Marriage Season (Dirty!!)

By RAlfiya

1.5M 42K 2.4K

( DANGER 18++ ) "Baca kontraknya dengan teliti!" Aku mulai membaca tulisan yang ada pada kertas ini. 'No.7 Se... More

PROLOG
I - Tertarik
II - Kekacauan
III - Pertemanan
IV - Awal Baru
V - Dilema
VI - Sex ?
VII - Hari Panas
VIII - Pernikahan
IX - The Game
X - Last Game
XI - Tanggung Jawab
XII - Orang Gila
XIV - Bad Day
XV - Cinta ?
XVI - Baby
XVII - Who are you ?
XVIII - Mine !
XIX - Sebuah Berita
XX - Perasaanmu ?
XXII - Penyesalanku ( Ken )
EPILOG
XXIV - BONUS PART

XXI - Akhir Perjuangan ( Stella )

36.8K 1.9K 321
By RAlfiya

~Stella Haruno

Perlahan kubuka kedua kelopak mataku. Aku menyerngit ketika sebuah cahaya cukup terang menusuk kornea mataku. Kulebarkan pandanganku, dan pertama kali yang dapat kulihat adalah atap-atap langit bewarna putih. Kugerakkan kepalaku ke arah kanan dan kiri.

Entah sekarang aku berada dimana, sepertinya ini bukan ruangan biasa. Jelas-jelas ini tidak kamarku, tidak juga dengan kamar paman Ken. Lalu ruangan serba putih ini milik siapa? Dan sebetulnya dimana aku sekarang?

"Akhirnya anda sadar juga," ujar seseorang. Aku sedikit terkejut dan mencari dimana sumber suara itu berasal. Salah satu alisku naik begitu heran ketika ada sosok malaikat yang kini sedang mendatangiku. Pria itu mengenakan pakaian serba putih. Rambutnya bewarna hitam sedikit panjang. Kedua matanya begitu indah, dan senyumnya sangat meneduhkan.

Ya Tuhan.. apakah aku sudah mati?

"Jangan melihat saya seperti itu. Anda masih hidup, Nyonya," jawabnya sembari tersenyum kearahku. Aku bangkit dari tidurku, lalu menyandarkan punggungku ke belakang ranjang. Sepertinya ia bisa membaca pikiranku, tapi justru itu yang membuatku semakin merasa ada yang aneh dengan ini semua.

"A.. aku dimana?" tanyaku dengan gugup. Entah kenapa tenggorokanku terasa kering, dan terasa sedikit menyakitkan. Pria itu mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan ini, lalu ia menatapku kembali sembari tersenyum lebar.

"Anda berada di rumah sakit." Ia membalasku sembari tersenyum. Aku terkejut dibuatnya. Rumah sakit? bagaimana bisa aku berada disini?

Terakhir kali kurasa aku tidak berada di tempat ini. Yang dapat kuingat adalah saat aku berada di tepi jalan tak jauh dari cafe Green Fire.

Mengingat kejadian itu, seketika dadaku menjadi sesak.

Ya Tuhan.. aku ingat peristiwa itu.

Keadaan dimana semua rasa cinta dan masa depanku hancur berkeping-keping dalam waktu hitungan detik. Dan sekarang aku mengerti. Sekeras apapun aku bertahan, sekuat apapun aku mencoba, paman Ken tidak akan pernah balik mencintaiku.

Tapi tunggu dulu! Waktu paman Ken mencampakanku, perutku terasa sakit dan mengeluarkan darah.

Astaga! bagaimana dengan kondisi buah hatiku?

Kusibak selimut yang sedari tadi menutupi sebagian tubuh bawahku. Badanku sedikit gemetar untuk melihat diantara kedua kakiku untuk kedua kalinya. Tapi nyatanya pikiran burukku itu tak membuahkan hasil. Kedua kakiku tak lagi mengalir darah segar. Apakah ini pertanda baik? atau justru sebaliknya?

"Anda baik-baik saja, Nyonya. Untuk janin anda, ia juga sangat kuat. Ia masih ingin tinggal di rahim ibunya untuk waktu yang lebih lama." Jelas pria itu. Aku baru sadar bahwa pria bak malaikat ini adalah seorang dokter. Bukan dokter yang tua, namun seorang dokter muda yang begitu tampan. Aku menghela napas lega begitu bahagia ketika malaikat kecilku masih hidup. Kuelus perutku dengan sayang.

Terimakasih Tuhan.. engkau masih mempercayakan aku untuk menjaga dan merawat bayi ini. Sebuah air mata kebahagiaan tak sadar menetes dari salah satu sudut mataku. Kuhusap air mataku lalu menatap pria itu dengan pandangan penuh terima kasih.

"Terima kasih sudah menyelamatkan kami berdua," ucapku syukur tak lupa memberikan senyum ramah kepadanya. Ia membalas senyumanku lalu berkata. "Tidak perlu berterima kasih pada saya. Seandainya saja jika suami anda tidak segera membawa anda kemari, kemungkinan besar janin anda akan mengalami masalah besar."

Dokter ini barusan mengatakan 'suami'?

Maksudnya paman Ken yang membawaku kemari?

Itu tidak mungkin!

Sudah jelas waktu itu dia pergi meninggalkanku. Melayangkan kata-kata cerai padaku. Jadi tidak mungkin dia yang menolongku dan membawaku kemari. Lalu siapa 'suami' yang dibicarakan dokter ini?

Belum selesai dengan pertanyaan di dalam pikiranku, tiba-tiba pintu ruangan ini kembali terbuka diiringi seseorang yang masuk ke dalam ruangan.

"Ahh.. Itu suami anda datang, Nyonya." Raut wajahku terlihat datar ketika memandang sosok pria lain di sana. Dibalik punggung Pria itu, ia mengenakan pakaian yang sangat asing. Entah pakaian apa yang sedang ia kenakan sekarang, tapi sepertinya itu adalah seragam tentara. Dari coraknya, aku sangat yakin bahwa itu bukan seragam tentara Jepang, melainkan seragam dari negara lain. Kedua mataku membelalak ketika pria itu berbalik secara perlahan dan memperlihatkan wajahnya padaku.

Potongan rambutnya pendek rapi bewarna hitam. Kedua matanya sipit, dipadu dengan hidung yang mancung dan bibir yang cukup tipis. Tubuhnya menjulang tinggi dan tegap. Kulitnya bewarna kecoklatan. Tapi entah kenapa melihat pria ini dengan wajah tampan dan berbalut seragam yang gagah seperti itu, membuatnya terlihat sempurna.

Pria berseragam itu tersenyum kearahku. Walaupun tak seramah dokter ini, tapi setidaknya ia terlihat cukup baik. Dia berjalan semakin mendekat ke ranjangku dan kini berada tepat di samping kananku.

"Syukurlah kamu sudah sadar, sayang," ujarnya tiba-tiba sembari mengelus puncak kepalaku. Aku terkejut ketika diperlakukan seperti itu. Sebelum aku protes, dokter kembali mengucapkan sesuatu.

"Lain kali perhatikan istri anda, Tuan." Nasehat dokter itu. Pria berseragam ini hanya tersenyum ramah kepadanya. "Baiklah, saya akan keluar. Jika anda butuh bantuan silahkan panggil saja perawat," lanjutnya kembali, lalu dokter itu berlalu meninggalkan kami berdua disini. Setelah kepergian dokter muda itu. Suasana menjadi sunyi dan canggung. Pria berseragam itu mendadak melepaskan tangannya dari kepalaku. Tubuhnya sedikit menjauh dariku.

"Maaf aku menyentuhmu." Aku hanya mengangguk seperti orang bodoh yang mendengar suara beratnya, lalu suasana kembali menjadi sunyi. Ternyata jika melihat pria ini dari jarak dekat, ada sebuah goresan kecil yang membekas di arah dekat hidungnya. Jadi pria ini yang telah menyelamatkanku?

"Bagaimana keadaanmu? apa baik-baik saja?" tanyanya memecah suasana aneh ini.

"Oh.. emm.. baik," jawabku gugup. Dia menghela napas lalu melanjutkan kembali ucapannya. "Aku yang membawamu ke rumah sakit ini. Aku tidak sengaja melihatmu yang pingsan di pinggir jalan dengan darah yang banyak, lalu kuputuskan untuk membawamu kemari."

"Maaf juga sebelumnya karena aku telah lancang mengaku sebagai suamimu. Tapi tidak ada cara lain selain menjadi suamimu, kamu butuh perawatan langsung untuk kandunganmu," jelasnya yang semakin membuatku terdiam. "Aku tidak tahu nama aslimu, jadi aku memalsukan namamu menjadi Kelly. Apa itu tidak masalah bagimu? Sepertinya kamu bukan orang asli Jepang."

Dia mengganti namaku?

"Tidak apa-apa. Aku mengerti jika berada diposisimu. Terima kasih banyak telah menolongku, terutama pada malaikat kecilku ini." Aku tersenyum hangat kearahnya. Ternyata masih ada orang baik di dunia ini. Pria itu terdiam beberapa detik, lalu tersenyum kaku kearahku.

"Jadi, dimana suamimu? Kenapa kamu bisa pingsan di tepi jalan?" tanyanya yang membuatku tersedak dan terbatuk, padahal aku sedang tidak makan apa-apa. Pertanyaan macam apa itu. Apakah aku harus menjawabnya? tapi jawaban seperti apa?

Melihatku yang begitu gugup dan bingung. Ia menyuruhku untuk lebih tenang dan tak perlu memaksakan diri untuk bercerita. Akhirnya rasa canggung diantara kami berdua kini mulai menghilang, bahkan kami sekarang berbincang-bincang layaknya seorang teman yang akrab.

Pria ini bernama Lee Jung. Berusia 30 tahun. Bukan orang Jepang, akan tetapi seorang berkewarganegaraan Korea Selatan. Dia ini salah satu seorang tentara yang kebetulan sedang ditugaskan untuk mendampingi pimpinan tinggi Korea Selatan yang sedang melakukan kerja sama disini demi keamanan. Dan aku tidak menyangka bahwa pria ini adalah seorang Jenderal. Walaupun bicaranya sedikit tegas tapi aku dapat memakluminya. Aku tahu, seharusnya aku tak menceritakan semua kisah hidupku yang menyedihkan, tapi yang kubutuhkan sekarang adalah seseorang untuk mendengar semua rasa sakit yang kurasakan selama ini.

Dia mau mendengarkan semua ceritaku yang bisa dikatakan konyol ini, tapi dia sama sekali tak memotong ceritaku. Dia bahkan dengan senang hati mau mendengarkan keluh kesahku.

"Maaf aku terbawa suasana," ujarku sembari menghusap air mataku sendiri saat menceritakan kisah pernikahanku padanya.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti."

Setelah lama kami berbicara. Aku putuskan untuk pulang saja. Entah pulang kemana.

"Kamu mau pulang ke rumah suamimu?" tanyanya hati-hati, lalu ia mengenakan topi kebanggaannya. Aku segera turun dari ranjang dan terdiam cukup lama karena memikirkan pertanyaan dari Lee Jung barusan. Bila aku pulang ke rumah paman Ken, apa dia mau menerimaku? aku tidak punya tempat tinggal lagi selain disana. Jadi kemana aku harus pergi sekarang?

Lee Jung merapikan pakaiannya lalu menunggu jawaban dariku. Aku menghembuskan napas berat. Aku harus kembali ke rumah paman Ken. Tidak peduli dengan resikonya, kurasa itu tempat terbaik untukku. Aku masih menyandang gelar istri paman Ken, dia juga adalah suamiku. Setidaknya sebelum kami resmi bercerai, aku akan tetap tinggal disana.

"Iya," jawabku kemudian. Salah satu alisnya terangkat lalu kembali berkata. "Kamu yakin?" tanyanya ragu. Aku hanya mengangguk dengan cepat. Entah ini jawaban terbodoh atau tidak, aku tidak peduli lagi. Dia lalu mengangguk menyanggupi ucapanku. Akhirnya kami berdua keluar dari rumah sakit. Lee Jung sangat baik karena melunasi semua biaya perawatanku.

Kini kami berdua berdiri di tempat parkiran paling bawah rumah sakit ini.

Sebetulnya aku ingin pulang ke rumah seorang diri, tetapi Lee Jung bersikeras agar mengantarku pulang dengan selamat. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa pasrah saja menuruti keinginannya itu.

"Masuklah," perintahnya yang sebelumnya sudah membukakan pintu depan mobil khas tentaranya padaku. Aku setengah ragu untuk masuk ke dalam mobil yang sangat gagah ini, tapi melihat tatapan intens Lee Jung padaku, membuatku sedikit takut, dan pada akhirnya masuk juga ke dalam mobilnya. Dia menutup pintuku lalu berjalan kearah pintu sebaliknya. Setelah ia masuk ke dalam mobil, ia menyalakan mobilnya dan segera pergi dari sini.

.
.
.
Setibanya di depan rumah paman Ken. Lee Jung sedikit menyerngit aneh ketika melihat rumah besar dan mewah ini.

"Ini rumahmu?" tanyanya sedikit tak percaya. Aku hanya menjawabnya dengan menganggukan kepala. Sebetulnya aku tak menceritakan padanya bahwa suamiku itu adalah Ken Candellar, seorang drummer dari band The Titans yang sangat terkenal itu. Aku hanya mengaku bahwa suamiku adalah seorang pria kaya yang sedang mengelola bisnis label.

Sebelum aku benar-benar turun dari mobil, tiba-tiba Lee Jung menarik salah satu tanganku. Keningku berkerut ketika Lee Jung mencari sesuatu di dalam dashboard miliknya. Entah apa yang sedang dicarinya. Setelah menemukan benda apa yang ia cari, ia langsung membuka telapak tanganku dengan lebar. Dia menuliskan sesuatu di sana dengan menggunakan spidol permanent.

"Jika kamu butuh apa-apa. Kamu bisa menghubungiku," ucapnya setelah selesai menulis di telapak tanganku. Kuamati tulisan apa yang tertera di tanganku. Disana terlihat jelas rangkaian angka-angka yang membentuk sebuah nomer telfon. Kenapa pria ini memberiku nomer telfonnya?

Kupandangi wajah tampannya dengan penuh keheranan, namun dia hanya menampilkan senyuman kecil padaku tanpa berkomentar. Akhirnya aku keluar dari mobilnya sembari memikirkan kelakuannya yang cukup aneh. Apa semua tugas seorang tentara seperti ini?

Dari kaca tembus pandang depan mobilnya, aku bisa melihat Lee Jung melambaikan salah satu tangannya sebagai tanda perpisahan. Lalu dia menyalakan mobilnya dan aku hanya bisa menatap kepergian dirinya dari sini.

Aku berjalan dengan lesu, semakin mendekati pintu utama rumah. Jantungku berdegub begitu cepat ketika berada tepat di depan pintu. Rasa cemasku semakin besar ketika memikirkan hal-hal yang akan terjadi nantinya.

Bagaimana jika aku tidak lagi diterima di rumah ini? bagaimana jika aku langsung diusir oleh paman Ken?

Dengan segenap kekuatan dan mental baja, akhirnya aku berani masuk ke dalam rumah. Dan aku sangat terkejut ketika melihat paman Ken berdiri tepat di sana, menatapku dengan lekat sembari memakan ice cream vanilla. Kedua matanya tajam, begitu menusuk relung hatiku. Tubuhku semakin gemetar tak berani menatapnya. Aku lebih memilih untuk melihat lantai keramik ini dibandingkan menatap matanya yang seolah ingin mencincangku.

"Siapa pria itu?" tanyanya sembari menekankan setiap suku kata yang ia lontarkan. Aku terdiam, mengepalkan kedua tanganku dengan penuh ketakutan. Paman Ken melihat barusan? dia melihat aku pulang bersama Lee Jung?

"Aku tanya padamu, Stella. Siapa laki-laki itu?!" bentaknya dengan suara lantang. Membuat tubuhku kini semakin kaku di tempat. Kenapa paman Ken tiba-tiba marah tidak jelas seperti ini? apa salahku?

Aku terpekik ketika tiba-tiba paman Ken melemparkan gelas ice cream nya tepat ke wajahku. Membuat sebagian gumpalan es manis itu tumpah di bagian wajah dan leherku. Aku tersentak saat paman Ken langsung mendorongku begitu kasar hingga membuat punggungku sakit karena membentur pintu rumah. Bukan hanya bagian belakangku yang sakit, tapi pipiku yang sebelumnya terkena gelas juga terasa nyeri luar biasa.

Paman Ken menindihku. Salah satu tangannya mencengkram tanganku dan meletakkannya di atas kepala. Sedangkan salah satu kakinya berada ditengah-tengah antara kedua kakiku. Aku kini bisa melihat kedua matanya memincing penuh kemarahan.

Aku tak menyangka saat paman Ken langsung mencium bibirku dengan ganas dan tanpa ampun. Dia menjelajahi bibirku dengan sangat kasar. Napasnya yang memburu begitu jelas di telingaku. Setelah puas menciumku, lidahnya kini menjilat ice cream yang berada di sekitar hidung dan pipiku. Semakin aku bergerak, dia semakin menekanku begitu kuat, membuat perutku terasa sedikit nyeri. Dia menjilati seluruh ice cream vanilla yang ada pada tubuhku. Kepalaku mendongak saat paman Ken mencium dan menjilat pada bagian leherku. Tenagaku seakan habis setiap kali bibirnya berpadu dengan kulit polosku.

"Bukankah kamu ini milikku, Stella? Kenapa kamu bersama pria lain?!" tanyanya begitu menuntut di sela-sela aksinya. Aku tak bisa bergerak, berbicarapun saja bahkan tidak bisa. Dia semakin menekankan tubuhnya padaku, dan itu semakin membuat perut buncitku kesakitan. Sebagai insting seorang ibu, tentu saja aku mendorong tubuh paman Ken untuk segera menjauh dari perutku. Dia terkejut ketika menerima penolakanku.

Aku bersyukur lega karena mendapatkan pasokan udara untuk pernapasanku. Kemudian, perlahan aku melihat wajah paman Ken. Kali ini wajahnya begitu datar. Dia berjalan ke arah meja di ruang tamu, lalu dia kembali berdiri dihadapanku sembari membawa sesuatu di sebelah tangannya.

Untuk kedua kalinya, ia melemparkan barang tepat ke arah wajahku lagi. Dan yang barusan dia lempar adalah sebuah amplop berukuran besar bewarna coklat.

"Aku ingin kamu segera menandatangani surat cerai kita," ujarnya telak yang membuat sekujur tubuhku menegang. Ratusan bahkan ribuan jarum seakan menusuk kedua mataku, membuatku ingin menumpahkan kembali air mata.

"Aku tidak menyangka kamu mengkhianatiku, Stella." Aku memandanginya tak kalah sedihnya dengan dirinya. Apa maksudnya aku yang mengkhianatinya? jelas-jelas bahwa dialah yang mengkhianatiku!dia berbohong dan membuangku begitu saja!

Aku memberikan seluruh yang kupunya hanya untuk dirinya. Tapi apa yang aku dapatkan darinya? hanya sebuah kekecewaan yang ia lemparkan padaku. Dia bisa hidup dengan keluarga barunya. Sedangkan aku, aku tak memiliki keluarga satupun disini. Yang kupunya hanya dirinya seorang, tapi kenapa ia begitu tega menghancurkan seluruh perasaanku?

Jika anak Aoi sudah mendapatkan pengakuan darinya, bagaimana dengan anakku? apakah dia tidak menyadari aku sedang hamil?

Di dalam rahimku ini ada buah hatinya!

"Aku sungguh kecewa padamu, Stella." Kata-kata tersebut semakin membuat hatiku teriris begitu pedih. Disini bukan dia yang terluka. Tapi aku! Lagipula Lee Jung hanya seorang pria baik hati yang mau menolongku.

Dia hanya salah paham!

"Seminggu lagi datanglah ke pengadilan. Aku menunggumu disana," terangnya. Mataku sudah berkaca-kaca. Aku ingin menjelaskan semuanya, tapi lidahku terasa kelu. Jangankan untuk meluruskan masalah, berbicara sepatah katapun saja aku tak sanggup.

Paman Ken langsung pergi dariku, ia berjalan menaiki anak tangga dan menuju kamarnya.

Setelah kepergiannya. Air mata yang sedari tadi aku tahan, kini tumpah dengan sempurna. Aku menangis sejadi-jadinya, perasaan sakit ini tak pernah mau hilang dari hatiku. Haruskah semua ini berakhir dengan adanya cerai?

Apa aku begitu tidak berharga di matanya. Apa aku tidak memiliki nilai apa-apa di hatinya?

Ya Tuhan.. kenapa engkau menyiksaku seperti ini?

Kenapa kau tak memberiku sedikit waktu untuk semuanya paman Ken?

.
.
.

~After one week

Pandanganku begitu kosong. Aku sekarang duduk di depan banyaknya jaksa dan hakim. Suasana begitu tenang sekarang, karena kasus perceraianku kini sedang berlangsung. Di sebelahku, tidak jauh dariku berada, ada paman Ken yang sedang duduk dengan tenangnya di sana. Berita tentang penceraianku tentu saja menjadi tranding topik nomer satu sejagat raya sekarang. Seluruh berita dunia kini sedang meliput kami, memastikan bahwa pernikahan kami akan benar-benar berakhir. Beberapa media juga mengabarkan bahwa setelah perceraian kami berdua selesai, paman Ken akan menikahi Aoi Haruka. Menjadi keluarga baru yang berbahagia.

Aku sudah lelah untuk menangis.

Karena sebelum aku duduk disini, dihari-hari sebelumnya, aku selalu menangis meratapi nasibku. Aku tidak peduli lagi dengan kesehatanku, aku jarang untuk makan dan minum. Mungkin tubuhku lebih kurus sekarang.

Kulirik dengan lemah bangku para tamu di sebelah kiri belakang paman Ken. Di deretan bangku paling depan ada beberapa anggota band The Titans. Ada Daichi dan Honda, di samping Daichi ada Mrs. Yun. Raut wajah mereka begitu aneh, aku tak dapat membaca dengan jelas apa yang sedang mereka pikirkan. Mataku menemukan sosok lain yang duduk di sebelah kiri Daichi.

Wanita ular itu!

Ia ada disini, tak sendirian. Ia membawa Lucas anak lelakinya itu. Melihat wanita itu, membuat hatiku semakin terluka. Pada kenyataannya, dialah yang menang.

Pandangan mata kami bertemu. Aoi tersenyum lebar saat melihatku, menunjukkan deretan giginya yang rapi dan putih. Ia tersenyum senang dan bangga bagaikan tanpa beban sedikitpun. Kualihkan tatapanku darinya kearah jaksa. Aku sama sekali tidak berani menatap paman Ken. Aku takut, bahkan sangat takut jika kembali menatap wajahnya. Pasti air mataku ini akan jatuh lagi jika melihat seluruh tubuhnya. Aku tidak mau lagi menangisi paman Ken. Ini sudah lebih dari cukup! semua penolakan tentang rasa cinta, diriku juga bayi ini. Aku rasa ini semua akhir dari perjuanganku.

Suara ketukan palu terdengar. Dan sekarang kami sudah resmi bercerai. Tidak ada lagi pernikahan kontrak lagi. Tidak ada lagi hubungan suami istri antara aku dan paman Ken. Suara kini berubah menjadi riuh. Paman Ken berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan menghampiri dan berjabat tangan dengan para hakim. Lalu dengan segera ia keluar dari ruangan ini. Sorotan media langsung menyerbunya. Sedangkan aku, aku masih terdiam disini. Duduk di tempat dan memandangi langit-langit ruangan ini.

Helaan napasku begitu berat. Bulir air mata kini jatuh dari sudut mata kananku. Tapi dengan secepat kilat kuhapus air mata kesedihan tersebut.

Kau kuat Stella! Jangan menangis!

Tiba-tiba sesorang menepuk pundakku. Seketika kutengok pemilik tangan ini, kudongakkan kepalaku untuk menatapnya. Kedua mataku nanar saat melihatnya dengan jarak sedekat ini.

"Selamat atas perceraian kalian." Salam wanita itu begitu riang. Dia bahkan menjabat kedua tanganku dengan penuh semangat. Wajahnya sama sekali tidak ada rasa sedih maupun penyesalan.

Tuhan.. harus setegar apa lagi aku ini?

"Aku tidak menyangka akan secepat ini mendapatkan Ken." Senyumnya padaku. Aku tak bereaksi, aku hanya bisa diam dan mendengarkannya.

Karena kaulah satu-satunya wanita yang pantas di samping paman Ken. Bukan aku. Jadi wajar saja jika kau mendapatkan paman Ken dengan cepat.

"Pasti ini menyakitkan sekali untukmu. Aku tahu kamu hamil," lanjutnya lagi dengan tatapan iba. "Kasihan sekali bayimu itu, tidak mau di akui oleh ayahnya sendiri. Bagaimana rasanya? sakit bukan? itulah yang aku rasakan ketika selama ini mengandung Lucas!" ujarnya kali ini dengan sedikit emosi. Kini tatapanya berubah menjadi meremehkan padaku.

Jika benar ini yang dirasakan oleh Aoi. Dia pasti sangat menderita sama sepertiku sekarang.

"Jauhkan tanganmu dari Stella dasar wanita sialan!" Bentak seseorang sedikit kasar. Kami berdua menengok kearahnya. Wanita yang sedikit tua itu memincingkan kedua matanya, raut wajahnya terlihat sangar ketika ia sedang marah. Tidak salah lagi itu Mrs. Yun, manager band The Titans. Di samping kanan dan kirinya ada Daichi dan Honda yang menemani. Mereka juga tidak suka dengan Aoi.

Aoi melepaskan tangannya di bahu kiriku, lalu tersenyum lebar melihat Mrs. Yun, Daichi dan Honda. Mereka bertiga kini sudah berdiri tepat di hadapan kami berdua. Aku terkejut ketika tanpa aba-aba Mrs. Yun langsung menjambak rambut hitam legam panjang Aoi secara kasar. Bukan hanya aku yang terkejut, Aoi kini juga sama terkejutnya saat rambut yang ia rawat mati-matian dirusak begitu saja oleh Mrs. Yun. Aoi meringis kesakitan dan terus memberontak ketika ia diserang oleh wanita yang lebih tua darinya.

Melihat mereka berdua bertengkar seperti kucing dan anjing, tentu saja aku berdiri dari tempat dudukku mencoba untuk melerai. Sedangkan Honda dan Daichi juga ikut membantu dengan menarik managernya yang sedang emosi tingkat dewa itu.

"Dasar jalang murahan! Wanita ular! Brengsek! Mati saja kamu!" Geram Mrs. Yun sembari terus merusak rambut Aoi seperti menarik rumput liar.

"Sakit! Tolong lepaskan tanganmu!" Rintih Aoi kesakitan. Bahkan tubuhnya kini membungkuk karena aksi kasar yang ia terima. Kutengahi mereka, berusaha untuk melepaskan tangan Mrs. Yun pada rambut Aoi. Tapi percuma saja, Mrs. Yun sama sekali tidak mau melepaskan jambakannya tersebut.

"Enough!!" Teriak seseorang begitu lantang hingga memenuhi ruangan ini. Kami semua kini menengok kearah teriakan itu berasal. Suara tersebut berasal dari paman Ken. Rahangnya mengeras karena emosi. Dengan segera, ia berjalan ke arah kami berlima. Dengan kasar dia langsung melepaskan tangan Mrs. Yun dari rambut Aoi. Wanita itu masih meringis kesakitan, lalu membetulkan tatanan rambutnya semnari bersembunyi di balik punggung paman Ken.

"Apa-apaan ini? kenapa kamu bertingkah layaknya anak-anak Mrs. Yun?" Kesalnya. Mrs. Yun semakin marah karena ucapan paman Ken barusan. Dan hal yang tidak pernah aku pikirkan adalah, Mrs. Yun secara tiba-tiba kembali melayangkan sebuah tamparan amat keras di pipi sebelah kanan paman Ken. Hingga menimbulkan suara yang menggema di ruangan ini.

"Kamu lebih membela wanita busuk itu daripada managermu sendiri??" tanyanya sinis tak percaya. "Kamu sangat bodoh Ken! Apa kamu tidak bisa melihat mana wanita yang baik atau buruk untukmu?" tanyanya kembali sembari menatap paman Ken penuh dengan penekanan.

"Wanita sialan itu sampah! Kamu bahkan membuang Stella yang jelas-jelas seribu kali lebih baik dari wanita ular itu! aku sama sekali tidak percaya, kamu yang aku anggap sebagai anakku sendiri, bisa berbuat bodoh seperti ini. Kamu sangat mengecewakanku, Ken!" Amarah Mrs.Yun tak tertahankan, dia bahkan memaki-maki paman Ken dengan kata-kata kotor.

"Kamu sudah salah memilih, Ken. Aku yakin kamu akan segera menyesalinya!" Katanya yang seperti sebuah guntur itu. Tubuhku sama sekali tak bisa bergerak karena pertikaian ini.

Ya Tuhan.. aku sudah muak dengan semua keadaan ini.

Mrs. Yun langsung menarik tanganku dan menggeretku keluar dari tempat terkutuk ini. Walaupun dari jarak jauh, aku bisa mendengar suara Honda dan Daichi yang memperingati paman Ken, mereka mengulangi kata-kata managernya bahwa paman Ken akan menyesal seumur hidupnya.

Entah kemana Mrs. Yun membawaku, sepertinya dia sedang tidak bisa dibantah.

Setelah tiba di depan halaman yang cukup luas, Mrs. Yun berbalik menatapku. Kedua matanya berkaca-kaca dan langsung menangis tepat dihadapanku.

"Maafkan aku, Stella. Ini semua salahku! seandainya saja dari awal aku tidak memaksamu untuk menikahi Ken, pasti tidak akan seperti ini jadinya," ujarnya penuh penyesalan, ia terus menangis. Melihat wanita tua itu menangis tentu saja aku juga ikut menangis. Kupeluk tubuh Mrs. Yun dengan erat.

"Tidak! Ini semua bukan salah Mrs. Yun, dari awal sudah keinginanku sendiri untuk menikah dengan paman Ken. Walaupun ini hanya pernikahan kontrak, tapi aku terima. Jika akhirnya seperti ini, aku akan baik-baik saja Mrs. Yun. Ini sudah menjadi resiko yang harus aku tanggung sendiri," jawabku di sela-sela tangisanku. Iya benar. Ini semua bukan salah Mrs. Yun. Ini hanya kesalahanku, sudah takdirku seperti ini.

"Ka.. kamu mencintai Ken, Stella?" tanya Mrs. Yun yang membuatku berhenti menangis. Darimana ia tahu aku mencintai paman Ken?

"Aku sudah tahu semua dari Daichi. Dia benar, pernikahan ini ide terburuk dari seorang wanita sepertiku. Bagaimana bisa aku memaksakan seseorang untuk menikah dan tidak tahu apa akibatnya ke depan. Kamu sangat mencintai Ken, tapi sayangnya ia sangat bodoh hingga tak bisa membuka hati dan matanya dengan benar. Maafkan aku, Stella. Kamu pasti sangat membenciku. Aku benar-benar bersalah," terangnya lagi yang kini menangis sesenggukan. Kuhusap air mata Mrs. Yun, lalu menepuk punggungnya dengan perlahan.

"Kamu tidak perlu minta maaf Mrs. Yun. Bukan paman Ken yang bodoh, tetapi aku yang sangat bodoh. Seharusnya aku menyadari jika pernikahan hanya sebuah kontrak belaka tidak mungkin untuk menjadi nyata, tapi dengan lancangnya aku malah mencintai paman Ken. Melanggar perjanjian kontrak pernikahan kami. Ini semua karena salahku yang memberikan seluruh hatiku padanya. Paman Ken tidak bersalah, dia hanya mematuhi isi kontraknya," jelasku sembari menghusap air mataku sendiri.

Mrs. Yun menatapku dengan sayu lalu berkata. "Kamu sangat baik Stella. Kamu benar-benar wanita yang hebat bahkan melebihi diriku sendiri. Wanita yang bisa mencintai Ken dengan segala kekurangannya. Aku berharap kamu akan bahagia, Stella," ucapnya sungguh-sungguh. Dia menggenggam kedua tanganku dengan erat.

Bahagia? ya kuharap seperti itu. Lagipula ada malaikat kecilku disini. Aku pasti akan menjaganya walaupun aku harus berjuang sendirian nantinya.

Setelah itu Mrs. Yun menghantarku pulang ke rumah paman Ken. Dia menyuruhku untuk segera mengemas semua barangku, tapi aku menolaknya. Sejak datang pertama kali di rumah ini, aku tidak membawa barang apa-apa. Aku hanya membawa tubuhku dan sepasang pakaian yang melekat pada tubuhku saja. Jadi, aku tak mau pergi dengan membawa barang-barang pemberian paman Ken yang mahal-mahal itu. Aku cukup tahu diri dengan siapa diriku sebenarnya.

Kupandangi seluruh detail bangunan rumah ini dari luar. Semua kenangan di sini begitu manis. Dalam detik, menit, waktu, hari bahkan bulan aku tidak akan pernah melupakan kenangan saat aku tinggal disini sebagai seorang istri dari Ken Candellar. Dan kali ini semua kenangan indah itu harus terkubur selamanya. Semua rasa harus kubuang di sini juga. Jika harus memilih, aku sangat ingin tinggal di sini selamanya bersama paman Ken. Tapi kisah itu tidak akan pernah terjadi. Karena cerita dongeng fantasiku sudah berakhir. Inilah kehidupan nyataku. Menerima semuanya dengan lapang dada.

Tiba-tiba suara clakson terdengar. Itu bukan suara mobil paman Ken, tapi suara mobil yang berjenis gagah dan bermotif tentara. Pria itu menyembulkan kepalanya keluar dari samping kaca pintu mobil, lalu melambaikan salah satu tangannya padaku.

Aku tersenyum melihat pria tampan itu lalu membalas lambaian tangannya dengan riang. Dia Lee Jung, pria yang kemarin sengaja aku hubungi untuk membawaku pergi dari sini. Selain dia, aku tak mengenal lagi orang disini. Aku tidak ingin membebani para anggota band The Titans yang lain, biarlah kepergianku ini menjadi sebuah rahasia untuk mereka semua. Aku berjalan mendekat ke arah mobilnya. Sedangkan Mrs. Yun, ia hanya bisa menatapku dari kejauhan.

Sebelum naik ke mobilnya, kutatap sekali lagi rumah ini dengan lekat.

"Selamat tinggal cintaku," gumamku lirih. Air mata sempat keluar dari sudut mataku, tapi aku segera menghapusnya dan langsung naik ke mobil lalu duduk dengan tenang disana. Aku tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.

Aku pasti akan bahagia. Walaupun tanpa paman Ken di sampingku lagi.


-----------------------



Feel nya dapet gak?

Jangan lupa vomment
Thanks :*

Continue Reading

You'll Also Like

59.3K 5.7K 24
Kedua mata Valen tenggelam dalam kesedihan saat menatapku. Tangan kirinya diselipkan pada lingkar pinggangku, menarikku dengan sopan. Sementara tanga...
1.4K 91 5
Sejak putus dengan Arnold beberapa tahun lalu, Valerie menginginkan relationship yang kasual. Sesuatu yang tidak mengikat. Gilbert menyanggupi itu. D...