Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda

By gaachan

401K 35.8K 6.2K

Ini kisahku dengan seorang lelaki. Lelaki yang bahkan membuatku tak mampu berpaling darinya. Kami berbeda dan... More

Coming Soon
Bagian Satu: Awal Sebuah Persahabatan
Bagian Dua: Bertemu, Mengenal, Hingga Mencandu
Bagian Tiga: Lensa yang Menangkap, Mengikat
Bagian Empat: Sebuah Nasib Telah Terikat, Lalu Melekat
Bagian Lima: Kita Melenggang Dalam Susah Bersama
Bagian Enam: Kalung Tasbihku dan Kalung Omkaramu
Bagian Tujuh: Menjauh Menguji Hati, Mendekap
Bagian Delapan: Rasa Dalam Hati Siapa Tahu?
Bagian Sembilan: Berjarak Untuk Berhenti Sejenak
Bagian Sepuluh: Kita Melangkah, Tanpa Berbalik
Bagian Dua Belas: Kebenaran Akhirnya Terungkap
Bagian Tiga Belas: Ketika Rasa Bersua, Itu Cinta
Bagian Empat Belas: Jarak Membentang, Hati Berpandangan
Bagian Lima Belas: Bahkan Seorang Kakak Bisa Iri Pada Adiknya
Bagian Enam Belas: Mereka Hidup Awalku
Bagian Tujuh Belas: Sebuah Kesalahan di Balik Cinta
Bagian Delapan Belas: Mereka Tidak Tahu Hati Kita
Bagian Sembilan Belas: Tekad Demi Cinta
Bagian Dua Puluh: Ketika Nama Tuhan Kita Berbeda
IG 1: UKM-UKM
IG 2: MUSUH-MUSUH
IG 3: KETUA-KETUA
IG 4: MASALAH-MASALAH
IG 5: GARA-GARA
IG 6: GODAAN-GODAAN
IG 7: RASA-RASA
IG 8: TANDA-TANDA
IG 9: CINTA-CINTA
Anggap Saja Bonus
Double Date

Bagian Sebelas: Kutaklukkan Hatiku Untukmu

11.7K 1.1K 278
By gaachan


Aku belajar tentang mengenal sebelumnya, lalu aku belajar untuk merasa. Aku belajar menginginkan setelah itu, lalu belajar mencintai. Belajar memahami. Belajar menjaga setelahnya. Hidupku bukan sekumpulan mimpi, namun aku sudah sampai pada titik dimana aku menemukan mimpi yang kucari. Mimpi itu menjelma jadi seseorang yang kini hadir dalam siang serta malamku. Seorang lelaki.

***

Dia sebagian dari hidupku.

Dia adalah lelaki, yang kucintai setiap waktu. Dia adalah lelaki yang namanya kusebut dalam sholatku. Dia adalah lelaki yang menjelma jadi seseorang yang mampu merampas segala kewarasan dan tata kramaku akan hidup. Aku tidak pernah menyangka dirinya akan seperti itu. Lelaki itu yang tinggal dalam hatiku, duduk di singgasana tertinggi. Mereka yang memberikan gelar kasta pada seseorang pasti tahu apa kasta tertinggi. Aftan menempati kasta itu.

Ini akan kuisi sebagai curhatanku.

Suatu hari aku terbangun dengan kepala pening. Beberapa hari ini aku kurang tidur. Masa laluku sebagai pejuang skripsi sudah tinggal kenangan. Kali ini aku hanya menikmati masa istirahatku sembari menunggu lembar transkrip yang belum dibagikan. Aku hanya perlu menunggu dengan bermain bersama Aftan.

Seperti sebelumnya, aku masih bermain di UKM. Mataku memindai beberapa orang yang sudah damai di UKM. Ada anggota baru rupanya. Gian masih berdebat dengan wakil UKM Fotografi.

“Aku harus wisuda periode depan!” Gian merengut.

“Iya, Irjo juga harus wisuda.” Aku menatap Gian sambil tersenyum geli.

“Jadi kalian harus menunjuk ketua baru.”

“Tapi, Kak...” Angga, wakil ketua UKM Fotografi protes lagi. Aku menggeleng pelan. Aku tersenyum pada Angga, lalu mengangguk.

“Ini keluarga kalian saat ini. Sudah saatnya yang tua digantikan dengan yang muda.” Aku menepuk kepala Gian. Gian merengut, namun kepalanya masih mengangguk setuju. Anggota UKM yang lain akhirnya menunduk dan mulai mempersiapkan diri untuk pemilihan ketua dipimpin oleh Gian. Untuk sementara Angga yang akan menggantikan Gian.

Ketika mereka masih sibuk berdiskusi soal ketua baru, kakiku sudah beranjak pergi. Aku ingin mengunjungi lelakiku. Meski sekarang aku sudah punya kontrakan sendiri, namun tempat ini akan selalu jadi destinasi utamaku. Akan ada lelaki yang menjadi tumpuan dan alasanku bersandar. Lelaki yang sedang menggendong kelinci jantan bernama Serintil itu. Lelaki tempatku menitipkan rasa.

“Aftan...” Aku tersenyum menyapa. Aftan menoleh dan balas tersenyum ke arahku. Kakinya melangkah, lalu menyerahkan Serintil padaku. Makin hari kelinci ini makin gemuk saja. Aftan sayang sekali padanya.

“Sudah makan?”

Aftan mengangguk. Jemarinya mengelus kepala Serintil. Aku menunduk, menatap jemari yang sedang mengelus sayang kepala kelinci di gendonganku. Aku merinding meski hanya dengan membayangkan jemari itu menyentuhku.

“Elus yang gendong juga, dong!” Aku menunduk ke arah Aftan. Aftan tergelak geli. Awalnya aku merasa dia tidak akan melakukan apa yang kuinginkan, namun ternyata Aftan melakukannya. Lelaki manisku malah mengelus kepalaku.

Tubuhku menegang.

“Aftan...” Suaraku tercekat, tergagap dengan nada gemetar. Semuanya terlihat sangat semu sekarang. Tidak ada angin yang menyapa kami. Tidak ada suara apapun. Hanya ada aku dan Aftan yang sedang tersenyum.

“Hm?”

Aku gila. Aku sudah benar-benar gila. Aku sudah jatuh. Aku menatap Aftan lagi, mataku menatapnya sendu. Sebelah tanganku terlepas dari Serintil, lalu menyentuh pipinya. Aku sudah meletakkan lelaki ini untuk sebagian hidupku. Aku mencintainya, Allah! Aku mencintainya seperti aku menyebutMu dalam sholatku. Aku mencintainya seperti ketika aku memuji Rasulku. Aku mencintainya seperti ketika aku mendoakan kebahagiaan kedua orang tuaku. Aku mencintainya, Allah! Aku tidak pernah berharap Kau berikan alat kelamin seperti wanita. Aku tidak pernah berharap sebanyak itu, meski Kau mampu melakukannya. Aku hanya bisa berharap kalau Kau akan memberikan bahagia padaku meski hanya sedikit.

Aku sudah menetapkannya sebagai pemilik hatiku, pengikat hidupku, penguat napasku, alasanku.

“Aftan, kamu adalah orang paling penting dalam hidup Mas,” bisikku cepat. Aftan mendongak. Pipinya bersemu. Aku tidak tahu karena efek pujianku atau hanya karena imajinasiku. Aftan tersenyum lembut setelahnya, lalu memelukku dan Serintil. Lengan mungilnya melingkupi dadaku, menyalurkan rasa biadab yang membuatku kesal setengah mati. Kesal karena hati ini tiba-tiba bergerak tanpa sebab. Sialan. Menuntut, namun sulit untuk kuraih.

“Mas Adnan juga sama...”

Aku tidak tahu maksud kalimat itu. Sama sekali tidak tahu. Mungkin aku gila kalau menuntut Aftan mengatakan itu karena dia memang mencintaiku. Memiliki rasa sama sepertiku.

“Mas berharga untukmu?”

“Tentu saja! Mas adalah orang yang berharga untukku...” Aftan mengangguk yakin. Aftan tersenyum lalu mengusap pipiku. Allah!

Bisakah aku menutup mata sejenak? Aku ingin menutup mataku untuk menikmati sentuhan ini. Aku ingin mengabaikan semua hal yang menyakitkan saat ini. Aku hanya ingin menikmati sentuhan lelaki ini. Aku ingin merengkuhnya untuk hatiku sendiri.

Sebelah tanganku menarik lengan Aftan, mendekapnya erat dengan separuh lenganku. Aftan tersenyum geli.

“Aftan...”

“Iya, Mas?”

“Kapan ya kita bisa tinggal bersama?”

“Hm? Kenapa?”

Karena melihatmu pertama kali ketika aku membuka mata adalah mimpiku selama ini. Aku menginginkan itu selama ini. Kejadian kecil yang sangat manis. Melihat Aftan ketika aku membuka mata, melihat bagaimana cara Aftan memejamkan mata dan terbaring di sebelahku... jantungku berantakan.

“Hanya ingin saja...”

“Bersama Serintil?” Kepolosan lelaki ini makin membuatku gemas setengah mati. Aftan selalu membuatku keluar dari zona nyaman yang selama ini aku tinggali. Aku ingin mengenal zona itu. Ingin bersandar dan tinggal di tempatnya. Lebih dari itu, bagaimana caraku memuja Aftan adalah bagaimana aku menitipkan hatiku padanya. Meski sampai sekarang aku masih tidak tahu.

“Serintil boleh kalau ingin tinggal bersama kita.”

“Tetapi aku sudah punya kos. Mas Adnan punya kos baru?”

“Mas punya kontrakan, Aftan. Mas memutuskan untuk tinggal di kota sebelah.” Sungguh, naik motor sekitar dua jam sama sekali tidak masalah untukku. Aku akan pergi jauh kalau untuk Aftan. Aku pernah membawa Aftan pergi dengan motor, berkeliling tak tentu arah. Sejauh apapun aku mampu melakukannya.

“Jadi sekarang Mas sudah mulai berjuang untuk mencari kerja?”

Aku tersenyum. Aku sudah punya kerja sampingan sebagai freelance. Jadi tukang foto di salah satu studio. Aku sempat menjadi fotografer untuk acara praweding dan acara besar lainnya.

“Kalau transkrip nilai sudah selesai, Mas akan pindah kerja.”

Aftan antusias mendengar rencanaku. Dia mengangguk senang, lalu memberiku semangat. Jemarinya mengusap bulu halus Serintil sekali lagi. Hatiku berantakan. Bagaimana rasanya jika jemari itu mengusap rambutku, atau punggungku? Bagaimana rasanya kalau jemari itu mencakar punggungku ketika aku menindihnya?

Ya Allah, aku sudah melangkah terlalu jauh dariMu!

Aftan melepaskan diri dariku, lalu kembali menarik lengan bajuku pergi. Dia menyeretku ke UKM Fotografi. Pemilihan ketua sudah selesai. Gian berdiri begitu melihatku dan Aftan datang. Aku memeluk Serintil, sementara jemari Aftan menggenggam lengan bajuku.

“Kalian dari mana?”

“Dari sana ke sini,” jawabku cepat. Gian mendengus, lalu menunjuk wajahku kesal. Dia masih menatap Aftan lalu memasang senyum liciknya.

“Kamu jangan dekat-dekat Adnan! Dia bisa gigit. Bahaya.”

Aftan tergelak.

“Aku bisa menggigit balik, kok Mas!”

Astaghfirullah...

Bagaimana rasanya ketika gigi itu menggigitku? Aftan mengerjap ke arahku, lalu tergelak geli. Mata menawannya bergerak, mengerling dengan penuh tawa. Aku melotot ke arah Gian, sementara yang sedang kupelototi tampak tidak peduli.

“Dia adalah om-om yang berbahaya, Aftan!” Gian menunjukku. Aku tidak peduli, hanya saja ucapan Gian semakin mengganggu. Aku tahu mereka berdua bercanda, hanya saja aku sedang sensitif. Baper anak sekarang menyebutnya.

“Aku bisa menggigit bahkan mengunyah!” ucapku ketus. Aftan dan Gian berpandangan. Aftan melotot dengan wajah malu.

“Kami kan hanya bercanda, Mas.”

“Tahu, tetapi lelaki di sebelahmu itu bukan tipe orang yang senang bercanda, Aftan!” Aku menunjuk wajah Gian yang sedang tersenyum geli, separuh menyindir.

“Aku tidak ingin melihat kalian bertengkar...” Aftan melangkah ke arahku, merebut Serintil, lalu melarikan diri. Aku melongo, lantas menoleh gemas ke arah Gian. Gian mengedikkan bahu dan tergelak puas.

Gian masih saja seperti dulu. Dia masih tipe lelaki yang senang sekali bicara apa adanya. Meski begitu aku sangat mengagumi pemikirannya yang aneh itu. Membayangkan Gian bersama Irjo membuatku bertanya-tanya, separuh penasaran juga. Aku tahu kalau hanya Irjo yang mampu menguasai Gian.

“Gara-gara kamu...” Aku berdecak kesal. Gian masih menatapku, lalu berdecih.

“Pengecut!” ucapnya cepat. Aku melongo. Gian masih saja bertingkah menyebalkan. Dia menunjukku, lalu berdecih meremehkan. Gian melangkah, lalu tersenyum.

“Apa maksudnya?”

“Ketika seorang lelaki yang sedang jatuh cinta namun tidak mampu mengungkapkannya, dia tampak bodoh... Kelak lelaki yang dia cintai akan pergi karena merasa hanya diberi harapan palsu.”

“Menyindirku?”

“Seseorang akan merasa tersindir kalau sindirannya adalah... sebuah fakta.”

Aku terusik gemas.

“Tidak ada yang lain di sini selain kita.”

“Lalu?”

“Karena itu aku tersindir.” Meski bahasaku berputar-putar, namun aku tahu kalau Gian tidak akan puas menjatuhkanku. Dia akan selalu menang ketika berdebat.

“Ingin dengar sebuah cerita?”

“Fakta atau opini?”

Gian membenarkan posisi duduknya. Matanya mengerjap menatapku dengan wajah santai, lalu menunjukku ogah. Ada banyak hal yang membuatku kesal pada Gian. Terutama karena Gian bisa jujur tentang perasaannya. Aku benci itu. Atau tepatnya... iri. Aku iri karena dia bisa begitu bebas mengungkapkan rasa. Aku ingin belajar itu darinya. Aku tidak ingin bertele-tele untuk menggambarkan rasaku terhadap Aftan.

“Fakta. Kamu bisa tanya pada Irjo setelah ini.”

Aku duduk manis begitu mendengar nama Irjo disebut. Aku tahu ada hubungan spesial di antara mereka, jadi aku menganggap Gian dan Irjo senasib dengan rasaku.

“Aku ingin mendengarkannya.”

“Awalnya kami bermusuhan.”

Ah, aku ingat! Dulu ada gosip tentang perseteruan antara UKM Fotografi dan Hiking. Kedua UKM itu selalu saja bersaing ketika akan menggunakan aula. Anak UKM Fotografi mendapat dukungan penuh dari Dekan sebelumnya karena dulu beliau adalah mantan anak UKM Fotografi.

“Jadi, kalian yang berseteru?” Aku menunjuk Gian. Gian tersenyum geli.

“Dulu dia sering sekali membuat ulah dengan kami. Terutama aku. Aku juga tidak pernah menyangka kalau hubungan yang awalnya saling benci itu berubah menjadi rasa seperti ini.”

“Lalu? Bagaimana cara kalian damai? Bagaimana cara kalian mengungkapkan perasaan satu sama lain?” Aku penasaran.

“Ada kalanya aku merasa lelah dengan semua permusuhan itu, Nan. Aku menyerah. Aku katakan pada Irjo kalau kami akan mendukung calon Dekan dari UKM Hiking setelah ini. Kami melakukannya untuk menebus perasaan mereka yang merasa kecewa karena ketidakadilan.”

“Bahasamu jadi filosofis! Menjijikkan!” Aku menghujat Gian.

“Kami berdamai. Aku hidup dengan duniaku sendiri, sementara Irjo juga sama. Lalu hari itu Irjo datang. Dia menarik lenganku dan mengajakku pergi. Dia memukulku.”

“Hah?” Aku melongo.

“Tahu apa yang dia katakan?”

Aku menggeleng kencang.

“Dia mengatakan kalau dia tidak punya alasan untuk menemuiku, jadi dia akan selalu membuat masalah denganku. Jadi hari itu dia memukulku, lalu berkata kalau aku harus membalasnya.”

“Dia...”

“Bodoh, kan? Awalnya aku tidak paham kenapa dia melakukannya. Aku tidak mengerti kenapa dia harus terusik ketika aku tidak peduli lagi dengannya. Akhirnya dia menjelaskan semuanya. Bagaimana rasa yang selama ini dia rasakan terhadapku.”

“Dia sedang menggali kuburnya sendiri!” ucapku cepat. Gian tergelak. Irjo gila! Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada seorang lelaki hati iblis seperti ini? Gian adalah salah satu orang yang akan kuhindari ketika aku sedang badmood.

“Tetapi dia berhasil menguasaiku, Nan.”

Aku melongo.

“Itulah cinta. Kita bisa jadi bodoh kalau bersinggungan dengan rasa itu.”

“Seorang Gian akan tunduk karena cinta? Kamu bisa tunduk pada Irjo?” Aku berteriak kencang. Aku tidak peduli kalau ada orang yang mendengar kami.

“Tentu saja dia akan tunduk. Di ranjang dia akan selalu memohon dan merintih...” Sebuah suara mencurigakan terdengar di belakangku. Suara Irjo. Gian merengut. Irjo masuk, membawa satu bungkusan.

“Belum makan siang, kan?” Irjo tersenyum lembut pada Gian. Oh... jadi ternyata seperti itu cara seorang lelaki yang jatuh cinta menatap kekasihnya?

“Kenapa melihatku seperti itu?” Gian sadar sedang kuperhatikan.

“Apa mungkin aku bisa memasang wajah seperti itu ketika menatap Aftan?”

Gian dan Irjo berpandangan. Tangan Irjo menggusak sayang kepala Gian. Mungkin orang lain melihat mereka bersahabat dekat, namun karena aku tahu dan juga sedang mengalami rasa yang sama... aku melihat ada hubungan lain dari mereka.

“Ingin saran?” Irjo berubah bersemangat. Gian melotot ke arahnya, menggeleng tegas.

“Saran apa?” tanyaku menggebu. Apapun yang dilarang oleh Gian biasanya adalah hal yang baik. Gian melotot ke arahku, tidak terima.

“Jangan dengarkan apapun!”

“Aku ingin dengar!” ucapku tak terima.

“Oke. Ingin bisa lebih dekat dengan Aftan?”

Gian menarik lengan Irjo dan bersiap menggigitnya. Aku tanggap lebih dulu, lalu melompat dan melindungi lengan Irjo. Aku tidak ingin Irjo kabur sebelum mengatakan sarannya.

“Cari perhatian darinya, Adnan! Buat dia kesal, lalu mengingatmu!” Irjo tergelak puas. Setelah itu Gian memukul lengan Irjo berkali-kali. Aku tidak pernah melihat Gian jadi manja seperti itu. Ternyata cinta itu gila! Apa aku pernah mengalaminya?

“Ada apa?” tanya Gian cepat, menoleh ke arahku.

“Apa mungkin selama ini aku memandangnya seperti cara kalian bertatapan?”

Gian dan Irjo tersedak.

“Tentu saja kamu melakukannya!!” Mereka berteriak kompak.

“Karena itu aku peka lebih dulu. Dia tidak percaya, lalu aku meyakinkan lagi.”

“Betul, dia meyakinkanku di ranjang.” Irjo tersenyum puas. Astaga, aku tidak pernah tahu kalau dua orang di depanku ini bisa bertingkah menjijikkan.

“Bisa jelaskan lebih jauh bagaimana caranya agar aku bisa merebut perhatian Aftan?” tanyaku cepat. Irjo tersenyum puas.

Demi Aftan aku bisa merendahkan diriku di depan lelaki sialan ini. Demi Aftan aku bisa merendahkan diri untuk berguru pada lelaki ini. Demi Aftan aku siap mendengarkan ucapan sinting mereka berdua. Aku ingin tahu segalanya... Aku ingin belajar bagaimana cara merengkuh Aftan.

“Tahu dulu bagaimana reaksi dia ketika aku menyatakan cinta?” Irjo merangkulku. Dia tertawa dan bertingkah seperti seorang lelaki yang sedang curhat pada temannya.

“Jangan bocor!” Gian melotot ganas ke arah Irjo.

“Dia menjauh dariku. Dia mengusirku. Aku tidak menyerah, lalu aku makin mendekatinya.” Irjo masih bercerita dengan semangat.

“Ternyata kamu memang gila!” ucapku cepat.

“Kamu akan segera mengalaminya...” Irjo terbahak puas. Sementara itu aura Gian sudah kelam. Matanya berkilat menatap Irjo. Dia melangkah pelan, namun tajam sekali. Dia menunjuk wajah Irjo lalu berteriak kencang.

“Jangan datang ke kosan nanti malam!”

Irjo melongo. Aku hanya menepuk bahu Irjo dengan wajah simpati. Semoga dia tetap kuat. Aku tidak tahu bisa melakukan apa.

***

Akhirnya aku paham apa yang dulu Irjo rasakan terhadap Gian. Aku mengalaminya saat ini. Tiba-tiba saja aku tahu apa yang harus kulakukan untuk membuat Aftan menatapku. Tiba-tiba saja aku ingin menculik Serintil. Aku ingin membuat Aftan berteriak kesal. Aku membawa Serintil ke kontrakanku.

Belum lama aku membawa Serintil, Aftan sudah mengirimiku BBM.

“Maaaasssss.... ada kabar buruk, Mas!”

Aku tersenyum puas, lalu menatap Serintil. Kali ini aku bergantung padamu, kelinci!

“Ada apa?”

“Serintil hilang, Mas!!”

Aku tersenyum geli.

“Siapa tahu dia sedang liburan ke gunung.”

Aftan Unyu is writting message...

“Serintil tidak punya ongkos untuk jalan-jalan, Mas!”

Aku terbahak kencang. Setelahnya Aftan meneleponku. Aku sedikit terkejut karena tidak menyangka anak itu akan menghubungiku hanya karena kelinci. Suara Aftan terdengar gemetar. Aftan menangis!

“Kamu menangis?”

“Mas... bagaimana kalau Serintil diculik?”

“Dia dicuri, bukan diculik Aftan!”

“Aku tidak peduli namanya, Mas!” Aftan menggebu. Suara sesenggukan terdengar setelah itu. Aku jadi tidak tega, lalu tersenyum lembut ke arahnya.

“Cek BBM sebentar lagi, Aftan!” Aku mematikan sambungan telepon Aftan, berfoto dengan Serintil, lalu mengirimkannya pada Aftan.

Beberapa detik setelahnya Aftan mengirimiku sebuah pesan. Isinya singkat, namun tajam dan juga kejam. Aku tahu kalau Aftan sedang marah.

“Aku tidak pernah menyangka kalau Mas Adnan bisa membawa sesuatu tanpa izin.”

Saran Irjo benar-benar sialan! Aftan pasti marah. Namun sayangnya aku tidak bisa mundur begitu saja. Ini masih langkah awal untuk menggambarkan rasaku terhadap Aftan. Tunggu saja, Aftan! Kamu harus mengingatku!

TBC

Aku deg2an karena suatu alasan... :'( Adil, kah?

Continue Reading

You'll Also Like

29.6K 3.3K 5
[Boyslove] Gimana rasanya jadi tokoh utama sebuah prank karena kalah taruhan? Sabar ya, Mah. Kan taruhan adalah lambang kehormatan laki-laki. Bukti...
284K 27.6K 33
[Tamat] Copyright ©Mochkkie 2019 Berawal dari Park Jimin yang dibawa ke sebuah Mansion besar oleh seseorang yang telah lama tak berurusan lagi dengan...
40.8K 5.3K 38
【Hiatus untuk fokus ke ff Eleceed dan AOT.】 Singkat saja. Ini kisahnya, gadis hangat yang mampu membuat seorang Shiro Oni tersenyum dan tertawa bahag...
11.6K 918 14
[END] Namikaze Naruto atau yang sudah berubah marga menjadi Uchiha Naruto adalah putra tunggal dari pasangan Namikaze Minato dan juga Namikaze Kushin...