Between Us

dina-saurus द्वारा

751K 8.9K 305

[completed version on DREAME app] "Siapa?" tanyaku takut. "Dia Aqila," jawab lelaki di depanku mantap. • • • ... अधिक

p r o l o g
s a t u
d u a
e m p a t
5. Menaruh Harapan
6. Memberi Makan Ego
pengumuman, terimakasih, & maaf.

t i g a

20.3K 1.5K 19
dina-saurus द्वारा

"Kenapa, sih, yang suka kamu itu enggak cuma saya? Kenapa Tuhan juga jatuhin hati orang lain ke kamu. Kenapa juga kamu pakai jatuhin hati kamu ke orang yang bukan saya? Saya banyak mau, ya? Ya mau bagaimana lagi. Tuhan takdirkan begini, ya saya terima saja dengan senang hati. Tidak sepenuhnya senang, sih, saya hanya sedang berusaha membiasakan diri." —Hari ini, bersama kue red velvet kesukaanmu.

NADINE 'S POV

Café tempatku berdiam kini cukup ramai, mengingat ini akhir minggu. Kebanyakan pasangan sebaya denganku, mereka terlihat mengobrol ringan. Beberapa meja lain diisi sampai lima hingga enam orang, tampaknya satu kelompok bermain dan mereka begitu serius membicarakan sesuatu. Sedangkan aku, ditemani ponsel, headset, novel, dan sebuah laptop yang menjadi senjata penting untuk mengerjakan tugas. Aku menyudahi untuk memperhatikan sekitar, kembali ke layar laptop dan fokus untuk mengetikkan sesuatu di sana. Hari senin tugas ini akan dikumpul, dan aku tidak mau membuang waktu.

"Lo Nadine, kan?" Keseriusanku buyar seketika. Aku mendongak bermaksud untuk melihat siapa yang berbicara. Aku cukup terkejut, pasalnya tidak kenal siapa seseorang di depanku. Namun alih-alih menjawab pertanyaannya yang terkesan tidak sopan, aku lebih memilih untuk diam. "Lo nggak bisa ngomong?" Aku menghela napas panjang, seakan ingin memberitahu padanya bahwa aku sedang tidak ingin diganggu. Lagipula, pertanyaannya terasa semakin tidak waras. Memang apa haknya terhadap aku yang ingin menjawab atau tidak.

"Maaf, lo siapa?" Aku membalas tanpa minat. Raut wajah dan nada suaraku sudah sama saja, datar bagai triplek.

"Lo nggak tau gue?" kata perempuan itu histeris sendiri di depanku. "Please ya, gue ini kakak kelas lo, mustahil lo nggak tau gue."

"Tapi gue emang nggak tau lo siapa sampai akhirnya lo ngenalin diri dengan bilang lo kakak kelas gue." Aku menjawab dengan tenang walaupun hatiku tengah bergejolak. Aneh sekali rasanya. Padahal aku tidak pernah mencari masalah pada makhluk bertitel kakak kelas. Selain itu yang membuatku bingung, bagaimana bisa kakak kelas terhormat ini menemukanku di sini. Mengingat ini adalah café yang cukup jauh dari sekolah.

"Jauhin Azka," ucap perempuan ini akhirnya bak dewi yang memberi titah pada budak. Kalau ini poin permasalahan yang ingin ia bahas denganku, mohon maaf saja kalau aku tidak berminat sama sekali.

"Kenapa gue harus jauhin Aldric?" tanyaku dengan nada ringan. Kalau saja bagian di dalam diri dapat terlihat, mungkin kakak kelas aneh ini sudah dapat menemukan gejolak amarah dalam diriku. Setahun lebih ia menjalin pertemanan bersama Aldric, baru kali ini ada orang kurang waras yang memintanya menjauhi lelaki itu.

"Karna lo emang harus! Inget ya, nggak usah kegatelan, gue enek liat lo deketin Azka tiap hari. Apalagi dengerin lo manggil Azka pakai Aldric. Kenapa? Pengen dibilang spesial? Azka juga nggak akan peduli tentang panggilan lo buat dia." Kakak kelasku berbicara penuh emosi. Rasanya, aku ingin sekali menendang meja sampai terbalik untuk meluapkan emosi terhadap lucunya tingkah kakak kelasnya. Entah datang darimana, sekalinya bertatap muka dan berbicara, malah memerintahkanku yang tidak-tidak. Yang benar saja dia!

"Kalau Aldric nggak peduli tentang panggilan gue buat dia, kenapa lo harus peduli?" sentakku langsung dan berbicara lagi. "Jelas-jelas panggilan gue buat dia nggak ada ngaruhnya sedikit pun di hidup lo. Gue manggil dia Aldric nggak buat lo miskin, kan? Nggak buat jadwal salon lo jadi berantakan juga, kan? Lagipula, kalau lo mau deketin Aldric, lakuin pakai cara lo sendirilah, jangan jadi pengecut dengan nyuruh gue mundur. Percuma, lo ajak pasukan lo, gue nggak akan pernah jauhin Aldric."

"Gue tau, lo cuma mau manfaatin Azka doang, kan?" Kakak kelasku ini sepertinya masih belum puas. Tersudut dengan kalimat panjangku, ia malah mencari argumen lain untuk membuatku kembali terpojokkan. Benar-benar tidak ingin mengalah dan ia terus saja berbicara perihal hal-hal tidak benar tentangku. "Gue yakin, benda-benda yang ada di sini sekarang, pasti punya Azka semua. Ya, kecuali novel usang itu. Dasar nggak tau malu." Aku menahan helaan napas bersama dengan emosi yang sejak tadi meronta minta diletuskan. Tapi aku tidak melakukannya. Yang dilakukan kakak kelasku hanyalah sebagian kecil dari hinaan yang sering aku terima di sekolah. "Kok nggak ngelawan? Berarti yang gue bilang bener, kan? Lo cuma manfaatin Azka."

"Udah?" jawabku dengan wajah masih tenang. "Gue bingung, ya, kenapa orang-orang kayak lo bela-belain dateng kesini buat minta gue jauhin Aldric. Kalau usaha lo emang kasih hasil, itu nggak apa-apa. Tapi ini tuh percuma, karna gue nggak bakal pernah angkat kaki buat ngejauh dari Aldric."

"Lo seyakin apasih kalau Azka bakalan terus setia di samping lo?" Pertanyaan itu lagi-lagi membuatku geram bukan kepalang. Jika tidak memikirkan orang lain yang juga mencari kenyamanan di cafe ini, mungkin aku sudah membalikkan meja seraya berteriak pada kakak kelasku yang sampai sekarangpun belum aku ketahui namanya itu---sebenarnya juga tidak berminat untuk tahu.

"Sorry, ya, buat lo yang namanya aja bahkan gue nggak tau. Lo nggak tau apa-apa tentang gue. Lo nanyakan kalau seyakin apa gue sama Aldric? Gue nggak perlu keyakinan apa-apa buat mikir kalau dia bakalan terus ada di sebelah gue. Karna kalau-kalau lo mau tau satu hal, dari dulu, dari awal kita kenal, Aldric yang ngejar-ngejar gue. Dia yang pengen jadi temen gue. Ngerti?"

Kakak kelasku terdiam di tempatnya. Percaya tidak percaya pada ucapanku mungkin. "Nggak mungkin Azka yang ngejar-ngejar cewek kayak lo. Sadarlah! Lo cuma makin keliatan jelek dengan ngarang cerita kayak gitu."

Alih-alih marah, aku malah tertawa akan ejekan tersebut. "Lo tau nggak? Gue pernah baca, kalau salah satu cara buat ngadepin omongan orang-orang bego, itu cuma diem. Jadi gue pikir nggak ada alasan buat gue jawabin kata-kata lo lagi. Dan kalau lo mau gue jelasin, silahkan bayar gue dengan buatin tugas ini. Terserah sama apa yang lo mau bilang tentang gue, karna mikirin kata-kata lo nggak akan buat tugas gue selesai. Nah, kalau lo mau gue ngelawan argumen konyol lo itu, silahkan gantiin gue nugas sekarang."

"Lo bakal dapetin balesannya." Kakak kelasku berdiri dengan muka merah padam. Kutatap punggungnya yang menjauh. Aneh sekali. Datang dengan amarah, kemudian pergi dengan rasa malu. Siapa yang ingin hidup seperti itu?

Aku berhenti sejenak sembari menghela napas, membuang segala emosi di kepala dengan berhenti sejenak dari layar di depanku. Hujan tiba-tiba saja turun di luar sana tanpa peringatan mendung. Membuat orang-orang kalang kabut sibuk mencari tempat untuk berteduh. Bahkan ada yang memasuki café dengan terpaksa, lalu mencari kursi kosong dan dengan berat hati mengeluarkan uang untuk secangkir coklat panas. Mereka tidak mungkin tidak memesan jika sudah memasuki tempat ini.

Aku mulai memperhatikan rintik hujan yang berlomba menuju bumi. Diam-diam membiarkan hatiku kembali memikirkan secercah nama. Aldric. Bukankah aku yang bodoh? Membiarkan diriku terjatuh dan malah merawat perasaan itu agar terus tumbuh. Merelakan diriku jatuh dengan sakit yang wajib aku tanggung sendiri. Seperti sudah menjadi peraturan di awal dan tidak dapat diubah. Siapa yang jatuh cinta, maka merekalah yang harus menanggung luka kala mendapat penolakan. Siapa yang jatuh cinta, maka merekalah yang akan tertawa bahagia sebab cintanya diterima. Sudah hukum alam. Sudah begitu kata Tuhan. Memaksakan keadaan sama saja dengan melawan Tuhan dan alam.

Tetapi, kadang aku berpikir, bahwa nasibku persis seperti rintik hujan. Jatuh berkali-kali dan terus merasakan sakit. Anehnya, aku bahagia karena merasa bahwa hadirku serta rintik hujan akan membawa kedamaian bagi semua orang. Persis seperti namaku, Nadine Sava Fredella, perempuan penuh harapan, ketenangan, dan pembawa kedamaian.

Walau aku akui dengan berat hati, tidak sedikit orang yang membenci hujan. Salah satu contoh terdekatnya adalah lelaki yang kini duduk di meja depanku. Sejak datang, dia selalu saja mengutuk hujan.

* * *

"Sore, Beb," sapa Aldric dengan raut wajah riang padaku yang terus serius menatap grafik pada layar laptop di depan. Aku mendengar bunyi kursi yang ditarik, pertanda bahwa Aldric mungkin sudah duduk tepat di seberangku. Merasa diperhatikan, aku akhirnya mengalihkan tatapan pada Aldric. Benar saja, bahwa lelaki itu memang tengah menatapku dengan cukup khitmad.

"Apaan, sih?" Aku menyemprot tidak suka. Apabila nada kasar perempuan itu diumpamakan sebagai pisau, Aldric pasti sudah tergores dan berdarah.

"Tugas apa?" tanya Aldric sembari mencomot cake milikku yang tinggal setengah. Kupukul tangan Aldric sehingga anak lelaki itu sontak terkejut. "Allahuakbar, sedikit doang, Nad!" katanya membela diri.

"Pesen sendiri!" balasku jutek minta ampun.

"Kalau makan minum begini kan lebih enak satu berdua," ujar Aldric cengengesan, tangannya bergerak lagi untuk mengambil cake milikku. Bahkan sampai menggeser piring cake ke dekatnya. "Gue belum sempet makan karna tadi harus ngumpul sama tim basket, Nad." Aldric menyambung katanya dengan raut sedih. Aku mencoba untuk tidak peduli, dan berusaha memikirkan topik lain.

"Terus kenapa bisa telat kesini? Tau gitu gue pulang duluan tadi."

Kulihat Aldric menghela napas, menyenderkan tubuhnya pada sandaran kursi sembari geleng-geleng kepala. Wajahnya dibuat-buat pusing, "Tadi Sean ngajakin rapat sebentar."

"Heh sedotan! Kalau rapatnya sebentar, gue nggak akan kelamaan nunggu di sini. Mending gue nugas di rumah kalau lo ngaret begini." Tapi setelah mengucapkan kata itu, aku tiba-tiba menyesal kenapa malah menyebut rumah.

"Ide bagus tuh!" jawab Aldric penuh binar. "Mending nugas di rumah lo aja, biar gue bisa sekalian---"

Belum selesai Aldric bicara, aku buru-buru memotong dan meralat ucapan sebelumnya. "---Maksud gue, mending gue nugasnya di rumah. Sendirian! Males banget, ah, kalau tugas kelompok sama lo."

Aldric mengangguk cepat-cepat. Kalau aku sudah berbicara seperti itu, Aldric paham bahwa tadinya ia harus diam. Bisa rubuh café ini kalau Aldric terus memancingku. Aku sendiri sadar, bahwa aku memang memiliki sifat yang tidak baik untuk menjadi teman dari seseorang. Bukan kali pertama bagi Aldric dan aku berdebat. Lucu dan beruntungnya, kedua kami sama-sama bertahan untuk satu sama lain sebagai sepasang sahabat. Aldric yang akan selalu mengalah seperti biasa dan aku yang kekeh bertahan pada pendirianku.

Aldric maju, melipat tangan di atas meja dan memandang lurus padaku. "Gitu banget, sih, Nad. Lagian kan gue udah lama nggak ke rumah lo."

"Udah lama apanya? Jadi lo jemput Aqila setiap pagi bukan ke rumah namanya?" Aku menyemprot terus. Aldric banyak sekali bacotannya.

"Ya tapikan nggak masuk, nggak ketemu lo juga." Aku mengalihkan pandangan dari layar di depanku, kutatap Aldric dengan perasaan tersentil. Kalimat sederhana saja, tapi mampu membuatku merasa penting. Inilah yang membuatku tidak mampu menjauh dari sosok Aldric. Lelaki yang murah akan senyum itu selalu berhasil membuat amarahku berganti menjadi air dari mata air.

Inilah yang membuat aku bertahan, tidak peduli bagaimana jelasnya rasa sayang Aldric pada adik kandungku---Aqila. Selagi lelaki itu masih terus berada di sampingku dan tidak pernah berniat pergi, maka aku rela untuk terus bertahan di atas fakta menyakitkan tersebut.

"Lo tuh sebenernya mau ketemu Aqila apa mau ketemu gue sih, Al?" tanyaku dengan ekspresi lelah dibuat-buat pada perangai Aldric. Ia geleng-geleng kepala saja. "Udah, ah, kalau nggak ngapa-ngapain gue mau pulang aja."

"Eh, janganlah, gue belum makan, Nad. Tadi minta ditemenin beli seblak jahat lo nggak mau." Aldric mencibir, membuatku sontak memutar bola mata tidak suka karena Aldric lagi-lagi membahas perihal seblak jahat yang entah maksudnya apa Nadine pun tidak mengerti mengapa lelaki menyebalkan di depannya menyebut makanan dengan sebutan aneh seperti itu.

"Yaudah ya gue pesenin aja, ya?" tawarku dengan lembut. "Lo mau apa?" Aldric diam sembari menatapku tepat di kedua mata. Kalau tidak sadar dengan keadaan, aku mungkin sudah refleks salah tingkah. Mengingat aku sudah terbiasa dengan tingkah laku Aldric yang suka tiba-tiba berubah seperti ini, aku tidak terkejut. "Aldric, lo mau pesen apa biar gue pesenin!"

Aldric tiba-tiba berdehem dan tersenyum, "Yang kayak biasa aja, deh."

"Jawab doang lama bener," celetukku sembari berdiri dan berjalan untuk memesan pesanan Aldric.

Tepat ketika aku berdiri, sosok lelaki yang sejak tadi sibuk bercakap dengan seorang di seberang telepon juga ikut bangkit dari kursinya dan tanpa sadar kami sama-sama menuju ke arah yang sama.

Aku menyapa seorang barista yang aku dan Aldric kenal dengan baik---mengingat kami selalu kemari untuk sekedar melepas penat. Saat aku menyebutkan pesanan untuk Aldric, sedikit omelan terdengar dari belakang. Hasrat penasaranku tumbuh, kepalaku menoleh sedikit dengan telinga dipertajam.

Ekspresiku terkejut, tidak menyangka bahwa lelaki yang kerjanya selalu mengutuk hujan sedang marah-marah tepat di belakangnya. Akhirnya karena merasa tidak enak, aku memilih mengabaikan dan tenang menunggu coklat panas serta kue pesananku.

"Ini hujan! Bisa sabar sebentar, kan? Kakak nggak mungkin hujan-hujanan jemput kamu. Yang ada bakal sama-sama basah." Ia bersuara lagi dengan geram pada orang yang aku tebak adalah adiknya. "Kamu pikir kakak minta hujannya turun? Kakak juga ada latihan sore ini, tapi nggak bisa ikutan karna hujan. Kalau kamu cerewet terus, Kakak nggak akan jemput kamu."

"Lo nggak harus nyalahin hujan." Aku buru-buru menutup mulut karena merasa sudah lancang. Aku tidak mengenal siapa lelaki itu, tidak ada hak untukku mengomentari apapun yang orang lain lakukan. Nadine bodoh! Aku mulai sibuk merutuk diri.

"Apa lo bilang?" Aku memejamkan mata merasa malu karena lelaki di belakang nyatanya memberikan respon yang tidak aku harapkan sama sekali. "Hei, lo bilang apa barusan?"

Aku merasakan sentuhan jari pada pundak, kuputar sedikit kepala untuk melihat ke belakang. "Gue? Gue emangnya bilang apaan?" tanya Nadine pura-pura amnesia.

"Hei, lo tadi ngomong tentang hujan."

"Oh maaf," kataku sedikit salah tingkah karena ditatap tepat di mata. Sebenarnya yang membuat aku takut karena mulutku yang tidak bisa ditahan di saat seperti ini. Aku merasa bersalah sekali. "Itu, maksud gue, daripada lo nyalahin hujan, mendingan kalau lo nikmatin aja." Tanpa diduga, lelaki di depanku malah tersenyum manis. Dan Aku menggunakan kesempatan itu untuk kembali berbicara. "Dari lo masuk tadi, kerjaan lo itu cuma ngutukin hujan. Pas lo telfonan, lo juga masih nyalahin hujan."

"Itu bukti kalau daritadi lo selalu merhatiin gue," kata lelaki itu menanggapi seluruh penjelasanku. Kali ini, senyum lelaki itu malah terkesan misterius, tidak sehangat sebelumnya."Makasih sarannya buat nikmatin hujan. Tapi gue, gue nggak begitu suka hujan."

"Sorry-sorry, gue lancang banget, ya?" tanyaku kini mengaku bersalah. Jujur saja, tidak enak rasanya.

"Enggak kok, santai aja." Lelaki itu kini melihat ke depan, dengan dagu memberi kode bahwa pesananku sudah datang. "Tuh pesenan lo."

Aku buru-buru balik badan, mengambil pesanan dan pergi begitu saja tanpa melihat ke lelaki tadi. Namun deheman pelan membuatku gagal untuk tidak menoleh. "Seneng bisa bicara sama lo. Mungkin kita bisa ketemu lagi lain waktu."

Aku mengulas senyum tipis, lantas berlalu tanpa sepatah kata lagi. Aku berjalan kembali menuju meja dimana Aldric tengah sibuk dengan ponsel walau sesekali terlihat memandang ke arahku. Ketika aku duduk tepat di seberangnya, Aldric memajukan badan. Tentu ingin menginterogasi.

"Siapa?"

"Nggak tau, orang asing," jawabku singkat.

"Cepet abisin, gue mau jemput Aqila soalnya."

"Hah?" respon Aldric dengan muka bodoh sembari memotong cake. "Perasaan tadi gue udah nawarin ke dia mau dijemput apa enggak. Katanya mau pulang sama yang lain, gimana ceritanya nih adek lo?"

"Dia nggak mau pulang bareng lo kali makanya bikin alasan." Aku membereskan barang-barangku, sedang Aldric harus tahan gigit jari karena tahu akan ditinggal. "Yaudah, ya, gue pulang dulu. Kalau udah selesai makan lo langsung pulang jangan bikin nyokap khawatir."

Aldric menyandarkan pundak dengan putus asa ke kursi. Tatapannya lurus memandangku. "Kapan, sih, lo mau nerima gue anter jemput kayak dulu? Lo beneran nggak pernah nolak, Nad. Kenapa sekarang jadi berubah gini?"

Aku terdiam sesaat. Selalu takut kalau Aldric sudah bertanya seperti ini. Bukannya tidak suka, aku malah ingin sekali menempati kursi kosong di motor Aldric. Tapi membiarkan lelaki itu datang ke rumahku sama saja dengan aku yang memberikan Aldric dan Aqila kesempatan untuk bertemu. Aku tidak kuat untuk yang satu itu. Lebih baik naik bis kemana-mana daripada harus menanggung sakit hati tidak jelas.

"Kapan-kapan," kataku pelan.

"Kalau besok, gue jemput lo gimana?"

"Terus bikin Aqila sebel sama gue?"

"Aqila nggak bakalan marah, Nad." Aldric mempertegas kalimatnya. Namun gelenganku tetap terbit. Aku harus menolak.

"Tau darimana? Udah, ya, gue juga lebih seneng naik bis kok."

"Hati-hati," ujar Aldric mau tidak mau. "Kalau udah sampai di rumah buru kasih tau gue."

"Iya." Aku mengangguk menurut sebelum melangkah keluar. Udara selepas hujan memang menyegarkan. Aku mencoba menarik dan menghembuskan napas secara perlahan, pikirannya sangat butuh untuk ditenangkan. Hari ini, random sekali!

...tbc...

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

103K 20.6K 30
Hannah hanya ingin kehidupannya kembali bersama Haikal, satu-satunya keluarga yang dia miliki. Ansel ingin memperbaiki segala yang berantakan dalam...
521K 2.3K 11
Rekomendasi cerita-cerita genre romance, chicklit, metropop PART 2 🧡
66.7K 7K 32
[ Uploaded to the last page on July 11, 2021 ] A story of the second lead, Written as a bit of curiosity satisfaction for those who want this story t...
19.6K 5K 32
Dalam perjuangannya mencari cinta dan menyelesaikan tugas-tugas barunya sebagai produser, Madda harus "terjebak" dengan Ken, sahabat yang sempat ia c...