Pemeran Utama

By dinrcy

850 82 127

Aku dan kamu, Hanyalah seorang aktor kehidupan. Saling bertemu dalam sebuah drama romantika. Sama-sama tidak... More

Babak 1 - Tokoh Baru
Babak 3 - Potret
Babak 4 - Maaf
Babak 5 - Kenyamanan Baru

Babak 2 - Mendekat

154 23 30
By dinrcy

Sometimes we meet a person who just clicked to us

We are comfortable with them, like you have known them in your whole life

We do not have to be anyone or anything

So we choose to be friends.

-=.=-

Ini gila!

Satu kelas dengan Rezvan? Not a chance! Rasanya aku ingin melayangkan petisi untuk memindahkan Rezvan ke kelas lain. Tapi itu adalah hal konyol mengingat alasanku adalah karena aku tidak ingin satu kelas dengan pria aneh tak tahu diri yang aku temui dua hari lalu itu. Aku benar-benar ingin menendangnya keluar.

Rezvan masih berdiri di depan kelas. Melakukan sesi perkenal dirinya dan sesi tanya jawab dari seluruh warga kelas yang terlihat tertarik dengan murid asal Canberra itu. Namun, dari semua orang yang ada, aku menemukan Kirta yang memandang Rezvan dengan tidak biasa. Tatapannya memuja. Apa dia menyukai Rezvan? HAH! Jangan bercanda!

Lagi pula tidak ada yang menarik dari Rezvan. Okay, let me think. Aku memandangi Rezvan lalu menilainya. Dia tergolong tinggi dengan postur tubuh atletik. Rambutnya hitam tebal dibiarkan berantakan. Kulitnya tanned. Entah karena memang bawaan lahir atau dia terlalu sering terpapar panas matahari. Harus aku akui dia memiliki wajah cukup tampan. Suaranya yang dalam cukup menggoda. Yah, setidaknya aku berusaha objektif dengan penilaianku. Tapi itu tidak cukup menghentikanku menilainya sebagai laki-laki pengoceh tak tahu diri itu.

Kepala Sekolahku, yang secara khusus mengatar Rezvan ke kelas, memersilahkan Rezvan duduk di bangku yang sudah kosong selama beberapa bulan ini. Rezvan mengangguk kemudian segera berjalan ke arah kursi di belakangku. Tapi kemudian dia menghentikan langkahnya tepat di sampingku.

"We meet again, Miss."

Demi Tuhan! Aku tidak bisa membayangkan bahwa aku akan menghabiskan dua tahun masa SMA yang berhaga dengan pria aneh tak tahu diri seperti Rezvan. Terlebih dia mengambil bangku milik Kin! Aku tidak menyukainya!

-=.=-

Sudah beberapa hari ini Rezvan menjadi sandera Kirta. Bersama kawanannya –Ailin dan Litta, tentunya. Mereka menawarkan diri menjadi pemandu yang akan menjelaskan detail tentang sekolah ini hingga mengajaknya ke kantin dan memerkenalkan menu andalan yang ada. Tawaran itu hanya bersifat sebelah pihak karena sebelum Rezvan sempat menyetujui, Kirta sudah menyeretnya.

Well, sebenarnya aku cukup berterimakasih karena dengan begitu aku tidak perlu menghadapi Rezvan. Beberapa kali dia terlihat mencoba untuk mendekatiku untuk memberikan ocehannya sebelum akhirnya dia digiring menjauh oleh Kirta.

Belum sempat aku duduk di atas apron, seseorang masuk secara tiba-tiba. Suara dobrakan pintu itu cukup membuatku kaget. Pelakunya berlari ke arahku lalu segera menjatuhkan beban tubuhnya di anak tangga panggung ini. Napasnya memburu. Seragamnya basah oleh keringat.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau ada seorang maniak di kelas kita?"

Alisku menyatu. Tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Lalu aku menanyakan siapa yang dia maksudkan dan kenapa dia terlihat kacau seperti ini.

"Aku melarikan diri dari Kirta. Dia maniak yang aku bicarakan."

Aku ingin tertawa dan aku tidak bisa menahannya. Tawaku terlepas begitu saja. Sumpah! Ini lucu! Kirta, everyone's lovely girl turns out to a maniac.

"Jangan tertawakan aku! Dua minggu ini aku sudah cukup tersiksa dengan menjadi tawanan Kirta and her pack."

"Mereka tertarik sama kamu."

"Sungguh, aku tidak mengerti mereka. Aku bahkan tidak meminta mereka untuk mengikutiku atau menunjukan ini itu. Itu membuatku tidak nyaman."

Aku mengangguk menyetujui. "Aku juga nggak tahu kenapa mereka bisa tertarik sama kamu. Aku nggak nyangka kalau kamu nggak suka dan nggak nyaman sama mereka."

"I am fine with just me. They should stop."

Aku tersenyum kecil. Aku tidak menyangka tahu kalau Rezvan merasa tidak nyaman terhadap Kirta. Maksudku, semua orang menyukai Kirta. Dia menarik, cantik, pintar, kaya dan mudah bergaul dengan siapa saja. Aku bersumpah kalau dia tidak bersikap menyebalkan padaku, aku akan menyukainya. As friend of course. Tapi nyatanya, Rezvan tidak peduli. Sangat berbeda dengan laki-laki kebanyakan yang biasanya langsung tertarik dengan Kirta.

"Gimana kalau Kirta suka sama kamu?"

Alis Rezvan terangkat sebelah. Terlihat dia memikirkannya. Tidak lama dia bergumam kemudian menjawab, "aku tidak menyalahkannya karena jatuh pada pesonaku. Itu haknya dan bukan salahku. She's cute tapi aku tidak tertarik."

Senyumku melebar. Entah untuk apa aku senang mendengarnya. Rezvan yang tidak tertarik dengan Kirta.

"Justru aku tertarik padamu."

Seriously? Aku menatapnya tidak percaya. Dia benar-benar tidak tahu diri. Memang keputusan yang salah untuk meladeni kata-katanya.

"Jangan bercanda!"

"Bagaimana kalau aku serius?"

Belum sempat aku menjawabnya, Rezvan mendudukan dirinya, menyejajarkan pandangan matanya dengan mataku. Pastilah aku ingin merutukinya. Tapi lidahku kelu dan mulutku terkatup rapat enggan terbuka. Jarak yang kurang dari sejengkal itu membuatku canggung dan mendadak kaku.

Aku tidak berani bertaruh apakah dia serius atau tidak. Tapi, saat kedua bola mata yang hitam sempurna itu menatapku tanpa bergerak sedikitpun, aku tahu dia tidak bercanda. Oh demi Tuhan! Akan lebih baik menanggap dia seorang player atau aku akan menjadi gila memikirkannya! God! This is insane!

Aku tersentak. Suara decitan pintu menyadarkanku. Segera aku menambahkan jarakku dengan Rezvan. Sial! Kenapa aku jadi salah tingkah begini. Sementara Rezvan terlihat santai seolah tidak ada apapun yang terjadi. Errr... sepertinya memang tidak terjadi apa-apa. Apakah aku bereaksi berlebihan?

"Oit! Apa aku mengganggu?" Ryan menggerling usil. Seragam sekolahnya sudah berganti menjadi seragam latihan klub basket.

"Nggak ganggu kok. Lagian kami juga nggak ngapa-ngapain." Aku menjawabnya. Sementara Rezvan mengangguk. Menguatkan argumenku.

Ryan menyipitkan matanya. "Kalian mencurigakan."

Aku berdecak. "Terserah mau percaya atau nggak." Sekali lagi Rezvan hanya mengangguk.

Ryan tertawa kecil saat menghampiri kami sambil melakukan dribble.

"Gimana kalau gue laporin ke pangeran lo itu?" tanyanya disertai cengiran lebar.

Aku mendengus. "Jangan asal deh, Yan!"

Ryan tergelak. Dia menghentikan aksi dribble-nya lalu mengalungkan tangannya di leher Rezvan. "Van, lo tahu nggak kalau Shana ini udah punya cowok?"

"Aku tahu," jawabnya enteng. "Aku jadi lebih tertarik."

Aku menatap Rezvan tajam. Dasar pengoceh tak tahu diri! Meracau tidak jelas!

"Kalau lo tertarik sama Shana, usaha terus aja. Paling bentar lagi juga bakal ditinggal. Eh, sekarang juga udah di tinggal!"

"RYAN!!" Aku memekikan namaya dengan kesal. Sementara dia tertawa terbahak-bahak. Rezvan juga ikut tertawa. Ah! Mereka menyebalkan!

"Mending lo latihan aja daripada ngusilin gue."

"Ini hari Rabu, Non! Jadwalnya latihan di Aula Besar."

Ah, iya, aku lupa! Hari Rabu memang jadwal klub basket berlatih di lapangan basket indoor di dalam Aula Besar.

"Lagian lo dicari Pak Arif. Temuin gih."

"Kok nggak bilang dari tadi, sih?"

"Lah! Makanya gue kesini nyamperin lo buat ngasih tahu. Gue udah tahu lo bakal ada di panggung. Sekalian gue mau latihan basket."

Aku berdecak kesal. Setelah merapikan barangku, dengan setengah berlari, aku menuju ruangan Pak Arif.

Pertemuanku dengan Pak Arif tidak berlangsung lebih dari 15 menit. Pak Arif hanya ingin mengonfirmasi jadwal pendalaman materi untuk olimpiade fisika tingkat nasional yang akan diadakan dua bulan lagi. Kami sepakat untuk mengadakan pemadatan materi selama dua minggu penuh sebelum kompetisi berlangsung. Setelah menutup pintu ruang guru, aku dikejutkan sosok Rezvan yang sudah berdiri di belakangku.

"Gosh! You surprised me!"

Tampaknya dia tidak memedulikan keterjutanku. Dia hanya tersenyum kemudian berkata, "Tidak kusangka aku menemukanmu di sini lagi, Miss."

Menemukan katanya? Memangnya dia pikir aku ini sebuah barang? Tapi tunggu dulu, apa artinya dia mengikutiku? Well, aku rasa lebih baik aku tidak memerdulikannya dan meninggalkannya. Aku tidak mau melakukan percakapan bodoh dan meladeni ucapannya seperti saat di Aula Besar tadi. Itu kesalahan fatal.

"Hey! Tunggu aku, Miss!"

Rezvan menyejajari langkahku yang mengarah ke gerbang. Hening beberapa saat. Kemudian, dia mulai membuka mulutnya. Dari menanyakan siapa Pak Arif, untuk apa aku menemuinya hingga kenapa aku belum pulang sampai sesore ini. Tapi, tidak ada satupun yang aku jawab.

"Hey, Miss! I'm talking to you."

Aku masih mendiamkannya. Dia mengibaskan tangannya di depan wajahku di kali ketiga dia menegurku. Dan aku masih tetap diam. Bahkan hingga saat dia menegurku kelima kalinya.

Hampir saja aku menabraknya saat dia tiba-tiba menghadangku. Berdiri tepat di depanku.

"Answer me!"

Aku masih mengacuhkannya.

"Aku percaya kalau kamu orang yang punya tata karma. Jadi jangan acuhkan aku!"

Aku menatapnya. Saat mataku disambut kedua mata yang pekat itu, aku teringat saat dia menatapku di Aula tadi. Aku menolak menatapnya lebih lama dan menyapukan pandanganku ke arah lain. Wajahku memanas. Lalu aku menjawabnya, "It's okay that you are talking to me but we're not having a conversation."

"So let's make one then."

Aku menggeleng. "Maaf, tapi aku tidak tertarik."

"But we've made it."

Alisku mengkerut. Menuntut penjelasan lebih lanjut.

"Aku tahu dengan jelas perbedaan konsep antara berbicara dan percakapan milikmu itu. Percakapan itu komunikasi dua arah. Aku mengatakan sesuatu dan kamu menjawabnya. Kita sudah melakukannya tadi. Jadi kenapa tidak dilanjutkan saja?"

Aku mendesah. Memilih mengalah. Toh aku masih punya beberapa menit sebelum Gian menjemputku. Lagipula menunggu tidak akan terasa sepi dengan seorang teman.

"Tapi berhenti memanggilku 'Miss'!"

Rezvan tertawa kemudian mengangguk.

Yang terjadi selanjutnya adalah percakapan kami mengalir alami. Jujur aku bukan tipikal gadis yang cepat dekat dengan orang baru bahkan cenderung memberi batasan. Sebelumnya, aku mengira aku akan merasa canggung. Aku masih menjadi pendengar dominan. Tapi, Rezvan berhasil mencairkan suasana. Aku tidak merasa jengah dan tidak perlu berpura-pura menikmati percakapan kami. Justru Rezvan berhasil mengundang tawaku sesekali.

Semakin lama aku semakin tertarik dengan gaya bicaranya. Cara bicaranya yang sedikit kaku dan baku meski dia memiliki pelafalan bahasa Indonesia yang fasih. Aku akui dia ini pengoceh handal. Hanya saja aku merasa kalau ocehannya sekarang jauh dari kesan tidak-tahu-diri, lengkap dengan gestur dan mimiknya yang kaya.

Terlebih saat dia membicarakan kamera. Hal yang sangat ia sukai. Dia terpesona dengan kamera yang bisa mengabadikan sesuatu dengan konsep membekukan kenangan. Dia sadar bila suatu saat kita akan merindukan beberapa momen yang dirasa spesial. Bahkan momen yang dianggap tidak penting dan dipandang remeh pasti akan dirindukan di masa depan. Karena menurutnya dalam hidup ini tidak ada yang tidak patut untuk dikenang. Untuk itulah kamera diciptakan. Untuk mengenang suatu kenangan karena beberapa waktu dalam hidup tidak dapat diulang. Untuk alasan itulah dia jatuh cinta pada kamera.

Aku diam menikmati narasinya. Aku masih dengan setia mendengarkan Rezvan bercerita dengan matanya yang berbinar-binar. Dia tidak bisa behenti tersenyum. 

Saat kami hendak berpisah, perasaan kecewa sedikit menyelinap. Aku sedikit menyayangkan kenapa Gian datang secepat itu datang. Harus aku akui kalau obrolan kami berlangsung terlalu menyenangkan. Aku sangat menikmatinya dan tidak rela untuk mengkahirinya.

"Shan!"

Rezvan memanggilku saat kami sudah berada di gerbang sekolah. Nama panggilan itu terasa sedikit asing, tapi aku senang mendengarnya.

"Ya?"

"It's feels nice talking to you."

Aku mengangguk dan tersenyum.

- cut-

Continue Reading

You'll Also Like

1M 102K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
993K 146K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
3M 151K 62
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
2.8M 302K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...