LOVELY NATALIE ✅ (SUDAH CETAK...

Autorstwa dindinthabita

67.8K 1.8K 56

Natalie, gadis remaja kelas 3 SMA NEGERI populer di Jakarta. Berwajah ayu dengan gerak geriknya yang anggun d... Więcej

BAB 1: PERTEMUAN
BAB 2
BAB 3
BAB 5
KARAKTER DAN TOKOH LOVELY NATALIE
COMING SOON #LOVELY KARENINA : LOVELY SERIES
TEASER LOVELY KARENINA
SEKUEL SUDAH PUBLISH

BAB 4

2.3K 242 11
Autorstwa dindinthabita

mohon Vote and Commentnya ya reader tercintaaaa ^^....

Natalie keluar dari kamarnya esok paginya ketika dilihatnya Natasha yang berlari turun dengan cepat melintasinya. Dia mengernyitkan hidungnya yang mencium aroma parfum adiknya yang menguar pekat menggelitik penciumannya. Dia memiringkan kepalanya untuk melihat penampilan Natasha pagi itu dan dia mengulum senyumnya melihat pagi itu Natasha menguncir rambut cokelatnya.

Natasha mengangkat matanya saat dia duduk berhadapan dengan Natalie di meja makan. "Ada apa?" tanyanya pendek.

Natalie menekan dagunya dengan telapak tangannya dan menjawab manis. "Cantik banget pagi ini?"

Pipi Natasha merona merah dan dia menjawab cepat, "Mau pergi bareng sama Marshal". Kemudian dia menatap tajam kakaknya yang masih tersenyum padanya. "Jangan muncul duluan ya!" dia menuding wajah Natalie dengan garpu ditangannya.

Tanpa menghapus senyum dari wajahnya, Natalie mengangguk. "Ngapain juga muncul duluan. Masih awal banget ah kalau mau berangkat sekarang," Natalie tertawa menggoda meskipun sepertinya Natasha tidak tertarik dengan godaannya terbukti adiknya itu segera bangkit dari duduknya dan berlalu begitu saja dari pandangannya.

Natalie sejenak termenung mendapati sikap tidak bersahabat Natasha yang mengira bahwa dirinya akan tertarik pada Marshal. Natalie mendengus dengan tertawa kecil seraya meraih sendoknya. Dia makan sarapannya dengan hati riang karena semalam dia memimpikan Kak Alinya yang dikaguminya.

Tanti muncul dari tamannya saat Natalie keluar dari ruang makan sambil menenteng tas sekolahnya. Wanita itu berdiri dengan heran bersama kedua tangannya yang masih memakai sarung tangan tanamannya.

"Lho, Nata? Kok gak bareng Tasha?" tanya Tanti heran. Seingatnya tadi Natasha sudah berangkat sekolah dengan terburu-buru mencium tangannya.

Natalie menatap ibunya dan tersenyum samar. "Tasha bareng Marshal, Ma. Nata pergi dulu, Pak Mamat pasti sudah menunggu didepan," sedapat mungkin Natalie tidak ingin Tanti menyadari bahwa belakangan ini Natasha tidak akrab dengannya karena Marshal.

Tanti menggelengkan kepalanya menatap kepergian Natalie yang santai. Dia bercakak pinggang dan menggembungkan kedua pipinya tepat suaminya, Surya,  muncul dengan pakaian lengkap hendak ke kantor.

"Ada apa Ma?"

Tanti menoleh suaminya dan bergumam pelan. "Rasanya Mama melihat gelagat gak beres sama kedua anak itu, Pa".

Surya tertawa dan menepuk lengan isterinya untuk menenangkan. "Gak ada yang aneh kok Papa lihat mereka".

****

Natalie berdiri didepan pagarnya menanti Pak Mamat mengeluarkan mobil dari garasi ketika didengarnya suara deru motor dibelakangnya. Dia menoleh kebelakang karena derunya yang cukup berisik. Natalie terpaku menatap siapa yang berada diatas motor besar itu yang sedang menatapnya dari balik helm full face. Sepasang mata kelam semalam malam tampak menentang pandang matanya membuat jantung Natalie bagai dentum drum yang berbunyi keras menghantam dinding hatinya.

"Kak Ali?"

Ali membuka helmnya dan memeluk benda itu dipinggangnya setelah dia mematikan deru motornya. Dia menatap Natalie yang melongo memandang dirinya. "Mau berangkat ke sekolah?" pertanyaan singkat itu menyadarkan Natalie dari pesonanya.

Natalie tergagap dan seketika wajahnya merona bagai udang rebus mendengar pertanyaan itu. kayanya Kak Ali mau nganterin ke sekolah. Tapi...gak mungkin ah!, pikir Natalie membantah dirinya sendiri.

Suara berikutnya justru bertolak belakang dengan pikirannya yang polos. "Mau bareng?" suara berat itu terdengar tidak sedingin biasanya sehingga menimbulkan getaran manis di hati remaja Natalie. Mata beningnya menatap lekat mata kelam pria dewasa didepannya itu yang entah saat itu bagai seorang Sinbad yang siap menculiknya. Ada senyum kecil terukir disudut bibir Natalie. Dia siap diculik jika sosok Sinbad itu adalah Kak Ali!

Alis hitam Ali berkerut heran melihat senyum Natalie lebih muncul duluan daripada jawaban gadis itu. diam-diam dia menghela napas sambil menunduk. Jangan-jangan ajakan itu salah diucapkannya. Ali menggerakkan tangannya siap kembali memakai helmnya. Dia melotot pada Natalie dan berkata pendek. "Ya udah, ajakannya gak jadi deh..." kalimatnya terhenti saat dirasakannya rasa nyeri pada kulit kepalanya. Dia menatap Natalie dengan garang ketika mengetahui bahwa gadis itu menarik kuncir rambutnya.

Natalie menarik lepas tangannya dari segumpal rambut gemuk hitam yang dicengkramnya dengan tersipu malu. Dia merapikan anak rambut disamping telinganya. "Mau...mau kak.."

Ali mendengus membuang mukanya ke samping untuk menyembunyikan semburat merah yang mewarnai wajah dinginnya. Cepat dia menutupi itu semua dengan memakai helmnya dan berkata datar. "Cepat naik".

Natalie menatap punggung lebar yang ditutupi jaket kulit dan menoleh pada Pak Mamat yang ternyata telah berdiri bingung dibelakangnya. Ditangan pria tua itu telah tergantung kunci mobil. Natalie tersenyum lebar dan melambai Pak Mamat dan berkata riang. "Pak Mamat anterin Papa aja ya. Nata bareng Kak Ali".

Natalie beralih kearah Ali dan dia melongo melihat bahwa motor itu tanpa penumpang dalam keadaan mesinnya masih hidup. Dia menoleh kiri kanan dan tatapannya terpaku pada Ali yang berjalan cepat keluar dari pagar rumah tante Wanda. Dia masih merasa heran mengapa pria itu kembali kedalam rumah dan keheranan itu lenyap ketika dengan kaku Ali memakaikan helm half face pada kepalanya.

"Pakai itu". Dan tanpa menunggu jawaban Natalie, dia berjalan kearah motornya dan menaikinya. Dia menoleh kebelakang dan menggerakkan kepalanya member tanda agar Natalie segera naik keboncengan.

Natalie berusaha keras mengendalikan debur jantungnya yang dari tadi terus menghentak keras dadanya seakan nyaris membuncah lepas. Dia menyembunyikan senyum bahagianya dan mengelus sisi samping helm itu dan menaiki boncengan motor itu dengan duduk menyamping.

Suara mesin terdengar membesar saat Ali memasukkan perseneling membuat tanpa sadar kedua tangan Natalie bergerak kedepan mendekap pinggang Ali. Sontak dia menarik lepas tangannya sebelum mendapat protes dari Ali, namun hingga motor perlahan berjalan meninggalkan komplek sama sekali tidak ada protes dari pria dingin didepannya. Natalie menunduk dan memberanikan dirinya untuk memegang kedua ujung jaket itu dan menggigit bibirnya. Berdoa supaya Ali tidak memarahinya. Tapi hal itu tak kunjung tiba dan hatinya mulai menikmati jalanan padat Jakarta pagi itu. Dia merasakan angin lembut menerpa rambut tergerainya di punggung. Ternyata Jakarta yang begitu macet dapat begitu indah dinikmati jika hati sedang gembira.

Selama dalam perjalanan menuju sekolah Ali bukan tidak tahu bahwa diawal Natalie sempat memeluk pinggangnya walaupun setelah itu gadis itu melepaskannya. Kemudian ditengah perjalanan dia menunduk dan mendapati sepasang tangan putih tengah mencengkram erat ujung jaketnya. Melalui spion kanan, Ali melihat wajah kemerahan gadis remaja yang berada di belakangnya yang tampak menikmati suasana pagi itu. dibalik helmnya senyum Ali merekah dan dia juga memutuskan menikmati suasana pagi yang cerah itu. Rasanya cukup nyaman berbagi diawal pagi bersama Natalie. Itu adalah pikiran yang muncul dibenak Ali untuk pertama kalinya.

Bagi Natalie sampainya dirinya pada area sekolahnya sangat begitu cepat. Dia masih ingin bersama Ali lebih lama tapi pria itu dengan tenang menghentikan laju motornya tepat 500 meter dari gerbang sekolah. Ali mematikan mesin motornya dan menoleh kebelakang dimana Natalie masih belum turun dari boncengannya.

"Apa perlu digendong turun dari motor?" pertanyaan Ali yang bernada dingin sama sekali tidak membuat Natalie terganggu sebaliknya gadis itu malah menentang pandang mata Ali dibalik helmnya.

"Kenapa hanya sampai disini?" Natalie bukanlah tipe gadis yang penuntut dan manja namun entah mengapa sifat itu tiba-tiba muncul jika dia berhdapan dengan Ali. Membuatnya segera sadar dan membuang mukanya dengan malu.

Ali memandang Natalie dan memahami protes gadis itu yang terpaksa harus berjalan menuju gerbang sekolahnya. Dia memarkir morotnya dan turun dari benda itu. dia berdiri tegak dihadapan Natalie yang masih ngotot duduk di boncengannya. Tangannya terulur kehadapan Natalie.

"Turunlah dan kemarikan helmnya".

Wajah Natalie merasa panas dan dengan patuh dia turun dari boncengan. Dia melepas helmnya dan menyerahkan benda itu ke tangan Ali. Sekilas dia menatap wajah yang masih saja berada dibalik helm full face itu dan mendapati terdapat sorot lembut disana. Karena pada dasarnya Natalie adalah anak yang dapat menekan perasaannya, dia segera dapat membuang perasaan kecewanya dan menciptakan senyum tulusnya.

"Terima kasih, Kak". Natalie tersenyum lebar dan berlari cepat menuju gerbang sekolahnya dan mencoba berbaur dengan para siswa yang juga sedang berjalan pelan kearah yang sama.

Rambut panjangnya terlihat sedikit berantakan dan itu dapat dilihat oleh Ali yang menatap gadis itu dari kejauhan. Sebuah helaan napas keluar dari celah bibirnya dan dia melepas helm yang terasa pengap dikepalanya. Dia menyandarkan tubuhnya ditepi motornya dan menatap langit cerah pagi itu. dedaunan hijau yang terdapat diatas jejeran pohon disekitar area itu menambah sedapnya pemandangan.

"Ah...Shal. Aku tidak akan membuatmu sakit hati".

****

Marshal yang sedang berjalan sepanjang koridor sekolah bersama Natasha melihat Natalie yang berjalan santai memasuki gerbang sekolah. Dia mendekati pinggiran dinding pembatas dan berlari meninggalkan Natasha yang kaget.

"Shal!"

Tanpa menoleh Marshal menjawab Natasha dengan lantang. "Aku mau nyusul Nata! Duluan aja ntar kita ketemu pas istirahat!" dan seperti angin, pemuda itu sudah berlarian menyongsong Natalie yang saat itu tengah bercakap-cakap bersama teman sekelas mereka.

Tentu saja hal itu membuat panas hati Natasha dan hanya bisa menatap bagaimana girangnya Marshal berjalan bersisian dengan kakaknya. Dia membalikkan tubuhnya dan berlari menuju kelasnya menyembunyikan airmata kesalnya.

Sementara itu Natalie yang bersama Marshal memasuki kelas mereka terdiam saat pemuda itu bertanya sepintas lalu tentang rambutnya yang sedikit berantakan. Natalie segera merapikan rambut panjangnya dengan jari-jarinya dengan menjawab singkat. "Aku tadi buru-buru". Tanpa tahu sebabnya Natalie kembali ingin merahasiakan kepergiannya bersama Ali dari Marshal. Bagi dirinya dia hanya ingin menyimpan rahasia kecil itu didalam hatinya saja walaupun dia yakin Ali pasti menceritakannya pada Marshal. Karena dia yakin bahwa Ali tak lebih hanya menganggapnya seperti anak kecil saja. Natalie tahu bahwa perbedaan usia mereka begitu besar dan dia tak pernah berpikir Ali akan memikirkannya sebagai wanita. Tapi bila mengingat sorot mata lembut yang sepintas itu mau tak mau membuat wajah Natalie kembali memerah. Dia cepat memegang kedua pipinya dengan kedua tangannya.

"Ada apa?" tanya Marshal heran.

Natalie seakan sibuk dengan tas sekolahnya dan berkata mengelak. "Tidak ada apa". Dia mendapati tatapan penasaran Marshal. Natalie mendorong lengan pemuda itu. "Kembalilah ke bangkumu, Shal. Bel sudah berbunyi". dan sepanjang hari itu Natalie merasa dirinya berada di awing-awang, melayang oleh khayalannya sendiri bila mengingat pagi itu dia pergi bersama Ali ke sekolah. Hingga sewaktu Rossa menyodorkan kartu undangan ulangtahunnya, Natalie hanya bisa menatap itu dengan tatapan kosong. 

"Apa ini?"

Rossa sengaja memperlihatkan wajah cemberutnya dan memeluk lengan Natalie. "Sabtu nanti aku ulangtahun yang ke 18. Malam minggu aku ingin mengajak kalian sekelas merayakannya di klub milik ayahku". Selesai mengatakan itu pada Natalie, gadis lincah itu membalikkan dirinya dan mengulang kembali kalimatnya kepada seluruh teman sekelas.

Seketika suara sorak sorai terdengar bergemuruh pada saat jam istirahat itu membuat Natalie meringis sambil tertawa. Kesempatan itu digunakan Marshal untuk mengajak Natalie untuk pergi bersama.

"Nat, barengan ya..."

"Pergi denganku ya".

Marshal memandang wajah bule tampan berkulit cokelat yang tiba-tiba muncul di kelas mereka dengan selembar kartu undangan di tangannya. Natalie yang saat itu berdiri ditengah kedua pemuda yang sama jangkungnya itu menjadi bingung.

"Gue sama Nata tetanggan loh! Tentu aja ibunya lebih percaya dia pergi bareng gue!" sambar Marshal tajam pada Don.

Tetapi jenis pemuda seperti Don sama sekali tidak merasa tersinggung dengan kalimat itu. dia tersenyum lebar dan melirik Natalie yang hampir-hampir tidak peduli dengan situasi yang sedang berlangsung. Dengan santai dia merangkul bahu gadis itu dan selalu ditepis dengan sopan oleh Natalie.

"Lo Cuma tetangga barunya dia. Gue udah sering maen ke rumahnya. Tentu aja dia lebih santai pergi bareng gue!"

Kedua pemuda itu saling pandang dengan sengit. Keduanya lalu berpaling pada Natalie yang sedang menatap keduanya dengan sinar matanya yang bening. Sementara itu teman-teman yang mendengar perdebatan itu mendengar dengan tegang menunggu jawaban Natalie. Siapa diantara kedua pemuda ganteng itu yang dipilih Natalie untuk pergi ke ulang tahun Rossa.

Tapi Natalie sudah memutuskan apa yang dipilihnya ketika dilihatnya Natasha berjalan masuk ke kelasnya. Meskipun adiknya tidak datang untuknya dan langsung mendekati Marshal untuk diajak ke kantin, Natalie menemukan penyelamatnya yang paling ampuh. Dengan masih senyum tak lekang dari wajah ayunya, dia menarik lengan adiknya yang heran.

Natalie meletakkan kartu undangan itu di telapak tangan Natasha yang menatapnya dengan tidak mengerti. "Apaan nih?" Natasha nyaris protes namun dia menunda kalimatnya saat dengan tenang kakaknya bersuara.

"Tasha yang akan pergi ke ultah Rossa malam minggu nanti dan tentu saja dia bareng Marshal".

Seketika kelas menjadi sunyi dan semuanya saling bertukar pandang dengan keputusan Natalie yang luar biasa itu. bahkan Rossa akhirnya menyerukan ketidaksetujuaannya.

"Nat! ini acara kita sekelas..."

"Don aja diundang masa adikku gak boleh?" senyum Natalie.

Rossa menjadi tidak enak dan dia mencoba memberikan alasan. "Tapi Donkan seangkatan..."

"Dan Tasha adikku. Aku gak bisa malam minggu ini, Ros. Mau nemenin Mama ke butik. Aku akan rayakan spesial sama kamu hari sabtu siangnya sehabis sekolah ya". Kepada adiknya dia berkata lembut. "Temenin Marshal ya, Tasha".

Natasha tersenyum selebar wajahnya dan merangkul lengan Marshal yang mematung tidak yakin sama pendengarannya begitu juga dengan Don. Natasha menyeret Masrshal keluar dari kelas. "Asyiiiik...."

Tanpa merasa tidak enak, Natalie mengambil sikap santai dan berjalan menuju keluar kelas setelah mendapat panggilan dari anggota OSIS yang mengatakan bahwa Pembina mereka ingin bertemu. Sikapnya itu menyisakan perasaan janggal bagi Marshal maupun Don. Sebuah rasa amarah menyeruak didalam hati pemuda asing itu yang membuatnya menghantamkan tinjunya pada meja didekatnya. Suara gebrakan itu membuat seluruh kelas terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa melihat sosok jangkung itu melangkah keluar dari kelas. Punggungnya menampakkan kekesalannya yang tertahan oleh keputusan Natalie.

Rossa menghela napas dan mengangkat kedua bahunya. Dia bisa menerima keputusan Natalie yang tidak memilih kedua orang itu dan menyerahkannya pada Natasha. Itu lebih adil dari pada dia harus memilih salah satu dari mereka. Rossa mengenal tabiat Natalie yang kadang diluar dugaan. Gadis itu bisa mengambil keputusan ekstrim meskipun itu akan menyakiti pihak tertentu. Caranya memang efisien namun sedikit menyinggung bagi mereka yang tidak biasa menerima penolakan seperti Don. Yah, tapi itulah Natalie. Dia selalu mengambil tindakan yang adil.

****

Asap rokok mengepul di ruangan para reporter yang ada di stasin televisi swasta itu membuat sekelompok orang itu disebut sebagai para penyamun. Bagaimana tidak di ruangan itu berkumpul para reporter dan wartawan yang rata-rata berbadan besar dan berwajah garang karena mereka adalah reporter berita kriminal maupun politik. Mereka sekelompok reporter yang siap terjun kelapangan yang beresiko sekalipun dan itu termasuk Ali.

Saat malam itu entah mengapa Ali sama sekali tidak mendapatkan konsentrasinya dalam mengetik sebuah laporan artikel yang baru saja didapatnya dari berita perkembangan kasus korupsi yang sedang marak. Dan dia bersama rekannya telah berhasil masuk sebagai reporter yang mendapat kartu pass untuk meliput jalannya siding.

Ali menekan keyboard komputernya dengan tidak sabar dan mengusap dahinya. Dia sudah mengisap rokok untuk lebih fokus namun bayangan seraut wajah ayu yang hampir seharian mengganggu sama sekali tidak mau hilang dari benaknya. "Ini sangat keterlaluan!" Ali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang keras dan mengangkat kedua tangannya diatas kepalanya.

Matanya menatap ke langit-langit dan sengaja kembali mengisap rokoknya dengan keras. Dia dapat melihat gumpalan asapnya membumbung keatas dan membentuk lingkaran-lingkaran yang aneh.

"Mengeluh?"

Tanpa mengubah posisi duduknya, Ali menoleh kesamping dan mendapati wajah penat rekannya, Baskoro. Pria yang seumuran dengannya itu meletakkan kacamatanya pada puncak kepalanya dan memainkan kursi putarnya. Dari sepasang matanya yang jenaka, Ali dapat menemukan rasa ingin tahu yang besar.

Dengan gerakan kasar Ali duduk tegak dan mensave ketikannya dan mencopynya kedalam flashdisknya. Semua gerakan kilatnya itu ditatap dengan penuh perhatian oleh Baskoro. "Aku akan melanjutkannya di rumah!" Ali berdiri dari duduknya dan meraih jaketnya. Dia menyampirkan benda itu di bahunya.

Baskoro terkekeh dan meraih rokoknya. "Besok pagi deadlinenya, oke?"

Tanpa menoleh, Ali mengibaskan tangannya. "Aku tahu", ucapnya datar.

"Kalau ada waktu kenalkan padaku".

Ali menghentikan langkahnya sejenak dan melirik sekilas. Dia mendengus kasar. "Sok tahu!" dia masih mendengar kekehan Baskoro saat dia kembali berjalan menuju keluar dari ruangan berasap itu.

Ali menuju motornya yang terparkir manis di area parkiran. Udara malam Jakarta sedikit banyak membuat paru-parunya lumayan lega dari ruang kerjanya yang tidak sehat itu. sebelum dia menghidupkan motornya, dia termenung mengingat kalimat Baskoro. Dia berdecak tidak sabar dan meraih helmnya dan memasangnya di kepalanya yang butuh guyuran air dingin. Kenalkan? Memangnya gadis itu apaku?

Suara deru motornya yang berat mengudara membelah jalanan di malam itu dengan membawa sejuta pikiran yang memenuhi benak Ali. Berkali-kali dia mencoba menepis bayangan wajah Natalie namun dia selalu gagal sesering usahanya menghapus gadis itu dari alam pikirnya. Dan tanpa disadarinya dia telah sampai tepat didepan rumahnya dengan selamat. Ali nyaris seperti membawa motornya didalam awang-awang selama dalam perjalanannya dan itu membuatnya terpaksa mencela dirinya sendiri.

Dia memasuki halaman rumahnya dan menyimpan motornya di garasi. Dia melirik arlojinya dan mendapati malam itu sudah pukul 11. Ali memiliki kunci cadangan mengingat dia kadang pulang larut dari liputan dan biasanya itu adalah kunci dapur pribadinya yang serba steril itu. seperti biasanya orangtuanya sudah tidur dan dengan langkah senyap Ali menaiki kamarnya dan memutuskan akan segera mandi.

Entah apa yang membuat Ali justru menuju balkonnya terlebih dahulu dari pada mandi seperti yang direncanakannya. Dia membuka pintu balkonnya dan bersandar pada kusen pintunya, menatap lurus pada balkon diseberangnya yang tampak masih terang benderang. Melalui sinar lampu itu dia dapat melihat tubuh mungil yang berdiri sana yang terlihat sedang memeluk sesuatu pada tangannya. Ali begitu asyik memperhatikan Natalie yang berada diseberangnya dan samar-samar dia bisa mendengar suara-suara yang ditimbulkan oleh gadis itu.

"Abandon...pelepasan. Abaque....sempoa. abattoir....rumah pemotongan hewan...."

Ali menjadi tertarik saat menyadari bahwa apa yang diucapkan Natalie adalah kosakata Perancis abjad A dengan pengucapan yang nyaris tepat. Alis hitamnya terangkat tinggi dan dia tersenyum tipis menyadari bahwa gadis remaja itu sedang mempelajari bahasa perancis yang disuruhnya.

Natalie seakan tenggelam dalam usahanya menghapal semua kata dalam bahasa Perancis itu ketika dia mengedarkan tatapannya kearah seberang balkonnya. Awalnya dia hanya menatap acuh tak acuh pada balkon diseberangnya kemudian dia seakan mengenali sosok tegap yang tengah bersandar pada tepi pintu balkon tersebut. Ketika sosok itu mendekati tepi balkon dan melemparinya tatapan kelam khas itu barulah dia sadar siapa yang berada diseberangnya.

"Kak Ali?!" volume suara Natalie naik satu oktaf dan dia merasakan wajahnya perlahan menghangat. Jantungnya mulai berdebar dengan manis membuatnya nyaris sulit bernapas.

Ali menekan sikunya pada tepian balkon berusaha membalas seruan Natalie dengan sebuah jari didepan bibirnya. "Sedang menghapal?" tanyanya pendek. Meski tidak keras dia yakin suaranya sampai pada Natalie yang berada di seberangnya.

Natalie mengangguk berulang kali dan menjawab dengan nada lebih pelan. Lidahnya serasa kelu dan rasanya dia ingin melompat kegirangan sudah bertemu kembali dengan Ali. Bahkan Ali sendiri juga seperti merasakan kegembiraan sendiri melihat gadis remaja itu dihadapannya, seakan rasa penatnya menguar entah kemana.

"Sudah dapat berapa kosakata?" Ali melihat Natalie membentuk sepuluh jari. "Coba sebutkan".

Bola mata Natalie membesar. Dia memajukan dirinya ketepian balkon dan berkata cemas. "Sekarang? Tapi masih ada sisa sepuluh lagi".

Wajahnya manis sekali. Ali melipat kedua tangannya diatas balkon dan mengangguk. "Sisanya malam minggu nanti". Apa-apaan kau Ali! Mengambil kesempatan? Benar-benar bukan seperti dirimu!

Kali ini wajah Natalie sungguh-sungguh telah merona. Dia menelan ludahnya dan menatap Ali dengan lekat. "Setelah itu aku akan dapat hadiahnya?" pancing Natalie asal-asalan dan dilihatnya pria tampan itu mengangguk. Dia menarik napasnya dan mulai mengucapkan kosakata pertama yang diingatnya.

"abeille....lebah. accort....sopan, aceteux....masam, acteur...aktor, ......" Natalie yang dasarnya berotak encer dan selalu berusaha sama sekali tidak merasa kesulitan dalam mengucapkan kata-kata perancis yang berbeda dengan penulisannya.

Dan sejujurnya Ali sama sekali tidak memperhatikan semua ucapan gadis itu, dia malahan menikmati suara lembut yang terbawa angin malam membelai gendang telinganya. Dalam 5 tahun dinginnya hatinya malam itulah dia merasakan sebuah kehangatan baru yang membuatnya terpesona.

Keduanya sama-sama saling terpesona saat itu. meskipun Natalie berusaha konsentrasi dalam mengucapkan semua kosakata itu sebenarnya matanya tak sanggup lepas dari tatapan Ali. Walau ada jarak yang memisahkan balkon mereka, Natalie seolah dapat menatap dengan jelas manik mata hitam pekat yang dingin itu. Tapi bagi seorang Natalie yang sedang dipeluk oleh panah asmara batinnya lebih kuat dan sensitif. Dia tidak menemukan sinar dingin didalam sepasang mata tajam Ali. Dia menemukan sorot hangat yang sama seperti tadi pagi.

Disaat Natalie dan Ali berada didalam dunianya sendiri, ada seorang lagi yang menatap mereka dengan pandangan penasaran di bawah balkon mereka. Marshal menatap keduanya dengan perasaan campur aduk dan lebih tepatnya dia merasakan ada rasa masam yang muncul diulu hatinya.

TBC...

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

1.7K 174 8
#4 learning #2 bilingual #28 trending #122 perjalanan #60 English #153 quotes #19 completed #22 happiness How to be HAPPY? Rich? Many billionaires p...
Delphos (End) Autorstwa Ayuwangi

Tajemnica / Thriller

3.4K 701 26
Blurb: [The World's Greatest Secret, Hidden in the Depth of the Ocean] Kakek membawa pulang seorang lelaki asing rupawan dalam kondisi terluka parah...
13.5K 1K 27
Ini bukan kisah apalagi falsafah ini hanyalah racuan dalam kepala yang datang entah dari mana
2.8K 606 19
Amazing Cover by @hayylaaa (Sebagian besar chapter telah dihapus) Mo Bian seorang dewa musim yang menjalani ujian percobaan dunia manusia. Dilahirkan...