After Wedding [END]

By wulankenanga

11M 428K 10.1K

Rasa sakit hati membuat Keira mendapati dirinya menikah dengan Aldric-seorang pengusaha cokelat yang belum la... More

Kata Pengantar
Prolog
BAB SATU
BAB DUA
BAB TIGA
BAB EMPAT
BAB LIMA
BAB TUJUH
BAB DELAPAN
BAB SEMBILAN
BAB SEPULUH
BAB SEBELAS
DUA BELAS
BAB TIGA BELAS
BAB EMPAT BELAS
BAB LIMA BELAS
BAB ENAM BELAS
BAB TUJUH BELAS
BAB DELAPAN BELAS
BAB SEMBILAN BELAS
BAB DUA PULUH
BAB DUA PULUH SATU
BAB DUA PULUH DUA
BAB DUA PULUH TIGA
Epilog ~
Extra Part 1: Menentukan Pilihan
Extra Part 2: Dia Milikku
Extra Part 3 : Secangkir Cokelat Pahit
Extra Part 4:Rumah-rumah yang Hangat
Extra Part 5: Memulai Dengan Kejujuran
Extra Part 6: Apakah Ini Akhir Bahagia?

BAB ENAM

450K 21.4K 620
By wulankenanga

Aldric menyiram tubuhnya dengan air dingin dari pancuran. Meskipun di luar hujan begitu deras dan membuat tubuhnya menggigil. Ia sama sekali tak punya pemikiran untuk mandi dengan air hangat. Akan lebih baik jika ia mandi dengan air dingin. Ia akan merasa lebih segar nantinya.

Ia meruntuki dirinya sendiri ketika mengingat apa yang ia lakukan beberapa jam yang lalu. Mengikuti angkutan umum yang membawa Keira pergi, bukanlah bagian dari rencananya. Tapi, rasa penasaran yang ia miliki begitu kuat, sampai-sampai ia tak sadar telah menginjak pedal gas. Berkali-kali ia diklakson mobil yang lain karena berjalan begitu pelan, mengikuti angkutan umum yang berjalan lambat. Sampai akhirnya, Keira turun di tepi jalan. Barulah Aldric mempercepat laju mobilnya, dan memutar balik menuju rumah.

Selain kenyataan bahwa Keira itu istrinya, ia seorang penulis dan bekerja di sebuah kafe. Aldric sama sekali tak tahu menahu mengenai Keira. Mengenai masa lalu perempuan itu, mengenai apa yang membuat Keira mau menikah dengannya, serta mengenai semua hal di balik senyum dan binar matanya. Aldric benar-benar terganggu dengan hal itu. Terlebih lagi, ketika mengingat malam pertama mereka.

Keira berdiri mematung menunggunya. Jelas sekali, perempuan itu tengah bersiap-siap untuk melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Bagaimana mungkin, perempuan yang baru mengenal laki-laki mau menikah dengan laki-laki itu, dan hendak memberikan segalanya. Aldric tahu benar, Keira masih polos. Nampak dengan jelas dari gerak geriknya malam itu. Perempuan itu belum tersentuh oleh laki-laki.

Apa yang dilakukan Keira itu sekadar bentuk kewajiban seorang istri?

Aldric benar-benar kesal dibuatnya. Mengingat itu semua membuatnya terganggu. Apalagi, ketika melihat Keira melamun menunggu angkutan umum, berdiri di halte dengan tatapan kosong. Mau tak mau membuat Aldric bertanya-tanya, apa yang dipikirkan perempuan itu. Perempuan itu terkadang sangat polos, di lain waktu membuat Aldric terkejut – seperti malam di rumah Omi dan pagi tadi–dan terkadang menjadi pemurung atau sangat ceria.

Aldric mematikan air pancuran, berjalan ke sisi kamar mandi dan meraih handuk kering. Ia mengeringkan tubuhnya, sebelum melilitkan handuk ke tubuhnya. Ia melihat jam dari jam tangan yang ia taruh di atas nakas. Sudah dua jam lamanya, tapi Aldric belum mendengar suara langkah kaki di luar sana, atau pintu terbuka. Yang itu berarti, Keira belum kembali.

Bukan berarti Aldric peduli dengan keberadaan Keira, tapi jika ada hal yang terjadi pasti ia yang akan direpotkan. Ah, tidak. Dia merasa tidak dihargai karena Keira pergi begitu saja, tanpa meminta izin padanya. Bukankah, Keira sendiri yang mengatakan akan belajar menjadi istri yang baik dalam permainan ini?

"Perempuan," gumannya, "selalu saja seenaknya sendiri."

Tepat ketika ia selesai mengucapkan kalimatnya, terdengar ketukan kecil dari pintu kamarnya. Dengan enggan Aldric berjalan ke arah pintu dan membukanya. Dari balik pintu, Keira berdiri dengan rambut lepek. Tapi, yang membuat Aldric tertegun adalah kedua bola mata Keira yang berbinar dan senyumnya yang merekah.

Saat ini, Keira persis sekali dengan kucing yang terkena genangan air. Kalau saja. Kalau saja, Aldric tidak mengingat bahwa mereka menikah karena terpaksa, mungkin saat ini ia akan memeluk Keira dan mencumbunya.

Laki-laki mana yang tahan untuk tidak memeluk perempuan menggemaskan seperti Keira?

***

"Kaira akan menikah tahun depan."

Ibunya membantu Keira melipat beberapa baju miliknya. Pembicaraan selalu lebih terasa santai, saat diselingi dengan pekerjaan lain. Bagi Keira, ibunya yang duduk di hadapannya ini hanya ingin berbincang, tak benar-benar ingin membantunya mengepak barang.

"Tahun baru," tambah ibunya lagi. Tahun baru, kurang empat bulan lagi. Empat bulan bukanlah waktu yang lama. Entah kenapa, Keira merasa waktu berjalan begitu cepat dan lambat dalam satu waktu.

"Biaya pernikahan dibantu oleh Yoga. Ibu sudah menolak, tapi Yoga memaksa," cerita ibu. "Kamu tahu sendiri, kan, bagaimana Yoga?"

Mana mungkin Keira tidak tahu Yoga. Laki-laki yang selalu ada di sisinya ketika masa kuliah. Laki-laki yang membela dia mati-matian ketika Keira tersudut. Bahkan, di kampus sudah tersebar rumor kalau Keira dan Yoga itu sepasang kekasih. Mereka tak terpisahkan. Yang lebih parah, teman-teman Keira sudah menganggap Yoga yang nantinya akan menikah dengannya. Tapi, siapa sangka, ternyata Yoga lebih mencintai Kaira? Adiknya sendiri.

Keira berdiri dari atas ranjang, ia membuka lemari dan mencari-cari sesuatu di sana. Sebenarnya, sesuatu tersebut tak penting. Ia hanya berusaha mengalihkan pandangan ibunya. Ia tak ingin ibu melihatnya bersedih. Keira tahu, ibunya tahu mengenai perasaannya kepada Yoga. Tapi, ibunya bersikap seolah-olah ia tak tahu apa-apa. Justru itu hal yang bagus bagi Keira.

"Lain kali, ajaklah Aldric ke sini," ujar ibunya. Keira masih berjongkok di depan lemari, enggan tuk berdiri. "Ini juga rumahnya," lanjutnya. Lalu, mata Keira tertumbuk pada syal berwarna merah muda di bawah tumpukan baju lamanya. Keira menelan ludah. Hatinya bergetar hebat. Seandainya saja ibunya tidak sedang memperhatikannya, mungkin sekarang ia akan meneteskan air mata. Syal merah muda itu pemberian Yoga, ketika mereka mendaki Gunung Bromo bersama.

Pagi buta mereka menunggu di pendakian, berharap matahari segera muncul. Keira menggigil dan merasa tak tahan lagi. Tubuhnya terasa kaku, tulang-tulang sudah tak ia rasakan lagi. Saat ia akan berkata pada Yoga untuk turun, ia kehilangan laki-laki itu. Tak lama kemudian, Yoga muncul dengan syal merah muda di tangannya. Keira tertegun. Yoga memasangkan syal itu di leher Keira. Lalu, Yoga memegang tangannya erat, sambil berkata, "Bertahanlah."

"Ra?" panggil ibunya. Keira tersadar dari lamunannya. Ia mengatur napasnya, kemudian kembali duduk di atas ranjang di depan ibunya. Keira memasukkan syal merah muda itu ke dalam koper dan menutupnya.

Keira terus menyibukkan dirinya dengan menutup resleting koper, kemudian mengambil tas selempang di atas ranjang. Keira tahu, ibunya sedang memperhatikan. Ia sudah berusaha keras untuk terlihat biasa saja, tapi syal merah muda itu mengacaukan segalanya. Saat ini, yang paling ia inginkan adalah kembali ke rumah Aldric. Meskipun Keira tahu, posisinya di sana tidak jauh berbeda dengan di sini. Orang asing. Tapi, paling tidak, di sana ia tak akan bertemu dengan Yoga.

"Keira pulang dulu, ya, Bu," pamitnya. Ibunya tertegun, kemudian mengangguk. Keira keluar kamar dan di ruang tamu ia melihat Yoga dan Kaira sedang tertawa-tawa.

"Sudah mau pulang, Kak?" tanya Kaira. "Kenapa nggak menginap, sih?"

"Tidak bisa Kai, kakak kan sudah menikah," jawab Keira. Ia tersenyum, kemudian menghampiri adiknya. "Kakak pulang dulu, ya."

Kaira memanyunkan bibirnya, lalu ia memeluk Keira. "Kenapa kita harus pisah, sih," rengeknya. Keira tersenyum geli. Sejak kecil, Keira memang memanjakan Kaira. Entah kenapa, Keira senang jika Kaira tergantung padanya. "Diantar Mas Yoga, ya?" pinta Kaira. Keira tersenyum, lalu menggeleng.

"Kakak naik Go-Jek," jawabnya. "Sudah pesan. Hujan sudah reda."

"Yakin, nggak mau aku antar?" ujar Yoga. Keira tersenyum dan mengangguk. Beberapa saat kemudian, terdengar deru motor. Itu merupakan suara motor driver Go-Jek yang dipesan oleh Keira.

"Pergi dulu, ya," pamitnya. Ia melenggangkan kakinya, sembari menarik koper. Ia mengatakan alamat rumah Aldric pada driver tersebut, kemudian ia naik ke boncengan dan pergi meninggalkan rumah. Belum lama ia meninggalkan kawasan rumahnya, Keira minta berhenti di depan sebuah warung.

Warung Soto Mi Bu Mimi, makanan kesukaan Keira sejak kecil. Ia membeli dua bungkus Soto Mi. Tentu saja, satu bungkus untuk suaminya.

***

Ketika bertolak dari rumahnya, hujan benar-benar sudah reda. Tapi, saat memasuki kawasan Darmo, hujan turun sangat deras. Kepalang tanggung, Keira meminta untuk terus melanjutkan perjalanan. Meskipun, driver Go-Jek memberikan jas hujan kepadanya, tetap saja tubuhnya basah kuyup.

Ia bersyukur, koper miliknya tidak basah lantaran driver  ojek online menutupinya dengan jas hujan lainnya. Sesampainya di rumah, Keira menarik koper dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menenteng tas plastik berisi Soto Mi yang mulai dingin. Tepat di depan kamar Aldric dan kamarnya, Keira berhenti. Ia meletakkan koper di depan pintu kamarnya, kemudian berdiri di depan pintu kamar Aldric.

Aldric tak akan pernah tahu, untuk mengetuk pintu kamarnya saja, Keira butuh keberanian lebih. Ia membetulkan letak rambutnya yang basah, lalu mengangkat tangannya.

Keira mengetuk pintu kamar Aldric. Sangat pelan, hampir tak terdengar. Keira sempat ingin berbalik dan mengurungkan niat, tetapi kemudian ia mendengar suara langkah kaki, lalu pintu terbuka.

Aldric muncul di depannya, dengan sebuah handuk melilit pada tubuhnya. Wajah Keira memanas karena melihat tubuh bagian atas Aldric tanpa busana. Lalu, ia menaikkan dagunya, tersenyum sembari memamerkan tas plastik di tangannya. Mati-matian Keira berusaha untuk tidak melihat ke bawah. Itu artinya, ia harus menatap kedua mata Aldric.

"Aku bawa Soto Mi," ujarnya. "Kau belum makan, kan?"

Suaminya itu hanya diam. Keira sama sekali tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Tapi, Keira berharap Aldric segera merespon, karena ia sudah tak tahan jika terus dalam keadaan seperti ini.

"Aku tidak lapar," sahut Aldric. Ia hendak menutup pintu, tapi Keira menahannya.

"Please, temani aku makan," pintanya. Kali ini saja, aku tidak ingin makan sendiri malam ini. "Soto Mi dekat rumahku, enak sekali. Kau tidak akan menyesal."

Aldric mendesah. Ia hendak menolak lagi, tapi Keira berkata. "Aku tunggu di bawah, ya." Ia menelan ludah. "Kau ...." Ia berdeham," kau pakai baju dulu." Lalu, Keira buru-buru berpaling dan meninggalkan suaminya.

Sampai dapur, Keira menghela napas panjang. Seumur hidupnya, ia hanya melihat laki-laki bertelanjang dada pada layar kaca. Dan, hari ini ia melihatnya secara langsung. Ah, seperti itu rupanya dada laki-laki. Sangat bidang, sangat ... Keira buru-buru mengenyahkan pikiran itu. Ia harus bisa menguasai dirinya.

Akhirnya, Keira mengambil dua mangkuk dari lemari kecil di dapur, meletakkannya di atas meja, kemudian menuangkan soto mi ke dalam dua mangkuk tersebut. Ia mengelap beberapa tetesan kuah di tepi mangkuk dan meja, ketika Aldric masuk ke dalam dapur.

"Hai," ujar Keira. "Sebentar lagi selesai, kau tunggu saja di meja makan."

Seakan tidak mendengar kalimat Keira, Aldric berjalan menghampiri istrinya itu, menarik kursi dari sisi meja dan duduk di sana. "Di sini saja," katanya.

"Oh. Oke." Keira meletakkan satu mangkuk berisi soto mi di depan Aldric, lalu ia mengambil sendok dan garpu. "Kau pasti suka," ucapnya, sembari menyerahkan sendok dan garpu pada suaminya.

Aldric tidak menerima uluran sendok dan garpu dari Keira. Laki-laki itu justru mengambil sendiri sendoknya, lalu mengelapnya dengan tisu yang ada di atas meja. Ia melakukan itu semua dalam diam. Awalnya, Keira tertegun melihat yang dilakukan oleh Aldric. Lalu, ia tersenyum, maklum.

Keira menarik kursi dari sisi meja dan duduk berseberangan dengan Aldric. "Aku sudah lama tidak makan soto mi Bu Mimi," katanya. Ia menyendok sedikit kuah soto itu, lalu menyeruputnya. "Ah, enak sekali!" serunya.

Perempuan itu melihat ke arah Aldric. Suaminya itu baru saja mencicipi kuah soto yang ia bawa. Ia penasaran, apa pendapat Aldric mengenai soto ini. Tapi, Aldric tak kunjung angkat bicara, sampai Aldric mengangkat wajah dan tatapan mereka bertemu.

"Bagaimana?" tanya Keira.

"Dingin." Hanya itu jawaban Aldric. Ya, tentu saja kuah soto itu sudah dingin. Keira membawanya di bawah hujan dan jarak tempuh rumahnya ke rumah Aldric cukup jauh.

"Biar kupanaskan dulu." Keira memegang mangkuk milik Aldric, tapi suaminya itu menariknya kembali.

"Tidak perlu."

Keira mendesah. Tanpa ingin memperpanjang masalah, ia kembali duduk dan menikmati soto mi miliknya. Ia belum mengenal bagaimana Aldric. Semua butuh waktu. Boleh saja mereka sudah sepakat untuk bekerja sama, tapi bukan berarti Aldric akan bersikap hangat dengannya.

Keberadaan Aldric di depannya saat ini saja, sudah cukup bagi Keira. Cukup untuk menemaninya memakan semangkuk soto mi yang dingin.

***

Kuah soto mi di hadapannya itu gurih. Sekadar dari aroma pun mampu meneteskan air liur. Sayangnya, Keira tak tahu cara membuat soto mi itu menjadi lebih nikmat.

Berkali-kali Aldric mencoba untuk mengusir rasa penasarannya. Berkali-kali pula, rasa penasaran yang ia miliki semakin tumbuh, seiring ia berjalannya waktu. Terlebih lagi, ketika melihat Keira duduk sembari menikmati kuah soto mi yang dingin itu. Ia terlihat sangat menikmatinya, tapi di samping itu, Aldric menyadari sesuatu. Ada yang lain di mata perempuan yang baru saja ia nikahi tersebut.

"Kaira akan segera menikah," ucap Keira. Aldric tahu, Kaira adalah adik satu-satunya Keira. Ia juga menduga, alasan Keira mau menikah dengannya adalah karena hal tersebut. "Adikku, yang manja akan segera menikah." Keira tersenyum, namun ia juga terlihat gelisah. Lalu, perempuan itu meminum kuah dari soto mi dalam mangkuknya hingga bersih.

Keira menghela napas panjang. "Astaga!" serunya, ia tertawa. "Sejak kecil dia selalu mengikutiku ke mana-mana dan sekarang coba lihat, dia akan menikah." Ada perasaan bahagia sekaligus haru dalam hatinya. Dan mungkin, rasa cemburu.

Aldric tersenyum kecil, melihat hal itu.

"Jadi, itu alasanmu mau menikah denganku?" sahut Aldric. Ia tak benar-benar ingin mengetahui alasan Keira, pertanyaan tersebut muncul begitu saja. Seperti angin lalu, Aldric melupakan apa yang ditanyakannya dan melanjutkan memakan soto mi di hadapannya. Lagi pula, nampaknya Keira juga enggan menjawab.

"Mungkin," jawab Keira. "Kau tahu, kan. Kakak perempuan tak boleh dilangkahi. Kalau dilangkahi, aku akan ...."

"Takhayul," sahut Aldric. "Pemikiranmu terlalu kuno. Sudah tidak zaman."

"Kalau memang benar, bagaimana?"

Aldric meletakkan sendoknya di sisi mangkuk. Lalu, melihat ke arah Keira. "Kenapa? Kau takut?"

Keira mendesah. "Al, kita hidup di Indonesia. Perempuan telat menikah sedikit saja, sudah dibicarakan tetangga." Ia jengah. Ia senang Aldric mau mengobrol dengannya, tetapi ia tak pernah tahu kalau dia sesinis itu.

"Kau menarik. Dan, aku percaya kau cukup pintar sebagai seorang perempuan," sahut Aldric. Keira tak mengerti apa yang akan dibicarakan Aldric. "Dan lagi, kau seorang penulis. Karirmu bagus. Apa yang kau takutkan, sehingga kau rela menghabiskan waktumu denganku? Dengan orang yang tak kau cintai. Dengan seseorang yang baru kau kenal."

Keira terdiam. Ia melihat kalimat yang dilontarkan Aldric itu serius. Bahkan, kalimat tersebut sukses membuat Keira tersinggung.

"Atau, jangan-jangan ada alasan yang lebih kuat daripada sekadar takut dilangkahi dan tidak laku?"

Untuk sesaat mata mereka beradu. Saling menghujam dan membenci. Keira menahan amarahnya mati-matian. Ia tak boleh terpancing dengan tingkah laku suaminya. Ia marah. Ia benci. Ia kesal karena apa yang dikatakan oleh Aldric itu benar.

Keira menahan napas, lalu membuangnya.

"Kau sendiri bagaimana? Apa alasanmu mau menikah denganku?" Keira membalikkan pertanyaan yang dilontarkan Aldric. "Dengan orang yang tak kau cintai."

"Tidak ada urusannya denganmu."

Keira tertawa sinis. Bisa-bisanya Aldric berkata demikian, setelah ia mencerca Keira habis-habisan. "Ah, sudahlah. Kita memang tak seharusnya mencampuri urusan pribadi masing-masing." Keira memutuskan untuk menyudahi perbincangan mereka. Bukan untuk ini ia mengajak Aldric makan soto mi. Bukan untuk saling menunding.

"Terima kasih," ujar Keira.

"Untuk apa?"

"Karena sudah menemaniku."

Tak ada jawaban dari Aldric. Keira membereskan mangkuk serta sendok dari atas meja dan memasukkannya ke bak cuci. Ia mencuci mangkuk-mangkuk itu dalam diam. Aldric masih duduk di tempatnya, melihat punggung Keira yang bergerak seirama gerakan tangannya.

Kenapa Aldric merasa punggung itu begitu ringkih? Begitu rapuh dan mudah sekali untuk patah. Apa Keira memiliki rahasia seperti dirinya? Alasan kuat yang membuat mereka akhirnya menikah? Apa dugaannya benar?

Aldric menyerah. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian beranjak dari kursi. Sebelum ia meninggalkan dapur, ia berkata," Lain kali, ketika kau pergi. Beritahu aku."

Tangan Keira berhenti membilas mangkuk. Ia segera berbalik, dan berkata, "Maaf." Tapi Aldric telah berlalu. Entah ia mendengarnya atau tidak.

***

Continue Reading

You'll Also Like

589K 53.4K 22
Zio meninggal di usianya yang ke 19 tahun, akibat gagal jantung. Tapi siapa sangka, Zio malah terbangun di tubuh seorang anak berusia 13 tahun. ____ ...
2.3M 19.3K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1.1M 15.8K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
163K 6.7K 35
Cover : @guepedia READY STOCK, bisa kunjungi shopee, bukalapak dan tokopedia dengan nama toko Guepedia, atau bisa hubungi WA saya 085877790464. Harga...