar nggak perlu repot-repot bawa baju ganti ke kampus.

"Mul, gue balik, ya," pamitku waktu melewati meja kasir.

Icha yang mengikutiku menuju tempat di mana mobilku terparkir, tampak terkejut sewaktu aku membukakan pintu mobil untuknya. Walaupun terlihat ragu, Icha tetap mengikutiku dan melangkah naik ke dalam mobil.

"Ini mobil kamu?" tanya Icha, terdengar keheranan. 

"Kenapa emangnya? Aneh ya lihat pegawai minimart kayak gue bisa punya mobil?"

Dia tertawa. Tawa yang lembut sekali.

"Ini mobil Bokap, bukan punya gue," terangku.

Setelah percakapan itu, kami diam dengan canggung. Sekali-kali aku melirik perempuan yang duduk di sampingku ini, aku perkirakan umurnya sama sepertiku. Dia manis dan senyumnya kelihatan tulus. Berbeda dengan Frisca yang cantik tapi wajahnya sedikit jutek. Apalagi jika sedang mengomel, membuatku gemas dan tidak tahan ingin terus menciumi bibir tipisnya yang cerewet.

"Bar, nanti berhenti di depan gang itu, ya." Ucapan Icha menghentikan pikiran liarku. Dia menunjuk sebuah gang kecil di depan jalan.

"Kenapa nggak sampai depan rumah aja?"

"Kosan aku gangnya kecil, nggak masuk mobil. Aku udah biasa, kok, pulang jam segini sendiri."

Aku menghentikan mobil di tempat yang dia tunjukkan tadi.

"Barga, makasih banyak, ya. Maaf jadi ngerepotin kamu."

"Santai aja."

Icha membuka tuas pintu dan melangkah turun dari mobil. Dia sempat melayangkan senyum singkat sebelum berjalan memasuki gang. Setelah itu, aku langsung memutar balik mobilku dan membawanya menuju rumah.

Memikirkan Frisca tadi membuatku sedikit merindukannya. Apalagi tadi pagi aku sudah meninggalkannya begitu saja.

Tiba di rumah, aku memarkirkan mobil di garasi dan kembali mengunci pintu gerbang depan sebelum melangkah memasuki rumah. Televisi di ruang tengah masih menyala dengan seseorang yang meringkuk di sofa.

"Frisca," panggilku pelan saat menghampirinya.

Dia membuka matanya perlahan, lalu tersenyum saat melihatku. "Kamu kok baru pulang?" erangnya manja.

Dia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di sampingku. "Aku pikir kamu mau pulang cepet karena dari kampus tadi nggak pulang dulu ke rumah, tapi aku tungguin kamunya nggak pulang-pulang, sampai aku ketiduran di sini jadinya."

Aku menatapnya serius yang dia balas dengan tatapan penuh kelembutan. Tangannya terulur, membelai setiap inci bagian wajahku. Saat aku mengamati pergelangan tangannya dan tidak menemukan adanya gelang itu lagi, sudut mulutku terangkat tanpa bisa dicegah.

"Aku tahu kamu marah. Waktu pergi tadi, kamu nggak cium aku kayak biasanya. Kamu nggak angkat telepon dari aku dan LINE aku juga cuma kamu read."

Dengan hati-hati, aku mendekap tubuhnya dan membawanya memasuki kamar tidur kami dalam gendonganku. Aku merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan perlahan. Kehamilannya sudah memasuki bulan ketujuh, tapi bentuk badannya nggak banyak berubah seperti dulu sebelum dia hamil. Aku tahu karena sering lihat fotonya di Instagram. Yeah, aku follow akun Instagramnya semenjak kami menikah. Sering kepo foto-fotonya yang dia unggah ke Instagram sejak dulu masih bersama Bang Arkha.

"Aku mandi dulu, ya. Nggak enak badannya lengket," bisikku di depan wajahnya dengan jarak yang sangat dekat.

"Jangan lama."

Aku tersenyum dan menciumnya sekilas. Sesuai perintahnya, aku mandi secepat kilat. Saat keluar dari kamar mandi, aku menemukan Frisca sedang duduk di pinggiran tempat tidur sambil memainkan ponselnya.

"Tadi pagi Bunda telpon," katanya.

"Terus?" jawabku, membuka lemari dan mengeluarkan satu setel pakaian untuk tidur.

"Ngasih tahu, hari Minggu besok Ayah ulang tahun. Bunda mau bikin acara kumpul-kumpul keluarga di Lembang. Kamu aja yang datang, ya? Bilang aja aku lagi ngerjain proyek iklan, jadi nggak bisa ikut kumpul."

Aku mengernyit. "Kenapa nggak mau datang?"

Dia membuang muka untuk menghindari tatapanku. Pelan-pelan aku meraih dagunya dan menaikkan wajahnya agar kembali menatapku.

"Kenapa nggak mau datang?" ulangku.

Dia berusaha melepaskan tanganku yang mengapit dagunya.

"Frisca, lihat aku sini."

"Aku malu, Bar."

"Malu kenapa? Malu lihat aku, atau malu datang ke acara ulang tahun Ayah?"

"Malu datang ke acara ulang tahun Ayah."

Aku mengernyit. "Kenapa?"

"Aku takut keluarga besar kamu nggak bisa terima aku."

Aku kembali menangkup wajahnya dan menatapnya dengan tegas. Aku paling benci jika melihatnya bersikap seperti ini. "Keluarga aku bukan orang-orang primitif yang punya pemikiran sempit. Dan kalaupun mereka nggak bisa menerima kamu, yang penting aku terima kamu apa adanya, kan? Karena yang menikah dengan kamu itu aku, bukan mereka."

Ucapanku kali ini membuatnya tersenyum malu-malu. Hal itu membuatku nggak tahan untuk kembali mencium bibirnya.

****

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 16.6K 46
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
115K 13.6K 23
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
4.7M 258K 52
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
4.4M 55.9K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...