Geandert [Completed]

By kainansetra

126K 7K 592

[PART 27-28 DI PRIVATE] "Seharusnya cukup pertemanan tanpa harus melibatkan perasaan." - Aileen. "Gue akan me... More

Prolog
1. Elyshia Nesya Percival
2. Aileen Saralee Adinata
4. Cinta Begini
5. Who's that?
6. All I ask
7. Pupus
8. Cinta Kau dan Dia
9. Teror
10. Terjebak
11. Senja dan Malam
12. Anonymous
13. Setitik Rasa
14. Cheese cake
15. Kehangatan
16. Egois
17. Hari ini datang
18. Berubah
19. Surat Kaleng
20. Pengakuan
21. Rival
22. 20-22/11/2015.
23. Sebuah Jebakan
24. Tolong
25. Kaisan Arsya Percival
26. Arsya dan Rival
Announcement
27. Love you, Goodbye
28. Let Me Love You [END]
EXTRA PART
EXTRA PART [ii]: SURPRISE!

3. Masa Lalu

5.5K 283 43
By kainansetra

Aileen POV

"Alin bangun! Kamu lihat itu jam! Mau telat lagi kamu?! Kemarin kamu sudah dapat surat peringatan dari sekolah, Leen, Ayo cepat bangun!"

Huh. Suara itu membangunkanku dari mimpi indah.

Kalau saja aku tidak terbangun, mungkin saat ini diriku masih berada di Disney Land bersama Iqbaal CJR! Jangan menertawakanku, karena aku memang nge-fans dengan Iqbaal.

"Berisik ah, Mom, Alin masih ngantuk." jawabku sambil menarik kembali selimutku.

"Astaga, Alin! Bangun cepat!" kata Mom mencipratkan wajahku dengan air, membuatku mengerjapkan kedua mataku kaget. "Alin kamu dengar Mommy ngga?!" lanjutnya.

"Iyaaa, Mommyku. Udah Mommy keluar aja dulu. Lima menit lagi Alin bangun."

Mom menarik paksa lenganku, kini aku terduduk dengan kedua mataku yang masih kubiarkan terpejam, "Lihat di dinding, sudah jam berapa sekarang?!" tanya mom sedikit membentakku.

Aku membuka sedikit mataku seraya melihat jam dinding yang bertengger di atas sana, "Setengah tujuh." jawabku malas, lalu menguap dan menggaruk kepalaku.

"Mandi sana cepat, Kamu bisa telat lagi nanti!"

"Bodo ah yang piket Bu Hotma ini." jawabku menidurkan kembali tubuhku di pacarku yang selalu setia menemaniku kapanpun aku butuh.

Kasur.

Benar apa kata orang, kasur adalah sebuah planet yang memiliki gaya gravitasi paling kuat.

"Terserah kamu lah, Lin, Mommy capek bilangin kamu." Mommy berjalan keluar dari kamarku, "Punya perawan kebo banget." gumamnya yang tentu saja masih bisa aku dengar.

"Hoaam." lagi-lagi aku menguap.

Semalam aku baru tidur tepat pukul dua dini hari. Akhir-akhir ini aku sering banget insomnia, padahal kegiatanku sebagai panitia sangat banyak, dan tak jarang membuatku merasa semua tulangku lepas.

Aku membuka layar ponselku, jadwal pelajaran terpampang jelas di layar benda berbentuk persegi panjang tipis ini. Aku sengaja menjadikan foto jadwal pelajaran sebagai wallpaper ponselku. Hanya satu tujuannya, agar memudahkanku untuk melihatnya kapanpun aku ingin.

"Jam pertama apaan sih," gumamku melihat lebih jelas layar ponselku,

"ASTAGHFIRULLAH!! MOMMY KENAPA GA BANGUNIN ALIN DARI TADI SI!"

⛅⛅⛅

"Makasih, Pak." Kataku sambil melepaskan seatbelt dan membuka pintu mobil.

Aku berlari secepat mungkin menuju sekolahku. Oh sial! Pak Mansur sudah menutup rapat gerbang sekolah. Aku baru ingat kalau hari ini di jam pertama ada ulangan Matematika, entah alasan apa yang harus aku keluarkan nanti kepada Bu Elis.

Aku mengeluarkan ponselku dari saku seragamku, kemudian membuka grup chat yang berisi sahabat-sahabatku.

AILEEN FANS CLUB (5)

Me: eeeehh!

Me: Gue baru sampe, pada dimana?

Fara: Kelaslah.

Alana: Si bego ngapa baru dateng coba, lo lupa hari ini ada ulangan?

Me: Kagaaa, gue inget kok

Me: Bu Elis udah dateng?

Alyssa: Belom, lagi motokopi soal.

Me: Alhamdulillah.

Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam saku kemeja seragamku. Kemudian aku duduk di warung depan sekolahku.

Beberapa detik kemudian, suara motor terdengar di telingaku. Aku menoleh melihat siapa yang telat juga sepertiku. Motor itu berhenti tepat di hadapanku. Lalu, pengemudinya membuka kaca helm yang dia gunakan. Huh, aku bernafas lega melihat siapa yang telat juga sepertiku.

"Leen." ujarnya menaikkan kedua alisnya, kemudian turun dari motornya dan berjalan ke arah pak Mansur yang tengah menyeruput kopi hitam.

"Misi, Pak," Pak Mansur menoleh, "Kami ada ulangan matematika, Pak." lanjut Raymond.

"Lah terus? Aye kudu ape?" tanya Pak Mansur dengan logat Betawinya yang khas.

Aku berlari kecil menghampiri Raymond dan juga Pak Mansur, "Tolongin, Pak, pliiiis, masa depan saya bisa ancur nih, Pak kalo ngga ikut ulangan." bujukku. Sedikit lebay memang.

"Et dah, Neng, masa depan lu bakalan tetep ancur kalo lu bangun kesiangan mulu." Jawab Pak Mansur, membuatku menyeringai seraya menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal.

Pak Mansur berdiri, "Bentar. Diem-diem lu berdua di mari, aye mau panggil bu Hotma dulu." lanjutnya.

Aku menghembuskan nafas lega. Kemudian bersandar di pagar sekolahku sembari memerhatikan Raymond yang tengah menaiki kembali motornya.

"Motor baru tuh, Ray."

"Yoi!"

"Halah paling boleh betak dari bengkel."

"Kalo ngomong." Raymond menyalakan mesin motornya, lalu memainkan suara knalpotnya, "Gimana? Keren kan gue." ujarnya seraya menepuk tangki bensin motornya.

"Kaga biasa aja." Jawabku datar.

"Butuh waktu bertahun-tahun nih buat gue dapetin nih motor." sahutnya mematikan kembali mesin motornya.

"Demi Allah gue kaga nanya, Ray."

"Aileen kau lagi rupanya yang telat! Dan siapa itu?" Bu Hotma menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas Raymond yang sedang turun dari motornya. "Kau pula Raymond! Kalian berdua tak ada kapok-kapoknya ya!" lanjutnya.

Guruku yang satu ini berasal dari Medan dan logat bahasa daerahnya masih sangat kental. Terkadang, kalau beliau sedang mengajar, logat Medannya masih keluar. Tidak jarang, gerombolan laki-laki di kelasku sering mengolok-olok Bu Hotma.

"Apalagi alasan yang akan kau gunakan Leen? Ray?"

"Kesiangan, Buuu." jawabku dan Raymond berbarengan.

Bu Hotma menggelengkan kepalanya, kemudian beliau mencatat namaku dan juga nama Raymond di buku poin. Poin yang dimaksud bukan poin prestasi, melainkan poin perlakuan buruk yang sudah kami lakukan.

"Saya akan berikan kalian dua puluh poin." ujarnya.

Itu tandanya nyawaku di EHSH berkurang dua puluh lagi. Kami sebagai siswa siswi East Hamptons Senior High School memiliki sebuah peraturan yang sangat susah untuk di laksanakan. Jika poin pelanggaran kami sudah mencapai angka seratus, berarti kami harus di Drop Out dari sekolah ini. Yaa paling minimal banget tidak naik kelas.

"Yah Bu jangan dua puluh Bu, dua aja gimana?" kata Raymond berusaha menawar. Penawaran yang sangat sadis. Ibu-ibu rempong aja kalau nawar baju ngga sampai segitunya.

"Tidak! Saya inginnya dua puluh. Kalian berdua sudah kelewatan! Sudah hampir tiap hari telat dan tak pernah kapok!"

"Ya tapi jangan dua puluh juga bu, kurangin dikit kek."

"Mau dua puluh atau lima puluh?!"

"Hah?! Engga bu enggaaa. Dua puluh aja gapapah saya ikhlas." kataku sembari mengusap dadaku. Kesalahan sendiri harus di terima dengan lapang dada.

Raymond berdesis kesal sambil memutar malas bola matanya, "Yaudah kita berdua boleh masuk ya, Bu?" kata Raymond.

Bu Hotma mengangguk, membuatku bisa bernafas lega, "Pak Mansur, tolong bukakan gerbang ni." Perintah Bu Ani pada Pak Mansur.

Pak Mansur membuka gerbang sekolahku. Setelah gerbang tebuka lebar, aku langsung berlari secepat mungkin. Kelasku terletak di pojok lantai empat. Untung sekolah ini ada lift. Jadi, aku tidak perlu buang-buang nafas hanya untuk sampai ke kelas.

Aku mengetuk pintu kelasku. Tuhan, semoga bu Elis belum dateng. Decitan yang dihasilkan oleh pintu ini terdengar saat aku membukanya secara perlahan. Kepalaku melongok melihat ke dalam kelas,

"Selamat siang Aileen, telat lagi?"

Sial!!

⛅⛅⛅

Kriiing!

Aku bernafas lega mendengar suara bel istirahat berbunyi. Bu Elis keluar dari kelasku, sebelumnya, beliau sempat melirikku sekilas dengan tatapannya yang begitu menyeramkan.

Aku menurunkan kaki kiriku ke lantai. Pegal sekali rasanya.

Yap! Tadi, aku kena hukuman dari bu Elis. Sebenarnya hukuman yang kudapat adalah hukuman yang sangat classic. Hanya berdiri di depan kelas, dengan kaki kiri terangkat dan kedua tangan yang tersilang memegangi telinga. Tapi melakukan hal seperti itu selama hampir sembilan puluh menit cukup membuat kaki ku mati rasa.

"Assalamu'alaikum." kata Raymond sembari menutup pintu kelas. Gila! Ini anak baru masuk kelas? Dari mana saja dia! "Leen, ngapain lo disitu?" lanjutnya menatapku jenaka.

"Mejeng!" sahutku berjalan ke tempat dudukku lalu membanting tas sekolahku di meja dan menidurkan kepalaku di atasnya. "Hari sial!" sungutku.

"Makanya bangun pagi-pagi." cibir Alana.

Nesya berbalik dari tempat duduknya menghadapku, dia tertawa melihat wajah kusutku, "Lagian ngga biasanya dateng setelat ini, Leen." ujarnya.

"Au amet ah."

Tok!tok!tok!

"Perhatian semuanya, gue minta waktu istirahat kalian sebentar." kata Daffa sembari mengetuk papan tulis.

"Yaelah, Daf, cacing-cacing di perut gue udah pada konser ini. Mau ngapain sih?"

"Ntar mie ayam mpok keburu abis, Daf."

"Yaudah pada diem dulu makanya! Panitia jagain pintu!" perintah Daffa. Gila nih orang ngga tau apa kaki gue masih pegel banget.

Nesya beranjak dari tempat duduknya, kemudian dia berjalan menghampiri Daffa. Disusul dengan Raymond yang berjalan begitu santai. Di tangan Nesya ada selembar kertas. Sementara itu, panitia yang lain berjaga di depan pintu. Sementara aku? Duduk manis di kursiku.

"Aileen, Ngapain lo diem-diem aja disitu?!" ucap Daffa sedikit membentakku.

"Bacot lo ah! Kaki gue pegel, lo gak liat tadi gue diri selama sembilan puluh menit, hah?!" jawabku.

"Makanya jangan telat, Koala." Aku menoleh menatap seorang laki-laki yang sedang meluruskan kabel stik Play Stasion miliknya. Dia menatapku, kemudian senyum manis terukir di bibirnya. "Udah sarapan?" tanya Aiden.

Aku menggeleng lemah, lalu menidurkan kembali kepalaku di atas meja.

"Gue mau ngasih info tentang perjalanan kita besok. jadi mohon maaf kalau gue ganggu jam istirahat kalian." ujar Raymond.

"Yodah gece."

"Cepetan woi. Gue laper!"

"Iya iyaa, pada diem dulu dong.." ujar Nesya, kemudian dia mulai membuka lipatan kertas yang dia bawa. "Besok kumpul di komplek mutiara jam enam pagi. Bis udah stand by di sana dari jam lima. Jadi Nesya harap kalian ngga ada yang ngaret." lanjut Nesya mulai membacakan isi dari hasil rapat panitia beberapa hari yang lalu.

"Terus juga bawa baju seperlunya aja yaa. Alat mandi sama alat sholat jangan lupa. Oh iya! Nanti di malam kedua, kita akan ngadain pesta kostum. Jadi bagi kalian yang punya kostum yang menarik dibawa ya, misalkan kostum spiderman atau apa kek gitu."

"Yakali spiderman." celetuk Raymond.

"Emang kenapa?"

"Kayak bocah."

"Engga sih. Emang lo pikir Peter Parker itu bocah? Kan engga." sahut Nesya tidak mau kalah.

Aku heran sama mereka berdua. Setiap hari pasti ada saja hal yang mereka ributkan. Yang lebih membuatku heran, walaupun mereka sering ribut, kemana-mana pasti berdua. Tidak jarang temanku yang lain selalu berkatap "Dimana ada Raymond, pasti ada Nesya."

"Woy lanjutin gece!" teriak Rafi.

"Hehe iya maaf. Bagi yang punya penyakit khusus jangan lupa dibawa obatnya. Oke segitu aja yang mau gue sampein. Makasih atas perhatiannya."

Aku mengangkat kepalaku seraya menyapu pandanganku, Teman-temanku mulai berhamburan keluar kelas saat Nesya menyelesaikan ucapannya. Bunyi kriuk terdengar, membuatku langsung memegang perutku. Gue laper.

Aku berjalan menghampiri Aiden yang sedang memainkan Play Stasion bersama Agra, "Aideen..." ucapku.

Aiden menoleh sekilas, kemudian dia kembali fokus memainkan permainannya itu, "Apaan?" jawabnya.

"Kantin yuuk." ajakku.

"Ntar aku lagi-Ah gila! Hampir goal itu!" pekik nya seraya mengacak frustasi rambutnya, Aiden menoleh ke arahku lagi, "Sama yang lain gih, lagi seru." lanjutnya.

"Ih Nesya sama Fara lagi curhat-curhatan. Alana sama Alyssa ngga tau kemana."

Aiden berdesis, "Gra, gue ke kantin dulu." kata Aiden menaruh stik PS di lantai.

Aku tersenyum senang. Nah gini kek. Aiden berdiri dari tempat duduknya. Begitupun aku. Kami berjalan bersama. Tapi tidak dengan tangan yang saling berpegangan. Tangan kiri Aiden dimasukkan kedalam saku kiri celananya. Sementara tangan kanannya memainkan ponselnya.

Gue diduain lagi genks.

Seperti biasa, kantin selalu ramai dipenuhi para manusia yang sedang kelaparan. Suara riuh terdengar dimana-mana, meminta agar pesanannya segera dibuat. Dua kursi panjang dan juga satu meja yang cukup besar diujung sana masih tetlihat kosong.

Setiap hari aku dan temanku yang lain selalu makan di tempat itu. Bisa dibilang itulah lapak kami, sampai sekarang junior kami tidak ada yang berani duduk di tempat ini. Begitupun dengan senior-seniorku, lapak mereka berada di pojok kantin. Lapak mereka di penuhi oleh sampah dan juga beberapa gitar. Kalau istirahat seperti ini biasanya mereka semua akan menggoda para junior dengan lagu-lagu alay yang mereka ciptakan.

Aku dan Aiden berjalan ke tempat mpok Ida. Perutku lapar sekali. Langkah kami berdua terhenti saat kami berpapasan dengan seseorang. Seorang gadis yang kini sedang menatap Aiden tanpa berkedip.

Aku memutar malas kedua bola mataku saat melihat gadis itu. Menjengkelkan sekali dia! Berani-beraninya dia menatap Aiden saat di samping lelaki itu ada aku!

"Hai."

"Hai, Rin." Jawab Aiden.

Damn, Arin.

⛅⛅⛅


Nesya POV

"Hehe iya maaf. Bagi yang punya penyakit khusus jangan lupa dibawa obatnya. Oke segitu aja yang mau gue sampaikan Makasih atas perhatiannya." ujarku setelah selesai membaca beberapa hal yang harus di bawa untuk kegiatan esok hari.

Semua temanku langsung berhamburan keluar, setelah sebelumnya kami -panitia- sempat menyita waktu istirahat mereka. Aku berjalan ke kursiku yang berada di baris ketiga dari depan.

Tadi aku sempat menoleh ke arah Rayap, pandangan kami bertemu. Trying not to freak when you look at me.

Kalau aku boleh bertanya, salah tidak sih kalau aku memiliki sedikit rasa untuk Raymond?

"Nesyaaaaa!" teriak Fara memekakkan telingaku sembari menggigit lengan atasku. Sebuah kebiasaan Fara yang sangat menjengkelkan. Fara sering sekali menggigit lenganku seperti itu, tidak jarang gigitannya terasa sakit.

"Aw! ih Fara sakiiit." Ringisku sambil mengusap lengan atasku.

Fara tertawa kecil, "Gue seneng, Sya!" lanjutnya menggigit kembali lenganku.

Aku meringis kesakitan, "Iya, Far, iyaa. cerita cerita, seneng kenapa?" tanyaku.

"Gatau. Seneng aja haha."

"Ya senengnya kenapa Faranisa Maureen," aku menatapnya malas. Pasti tentang Agra. Bukannya menjawab pertanyaanku Fara malah tertawa sendiri. "Agra kan? Kenapa dia? Nembak Fara?" tebakku.

"Ih enggaaaa." Sahut Fara mengibaskan tangannya.

"Lalu?"

"Gatau ah pokoknya gue seneng." jawabnya dengan kedua matanya yang berbinar.

Pletak! Aku memukul kepala Fara dengan pulpen milikku, "Sakit, Sya." Fara mengusap kepalanya.

"Makanya cerita!"

"Ntar lo baca aja dah screenshoot-an gue sama Agra." kata Fara sembari melihat pantulan wajahnya di cermin, "Gue mau samperin Agra dulu. Bye, Sya!" lanjutnya melenggang pergi menghampiri Agra.

Aku melangkah keluar kelas. Mencari sosok bertubuh tinggi tegap, dengan alis tebal yang menghiasi wajah tampannya. Rayap.

Wait, barusan Nesya ngomong apa?

Tampan?

ngga salah, Sya?

Aku mendapati Rayap sedang berdiri di balkon tepat di depan kelasku, pandangannya serius memerhatikan gerombolan murid laki-laki yang sedang bermain bola basket.

"Rayaap!" teriakku.

Rayap tidak merespon omonganku. Kacang. "Rayap ih! Kuping lo tuli ya?"

Lagi-lagi Rayap mengabaikan ucapanku. Aku mendesis kesal sambil menghentak kasar kakiku, "Albercio Raymond!" teriakku lagi.

Dia menoleh, "Apa?" tanyanya.

Aku menatapnya malas, sementara lelaki itu malah menahan tawanya. "Dari tadi dipanggilin juga." Sungutku.

Rayap menautkan kedua alisnya. "Masa? Gue kaga denger. Gue dengernya lo manggil Rayap." Sahutnya menekan kata Rayap. Kedua mataku membulat mendengar apa yang baru saja dia ucapkan.

"Rayap itu kan lo!" jawabku kesal seraya mencubit kencang pinggang lelaki itu.

"Kata siapa? Gue Raymond, not Rayap."

"Bodo ah. Ke kantin gih, Ray."

Rayap menaikkan sebelah alisnya, "Ngapain?" tanyanya.

"Ya, Rayap makan apaan kek gitu di sana. Nesya mau nitip teh pucuk." jawabku seraya menyengir kuda.

Rayap menjitak kepalaku, membuatku meringis kesakitan. "Pemalas." cibirnya.

Bibirku mengerucut kesal, "Sakit tau." Sahutku, mengusap kepalaku. Rayap tertawa. Astaga tawa itu benar-benar terasa hangat,

"Ayo ikut." Rayap menarik paksa tanganku.

"Mau ngapain ih!"

"Katanya mau teh pucuk."

Oke ini pemaksaan,

Aku dan Rayap berjalan bersama. Lebih tepatnya Rayap jalan di depanku. Tanganku masih di tarik paksa olehnya. Langkahnya yang cepat membuatku sulit untuk menyamai langkahnya.

Bruk!

Aku menabrak punggung Rayap saat lelaki itu menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Hidungku terasa sakit sekali saat menghantam tulang punggungnya.

Aku memukul keras punggung Rayap, "Kalau mau berenti bilang-bilang kek! Jangan nge rem menda-Rio?" ucapanku terhenti saat melihat Rio.

Rio Jenaro.

Dia mantanku.

Hubungan kami hanya sebentar. Karena kalau boleh jujur aku menerima cintanya hanya karena tidak tahu cara menolaknya. Dia terlihat begitu tulus ketika menyatakan cintanya saat itu, Membuatku merasa tidan enak jika harus menolaknya.

Maafkan aku, Rio.

"Hai, Sya." Rio tersenyum hangat kepadaku.

Aku tidak pernah mengerti, mengapa Rio masih bisa bersikap sangat baik kepadaku setelah aku melukai hatinya.

Senyuman Rio memudar kala melihat tanganku dan tangan Rayap saling terpaut. Bukannya melepas pautan tangan kami, Rayap malah mengangkatnya ke udara,

"Kenapa, Bro? ngga seneng, hm?" sengit Rayap, membuat Rio menatap tajam kedua mata Raymond yang sedang memandang dirinya.

Oke, situasi ini sangat tidak enak.

"Rayap apaan sih." protesku kesal sambil menarik tanganku dari genggaman Rayap.

Aku menoleh ke arah Rio yang tengah menatap kami berdua dengan tatapan.. cemburu? Engga sya, lo salah. Nggak mungkin Rio masih nyimpen rasa cinta ke lo, setelah lo melukai hati dia tiga bulan yang lalu.

"Sori, Bro, kita duluan." ucap Rayap menarik paksa tanganku lagi.

Aku melirik ke arah Rio, dia tersenyum simpul saat pandangan kami bertemu, dan tentu saja aku membalas senyumnya.

Aku dan Rayap berjalan menuju stand minuman yang berada tak jauh dari pintu kantin. Kemudian aku mengambil satu teh pucuk. Teh pucuk adalah minuman favoritku. Aku juga tidak mengerti mengapa aku bisa sefanatik ini sama minuman teh berbotol itu.

Sementara itu kulihat Rayap mengambil sebotol air mineral, "Sya." ujarnya mengangkat botol air mineral tersebut.

Aku tau apa maksudnya. Apa lagi kalau bukan minta bayarin.

"Ih kemarin kan udah gue jajanin. Sekarang lo lah! Gantian sih."

Yap, aku dan Rayap memang memiliki sebuah kesepakatan. Kami sering mentraktir satu sama lain. Kalau hari ini aku traktir Rayap, besok dia yang akan membayari jajananku.

Rayap terkekeh pelan, "Iya, Neng, iyaa." Sahutnya, mengusap wajahku. Kemudian membayar minuman yang sudah kami pegang. Sementara aku mencari sosok teman-temanku. Dan ah! Itu dia.

Di ujung sana aku melihat Aileen, Aiden, dan.. Arin? Kenapa gadis itu ada bersama mereka berdua? aku memicingkan kedua mataku agar aku bisa melihat lebih jelas apa yang sedang mereka bertiga lakukan. Belum sempat aku menemukan jawabannya. Arin sudah berjalan meninggalkan mereka berdua. Meninggalkan Aileen yang masih memandang kesal gadis itu.

Sebuah tangan besar mengusap wajahku, "Liat apaan sih? Serius amat." siapa lagi kalau bukan Rayap si tukang iseng.

Aku melengos pergi meninggalkan Rayap, "Temaaaan terkadang memang suka membingungkan~" Rayap menyanyikan bait lagu itu.

Sepertinya dia menyindirku. Aku menoleh cepat sebelum lelaki itu kembali melanjutkan nyanyiannya, "Ayo cepet." ujarku melanjutkan kembali langkahku.

Aku menghampiri Aileen dan Aiden yang sudah duduk di kursi panjang kebangsaan kami. Haha aku menyebutnya kursi kebangsaan karena memang kursi ini hanya di tempati oleh aku dan teman dekatku saja. Anehnya, tidak ada yang berani menempatkan kursi ini. Padahal aku baik baik saja jika ada yang ingin bergabung dengan kami, atau hanya duduk sambil makan, menurutku hal itu tidak bermasalah sama sekali.

"Leen." sapaku.

Aileen menoleh, matanya menyiratkan sesuatu yang bisa ku baca Arin sialan! Itu yang bisa kubaca. Kemarahan dan kecemburuan sangat tampak jelas di kedua matanya, "Duduk, Sya." jawabnya, menepuk kursi kosong di sampingnya. Aku mengangguk seraya mendudukkan tubuhku di kursi kosong itu. Rayap duduk tepat di hadapanku. Sementara Aiden di samping Rayap.

"Ntar nge-pes Ray, gue bawa stik noh diatas."

"Halah palingan lo kalah lagi ama gue." Dasar cowok belagu.

"Ngga makan, Sya?" tanya Aileen yang sedang mengaduk mie ayam.

"Penuh banget, males ngantrinya." jawabku sembari mengedarkan pandanganku ke kios kios yang di penuhi oleh murid EHSH.

"Assalamualaikum." aku menoleh dan mendapatkan Agra, Fara, Alyssa, Adshkan, Alana, Angga. Mereka berenam duduk mengisi kursi yang masih kosong.

"Mau dong." ujar Fara mengambil alih mie ayam milik Aileen. Diikuti oleh Alyssa dan juga Alana.

"Kane njir, beli kuy, Lyss." ajak Fara.

"Kuy!" jawab Alyssa

"Eh gue nitip!" teriak Alana

"Ogah! Beli ndiri." jawab Fara. Alana berdiri menyusul Fara dan juga Alyssa.

Tak lama kemudian Aiden ikut berdiri sembari mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan itu.

"Aku ke atas dulu." ujarnya pada Aileen.

Aileen mengangguk tanpa menanyakan sesuatu pada Aiden. Kemudian lelaki itu berjalan keluar kantin. Ponselnya dia biarkan tergeletak di atas meja. Dan kalian pasti sudah bisa nebak apa yang dilakukan Aileen.

Ya! Aileen mengambil ponsel Aiden yang berlogo sebuah Apel yang sudah di gigit sedikit.

"Keponya kumat ya, Leen." ujarku.

"Asli! Penasaran gue."

"Hati-hati aja nyesek." jawabku asal. Beberapa detik kemudian benar saja ucapanku.

Aileen memicingkan matanya sembari memainkan ponsel Aiden. Keningnya mengernyit.

Aku tahu apa yang dilihat Aileen walaupun aku tidak melihat ponsel Aiden secara langsung. Yang pasti ini ada hubungannya dengan ..

Masa lalu Aiden.

🎭🎭🎭

Geandert's Cast

Arin Claudia Sevhanie
uname ig: @arinsevhanie

Rio Jenaro

Continue Reading

You'll Also Like

662K 8.8K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
68.8K 2.5K 25
"You've been dared. Kiss him!" [red]
40.5K 3K 11
[SHORT STORY] Tentang Dafa yang selalu memprioritaskan Rena dalam hidupnya, bahkan melebihi dirinya sendiri.
476K 17.7K 32
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...