Ain't Creeping in Your Heart...

By evakeljombar

81.1K 5K 228

High Rank: #1 in bayi tabung (10042022) #14 in tagar duahati πŸ…[27/03/2020] #9 in tagar duahati πŸ… [08/04/2... More

PROLOG
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6

Bab 1

12.6K 973 47
By evakeljombar

Namaku Han Su Jeong, usiaku 23 tahun dan aku bekerja sebagai perawat di bangsal anak sebuah rumah sakit terkenal di Seoul, milik sebuah perusahaan swasta, Daesang Grup.

Hari itu kami kedatangan banyak pasien anak yang butuh perawatan setelah mengalami kecelakaan bus sekolah.

Aku dan beberapa teman perawatku yang lain, juga para dokter di bangsal anak harus bekerja lebih ekstra menangani pasien kami karena untuk menangani pasien anak tidak sama saat menangani pasien dewasa.

Saat melakukan perawatan pada mereka, kami pun harus pandai mengalihkan perhatian mereka. Misalnya dengan mengajak mereka berbicara hal-hal yang mereka sukai, dengan begitu kami akan mudah memberi perawatan pada mereka.

Ada pula yang sulit diberi tindakan medis. Kami bahkan harus memegangi tangan dan kakinya saat merawatnya. Jujur saja, menangani anak-anak seperti itu sangat melelahkan.

Tapi aku senang bekerja di bangsal anak. Memandangi wajah mereka yang lucu nan menggemaskan, ditambah tingkah mereka yang membuat gelak tawa, jadi hiburan tersendiri. Rasa lelah pun hilang dalam sekejap.

"Ini susumu ...," Mina menghampiriku yang sedang bersandar sejenak di kursi nurse station.

Aku meraih cepat satu kaleng susu yang diberikan Mina.

"Yak, Mina-ya ... Kau teman terbaikku kau tahu?"

"Hmm, aku tahu ..." Mina manggut-manggut, menyesap susu ditangannya lalu menatapku. "Yak! Han Sujeong ... wajahmu seperti orang sekarat." Kata Mina sembari tertawa kecil saat menyadari wajahku yang tampak kusut.

Tentu saja wajahku saat ini terlihat seperti zoombie. Kusut dan tak terurus. Aku sudah bekerja hampir 12 jam karena kurangnya tenaga medis sedangkan pasien kami banyak akibat kecelakaan. Belum lagi pasien lain yang masuk rumah sakit.

"Hm, mau mati rasanya." Jawabku lemah.

"Sujeong-ssi, Mina-ssi, terima kasih untuk hari ini." Ucap Do Kyungsoo, seorang dokter jaga di bangsal anak.

Aku dan Mina sontak berdiri sambil membungkuk hormat.

"Tentu, dok. Kau sudah bekerja keras hari ini."

Do Kyungsoo pun tersenyum lalu beranjak pergi dari sana.

Aku menolehkan kepalaku melihat Mina yang tampak merah merona dengan senyum dibibirnya. Pandangannya terus saja tertuju pada punggung pria yang disukainya itu.

"Mina-ya ...," Aku memanggilnya berkali-kali tapi dia tidak mendengarku.

Song Mina, dia memang satu diantara seribu. Aku tahu dia menyukai dokter Do Kyungsoo sejak kami kuliah. Tetapi Mina termasuk orang yang cukup tertutup kalau itu menyangkut perasaan.

Selama bertahun-tahun Mina mencintai Do Kyungsoo diam-diam, bahkan ketika dia tahu Do Kyungsoo bekerja di rumah sakit, dia memutuskan untuk mengikutinya bekerja di rumah sakit yang sama padahal Mina bisa saja bekerja di klinik milik keluarganya.

***

"Suster apakah lukaku akan sembuh?" tanya Yuri, salah satu pasienku setelah aku mengganti perban lukanya.

Aku tersenyum lalu mengangguk. "Tentu," kataku sambil menata rambut panjangnya. "Anak pintar pasti akan sembuh."

"Sujeong-ssi, dokter Oh memanggilmu ke ruangannya. Katanya ponselmu tidak bisa dihubungi." Kata perawat Kim saat masuk kamar Yuri.

Astaga, aku baru ingat kalau ponselku sejak tadi mati.

"Ah, terima kasih perawat Kim."

Aku segera mengambil langkah cepat menuju ke departemen bedah, kantor Sehun.

Oh Sehun adalah seorang dokter bedah di rumah sakit yang sama denganku bekerja, Daesang Hospital.

Kami sudah saling mengenal sejak kecil saat dia baru saja pindah dari Busan, dan menempati rumah kosong di depan rumah kami bersama ayahnya. Kami selalu bersama sejak saat itu. Itulah mengapa tidak butuh waktu yang lama untuk mengubah pertemanan jadi cinta.

Aku mengetuk pintu ruangan miliknya. Kudengar dia menyahut dari dalam. Aku lalu masuk ke dalam. Kulihat Sehun tampak sedang serius menatap layar laptop miliknya sampai kedua matanya menjadi tertuju padaku.

"Kau sudah datang, sayang."

Senyum Sehun melebar, dan ia pun langsung menghentikan pekerjaannya sambil meletakan kaca matanya di atas meja. Dia berdiri hendak menghampiriku namun kedua kakiku sudah berlari lebih dulu padanya dan memeluknya erat.

"Maafkan aku ..." tuturku lembut. "Aku sangat sibuk hari ini sampai lupa kalau ponselku mati."

Sehun terkekeh geli sembari membalas pelukanku. Saat memeluknya seperti ini aku bisa mencium aroma parfum vanila yang sangat kusukai ditubuhnya.

"Aku tidak marah padamu."

"Sungguh?"

Aku mendongak menatapnya dengan tatapan selidik.

Sehun mengernyit dan seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Hm ... baiklah aku mengaku," dia cemberut. "Aku hanya sedikit kesal."

"Benarkah?"

Melihat wajahku yang tampak bingung, dia pun kembali tersenyum sembari menangkup wajahku. Sesekali dia merapikan helaian rambutku yang sedikit berantakan keluar dari ikatannya.

"Hari ini tanggal jadian kita yang ketujuh tahun," bisiknya lembut.

Aku kaget.

"Jangan bilang kalau kau lupa ini tanggal berapa ..."

Aku menggeleng cepat. "Tidak, tentu saja aku ingat ... kok." Jawabku tak yakin Sehun akan percaya jawabanku.

Sehun tersenyum dan membawaku duduk di sofa tamu di dalam ruang kerjanya.

"Syukurlah kau tidak lupa," Sehun mengambil dua buah amplop di atas meja. "Aku sudah mempersiapkan tiket untuk kita berdua." Ucapnya sambil memberikan tiket itu padaku. 

"Tiket?"

"Hm, bukankah kau pernah bilang padaku kau ingin kita bisa merayakannya di Jeju?"

"Ah, benar!" Aku menepuk jidatku. "Assa!"

Aku tersenyum bahagia. Sehun pun turut tersenyum.

"Oh-eh, tapi bukankah kau sedang sibuk?" tanyaku sembari memandang laptopnya di meja.

"Tenang saja, aku sudah mengatur semuanya agar kita bisa liburan bersama." Jawab Sehun menyakinkanku.

Hatiku menghangat dan semakin menenggelamkan diriku dalam pelukannya.

"Hun-ie, kau membuatku tidak bisa berkata-kata lagi."

"Kau senang?"

"Tentu saja," aku mendongkak menatapnya. "Ini lebih dari yang kuharapkan," kataku.

***

Aku sedang makan dengan Sehun saat sebuah panggilan telepon membawa kabar buruk dari rumah. Aku bangkit dari dudukku, begitu juga dengan Sehun yang tampak kaget melihat sikapku.

"Ada apa?" Sehun tampak cemas.

"Hun-ie, aku harus pulang sekarang."

Sehun meraih tanganku dan menghentikanku. "Jeong-ah, ada apa? Apa kau baik-baik saja?"

"Para rentenir itu datang lagi hari ini. Mereka membuat kekacauan di rumah. Ayah bahkan dipukuli. Aku harus pulang sekarang." Jelasku.

"Kalau begitu aku ikut. Ayo!"

Sehun hendak mengambil kunci mobil di atas meja kerjanya namun aku menghentikannya.

"Tidak, aku bisa pergi sendiri."

"Bicara apa kau, Jeong-ah?" Sehun menatapku marah. "Aku akan mengantarmu pulang. Aku akan ikut denganmu." Dia menarik tanganku dan membawaku menuju parkiran mobil.

"Tidak ..."

Aku melepas tanganku darinya. Sehun tampak menahan emosi. Aku mendekatinya dan meraih kedua tangannya berusaha membuat dia tidak khawatir.

"Dengarkan aku, kau ada jadwal bedah tiga puluh menit lagi." Kataku pelan. 

Sehun menatapku dengan pandangan sedih, khawatir, dan marah. Aku bisa melihat itu di matanya.

"Aku bukannya tidak mau kau ikut bersamaku," aku berusaha meyakinkannya, "Tapi apa kau ingat pasien gagal ginjal yang kau ceritakan padaku kemarin? Dia pasien yang hari ini akan kau operasi transplantasi ginjal bukan?"

Sehun mengangguk pelan lalu mendesah berat kemudian.

Aku tersenyum lalu menangkup wajahnya dan memberi kecupan di bibirnya singkat.

"Tenanglah dokter Oh ..., aku akan baik-baik saja." Kataku. "Tidak perlu khawatir. Aku akan menghubungimu setelah aku sampai di rumah."

Aku berusaha menenangkannya. Alhasil dia pun setuju dan membiarkan aku pergi.

Dengan tergesa-gesa, aku mempercepat langkahku berlari menuju halte bus. Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu datangnya bus tapi bus yang melewati arah rumahku belum kunjung tiba.

Kesabaranku sudah habis. Aku langsung mencari taksi. Taksi akan membawaku lebih cepat sampai di sana.

"Taksi!"

Taksi itu tiba di depanku. Saat aku hendak masuk, sebuah tangan yang besar pun memegang gagang pintu taksi yang sama.

Kedua tangan kami saling adu mengadu perkara siapa yang akan menaiki taksi ini.

"Hei!" Seru suara bariton itu keras. Matanya menatapku tajam. "Lepaskan!"

"Apa katamu ... Lepaskan?"

Aku terkekeh geli sambil mengumpat kesal dalam hati.

"Aku yang lebih dulu memanggil taksi ini. Minggir!" Katanya.

"Minggir?"

Aku kembali terkekeh geli, tak percaya ada pria kasar seperti dirinya.

Aku menatapnya dari atas ke bawah. Penampilannya yang tampan bak dewa Yunani diruntuhkan sikap arogansinya saat ini.

"Singkirkan tanganmu! Kau akan membuatku terlambat." Ucapnya sambil berusaha mendorong tubuhku menjauh dari taxi.

"Yak!" teriakku kesal, "Ladies first! Apa kau tak tahu itu?"

Aku menimpali ucapannya dengan kesal.

Kali ini dia yang memandangiku dari atas ke bawah, lalu menyeringai. Dan aku merasa seperti ditelanjanginya. Aku langsung menutup dadaku dengan menyilangkan kedua tangan.

Dia tertawa. "Kau tidak terlihat seperti wanita untukku ...," jawabnya acuh.

Mataku membulat tak percaya. Makhluk meganthropus dari mana kah dia? Cih, pertemuan pertama dan aku langsung membencinya.

"Hei, kalian mau naik apa tidak?"

Kali ini sang supir taksi yang geram, mungkin karena dia sudah memperhatikan kami sejak tadi.

"Minggir!"

Dia mendorong tubuhku dengan tubuhnya yang besar. Hampir saja aku terjatuh olehnya kalau tangan besarnya itu tidak segera merengkuh pinggangku dengan cepat.

Mata kami saling bertemu pandang untuk beberapa saat sampai kami berdua baru tersadar saat taksi itu sudah pergi meninggalkan kami.

Aku mendorong tubuhnya menjauh, dan merapikan kembali rambut serta bajuku. Kulihat dia pun merapikan bajunya lalu kembali menatapku tajam.

"Aish, taksinya ...,"

"Sial!"

Dia mengumpat kesal melihat taksi itu sebelum menatapku. "Karenamu aku ketinggalan taksi!" Ucapnya ketus.

"Hei, kalau kau membiarkanku naik pasti taksi itu sudah—,"

"Kau itu contoh wanita kuno yang selalu mau didahulukan!"

"Apa? Ku-kuno katamu?"

"Taksi!"

Dia memanggil sebuah taksi yang lainnya dan langsung menaiki taksi itu tanpa mempedulikanku.

"Yak!" Pekikku kesal saat taksi itu sudah melaju tepat di depanku.

Bajingan gila! Psikopat! Lelaki mesum!

Bersambung ...
___
Vote dan komentar diperlukan. Hehe  ..
Setelah diremake kedua di tahun 2020 ini, ada beberapa yang kutambahkan dan kuhapus. Harap kau menyukainya.

ps: Cover di media di atas, adalah cover pertama cerita ini dibuat tahun 2016.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 87K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
322K 24.5K 110
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
54K 3.9K 53
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
75.4K 14.5K 15
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...