Bila Cinta Berkata Pergi..

By bidadaribulan

341 20 12

Tentang Cinta dan Persahabatan.. Tentang hari esok yang akan membawanya pergi meninggalkan 'Cinta'.. Tentang... More

Part 1 "Bila Cinta Berkata Pergi.."
Part 2 "Bila Cinta Berkata Pergi.."
Part 3 "Bila Cinta Berkata Pergi.."
Part 4 "Bila Cinta Berkata Pergi.."
Part 5 "Bila Cinta Berkata Pergi.."
Part 6 "Bila Cinta Berkata Pergi.."
Part 8 "Bila Cinta Berkata Pergi.."
Hai.

Part 7 "Bila Cinta Berkata Pergi.."

29 2 0
By bidadaribulan

Dear Farah...

Hi.. apa kabar?

Sudah lama kita tidak saling berjumpa Farah..

Sudah lama aku tidak pernah lagi menatap wajah konyolmu seperti dulu..

Sudah lama aku tidak pernah mendengarmu memanggilku dengan sebutan 'Congil'..

Dan sudah lama antara kita berdua tidak pernah saling bercanda seperti dahulu..

Entah mengapa, aku sangat merindukan itu semua Far..

Bagaimana denganmu? Apakah kamu juga sama merindukannya seperti aku?

Berjalan sudah 6 tahun semenjak kepergian kamu ke Samarinda. Aku mengetahuinya dari Ratna. Dia bilang kepadaku kalau aku begitu tega dan bodoh sampai-sampai aku tidak tahu kalau kamu bakalan pergi begitu jauh. Ke Samarinda, dan di saat itu aku memang sedang mencari-cari kamu. Aku sungguh menyesal Far, di saat kepergian kamu aku bener-bener tidak tahu apapun. Terkadang aku berpikir, sebenarnya aku ini sahabat kamu atau bukan? Mungkin memang sahabat. Tapi sahabat di saat aku hanya benar-benar membutuhkan kamu Far..

Oh, iya Far.. maaf ya kalau aku mungkin sedikit lancang. Aku seneng saat aku tahu kamu udah kembali lagi ke Surabaya. Dan bunga itu khusus untuk kamu. Bunga yang pernah kamu katakana ke aku, kalau mawar merah itu menurut kamu melambangkan 'cinta'. Dan kamu pernah bilang juga ke aku, kalau suatu saat nanti kamu ingin ada seseorang yang mau memberikan bunga mawar merah ke kamu sebagai lambang rasa cinta dia ke kamu..

Farah... ijinkan aku untuk bisa memandang wajah kamu lagi. Ijinkan aku untuk bisa melihat senyum dan tawa kamu lagi. Dan ijinkan aku untuk bisa mendengar suaramu memanggil namaku lagi. Sekali saja. Apakah kita bisa bertemu di suatu tempat yang sudah ku tentukan? Kalau kamu mau dan bersedia, kita bertemu di kafe yang sering kita kunjungi saat SMA dulu.

Aku menantimu di sana.

Sampai bertemu...

Your bestfriends...

Gibran Tirta Farhdian

---- ----

Farah terus berjalan di sepanjang trotoar pinggir jalan. Sesekali matanya memandang ke arah jalan raya yang begitu ramai dengan aktifitas berkendara. Coffe Fun, sebuah pamphlet yang cukup besar terpampang di permukaan dinding depan bangunan berukuran sedang itu. Farah mendorong pintu kaca itu dari arah luar, dan matanya langsung di suguhi oleh kepadatan pengunjung yang tengah memesan beberapa menu di kafe itu. Pandangan matanya menyusuri ke seluruh penjuru kafe. Dan tepat di bagian pojok sebelah jendela kaca yang dapat sebagai tempat memandang ke arah luar. Sosok itu duduk seorang diri di sana, dengan pandangan yang menerawang menatap jalan raya dari dalam kafe.

Menghembuskan nafas yang tanpa sadar ia tahan saat matanya kembali dapat memandang sosok itu lagi. Kemudian ia langkahkan perlahan kedua kakinya mendekati meja itu.

"Assalamualaikum.."

Sosok itu menoleh. Pandangnya menatap sosok wanita berhijab berdiri di hadapannya. Farah menatap sebentar sepasang mata sosok itu, kemudian menundukkan wajahnya.

"Farah?" ucap sosok itu juga ikut berdiri menyambut kedatangan Farah.

"Apa kabar, Gibran?" tanya Farah kembali memandang wajah Gibran. Sedangkan pria itu masih saja terpaku akan sosok Farah yang sangat berubah dalam pandangannya. Dia semakin cantik.

"Aku baik. Bagaimana denganmu?" jawab Gibran masih tak lepas memandang sahabatnya.

"Alhamdulillah, aku baik."

Merasa tersadar berdiri cukup lama dan membiarkan Farah juga terus berdiri sedari tadi, Gibran langsung mempersilahkan Farah untuk duduk di kursi hadapannya. Memanggil waiters, lalu ia meminta Farah untuk memesan menu yang wanita itu inginkan.

Keduanya saling diam ketika waiters tadi telah beralu. Meninggalkan hening dan sunyi yang berbaur menjadi satu. Keduanya juga tengah bergelut dengan hati dan pikirannya yang sedari tadi terus meronta untuk bisa memecah kecanggungan ini. Tetapi sepertinya ego telah memimpin.

"Terimakasih bunga mawarnya, aku suka." Dan akhirnya Faralah yang berhasil melawan egonya. Memecah keheningan yang terjadi, dan membuat Gibran langsung menatapnya.

"Sama-sama, aku senang mendengarnya kalau kamu menyukai bunga itu."

Kembali hening, sampai seorang waiters tadi telah kembali ke meja mereka untuk mengantar menu pesanan Farah.

"Terimakasih mbak.." waiters itu mengangguk sopan dan kembali pergi.

"Far?" Farah mendongak. Menatap wajah Gibran yang kini juga menatapnya.

"Tujuan aku mengajak kamu ketemuan di sini, karena ada suatu hal yang ingin aku bicarakan sama kamu." Jelas Gibran dengan raut wajah yang telah berubah menjadi serius.

Farah mengangguk kecil.

"Boleh aku bertanya satu hal sama kamu?"

"Silahkan."

Menghembuskan nafasnya sejenak, Gibran kembali menatap wajah Farah yang tertunduk. "Kenapa kamu tidak memberitahu aku tentang kepindahan kamu ke Samarinda Far?"

Tiba-tiba tubuh Farah menegang mendengar pertanyaan Gibran. Inilah satu pertanyaan yang pernah terlintas di pikirannya, ketika suatu saat dirinya akan bertemu Gibran. Dan pria itu akan mempertanyakan alasan mengapa Farah tidak memberitahunya saat dirinya pindah ke Samarinda setelah lulus SMA.

Farah bingung harus menjelaskan dan menjawab apa pada pertanyaan Gibran. Tidak mungkin dirinya akan berkata yang sebenarnya, kalau Farah pindah ke Samarinda karena ia ingin menghindar dari Gibran. Ia ingin membuang jauh-jauh perasaannya pada Gibran. Ia ingin tidak mengingat lagi rupa dan sosok pria itu. Ia hanya ingin bebas. Bebas dari segala sakit yang ia rasakan selama bersama pria itu. Dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar Gibran selalu menorehkan sayatan demi sayatan yang lama-kelamaan membuat luka di hatinya semakin menganga lebar. Dan pria itu jelas tak pernah tahu. Seolah ia hanya perduli jika Farah sahabatnya, tidak perduli jika hati Farah terluka parah karena dirinya.

"A-aku... Aku hanya di suruh kedua orang tuaku untuk melanjutkan study di sana. Dan masalah aku tidak memberitahumu tentang kepergianku, maaf... aku saat itu buru-buru."

'Maaf Gibran, aku harus berbohong. Aku tidak mungkin memberitahu alasanku padamu yang sesungguhnya..' rutuk Farah dalam hatinya.

Gibran mengangguk setelah mendengar penjelasan Farah. Dan ia hanya bisa tersenyum simpul saat membandingkan perkataan Farah dengan hal fakta yang telah ia ketahui sebelumnya.

"Tapi kamu tahu kan, seseorang akan merasakan kehilangan ketika sesuatu yang tidak pernah ia pedulikan telah pergi dari hadapannya?" tanya Gibran. Matanya menatap lurus ke manic mata Farah yang juga menatapnya.

"Aku merasakan itu Farah.. begitu merasakannya, saat aku benar-benar kehilangan kamu."

"Maksud kamu apa Gibran?" tanya Farah yang memang sedikit tidak mengerti dengan ucapan Gibran. Ataukah pria itu kini—

"Aku merasakannya.. tersadar dari arti kehilangan itu, aku telah memahami perasaanku yang selama ini serasa terombang-ambing. Hinggap dari satu tempat ke tempat yang lain, tanpa sadar ada suatu persinggahan yang sebenarnya sangat membuatku nyaman ketika berada di sana."

Farah masih terdiam, ketika kini jemari tangan Gibran mulai menyentuh jemari tangan Farah yang berada di atas meja.

"Di sisimu aku merasakan kenyamanan itu, dan di hatimu aku menemukan sebuah cinta yang tulus terukir di sana. Tapi bodohnya aku, aku tidak menyadari semua itu. Aku terlalu terlena dengan kecantikan orang lain, sampai membuatku tidak sadar kalau ada sosok di dekatku selalu berharap aku bisa melihat ke arahnya."

Farah merasakan kedua matanya memanas. Tidak! Ia tidak boleh sampai menangis di hadapan Gibran. Hancur sudah usahanya selama ini untuk membuang perasaannya sejauh mungkin. Bagaimanapun, Gibran tidak boleh sampai mengetahui jika ia pernah memendam rasa kepada pria itu.

Tapi entah mengapa Farah merasakan jika pembicaraan Gibran sepertinya memiliki makna yang tersirat sendiri.

"Dan bodohnya aku selalu berharap jika kamu bisa kembali berada di sampingku seperti dulu lagi. Meskipun itu sangat mustahil. Tapi, aku hanya ingin kamu tahu Farah.. jika aku telah menyadari semuanya, termasuk perasaan yang selama ini tersembunyi di balik tembok yang begitu besar dalam hatiku. Aku mencintaimu..."

Deg..

Kenyataan pahit apa lagi sekarang yang kembali mempermainkan hati Farah. Tidak cukupkah dengan masa lalunya yang selalu ia tampik jauh-jauh. Dan sekarang kenyataan lain kembali datang. Menarik dirinya ikut bermain di dalamnya. Dan Farah tidak tahu adegan seperti apa yang akan ia lakoni untuk bisa kembali terbebas dalam kenyataan ini.

Jemari tangan Gibran telah berubah menjadi sebuah genggaman. Menggenggam dengan hangat kedua tangan Farah yang juga tak berniat untuk menepisnya.

"Bolehkah aku menyimpan perasaan ini untukmu? Bolehkah aku membalas perasaanmu dulu yang tak pernah ku ketahui? Meskipun terlambat, aku ingin membalasnya dengan sepenuh hatiku Farah.. Aku sangat mencintaimu.."

Kepergian yang membuahkan Cinta. Pepatah dari manakah itu berasal? Yang Farah tahu, jika kepergian itu akan menghapus luka, meskipun tidak seluruhnya. Bukan membuahkan cinta.

Entah mengapa jantungnya kini kembali berdegub di atas batasan normalnya. Perasaan hangat juga mulai menjalari ke seluruh anggota tubuhnya yang masih terpaku. Namun, dengan perlahan kesadaran langsung mengambil alih segalanya. Farah mulai mencoba melepaskan kedua tangannya dari genggaman tangan Gibran.

"Terimakasih karena kamu sudah berniat untuk bicara jujur tentang perasaan kamu. Tapi maaf, kalau aku tidak bisa lagi menjadi sosok Farah seperti yang kamu inginkan." Jelas Farah dengan sekuat mungkin menahan kegugupan yang turut melandanya. Memberanikan diri untuk menatap kedua mata Gibran dengan pandangan sendunya.

Farah lalu merogoh ke dalam tasnya untuk mengambil sesuatu yang ia cari. Sebuah kartu undangan berwarna merah masih terbungkus plastic dengan rapi. Memandang kartu itu sejenak, lalu Farah meletakkannya di atas meja.

"5 hari lagi, aku akan menikah. Aku akan menikah dengan kakak kelas kita saat SMA dulu, namanya Mas Akmal."

Kini Gibran terpekur mendengar ucapan Farah. Matanya memandang surat undangan yang masih tergeletak di meja tepat di hadapannya. Gibran takut. Gibran sama sekali tidak berani untuk menyentuh benda itu. Ia takut jika apa yang ia dengar tadi adalah perkataan lelucon yang Farah lontarkan dan berharap benda di hadapannya itu juga undangan atas nama orang lain, bukan nama Farah yang terlampir di dalamnya.

"Maaf Gibran.. aku sudah menganggap semuanya adalah masa laluku. Dan sekarang saatnya aku ingin menjalani kehidupan baruku, tanpa kembali mengingat masa-masa itu. Aku harap kamu bisa mengerti.." timpal Farah saat ia melihat Gibran terus menatap surat undangannya dengan raut menegang.

"Aku mencintaimu Gibran.."

Gibran langsung merasa tersadar mendengarnya. Ia mendongak, menatap lagi wajah Farah. Bahkan kini kedua sudut bibirnya mulai membentuk garis lengkung ke atas.

"Tapi itu dulu, sebelum Mas Akmal datang dan dia berhasil menarik hatiku untuk mencintainya.."

Tamparan yang keras lagi Farah berikan untuknya. Sudah cukup Gibran merasakan bagaimana kenyataan yang tak sejalan dengan harapannya. Sudah cukup ia merasakan sakitnya dulu saat Farah berada di posisinya, atau bahkan lebih dari ini.

Andai dulu ia cepat menyadari.

Andai dulu ia bisa merasakan gelagat yang selalu Farah tunjukkan padanya.

Andai, andai, dan andai.. dan andai sekarang Tuhan bisa mencabut nyawanya.. Gibran sangat bersyukur.

"Maaf, aku tidak bisa terlalu lama Gibran. Sekali lagi maafkan aku. Aku yakin, suatu hari nanti kamu pasti bisa nemuin seseorang yang lebih baik dari aku."

Farah membuka dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di atas meja, tepat di samping secangkir kopinya tadi yang telah kosong. Ia lalu berdiri, menyelempangkan tasnya di bahu kanannya.

Sebelum berbalik, ia menyempatkan diri untuk memandang Gibran yang tetap membisu. Entah mengapa lelaki itu sama sekali tak berniat untuk membalas atau menjawab perkataan Farah. Farah menghela nafasnya berat. Sejujurnya ia juga tidak tega melontarkan kata-katanya tadi. Tapi bagaimanapun ini semua salah.

Gibran mengungkapkan semua perasaannya di saat dirinya telah terikat dengan orang lain. Di saat dirinya sebentar lagi akan menjadi istri dari lelaki lain yang lebih tulus mencintainya. Namun, seandainya waktu masih berpihak kepadanya, dengan cara mempertemukan dirinya dan Gibran ketika dirinya masih sendiri, kemungkinan besar Farah masih bisa menerima Gibran di sisinya. Menerima hati Gibran yang telah tersadar setelah bertahun-tahun lamanya.

Tapi waktu tetaplah waktu. Tidak ada seorangpun yang bisa untuk memutar kembali waktu, sedangkan nyatanya waktu terus berputar ke depan.

"Dan aku harap, kamu berkenan untuk datang di pesta pernikahan aku. Bagaimanapun kamu tetap sahabat aku, Gibran.."

Farah tidak sanggup lagi. Ia lekas melangkahkan kakinya keluar kafe. Meninggalkan Gibran yang terus mematung di tempatnya. Farah juga mulai merasakan matanya telah berair tanpa dirinya sadari.

"Aku berjanji akan datang Farah.. untuk pernikahan sahabatku.." ucapnya lirih dengan setetes air mata yang jatuh ke permukaan surat undangan yang kini telah berada di rengkuhan telapak tangannya.

Bersambung..

Continue Reading

You'll Also Like

42.2K 1K 13
[One Shoot] [Two Shoot] 1821+ area❗ Adegan berbahaya ‼️ tidak pantas untuk di tiru Cast : Taehyung (Top) Jungkook (bot) # 1 oneshoot (23/05/2024) #...
Rasya By Wahyuni

Short Story

34.2K 2.5K 25
Rasya,Bocah 3 tahun yang berhasil menarik perhatian seorang mafia terkejam dan seorang pengusaha kaya raya
550K 7.2K 56
cerita singkat
362K 19.5K 20
[VOTE AND COMMENT] [Jangan salah lapak‼️] "Novel sampah,gua gak respect bakal sesampah itu ni novel." "Kalau gua jadi si antagonis udah gua tinggalin...