Bukan Siti Nurbaya

By chayoochayaa

383K 1.3K 191

Sebuah cerita tentang perjodohan, persahabatan, dan cinta. Zaman boleh modern, tapi ternyata kebiasaan masyar... More

Utang Nyawa
bukan siti nurbaya 1b
Janji Adalah Utang
Pertemuan Kedua
Bukan Siti Nurbaya
Galau
bukan siti nurbaya
bukan siti nurbaya
Kado Spesial
Menua Bersamamu
Cinta Mulai Bersemi
Tinggal Kenangan
Mencuri Kesempatan
Insiden
Pengakuan Rasa
Tekad Bulat
Goyah
Kerikil-Kerikil Kecil
Cari-Cari Perhatian
Sahabat Terbaik
Bernostalgia
Persaingan
Ancaman
Perang Batin
Rencana

Tempat Ternyaman

7.6K 44 8
By chayoochayaa

Ravi’s POV

Syukurlah, aku menemukan jalan kembali ke dalam rumah dan tanpa sengaja berpapasan dengan bapak mertuaku.

Bapak mertuaku mengantarku ke kamar Rana, kamar pengantin kami. Setelah pintu kamar terbuka, beliau mempersilahkanku masuk, kemudian beliau undur diri untuk kembali ke kamarnya di lantai bawah.

Masih diliputi keraguan dan kegugupan kutelusuri ruang kamar Rana. Aku tidak langsung merebahkan tubuh lelahku di ranjang, namun terlebih dahulu aku membersihkan diri dan gosok gigi di kamar mandi. Tak lupa, aku juga melepaskan pakaianku dan menyisakan kaos oblong tipis dan celana boxer. Pakaian luarku rasanya terlalu berkeringat untuk dipakai tidur.

Hmm... sepertinya Rana sudah lelap sekali dan tak menyadari kehadiranku di kamarnya. Aku membatin.

Sekarang aku sudah beranjak tidur dan mencari posisi yang pas di atas ranjang. Jangan sampai pergerakanku mengganggu dan membangunkan Rana.

“Bismillah...” Dengan sangat pelan kurebahkan tubuhku di atas kasur. Rasanya nikmat sekali bisa rebahan seperti ini.   

Jujur, aku merasa sangat gugup tidur satu ranjang dengan Rana. Gimana gitu rasanya. Ini pertama kalinya aku tidur bareng dengan perempuan selain mama. Perasaanku bercampur aduk, antara senang, gugup dan takut. Tidur satu ranjang dengan istri sendiri ternyata begini rasanya. Simpulku dalam hati.

Tanpa kusadari, di tengah kegalauan itu tangan kananku menyentuh sesuatu. Sesuatu itu berada diantara aku dan Rana. Aku memiringkan badan untuk meraih benda tersebut lalu menimang dan merabanya dengan fikiran menerka-nerka. Kira-kira panjangnya sama dengan bantal guling namun benda ini bentuknya lebih besar dan sepertinya memiliki mata, hidung, telinga dan kaki, juga ada ekor di belakang.

“Hmm... Boneka Rana rupanya.” Gumamku tersenyum simpul, lalu aku kembali mencondongkan tubuhku ke samping kanan untuk meletakkan boneka tersebut di tempatnya semula. Namun, baru saja niat itu ingin kulaksanakan, kedua tangan dan kaki Rana sudah duluan mengapit tubuhku sampai aku tidak bisa bergerak dan sulit bernafas karena Rana memelukku sangat erat.

Boneka besar itu masih ada dalam genggemanku. Akhirnya boneka tersebut kujatuhkan ke belakang punggung Rana. Sejujurnya aku ingin balas memeluknya, tapi naasnya kedua tanganku malah terbujur kaku diatas kepalaku.

Namun, di balik semua yang sedang terjadi ini, sebenarnya aku tidak ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan ini, tapi aku tidak menemukan cara agar bisa lepas dari pelukannya selain diam-dian menikmati. Hehehe...Lagian sudah halal begini sebagai suami dan istri.

Aku tidak bisa menghindari kontak kulit dengan Rana yang hanya dibalut baju tidur tipis dan aku yang hanya memakai kaos oblong dan celana boxer.

Kalau saja aku bisa memperkirakan adegan seperti ini akan terjadi, pasti aku akan tetap memaksakan diri memakai pakaian lengkap daripada harus menahan perasaan dan naluri laki-lakiku, yang sewaktu-waktu bisa jebol.

Ia bergeliat sebentar seperti mencari posisi yang lebih nyaman. Kini, kepalanya disandarkan ke dadaku. Tak ada lagi jarak diantara tubuh kami berdua walau satu senti. Tubuhnya wangi, begitu juga rambutnya sangat halus dan harum.

Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berjalan normal dan juga helaan nafasnya yang teratur. Semoga saja dia tidak menyadari kalau kondisi jantungku rasanya mau copot dan nafasku yang ngos-ngosan.

Sebagai lelaki dewasa dan normal, aku kewalahan menghadapi situasi sulit ini. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan mencoba menghalau perasaan-perasaan yang semakin memuncak.

“Pooh...” Bisik Rana lembut sembari mengeratkan pelukannya ke badanku. Sepertinya ia sedang mengigau menyebut nama boneka kesayangannya itu, yang dikiranya mungkin diriku adalah boneka tersebut.

Alamat malam ini aku tidak akan bisa tidur, bukan karena kesusahan bernafas dipeluk erat seperti ini, tapi karena tekanan gejolak perasaan yang semakin sulit dikendalikan. Keringat dingin mengucur deras dari pori-pori kulitku.     

Secara tidak sengaja ujung jariku menyentuh bibirnya. Saat ini sepertinya aku bakal jadi pencuri, mencuri sesuatu yang telah dihalalkan untukku. Aku tidak bisa menahan kala bibirku mengecup lembut bibir istriku. Hanya sepuluh detik. Tidak lebih. Aku takut membuatnya terjaga. Mudah-mudahan ini cukup untuk meredam hasrat laki-lakiku yang kian membara.

“Haaaahhhh.... Aku harus bisa melawan perasaan ini.” Bisikku pelan pada diri sendiri seraya menggeleng-gelengkan kepalaku dengan pelan.

"Ini tidak boleh terjadi. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk melakukan ini." Bisikku lagi pada diri sendiri.

Aku mencoba mengosongkan fikiranku dan mencoba berbagai cara untuk mengundang kantuk agar sudi bertandang ke kedua mataku. Dua puluh menit kemudian akhirnya aku terlelap dalam tidur yang nyaman.

Rana’s POV

Ding.... Ding... Dong.... Ding.... Ding... Dong......

“Aih, menyebalkan sekali.” Rutukku pelan masih dengan mata terpejam seraya meregangkan tangan kananku ke meja kecil di samping tempat tidur. Tujuanku tak lain dan tak bukan adalah untuk mematikan alarm yang berbunyi kepagian, padahal aku masih pengen tidur dengan nyaman seperti ini. Rasanya aku belum pernah tidur senyaman ini sebelumnya.

“Itu suara apa? Berisik sekali.....” Sebuah suara sedikit parau mengagetkanku.

Boneka beruangku bisa bicarakah sekarang? Suaranya sangat merdu meski nadanya masih bercampur kantuk. Aku langsung membuka mata untuk menegaskan keajaiban ini tanpa melepaskan pelukanku darinya. Dengan mata yang masih berkunang-kunang dan masih dalam keadaan setengah mengantuk, kuteliti wajah imut bonekaku.

Selain bisa berbicara, boneka itu sekarang bisa bernafas juga. Aku bisa merasakan detak jantungnya dan helaan udara yang dihirup oleh hidungnya, tapi kenapa hidung Winnie The Pooh-ku jadi mancung seperti ini?

Kulepaskan pelukanku, kemudian dengan semangat mengucek kedua kelopak mataku agar kantuknya segera hilang dan aku bisa melihat keajaiban ini dengan jelas.

“Huaaaaaaaaa..... Ka.... Kaaa....Kamu!!! Kenapa kamu ada di kamarku???” Jeritku dengan histeris. Saking kagetnya, aku sampai terlonjak ke pinggir tempat tidur seraya menyilangkan kedua tanganku ke dada.

Aduh, apa saja yang sudah dilakukannya padaku tadi malam? Batinku.

“Ada apa, sayang? Kenapa kamu teriak-teriak?” Ia kaget mendengar teriakan kencangku. “Aku masih pengen tidur, nih. Masih ngantuk banget. Capek banget. Bangunin nanti ya kalau udah masuk Shubuh.” Ia mengusap berkali-kali hingga akhirnya merebahkan kembali badannya di atas kasur seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“O.....o....o....ohh.... Ta...ta...tapiiii?” Aku menceracau dengan raut wajah putus asa.

Dia seharusnya tidak tidur seranjang denganku. Aku ingin menariknya ke pintu dan mengusirnya, tapi aku takut jika aku berani mendekatinya dia akan menarikku lagi dalam pelukannya dan tampaknya ia memang benar-benar kelelahan. Aku jadi sedikit iba melihatnya.

“Hah, betul kelelahankah dia? Apakah ini murni kelelahan atau  kelelahan karena faktor lain?” Aku kembali curiga terhadap Ravi.

“Jangan-jangan dia telah mengambil kegadisanku saat aku terlelap...hiks...hiks..hiks. Salahku juga kenapa pakai baju tidur yang ini pas mau tidur tadi.” Aku menangis sesenggukan.

“Sayaaaang, kamu kenapa lagi?” Ravi kembali terbangun. Suara merdunya, oh tidak, maksudku suara jelek itu menyela isakku. Aku menoleh ke arahnya dengan muka melongo karena mendengar ia memanggilku ‘sayang’ lagi.

Ravi sudah mengubah posisi tidurnya. Ia memiringkan tubuhnya ke arahku, sedangkan tangan kanannya menopang kepalanya. Di bibirnya terbingkai sebuah senyuman.

“Kenapa kamu senyum-senyum? Apa tadi malam kita melakukan....itu?” Tanyaku ragu sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, karena kulihat Ravi juga cuma memakai kaos oblong putih dan celana boxer.

Namun, ia hanya membalasku dengan senyuman menggoda.

“Kenapa kamu nggak jawab?” Bentakku hampir menangis.

“Sayang mau tau? Sini, dekat sama Abang biar Abang kasih tahu.” Balasnya menggodaku lagi.

“Berhenti panggil aku ‘sayang’.” Kulempar si Winnie The Pooh ke kepalanya. Namun, dengan sigap ia dapat menangkapnya dengan kedua tangannya. Kemudian ia meraih kedua tanganku.

“Ka..ka..kamu mau apa lagi?” Dadaku bergetar hebat. Bibirku tiba-tiba pucat. Keringat dingin juga mulai merembes satu persatu dari pori-pori kulitku. Aku tidak melihat karakter Ravi yang lugu dan terkesan anak mami, pagi ini dia menjelma menjadi sosok lelaki dewasa tangguh yang menggetarkan jiwa. Aduh, kayaknya otakku mulai koslet, deh.

“Kita bisa reka adegan  kalau kamu pengen tahu apa saja yang telah terjadi di antara kita malam ini.” Sahutnya dengan lembut.

“Buat apa?” Tanyaku dengan suara bergetar.

“Agar kamu nggak salah faham dan kita bisa lanjut tidur.” Jawabnya pendek.

“Heh? Nggak usah! Itu, mah, akal-akalan kamu saja.” Kataku sinis seraya berusaha melepas lenganku dari tangannya.

“Kenapa? Rana takut?” Ujarnya menerka seraya memperkuat genggamannya.

“Nggak!” Tepisku sok berani dan tidak berusaha meronta lagi.

“Ya udah kalau nggak mau. Aku tidak akan memaksamu." Ia lalu melepaskan tanganku.  "Pakai ini agar tidak kedinginan." Ravi mengangsurkan selimut untukku. Dan sejurus kemudian, ia bersiap untuk tidur kembali.

Dengan buru-buru aku menutup tubuhku dengan selimut. Lima menit kemudian, hawa dingin itu tetap terasa menusuk sampai ke tulang. Entah, kenapa malam ini tiba-tiba terasa sangat dingin.

"Mana cuacanya dingin banget, remot AC-nya tak nampak pula." Sungutku, sedikit kesal. Lalu, aku mendekat ke sisi Ravi.

"Hmm... Rav, aku kedinginan. Bisa peluk aku lagi, nggak?" Cetusku pelan memberanikan diri. Ravi yang tidur di sampingku sudah kembali terlelap. Dia tidak mendengarku. Aku menggoyang-goyang tubuhnya agar dia bangun.

"Rav?” Panggil ku sekali lagi sambil menggoyang punggungnya pelan.

“Iya...” Jawabnya pelan sambil membuka matanya dengan malas. Tanpa diduga, sejurus kemudian ia menarikku masuk ke dalam pelukannya dan kembali memejamkan matanya.

Aku tidak meronta-ronta lagi diperlakukan seperti itu, akhirnya aku bisa tidur dengan nyaman sampai pagi dalam pelukannya yang hangat.

***

Continue Reading

You'll Also Like

303K 28.1K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
983K 59.7K 46
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
691K 135K 45
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...
4.7M 175K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...